Oleh : Abdul Haris Mubarak
NIM : 0007-03-30-2012
Makalah ini dipersentasekan dalam Seminar terbatas
pada mata kuliah Pendekatan dalam
Pengkajian Islam I, di Kampus PPs. Universitas Muslim Indonesia Makassar
I.
PENDAHULUAN
A. Latarbelakang Masalah
Pada Zaman Rasulullah, Ayat Al-Qur’an tidak
dikumpulkan atau dibukunan seperti sekarang. Namun disebabkan beberapa faktor,
maka ayat Al-Qur’an dimulai dikumpulkan atau dibukukan seprti sekarang, yaitu dibukukan
di dalam satu Mushaf.[1] Pengumpulan Al-Qur’an pada
masa Nabi hanya dilakukan pada dua cara yaitu dituliskan melalui benda-benda
seperti yang
terbuat dari kulit binatang, batu yang tipis dan licin, pelapah kurma, tulang
binatang dan lain-lain.[2] Tulisan-tulisan
dari benda-benda tersebut dikumpulkan untuk Nabi dan beberapa diantaranya
menjadi koleksi pribadi sahabat yang pandai baca tulis. Tulisan-tulisan melalui
benda yang berbeda tersebut memang dimiliki oleh Rasulullah namun tidak
tersusun sebagaimana mushaf yang sekarang ini. Pemeliharaan ayat-ayat Al-Qur’an
juga dilakukan melalui hafalan baik oleh Rasulullah maupun oleh sahabat-sahabat
beliau.
Peninggalan Nabi pun hanya mewariskan dokument tulisan
dari benda-benda sebagaimana tersebut di atas yang kemudian dipindahkan kepada
Khalifah Abu Bakar As-Siddiq yang tidak lengkap. Berangkat dari bayaknya
sahabat nabi yang tewas dalam peperangan (dikenal
dengan perang yamamah) sebagaimana tercatat dalam sejarah bahwa jumlah
penghafal Al-Qur’an yang tewas pada peperangan tersebut mecapai 70 orang. Olehnya
itu muncul inisiatif dari Umar bin Khattab untuk membukukan Al-Qur’an, lalu
disampaikanlah niatnya itu pada Khalifah Abu Bakar. Meskipun tidak langsung
disetujui oleh Khalifah Abu Bakar, namun alasan Umar bin Khattab bisa diterima
dan dimulailah pengumpulan Al-Qur’an hingga rampung.[3] Dengan
demikian, disusunlah kepanitiaan atau Tim
penghimpun Al-Qur’an yang terdiri atas Zaid bin Tsabit sebagai ketua dibantu
oleh Ubay bin Ka’ab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan para Sahabat
lainnya sebagai Anggota.[4] Namun dengan rentan waktu yang panjang, mulai pada
tanggal 12 Rabbiul Awwal tahun 11 H/632 M yang ditandai dengan wafatnya
Rasulullah, hingga 23-35 H/644-656 M (masa pemerintahan Khalifah Usman bin
Affan) atau sekitar 18 tahun setelah wafatnya nabi barulah dibukukan Al-Qur’an
yang dikenal dengan Mushaf Utsmani. Antara
rentan waktu yang cukup panjang hingga beragam suku dan dialek apakah
berpengaruh atas penyusunan kitab suci Al-Qur’an tentunya masih menjadi tanda tanya.
Sementara pandangan seperti di atas, umat Islam di Seluruh
Dunia meyakini bahwa Al-Qur’an seperti yang ada pada kita sekarang ini adalah
otentik dari Allah swt. melalui Rasulullah saw., namun cukup menarik, semua
riwayat mengatakan bahwa pembukuan kitab suci itu tidak dimulai oleh Rasulullah
saw., melainkan oleh para sahabat beliau, dalam hal ini khususnya Abu Bakar,
Umar Bin Khattab dan Usman Bin Affan.[5]
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari uraian di atas, maka dapat ditarik
suatu permasalahan yaitu mengapa Al-Qur’an baru dibukukan pada masa Khalifah
Usman bin Affan yang kemudian dikenal dengan Mushaf Usmani? Dari permasalah di
atas, maka dapat dirumuskan sub masalah sebagai berikut.
1.
Bagaimana Al-Qur’an dikumpulkan untuk dibukukan?
2.
Atas dasar apa pembukuan Al-Qur’an dilakukan?
Agar tidak terjebak pada perluasan sub bahasan, maka
makalah ini dibatasi pada dua sub masalah di atas. Untuk keperluan penguatan
sumber, referensi atau data terkait dengan pembahasan yaitu Kodifikasi atau
Sejarah Pengumpulan dan Pembukuan Al-Qur’an yang juga dikenal dengan Istilah Jam’ul Qur’an, juga dibahas pada makalah
ini.
II.
PEMBAHASAN
A. Pemeliharaan dan Pengumpulan Al-Qur’an hingga dibukukan.
Al-Qur`an merupakan kumpulan
firman yang diberikan Allah sebagai satu kesatuan kitab sebagai pedoman hidup
bagi seluruh umat muslim. Menurut syariat Islam, kitab ini dinyatakan sebagai
kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, selalu terjaga dari kesalahan, dan
merupakan tuntunan membentuk ketaqwaan manusia.[6] Kumpulan firman (ayat-ayat Al-Qur’an)
tersebut juga dikenal dengan Istilah Mushaf atau kumpulan dari suhuf-suhuf atau
lembaran-lembaran tertulis yang disatukan.
Sejak awal pewahyuan Al-Qur’an hingga menjadi sebuah mushaf, telah
melalui proses panjang. Mulai dari Ayat yang pertama turun sampai ayat yang
terakhir turun, benar-benar terjaga kemurniaanya. Upaya untuk menjaga dan
memelihara ayat-ayat agar tidak terlupakan atau terhapus dari ingatan
terus-menerus dilakukan. Upaya-upaya tersebut dengan cara yang sederhana yaitu
Nabi Menghafal Ayat-ayat itu dan menyampaikannya kepada para sahabat yang
kemudian juga menghafalnya sesuai dengan yang disampaikan Nabi. Upaya kedua
yang dilakukan Umat Islam dalam upaya pemeliharaan Al-Qur’an adalah mencatat
atau menuliskannya dengan persetujuan Nabi.[7]
Penguatan dokumen ayat-ayat Al-Qur’an pada masa Nabi dilakukan dengan
Naskah-naskah yang dituliskan untuk Nabi atas Perintah Nabi, Naskah-naskah yang
ditulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca untuk mereka masing-masing
serta Hafalan dari mereka yang hafal Al-Qur’an.[8]
Untuk Nabi sendiri, juga menghafal Al-Qur’an dan dipandu langsung oleh
Jibril (repetisi) sekali setahun. Diwaktu ulangan itu, Rasulullah disuruh
mengulang memperdengarkan Al-Qur’an yag telah diturunkan. Nabi sendiri sering
mengadakan ulangan itu terhadap sahabat-sahabatnya, maka sahabat-sahabat itu
disuruh oleh beliau membaca Al-Qur’an dihadapan beliau dengan tujuan
membetulkan bacaan mereka jika ada yang salah.[9]
Tentang penulisan wahyu pada masa Rasulullah, ada informasi yang cukup
ekstensif mengenai bahan-bahan yang digunakan sebagai media untuk menuliskan
wahyu yang turun dari langit melalui Muhammad saw. Dalam suatu cacatan,
disebutkan bahwa sejumlah bahan yang ketika itu digunakan untuk menyalin
wahyu-wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad,[10]
yaitu:
1. Riqa, atau
lembaran lontar atau perkamen;
2. Likhaf, atau
batu tulis berwarna putih, terbuat dari kepingan batu kapur yang terbelah
secara horizontal lantaran panas;
3. ‘Asib, atau
pelapah kurma, terbuat dari bagian ujung dahan pohon kurma yang tipis;
4. Aktaf, atau
tulang belikat, biasanya terbuat dari tulang belikat unta;
5. Adlla’ atau
tulang rusuk, biasaya juga terbuat dari tulang rusuk unta;
6. Adim, atau
lembaran kulit, terbuat dari kulit binatang asli yang merupakan bahan utama
untuk menulis ketika itu.
Melalui data tertulis pada media seperti di atas, salah satu sumber
mengatakan bahwa sebelum Mushaf seperti yang kita gunakan sekarang untuk
seluruh umat Islam ternyata banyak versi yang hampir susunannya berbeda maupun
kronologis turunnya ayat. Secara umum, Mushaf-mushaf tersebut dibagi
berdasarkan Mushaf-Mushaf Primer dan Mushaf-mushaf sekunder. Mushaf primer
adalah mushaf Independen yang dikumpulkan secara individual oleh sejumlah
sahabat nabi sedangkan mushaf sekunder adalah mushaf generasi selanjutnya yang
bergantung pada mushaf primer. Mushaf-mushaf tersebu adalah, Mushaf-mushaf
primer yang dimiliki oleh Mushaf Salim ibn Ma’qil, Mushaf Umar bin Khattab,
Mushaf Ubai bin Ka’ab, Mushaf Ibn Mas’ud, Mushaf Ali bin Abi Thalib, Mushaf Abu
Musa al-Asy’ari, Mushaf Hafsah binti Umar, Mushaf Zayd ibn Tsabit, Mushaf
Aisyah binti Abu Bakar, Mushaf Ummu Salamah, Mushaf Abd Allah ibn Amr, Mushaf
Ibnu Abbas, Mushab ibn Zubayr, Mushaf Ubayd ibn ‘Umair dan Mushaf Anas ibn Malik
yang kesemuanya berjumlah 15 versi mushaf. Sementara itu, juga terdapat 13
jumlah mushaf sekunder. Diantara mushaf-mushaf tersebut adalah Mushaf Alqama bin Qais, Mushaf Al-Rabi’
Ibn Khutsaim, Mushaf Al-Haris ibn Suwaid, Mushaf Al-Aswad ibn Yazid, Mushaf
Hithan, Mushaf Thalhah ibn Musharrif, Mushaf Al-A’masy, Mushaf Sa’id ibn
Jubair, Mushaf Mujahid, Mushaf Ikrimah, Mushaf Atha’ Ibn Abi Rabah, Mushaf
Shalih Ibn Kaisan dan Mushaf Ja’far al-Shadiq.[11]
Data yang didapatkan adalah setiap sahabat yang memiliki mushaf ternyata
selalu ada perbedaan penempatan urutan surat, kaidah bacaan yang berbeda
begitupun catatan tentang kronologis turunnya ayat. Salah satu contoh perbedaan
mushaf tersebut adalah Ibn al-Nadim
mendaftar jumlah seluruh surat yang ada di mushaf Ibn Mas’ud 110, tetapi yang
ditulis dalam al-Fihrist hanya 105 surat. Selain 3 surat di atas, surat
al-Hijr, al-Kahfi, Toha, al-Naml, al-Syura, al-Zalzalah tidak disebutkan.
Tetapi keenam surat yang akhir ini ditemukan dalam al-Itqan, justru yang tidak
ada dalam daftar al-Suyuthi adalah surat Qaf, al-Hadid, al-Haqqah, dan 3 surat
yang disebutkan di atas, sehingga menurut daftar al-Suyuthi berjumlah 108
surat. Diduga kuat perbedaan laporan ini kesalahan penulisan belaka, karena
keenam surat yang hilang dalam al-Fihrist ditemukan dalam al-Itqan, begitu juga
dengan 3 surat yang tidak ada dalam al-Itqan.[12] Contoh lain dapat dilihat pada Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an karya
Taufik Adnan Amal yang secara rinci
memperlihatkan data-data dalam bentuk tabel dan naratif mengenai perbedaan
mushaf tersebut. Pembahasan yang menampilakan uraian tentang mushaf-mushaf yang
ada sebelum Mushaf Utsman bin Affan tersebut terletak pada halaman 157 sampai
195.
Lantaran keadaan yang berbeda berdasarkan
latarbelakang masing-masing sahabat, termasuk perbedaan suku yang menyebabkan dialeg
juga berbeda merupakan salah satu sebab adanya Penyatuan Mushaf. Ditambah faktor-faktor
eksternal, misalnya karena banyaknya sahabat-sahabat penghafal yang gugur dalam
medan perang. Berangkat dari persoalan tersebut, Umar bin Khattab mengadukan
persoalan ini pada Khalifah Abu Bakar. Meskipun pada awalnya ditolak, namun
karena usaha yang serius sehingga pada masa itu dibentuk kepanitiaan dalam
mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an. Al-Qur’an yang telah dikumpulkan tersebut
baru dibukukan pada masa kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan.
B. Pembukuan Al-Qur’an
Sebagaimana telah dibahas di atas bahwa pengumpulan
Al-Qur’an telah dilakukan sejak Nabi Muhammad saw. Media pengumpulan Al-Qur’an dilakukan
melalui Tulisan pada beberapa benda berupa batu licin, pelapa kurma, kulit kayu
dan lain-lain yang ditulis khusus untuk Nabi. Dokumen yang dikumpulkan tersebut
diperkuat oleh beberapa tulisan lain yang dikoleksi oleh sahabat-sahabat Nabi
untuk diri mereka sendiri. Disamping itu, hapalan sahabat-sahabat yang dipandu
langsung oleh Nabi juga menjadi penguat keabsahan dokumen Al-Qur’an sebagai
suatu kitab yang utuh.[13]
Pembukuan Al-Qur’an dilakukan secara tersusun
berdasarkan Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas dari Utsman bin Affan
bahwa apabila diturunkan kepada Nabi suatu wahyu, ia memanggil sekretaris untuk
menuliskannya, kemudian bersabda “letakkanlah ayat ini dalam surat yang
menyebutkan begini atau begitu”.[14] Pembukuan
Al-Qur’an tersebut tidak disusun berdasarkan kronologis turunnya wahyu.
Upaya pembukuan Al-Qur’an melalui satu versi bacaan
untuk seluruh umat Islam dilatar belakangi oleh karena di setiap
wilayah terkenal qira’ah sahabat yang mengajarkan Alquran kepada setiap
penduduk di wilayah tersebut. Penduduk Syam memakai qira’ah Ubay bin
Ka‘b, yang lainnya lagi memakai qira’ah Abu Musa al-Asy’ary. Maka tidak
diragukan timbul perbedaan bentuk qira’ah di kalangan mereka, sehingga
membawa kepada pertentangan dan perpecahan di antara mereka sendiri. Bahkan
terjadi sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain, disebabkan perbedaan qira’ah
tersebut.
Itulah sebabnya Khalifah
‘Utsman kemudian berpikir dan merencanakan untuk mengambil langkah-langkah
positif sebelum perbedaan-perbadaan bacaan itu lebih meluas. Usaha awal yang
dilakukannya adalah mengumpulkan para sahabat yang alim dan jenius serta mereka yang terkenal pandai memadamkan
dan meredakan persengketaan itu. Mereka sepakat menerima instruksi ‘Utsman,
yakni membuat Mushaf yang banyak, lalu membagi-bagikannya ke setiap
pelosok dan kota, sekaligus memerintahkan pembakaran selain Mushaf itu, sehingga tidak ada lagi celah yang
menjerumuskan mereka ke persengketaan dalam bentuk-bentuk qira’ah.
Karena itulah pulalah, ‘Utsman mengirim utusan kepada Hafshah
guna meminjam Mushaf yang terwariskan dari ‘Umar. Dari Mushhaf tersebut, lalu dipilihnya tokoh andal
dari kalangan senior sahabat untuk memulai rencananya. Pilihannya jatuh kepada
Zayd bin Stabit, ‘Abdullah bin Zubayr, Sai‘id bin ‘Ash dan ‘Abdurrahman bin
Hisyam mereka dari suku Quraisy, golongan Muhajirin, kecuali Zayd bin Tsabit,
ia golongan Anshar. Usaha yang mulia ini berlangsung pada tahun 24 H. Sebelum
memulai tugas ini, ‘Utsman berpesan kepada mereka :
إِذَا اِخْتَلَفْتُمْ
اَنْتُمْ وَزَيْدٌ بِنْ ثَابِتْ فِى شَيْئٍ، فَكْتُبُوْهُ بِلِسِانِ قُرَيْشٍ، فَإِنَّهُ
إِنَّمَا نَزَّلَ بِلِسَانِهِمْ
Terjemahnya : Jika
kalian berselisih pendapat dalam qira’ah
dengan Zayd bin Stabit, maka hendaklah kalian menuliskannya dengan lughat Quraisy, karena sesungguhnya
Alquran diturunkan dengan bahasa mereka.[15]
Setelah
memahami pesan di atas, bekerjalah tim ini dengan ekstra hati-hati, yang
kemudian melahirkan satu Mushaf yang
satu dan dianggap sempuna. Mushhaf ini digandakan dan dikirim ke daerah-daerah
untuk disosialsikan kepada masyarakat demi meredam perbedaan bacaan di antara
mereka. Sedangkan Mushhaf yang
lainnya dibakar, kecuali yang dimiliki Hafshah dikembalikan kepadanya.
Dapatlah
dipahami bahwa penulisan teks-teks Alquran pada masa Utsman merupakan masa
pembentukan naskah resmi, yang dimaksudkan untuk meredam berbagai kevariasiaan
dalam pembacaannya. Berkat usaha Utsman inilah, Alquran yang terwariskan sampai
saat ini biasa pula disebut dengan Mushaf Utsmani.
III.
PENUTUP
Sebagai catatan penutup tentang sejarah penumpulan
atau kodifikasi al-Qur’an ini, poin penting sebagai jawaban atas permasalahan
(Rumusan Masalah) tersebu di atas adalah sebagai berikut:
1. Pengkodifikasian
dan penulisan Alquran pada masa Nabi saw terkumpul dalam hapalan dan ingatan,
serta catatan yang masih berserakan. Pada masa Abu Bakar, di samping terkumpul
dalam hapalan, juga dikumpulkan shahifah-shahifah yang terpisah-pisah.
Kemudian pada masa Umar, shahifah-shahifah tersebut ditulis dalam satu mushhaf.
Selanjutnya, pada masa ‘Utsman, semua hapalan sahabat dan Mushhaf yang
diwariskan oleh Umar, ditata ulang dan dicatat dalam satu dialek qira’ah yang
melahirkan suatu Mushhaf disebut dengan Mushhaf Imam.
2.
Dapatlah
dipahami bahwa penulisan teks-teks Alquran pada masa Utsman merupakan masa
pembentukan naskah resmi, yang dimaksudkan untuk meredam berbagai kevariasiaan
dalam pembacaannya.
Demikianlah Penyusunan makalah ini disusun, sebagai
cacatan penutup bahwa pemakalah menyadari akan banyaknya kekurangan dan
kelemahan pada karya tulis ini, olehnya itu pemakalah berharap agar ada kritik,
saran atau masukan yang sifatnya membangun untuk perbaikan makalah ini. Ucapan terima
kasih kepada Dosen pembimbing mata kuliah Pendekatan dalam Pengkajian Islam I
serta teman-teman peserta seminar yang telah mengikuti seminar ini dengan
serius, terakhir adalah permohonan maaf jika sekiranya apa yang disajikan oleh
pemakalah, terdapat kekurangan dan kekeliruan didalamnya.
Daftar Pustaka
Adnan
Amal, Taufik, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an,
Cet. I; Penerbit Forum Kajian Budaya dan Agama, Yogyakarta. Tahun 2001
Atang,
Abdul Hakim, Methodologi Study Islam,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000
Departemen Agama Republik Indonesia, Muqaddimah Al-Qur’an dan Terjemahnya,
PT. Karya Toha Putra; Semarang. 2002.
Ensiklopedia Untuk Anak-anak Muslim, Grasindo
Http://id.wikipedia.org/wiki/Kitab_Allah, Wikipedia –
Ensiklopedia Bebas (Kitab Allah), 19 Mei 2012.
Http://Ealah.Blogspot.Com/2008/04/Upaya-Sahabat-Dalam-Pengumpulan-Mushaf.Html Upaya
Sahabat Dalam Pengumpulan Mushaf Pribadi Pra-Utsmani, oleh
Nashif Ubadah; 19 Mei 2012.
Khalid, H.M. Rusdi, Mengkaji Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Cet I;
Alauddin Universiti Press, Makassar 2011
Majid, Nurcholish, Islam Agama Peradaban (Membangun Makna dan
Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah), Cet. II; Paramadina, Jakarta. 2000.
Manna’ al-Qaththan Mabahits Fiy ‘Ulum
al-Qur’an (Beirut: Mansyurat al-‘Asr al-Hadits, t.th.).
[2] Departemen Agama Republik Indonesia, Muqaddimah Al-Qur’an dan Terjemahnya,
PT. Karya Toha Putra; Semarang. 2002. h. 18
[5] NurCholish Majid,
Islam Agama Peradaban (Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam
Sejarah), Cet. II; Paramadina, Jakarta. 2000. h. 4
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Kitab_Allah, Wikipedia – Ensiklopedia Bebas (Kitab Allah),
19 Mei 2012.
[7] H.M. Rusdi Khalid, Mengkaji
Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Cet I; Alauddin Universiti Press, Makassar 2011. h. 55
[8] Departemen Agama Republik Indonesia, Muqaddimah Al-Qur’an dan Terjemahnya,
PT. Karya Toha Putra; Semarang. 2002. h. 19
[10] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi
Sejarah Al-Qur’an, Cet. I; Penerbit Forum Kajian Budaya dan Agama,
Yogyakarta. 2001, h. 151
Makalah ini sebagai sumber pengetahuan, mengenai pengumpulan Al - Qur'an. Ini sangat penting bagi kaum muslimin Indonesia yang mayoritas Islam.
ReplyDeleteiya, semoga bermanfaat untuk kita semua, namun kebenarannya informasinya lebih banyak bersumber dari tesa-tesa yang telah dibuat oleh para ulama
ReplyDelete