Referensi |
Dalam kehidupan sehari-hari ternyata masih banyak
perdebatan dalam masyarakat tentang hukum Islam. Ada yang berdebat karena
persoalan penafsiran dan ada pula karena belum ditemukan ayat Alquran atau
Hadis yang menjelaskan perkara tersebut.
Dari permasalahan di atas, berdasarkan referensi
yang ditemukan menyebutkan ada sumber ajaran islam selain Alquran dan Hadis
(Sumber Pokok) yaitu al-Ra’yu. Berikut adalah uraiannya
1.
Pengertian al-Ra’yu
Kata
al-ra’yu berasal dari kata ra’a, yarā’ ra’yan yang
berarti memperlihatkan, kemudian dari kata tersebut terbentuk kata ra’yun yang
jamaknya arā’u artinya pendapat pikiran. Dalam Maqāyis dikatakan
bahwa ahl al-ra’yu adalah orang yang berpegang kepada akal.[1]
Istilah al-ra’yu dalam Ilmu Ushul adalah mencurahkan segala kemampuan
dalam mencari hukum syara’ yang bersifat zanni,
dengan menggunakan rasio yang kuat dan yang bersangkutan merasa tidak mampu
lagi mengupayakan lebih dari itu.[2]
Berkenaan
dengan batasan definisi al-ra’yu di atas, maka dipahami bahwa hanyalah
hukum-hukum syara’ yang praktis dan zhanni yang dapat dimasuki al-ra’yu.
Selain itu, dalam definisi tersebut juga diketahui al-ra’yu adalah
mencurahkan segala kemampuan berdasarkan rasio yang hanya dapat dilakukan oleh
seorang muslim yang kuat akal dan aqidahnya, mulia akhlaknya, menguasai bahasa
Alquran dan hadis, mengetahui usul fikih, ilmu fikih dan maqāshid
al-syari’ah.[3]
Jadi penggunaan ra’yu menurut ajaran Islam tidak sama dengan berpikir lieberal
yang hanya mengutamakan rasio saja, dan mengesampingkan aqidah, akhlak,
pengetahuan yang mendalam tentang Alquran dan hadis, serta kaidah-kaidah fikih.
2. Al-Ra’yu
sebagai Sumber Hukum
Keabsahan
al-ra’yu sebagai sumber hukum Islam bersumber dari riwayat hadis tentang
diutusnya Muaz bin Jabal ke Yaman oleh Nabi saw. Ketika sahabat Mu’az bin Jabal
diutus oleh Nabi saw ke Yaman untuk bertindak sebagai hakim, beliau diizinkan
oleh Nabi saw untuk menggunakan ra’yu. Hal ini dijelaskan dalam riwayat
sebagai berikut :
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ e لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ
كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ قَالَ
فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ e قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ e وَلَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلَا آلُو
فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ e صَدْرَهُ[4]
terjemahnya
:
Ketika Rasulullah saw hendak mengutus Mu’az ke Yaman, maka
Rasulullah saw bertanya: Apa yang kau lakukan jika kepadamu diajukan suatu
perkara yang harus diputuskan ? Jawabnya: Aku memutuskannya berdasarkan
Alquran. Ditanya lagi, bagaimana jika tidak ada (kau) temukan dalam Alquran ?.
Jawabnya: Dengan Sunnah Rasulullah saw. Ditanya lagi, bagaimana jika tidak
terdapat dalam al-Sunnah ? Jawabnya : aku akan berijtihad dengan pikiranku, aku
tidak akan membiarkan suatu perkara pun tanpa putusan. (dengan jawab-jawaban
itu), maka Rasulullah saw menepuk dadanya (Mu’az).
Berdasarkan
riwayat di atas, dipahami bahwa yang dilakukan Mu’az dalam menetapkan hukum
adalah secara terstruktur mulai dari Alquran, hadis, lalu al-ra’yu (akal
pikirannya).
Dalam
perkembangan ilmu Islam, dikenal tiga kelompok yang meng-gunakan ra’yu,[5]
yaitu para ahli fikir teologi (mutakallimun), para ahli fikir bidang
hukum (fuqaha), dan para ahli fikir filsafat murni (filosof). Ketika kelompok
tersebut sama-sama memfungsikan akal untuk melakukan kegiatan berfikir dan
menalar. Namun karena bidang garapannya berbeda, maka masing-masing kelompok
memounyai dan mengembangkan metode yang berbeda.
Metode
penalaran para ahli fikir di bidang hukum disebut ijtihad. sementara
itu, para ahli fikir di bidang teologi disebut nazar yang sasarannya
memantapkan akidah tentang Allah, alam ghaib, rasul dan wahyu yang merupakan
sendiri dasar keimanan, untuk menjauhkan keraguan yang sewaktu-waktu menggoda
pikiran manusia.
Pertanyaan
yang muncul kemudian, sampai dimana peranan akal (al-ra’yu) dalam hukum
Islam ? Jawabannya menurut H. Minhajuddin adalah peranan akal ditetapkan secara
khusus kepada hal-hal yang berhbungan dengan kehidupan perorangan dan
masyarakat dalam segenap lapangan kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan
berbegai aktivitsanya. Adapun hal-hal yang sudah nasnya dengan jelas atau qat’iy,
maka hal itu kita wajib terima sebagai ta’abbudy.[6]
Selanjutnya, Al-Gazāli berpendapat bahwa akal pikiran termasuk
sandaran utama untuk mengeluarkan (menetapkan) hukum-hukum syariat. Sekiranya,
hukum-hukum sesuatu tidak ada nashya dan tidak pula didapatkan dalam ijma’,
maka akal lah yang memegang peranan penting.[7]
Sepeninggal
Nabi saw, memang banyak sahabat yang menggunakan akal dalam menetapkan hukum.
Khalifah Abū Bakar (w.
13 H) ketika meng-hadapi suatu kasus, beliau mencari pemecahannya dalam
Alquran. Jika tidak terdapat dalamnya, maka dia mencari di hadis, dan jika dia
tidak menemukan-nya maka dia kumpulkan beberapa tokoh ulama sahabat untuk diajak
ber-musyawarah. Hal yang sama dilakukan juga oleh Umar, bahkan beliau pernah
mengirin surat perintah ke Abū Mūsa al-Asyari ketika itu menjadi Qadhi
di Basrah, sebagai berikut :
الفهم،
الفهم فيما تلجلج فى صدرك مما ليس فى كتاب ولا سنة، إعرف الأشباه والأمثال وقس الأمور عند ذلك
terjemahnya
:
Pahamilah,
pahamilah menurut apa yang ada dalam gejolak hatimu (pakailah rasio) tentang
apa yang tidak terdapat dalam Alquran dan sunnah. Kenalilah hal-hal yang serupa
dan yang sama, dan ketika itu kiaskanlah dan bandingkanlah satu sama lain.[8]
Praktek
penggunaan al-ra’yu yang disebutkan terakhir, dikembangkan Abdullah bin
mas’ud yang pindah ke Irak kemudian mengajar ulama-ulama di sana, dan
ulama-ulama di tempat lain juga selalu menggunakan ra’yu mereka ketika
dalam persoalan hukum tidak ditemukannya dalam sumber pokok hukum Islam, yakni
Alquran dan hadis
[1]Abū Husayn Ahmad
Ibn Fāris bin Zakāriyah, Mu’jam Maqāyis al-Lughah (Mesir: Isā al-Bāb
al-Halab wa Awlāduh, 1972), h. 147
[2]H. Minhajuddin, Filasafat
Hukum Islam (Cet.I; Ujungpandang: Yayasan Ahkam, 1994), h. 7.
[4]Abū Dawud Sulaimān
Muhammad bin Asy’aś al-Sijistāni, Sunan Abū Dawud, juz II (Indonesia:
Maktabah Dahlān, t.th), h. 308.
[5]Uraian tentang
fungsi akal dan wahyu tekah dibahas dengan cermat oleh Harun Nasution dalam
bukunya, Teologi Islam; Aliran-aliran, Sejarah dan Perbandingan (Jakarta:
Universitas Indonesia Pres, 1986), h. 79-145
[6]H. Mihajuddin, op.
cit., h. 15
[7]Abu Hamid Muhammad
bin Muhammad al- Gazāli, al-Musytashfā min ‘Ilm al-Ushūl, jilid II
(Bairut: Dār al-Fikr, t.th.), h. 351
[8]Minhajuddin, op.
cit., h. 20
lumayan lengkap min.., kunjungi pula
ReplyDeletehttp://diahhalim.blogspot.co.id/2018/05/rayu-nalar-sebagai-dalil-hukum-fiqh.html