Skip to main content

Jilbab dalam pandangan Al-Qur'an


Jilbab
(Kajian Tafsir)
Oleh:
Abdul Haris Mubarak (0007 03 30 2012)
I.               PENDAHULUAN
A.      Latarbelakang Masalah
Budaya manusia tidak selalu sama antara satu tempat dengan tempat lainnya, bahkan kebudayaan itu senantiasa berubah dari generasi ke generasi secara turun temurun.
Kalau ajaran Islam benar-benar diyakini keuniversalannya, tentu keberlakuannya tidak terikat oleh tempat tententu dan waktu tertentu dari generasi ke generasi. Hanya saja, Nabi saw yang diutus untuk membawa ajaran Islam itu harus dilihat poisinya yang multi dimensi.
Dalam kehidupan muamalah sehari-hari, aspek perbedaan yang paling menonjol dari sejumlah budaya dan tradisi masyarakat yang bersifat simbolis, antara lain adalah busana. Syariat Islam mewajibkan kaum muslimin memakai busana yang menutup aurat dan sopan, baik laki-laki maupun perempuan. Aurat laki-laki cukup sederhana, berdasarkan ijma ulama, auratnya sebatas antara lutut dan di atas pusat (bayn al-surrat wa al-ruqbatayn). Sedang aurat wanita adalah segenap tubuhnya kecuali muka, telapak tangan dan telapak kakinya. Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa seluruh tubuh wanita tanpa kecuali adalah aurat[1]
Walaupun demikian, tampak di kalangan ulama masih berbeda-beda dalam menginterpretasikan budaya berpakaian secara Islami, khususnya kaidah-kaidah tentang batas aurat itu sendiri. Berdasar pada latar belakang sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka sangat menarik apabila persoalan budaya berbusana yaitu jilbab tersebut dikaji berdasarkan pendekatan ijtihadi.
Saat ini banyak kaum wanita yang menggunakan jilbab dan seakan-akan menjadi tren modern. Jilbab yang digunakan pun beraneka ragam. Mulai dari jilbab gaul sampai jilbab syar’i. Lalu bagaimanakah sebenarnya jilbab dalam pandangan Islam? Ketika masyarakat kita mengenal kata jilbab (dalam bahasa Indonesia) maka yang dimaksud adalah penutup kepala dan leher bagi wanita muslimah yang dipakai secara khusus dan dalam bentuk yang khusus pula.[2]
Mungkin kita juga pernah mendengar wacana kalau berjilbab maka harus menutup dada, lalu bagaimana kalau jilbabnya berukuran kecil dan tidak panjang ke dada dan lengan, apakah muslimah yang memakainya belum terhitung melaksanakan seruan agama dalam Al-Qur’an, itu sebab tidak ada bedanya antara dia dan wanita yang belum memakai jilbab sama sekali, apakah sama dengan wanita yang membuka auratnya (bagian badan yang wajib di tutup dan haram di lihat selain mahram).
Dari uraian di atas tampak jelas kalau jilbab yang dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan arti atau bentuk yang sudah berubah dari arti asli jilbab itu sendiri, dan perubahan yang demikian ini adalah bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah sebab perjalanan waktu dari masa Nabi Muhammad SAW sampai sekarang atau disebabkan jarak antar tempat dan komunitas masyarakat yang berbeda yang tentu mempunyai peradaban atau kebudayaan berpakaian yang berbeda.

B.       Rumusan Masalah
Bersandar pada Latarbelakang Masalah di atas, dapat ditarik suatu permasalahan yaitu, “Bagaimana tafsir surat Al-Ahzab ayat 59, tentang perintah berjilbab?”. Dari permasalahan tersebut, dapat dirumuskan beberapa sub masalah berikut ini yaitu:
1.      Bagaimana pendapat para ahli tafsir tentang surat Al-Ahzab ayat 59?,
2.      Persoalan apa yang diretas oleh surat Al-Ahzab ayat 59 yang memerintahkan wanita muslim menggunakan jilbab?.
 II.            PEMBAHASAN
Jilbab yang dikenal secara umum oleh masyarakat Indonesia adalah kain penutup aurat rambut (yang dikenakan wanita Islam/muslimah).[3] Arti kata yang dikutif dari kamus tersebut tidaklah sempurna sehingga masih membutuhkan beberapa pengertian oleh penafsir maupun para ahli. Beberapa pendapat tentang arti atau definisi Jilbab berikut ini.
Jilbab berarti selendang yang lebih lebar daripada kerudung. Demikianlah menurut Ibnu mas`ud, Ubaidah, Qatadah, dan sebagainya.Kalau sekarang, jilbab itu seperti kain panjang. Al-Jauhari berkata, "Jilbab ialah kain yang dapat di lipatkan."[4]
Terdapat beberapa pengertian yang diberikan para ulama mengenai kata jilbab. Ibnu Abbas menafsirkannya sebagai ar-ridâ' (mantel) yang menutup tubuh dari atas hingga bawah. Al-Qasimi menggambarkan, ar-ridâ' itu seperti as-sirdâb (terowongan). Adapun menurut al-Qurthubi, Ibnu al-'Arabi, dan an-Nasafi jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh. Ada juga yang mengartikannya sebagai milhafah (baju kurung yang longgar dan tidak tipis) dan semua yang menutupi, baik berupa pakaian maupun lainnya. Sebagian lainnya memahaminya sebagai mulâ'ah (baju kurung) yang menutupi wanita atau al-qamîsh (baju gamis).
Meskipun berbeda-beda, semua makna yang dimaksud itu tidak salah. Bahwa jilbab adalah setiap pakaian longgar yang menutupi pakaian yang biasa dikenakan dalam keseharian, hal tersebut bisa dipahami dari Hadist berikut ini.:
“Nabi saw. bersabda “tidaklah halal bagi seorang perempuan yang percaya kepada Allah dan hari kemudian dan telah haid untuk menampakkan kecuali wajahnya dan tangannya sampai di sini (lalu beliau memegang setengah lengan beliau)” (H.R. Jabir at-Thabari)”[5]

Hadis ini, di samping, menunjukkan kewajiban wanita untuk mengenakan jilbab ketika hendak keluar rumah, juga memberikan batasan tentang jilbab; bahwa yang dimaksud dengan jilbab bukanlah pakaian sehari-hari yang biasa dikenakan dalam rumah. Sebab, jika disebutkan ada seorang wanita yang tidak memiliki jilbab, tidak mungkin wanita itu tidak memiliki pakaian yang biasa dikenakan dalam rumah. Tentu ia sudah memiliki pakaian, tetapi pakaiannya itu tidak terkategori sebagai jilbab.
Ali Bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas,dia berkata,"Allah menuyruh kaum wanita mukmin, jika mereka hendak keluar rumah untuk suatu kepentingan, agar menutup wajah mereka mulai dari atas kepala dengan jilbab. Yang boleh tampak hanyalah kedua matanya saja."[6]
A.      TAFSIR SURAT AL-AHZAB AYAT 59
                                 i.           Terjemah Surat Al-Ahzab ayat 59
Wahai Nabi! katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, Sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang.[7]

                                ii.          Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 59
Allah Swt memerintahkan Nabi saw untuk menyampaikan suatu ketentuan bagi para Muslimah. Ketentuan yang dibebankan kepada para wanita Mukmin itu adalah: yudnîna 'alayhinna min jalâbîbihinna (hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka). Kata jalâbîb merupakan bentuk jamak dari kata jilbâb.
Kata yudnîna merupakan bentuk mudhâri' dari kata adnâ. Kata adnâ berasal dari kata danâ yang berarti bawah, rendah, atau dekat. Dengan demikian, kata yudnîna bisa diartikan yurkhîna (mengulurkan ke bawah). Meskipun kalimat ini berbentuk khabar (berita), ia mengandung makna perintah; bisa pula sebagai jawaban atas perintah sebelumnya.
Berkaitan dengan gambaran yudnîna 'alayhinna, terdapat perbedaan pendapat di antara para mufassir. Menurut sebagian mufassir, idnâ' al-jilbâb (mengulurkan jilbab) adalah dengan menutupkan jilbab pada kepala dan wajahnya sehingga tidak tampak darinya kecuali hanya satu mata. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Abbas, Ibnu Sirrin, Abidah as-Salmani, dan as-Sudi. Demikian juga dengan al-Jazairi, an-Nasafi, dan al-Baidhawi. Sebagian lainnya yang menyatakan, jilbab itu diikatkan di atas dahi kemudian ditutupkan pada hidung. Sekalipun kedua matanya terlihat, jilbab itu menutupi dada dan sebagian besar wajahnya. Demikian pendapat Ibnu Abbas dalam riwayat lain dan Qatadah. Adapun menurut al-Hasan, jilbab itu menutupi separuh wajahnya. [8]
Ada pula yang berpendapat, wajah tidak termasuk bagian yang ditutup dengan jilbab. Menurut Ikrimah, jilbab itu menutup bagian leher dan mengulur ke bawah menutupi tubuhnya, sementara bagian di atasnya ditutup dengan kerudungyang juga diwajibkan (QS an-Nur [24]: 31).
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.[9]

Ada catatan penting tentang batasan jilbab sebagaimana telah diuraikan sebelumnya yaitu Wa lâ yubdîna zînatahunna illâ mâ zhahara minhâ (dan janganlah mereka menampakkan kecuali yang biasa tampak daripadanya). Menurut Ibn Jarir di dalam kitab tafsirnya mengartikan “kecuali yang bisa tampak dari padanya” adalah wajah dan dua telapak tangan. Ini adalah pendapat yang masyhur menurut jumhur ulama. Pendapat yang sama juga dikemukakan Ibnu Umar, Atha', Ikrimah, Said bin Jubair, Abu asy-Sya'tsa', adh-Dhuhak, Ibrahim an-Nakhai, dan al-Auza'i. Demikian juga pendapat ath-Thabari, al-Jashash, dan Ibnu al-'Arabi.[10]
Pendapat yang senada dengan pandangan Ibnu Jarir tersebut didasarkan pada ijma’ wajibnya seorang shalat menutup auratnya, dan bahwa perempuan harus membuka wajah dan kedua tangannya ketika shalat dan bagian tubuh lainnya harus tertutup.[11] Kalau semua itu sudah menjadi ijma’, sebagaimana yang sama-sama kita ketahui, maka berarti wanita dibolehkan membuka bagian badannya yang buka termasuk aurat sebagaimana berlaku juga pada pria dengan ketentuannya. Meskipun ada perbedaan pendapat tentang wajah dan telapak tangan, para mufassir sepakat bahwa jilbab yang dikenakan itu harus bisa menutupi seluruh tubuhnya, termasuk di dalamnya telapak kaki. Hal ini didasarkan pada Hadis Nabi saw :
"Siapa saja yang menyeret bajunya lantaran angkuh, Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat." Ummu Salamah bertanya, "Lalu bagaimana dengan ujung-ujung pakaian kami?" Beliau menjawab, "Turunkanlah satu jengkal." Ummu Salamah bertanya lagi, "Kalau begitu, telapak kakinya tersingkap." Lalu Rasulullah saw. bersabda lagi, "Turunkanlah satu hasta dan jangan lebih dari itu." (HR at-Tirmidzi).[12]

Berdasarkan hadis ini, jilbab yang diulurkan dari atas hingga bawah harus bisa menutupi dua telapak kaki wanita. Dalam hal ini, para wanita tidak perlu takut jilbabnya menjadi najis jika terkena tanah yang najis. Sebab, jika itu terjadi, tanah yang dilewati berikutnya akan mensucikannya.
Tentang perintah memakai Jilbab, sebagaimana termaktub dalam Q.S Al-Ahzab : 59, Allah Swt. berfirman: Dzâlika adnâ an yu'rafna falâ yu'dzayn (Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal sehingga mereka tidak diganggu). Maksud kata dzâlika adalah ketentuan pemakaian jilbab bagi wanita, sedangkan adnâ berarti aqrab (lebih dekat). Yang dimaksud dengan lebih mudah dikenal itu bukan dalam hal siapanya, namun apa statusnya. Dengan jilbab, seorang wanita merdeka lebih mudah dikenali dan dibedakan dengan budak. Karena diketahui sebagai wanita merdeka, mereka pun tidak diganggu dan disakiti.
Patut dicatat, hal itu bukanlah 'illat (sebab disyariatkannya hukum) bagi kewajiban jilbab yang berimplikasi pada terjadinya perubahan hukum jika illat-nya tidak ada. Itu hanyalah hikmah (hasil yang didapat dari penerapan hukum). Artinya, kewajiban berjilbab, baik bisa membuat wanita Mukmin lebih dikenal atau tidak, tidaklah berubah.
Ayat ini ditutup dengan ungkapan yang amat menenteramkan hati: Wa kâna Allâh Ghafûra Rahîma (Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang). Karena itu, tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak bertobat kepada-Nya jika telah terlanjur melakukan perbuatan dosa dan tidak menaati aturan-Nya.

B.     Hikmah Menggunakan Jilbab.
1.      Asbabun Nuzul Q.S Al-Ahzab tentang perintah Berjilbab
Dikemukakan Said bin Manshur, Saad, Abd bin Humaid, Ibnu Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Abi Malik: Dulu istri-istri Rasulullah saw. keluar rumah untuk keperluan buang hajat. Pada waktu itu orang-orang munafik mengganggu dan menyakiti mereka. Ketika mereka ditegur, mereka menjawab, "Kami hanya mengganggu hamba sahaya saja." Lalu turunlah ayat ini yang berisi perintah agar mereka berpakaian tertutup supaya berbeda dengan hamba sahaya.[13]
Dari riwayat tersebut, didapatkan keterangan bahwa menggunakan jilbab merupakan suatu kekuatan simbolis kaum Mulimat. Itu dikarenakan hanya orang-orang yang tidak menggunakan jilbab yang mendapat perlakuan tidak terhormat oleh orang-orang munafik.
2.      Kajian Kontemporer Tentang Penggunaan Jilbab
Pemakalah menarik tolak ukur pada penggunaan jilbab berdasarkan fungsi dan hikmahnya yaitu menjadikan wanita muslimah lebih terhindar dari fitnah pelecehan seksual atau minimal membangkitkan naluri seksual pada lawan jenisnya ketika menggunakan jilbab. Kalau hal tersebut didasarkan pada kondisi masyarakat yang kebudayaannya cenderung terbuka atau berpakaian minimalis, sementara hal itu tidak membangkitkan reaksi dari lawan jenis maka itu dianggapnya sebagai suatu yang biasa-biasa saja.[14] Anggapan tersebut tidak semestinya menjadi acuan untuk menggunakan jilbab, yaitu sekedar meredam reaksi yang kurang beretika dari lawan jenis. Suatu perintah suci tidaklah akan bergeser dari segi fungsi karena mereka yang kesehariannya menggunakan jilbab sesungguhnya memiliki keistimewaan yaitu penghormatan dan penghargaan dari orang lain. Ini pun dijamin oleh Allah sebagaimana telah diterangkan pada dua ayat yang telah dibahas di atas.
3.      Hikmah Menggunakan Jilbab
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan, “wahai saudara-saudaraku yang bertanggungjawab terhadap wanita, sungguh telah menyebar di sebagian masyarakat dan dianggap remeh oleh mereka bahwa anak-anak perempuan mereka menggunakan pakaian mini, yang ketat dan menampakkan lekukan tubuh mereka. Atau menggunakan pakaian yang trasparan warna kulit tubuhnya. Sesunggunya orang yang membiarkan putrid-putrinya membiarkan menggunakan pakaian semacam ini dan menyetujuinya, maka pada hakikatnya, ia telah menggunakan pakaian neraka.[15]
Menggunakan pakaian atau busana merupakan kebiasaan yang dibawah sejak dari masa kanak-kanak. Dengan demikian, untuk menggunakan pakaian yang beretika, dibutuhkan pembiasaan karena membiasakan diri berarti memudahkan jalan untuk menggunakan jilbab. Sebagian orang berdalih bahwa “mereka masih kecil dan tidak ada kewajiban untuk mereka menutup aurat” dalih seperti ini bukan berarti menghalalkan segala hal. Sebab, bila seorang anak perempuan sejak kecil menggungakan pakaian-pakaian semeberono, maka ketika dewasa, ia akan terbiasa mengenakannya. Bila ia memakainya diwaktu kecil, maka akan hilang rasa malu darinya dan menganggap remeh ketika ia menyingkap betis dan pahanya. Sebab bila bagian-bagian tubuh ditutup sejak dini, maka ia tidak akan berat untuk tetap melakukan hal yang sama ketika dewasa, bahkan akan muncul rasa malu keti menggunakan pakaian terbuka ditempat umum.
Ayat ini secara jelas memberikan ketentuan tentang pakaian yang wajib dikenakan wanita Muslimah. Pakaian tersebut adalah jilbab yang menutup seluruh tubuhnya. Bagi para wanita, mereka tak boleh merasa diperlakukan diskriminatif sebagaimana kerap diteriakkan oleh pengajur feminisme. Faktanya, memang terdapat perbedaan mencolok antara tubuh wanita dan tubuh laki-laki. Oleh karenanya, wajar jika ketentuan terhadapnya pun berbeda. Keadilan tak selalu harus sama. Jika memang faktanya memang berbeda, solusi terhadapnya pun juga tak harus sama.
Penggunaan jilbab dalam kehidupan umum akan mendatangkan kebaikan bagi semua pihak. Dengan tubuh yang tertutup jilbab, kehadiran wanita jelas tidak akan membangkitkan birahi lawan jenisnya. Sebab, naluri seksual tidak akan muncul dan menuntut pemenuhan jika tidak ada stimulus yang merangsangnya. Dengan demikian, kewajiban berjilbab telah menutup salah satu celah yang dapat mengantarkan manusia terjerumus ke dalam perzinaan; sebuah perbuatan menjijikkan yang amat dilarang oleh Islam.
Walhasil, penutup ayat Q.S. Al-Ahzab ini harus menjadi catatan amat penting dalam menyikapi kewajiban jilbab. Wa kânaLlâh Ghafûra Rahîma (Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang). Ini memberikan isyarat, kewajiban berjilbab tersebut merupakan salah satu bentuk kasih sayang Allah Swt. kepada hamba-Nya.
Allah Ta`ala menyuruh Rasulullah agar dia menyuruh wanita-wanita mukimin, terutama istri-istri dan anak-anak perempuan beliau karena keterpandangan mereka, agar mengulurkan jilbab keseluruh tubuh mereka. Sebab cara berpakaian demikian membedakan mereka dari kaum jahiliah dan budak-budak perempuan.
 
III.         PENUTUP
Demikianlah makalah ini dibuat, sebagai penutup, pemakalah dapat menyimpulkan beberapa poin terkait dengan pembahasan makalah ini, diantara catatan penting tersebut, adalah sebagai berikut:
1.      Jilbab adalah setiap pakaian longgar yang menutupi pakaian yang biasa dikenakan dalam keseharian wanita muslim dan hukum menggunakannya adalah wajib. Hal ini sesuai dengan penjelasan Q.S An-Nur (24) 30-31 dan beberapa penjelasan Hadist yang telah dibahas.
2.      Diantara hikmah dari perintah menggunakan Jilbab bagi wanita Muslim adalah karena beberapa persoalan sosial yang diretas atau bisa diatasi dengan menggunkakan menggunakan jilbab, diantaranya ialah dapat menghindari fitnah syahwat dan sebelihnya mengangkat derajat kaum wanita muslimat dari perlakuan orang-orang munafik.






DAFTAR PUSTAKA
Al-Albani, Syaikh Nasaruddin, Jilbab Wanita Muslimah, Yogyakarta, Media Hidayah, Cet I; November 2002
Kitab Suci Al-Qur’an, Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, Semarang;  PT. Karya Toha Putra, 2002.
http://vanihayat.blogspot.com/ Tafsir Surat Al-Ahzab ; 59, Juni 2012
http://www.inpasonline.com/index.php?option=comcontent&view=article&id=93:jilbab. khilafiyah&catid=32:gender&Itemid=100.Jilbab, Khilafiyah. (Kritik Terhadap Qurais Shihab). Juni 2012
Shihab, M. Quraish, Jilbab – Pakaian Wanita Muslimah (Pandangan Ulama masa lalu & Cendikiawan Kontemporer), Jakarta, Lentera Hati, Cet V; 2010
Talhah bin Abdus Sattar, Abu, Tata Busana Para Salaf, (bagaimana gaya Berpakaian Nabi saw., Para Sahabat dan Shahabiyah?), Solo, Zam-Zam Mata air ilmu, Cet I; 2008
Yassin, Sulchan, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (KBI-SAKU) untuk Pelajar dan Umum.Surabaya; Penerbit Amanah, 1997


[1] Shihab, M. Quraish, Jilbab – Pakaian Wanita Muslimah (Pandangan Ulama masa lalu & Cendikiawan Kontemporer), Jakarta, Lentera Hati, Cet V; 2010. h. 69
[2] Drs. Sulhan Yasyin, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Untuk Peleajar dan Umum). Surabaya, Penerbit Amanah; Cet I, 1997. h. 207
[3] Sulchan Yassin, Op. Cit.  h. 207
[4] http://vanihayat.blogspot.com/ Tafsir Surat Al-Ahzab ; 59, Juni 2012
[5] M. Quraish Shihab, Op Cit. h. 134
[6] ibid
[7] Kitab Suci Al-Qur’an, Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, Semarang;  PT. Karya Toha Putra, 2002. h. 603
[8] http://vanihayat.blogspot.com/ Tafsir Surat Al-Ahzab ; 59, Juni 2012
[9] Kitab Suci Al-Qur’an, Departemen Agama Republik Indonesia, Op Cit. h. 493
[10] Al-Albani, Syaikh Nasaruddin, Jilbab Wanita Muslimah, Yogyakarta, Media Hidayah, Cet I; November 2002. h. 49
[11] Ibid. h. 50
[13] http://vanihayat.blogspot.com/ Tafsir Surat Al-Ahzab ; 59, Juni 2012
[14] http://www.inpasonline.com/index.php?option=com content&view= article&id=93 :jilbab.html// khilafiyah&catid=32:gender&Itemid=100. Jilbab, Khilafiyah. (Kritik Terhadap Qurais Shihab). Juni 2012
[15] Talhah bin Abdus Sattar, Abu, Tata Busana Para Salaf, (bagaimana gaya Berpakaian Nabi saw., Para Sahabat dan Shahabiyah?), Solo, Zam-Zam Mata air ilmu, Cet I; 2008 h. 142

Comments

  1. mohon sarannya yach untuk perbaikan karya tulis saya selanjutnya!

    makalah ini direvisi berdasarkan hasil seminar di PPs Magister Pengkajian Islam Universitas Muslim Indonesia Makassar pada Tanggal 15 Juli 2012

    ReplyDelete

Post a Comment

شُكْرًا كَثِرًا
Mohon titip Komentarnya yah!!
وَالسَّلامُ عَليْكُم

Popular posts from this blog

Strategi Kepemimpinan Ali Bin Abu Thalib

BAB I PENDAHULUAN A.       Latarbelakang Masalah Nabi Muhammad saw. Tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau tampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum Muslimin untuk menentukannya sendiri. Kaena itu, tidak lama setelah beliau wafat; belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokohMuhajirin dan Ashor Berkumpul dibalai kota   Bani Sa’dah, Madinah.  

Kedudukan Ar-ra'yu sebagai Landasan Hukum Islam

Referensi Pada dasarnya umat Islam yang beriman Kepada Allah swt. Meyakini bahwa Sumber utama Ajaran Islam yaitu Alquran dan Hadis sudah sempurna. Firman Allah dalam Alquran sudah sempurna membahas aturan-aturan, hukum, ilmu pengetahuan (filsafat), kisah, ushul fiqh dan lain-lain. Begitu juga Hadis Rasulullah yang salah satu sifatnya menjadi penjelasan ayat-ayat dalam Alquran. Posisi Hadis adalah penjelas dan sumber kedua setelah Alquran.

Dasar-dasar Pendidikan Islam

DASAR-DASAR PENDIDIKAN ISLAM (Tinjauan al-Qur'an dan Hadis) Oleh : Kelompok 2 A.    Pendahuluan Islam mempunyai berbagai macam aspek, di antaranya adalah pendidikan (Islam). Pendidikan Islam bermula sejak nabi Muhammad Saw, menyampaikan ajaran Islam kepada umatnya. [1]   Pendidikan adalah proses atau upaya-upaya menuju pencerdasan generasi, sehingga menjadi manusia dalam fitrahnya. Itu artinya bahwa pendidikan merupakan conditio sine quanon yang harus dilakukan pada setiap masa. Berhenti dari gerakan pendidikan berarti   lonceng kematian (baca; kemunduran atau keterbelakangan) telah berbunyi dalam masyarakat atau negara.