BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latarbelakang Masalah
Penjajahan Belanda di
Indonesia (Nusantara), telah menyisakan kepedihan yang mendalam untuk
masyarakat pribumi. Meskipun berada di negeri sendiri, tapi taraf kesejahteraan
masyarakat tidak dirasakan oleh bangsa indonesia itu sendiri, melainkah hanya
merasakan tekanan oleh kolonial (penjajah) Belanda hingga berabad-abad
lamanya.
Penjajahan Belanda telah
menguras kekayaan alam Indonesia tanpa memberikan imbalan yang setimpal. Kebijakan
lain juga tidak berimbang, misalnya pemerintah kolonial hanya memberikan
pendidikan terhadap orang-orang tertentu saja, kebebasan beragama yang dibatasi
secara politik, yaitu harus ada izin dari pemerintah kolonial ketika membentuk
wadah organisasi keagamaan maupun perkumpulan lainnya.
Kondisi beragama kurang
mendapat iklim yang baik sejah zaman pemerintahan kolonial. Penanaman
nilai-nilai moral terancam oleh situasi lingkungan yang merusak. Dari segi
aqidah Islam, masyarakat melihat praktik-praktik syirik dalam berbagai upacara
keagamaan yang memang diperlukan untuk membangun kewibawaan Negara yang
dilakukan lewat ritus-ritus mitosisasi.[1] Dalam
struktur entitas baru itu, yang didukung oleh prinsip rasionalitas-fungsional,
hubungan kemanusiaan juga menjadi hambar karena yang lebih dominan adalah
hubungan-hubungan organisasi yang impersonal. Demikian pula hubungan manusia
dengan alam yang makin didasarkan pada prinsip eksploitasi sumber-sumber alam.
Dewasa ini, harapan formal
terhadap agama dan umat beragama terutama adalah “mengatasi dampak dan ekses
modernisasi”. Umat islam dituntut “bisa menyesuaikan diri” terhadap proses
modernisasi. Disini agama ditempatkan pada posisi defensif, yaitu harus
melayani tujuan dengan cara-cara modernisasi. Apabila agama tidak mampu
menyesuaikan diri dan bisa berfungsi efektif dalam mengatasi dampak dan ekses
modernisas, maka tentunya agama itu diperkirakan tidak lagi relevan dan harus
ditinggalkan.[2]
Kondisi umat beragama di
Indonesia yang mendapat pengaruh peradaban modern harus menyesuaikan diri agar
ajaran tauhid maupun gerakan sosialnya selalu relevan dengan perkembangan
zaman. Pergeseran nilai akibat dari perkembangan zaman ini dinilai oleh KH.
Ahmad Dahlan sebagai suatu masalah sehingga harus ada wadah (perkumpulan) untuk
mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi umat Islam.
B.
Rumusan Masalah
Berangkat dari latarbelakang masalah di atas,
pemakalah dapat menarik suatu permasalahan yaitu bagaimana gerakan sosial
keagamaan yang dilakukan secara kolektif oleh Muhammadiyah? Dari permasalah
tersebut dapat ditarik beberapa sub permasalahan berikut, yaitu :
1.
Bagaimana Sejarah Singkat lahirnya Muhammadiyah?
2.
Apa gerakan sosial keagamaan yang dilaksanakan oleh Muhammadiyah?
|
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Singkat berdirinya Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman
Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau betepatan dengan 18 November
1912 oleh seorang yang bernama Muhammadi Darwis, kemudian dikenal dengan KH.
Ahmad Dahlan. Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta, sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang.
Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh
dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk
mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Qur`an
dan Hadist. Oleh
karena itu beliau memberikan pengertian keagamaan dirumahnya ditengah
kesibukannya sebagai Khatib dan para pedagang. Mula-mula ajaran ini ditolak,
namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat sambutan dari
keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat mendukung
ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke luar kampung
Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk mengorganisir
kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan kini
Muhammadiyah telah ada diseluruh pelosok tanah air.[3]
Disamping
memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga memberi
pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut
"Sidratul Muntaha". Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak
laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang telah dewasa.
Selain itu, memberikan kegiatan kepada laki-laki, pengajian kepada ibu-ibu dan
anak-anak, beliau juga mendirikan sekolah-sekolah. Tahun 1913 sampai tahun 1918
beliau telah mendirikan Sekolah Dasar sejumlah 5 buah, tahun 1919 mendirikan
Hooge School Muhammadiyah ialah sekolah lanjutan. Tahun 1921 diganti namanya
menjadi Kweek School Muhammadiyah, tahun 1923, dipecah menjadi dua, laki-laki
sendiri perempuan sendiri, dan akhirnya pada tahun 1930 namanya dirubah menjadi
Mu`allimin dan Mu`allimat.[4]
Tentang kelembagaan Muhammadiyah
sebagai organisasi sosial keagamaan, pada mulanya berangkat dari tekad KH.
Ahmad Dahlan menyampaikan usaha pendidikan pada rapat pengurus Budi Utomo
cabang Yogyakarta. Ia menyampaikan keinginan mengajarkan agama Islam kepada
para siswa Kweekschool Gubernamen Jetis yang dikepalai oleh R. Boedihardjo,
yang juga pengurus Budi Utomo. Usul itu disetujui, dengan syarat di luar
pelajaran resmi. Lama-lama peminatnya banyak, hingga kemudian mendirikan
sekolah sendiri. Di antara para siswa Kweekschool Jetis ada yang memperhatikan
susunan bangku, meja, dan papan tulis. Lalu, mereka menanyakan untuk apa,
dijawab untuk sekolah anak-anak Kauman dengan pelajaran agama Islam dan
pengetahuan sekolah biasa. Mereka tertarik sekali, dan akhirnya menyarankan
agar penyelelenggaraan ditangani oleh suatu organisasi agar berkelanjutan
sepeninggal K.H. Ahmad Dahlan kelak.[5]
Setelah
pelaksanaan penyelenggaraan sekolah itu sudah mulai teratur, kemudian
dipikirkan tentang organisasi pendukung terselenggaranya kegiatan sekolah itu.
Dipilihlah nama "Muhammadiyah" sebagai nama organisasi itu dengan
harapan agar para anggotanya dapat hidup beragama dan bermasyarakat sesuai
dengan pribadi Nabi Muhammad saw. Penyusunan anggaran dasar Muhamadiyah banyak
mendapat bantuan dari R. Sosrosugondo, guru bahasa Melayu Kweekschool Jetis.
Rumusannya dibuat dalam bahasa melayu dan Belanda.[6]
Faktor utama
yang mendukung lahir dan berkembangnya Muhammadiyah adalah penguatan pondasi
organisasi yaitu dengan peningkatan kualitas dan kapasitas pengetahuan melalui
lembaga pendidikan. Faktor lain adalah, banyaknya jaringan yang mendukung
lahirnya Muhammadiyah, mulai dari tokoh masyarakat hingga santri itu sendiri.
B.
Gerakan Sosial Keagamaan Muhammadiyah
Sebagai organisasi sosial
keagamaan, Muhammadiyah didukung oleh usaha ekonomi sebagai penguat organisasi.
Hubungan antara kiai dengan kegiatan perdagangan lebih tampak lagi di
lingkungan Muhammadiya dibanding organisasi sosial keagamaan lainnya.[7]
Pendiri organisasi itu sendiri, selain menjadi khatib di mesjid kesultanan
Yogya, juga berdagang batik sebagai sumber utama nafkahnya.[8] KH.
Ahmad Dahlan membuat semboyan sebagai penyemangat untuk warga Muhammadiyah
“Hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup dari Muhammadiyah”.[9]
Prestasi positif yang dimiliki oleh KH. Ahmad Dahlan tampil sebagai pembaharu
gerakan Islam pada awal abad ke-20, berasal dari kalangan penghulu. Hubungan
yang sangat erat antara Muhammadiyah dan Budi Utomo menunjukkan juga kaitan
erat antara golongan kiai dan golongan priyai yang merupakan pelopor
kebangkitan nasional dan kesadaran Nasional.[10]
Muhammadiyah yang lahir pada18 November 1912 telah memberikan
sumbangan positif terhadap perkembangan dunia Islam. Secara kultural, warga
Muhammadiyah memiliki pedoman hidup yang bernuansa Islami, mulai dari pribadi
(warga Muhammadiyah) yang dituntun khusus pada al-Islam kemuhammadiyahan, yaitu
urusan aqidah, akhlak, ibadah serta muamalah duniawiyah.[11]
Sebagai organisasi
Islam, Muhammadiyah telah menetapkan aturan tersendiri tentang hukum islam
untuk kalangan mereka, sekaligus sebagai hukum yang didakwahkah kepada
masyarakat Islam secara umum. Aturan tersebut berdasarkan petunjuk dari
Al-Qur’an dan al-Hadist yang telah diputuskan melalui lembaga resmi Muhammadiyah yaitu “Majelis Tarjih”.
Himpunan Putusan Tarjih edisi ke III meliputi Kitab Iman, Kitab Thaharah, Kitab
Sholat, Kitab Shalat jama’ah dan Jum’ah, Kitab Zakat, Kitab Shiam, Kitab Haji, Kitab
Jenazah, Kitab Wakaf, Kitab Masalah Lima, Kitab Beberapa Masalah, Keputusan
Tarjih Sidoarjo, Kitab Shalat-shalat Tathawwu’ dan Kitab Keputusan Tarjid
Wiradesa.[12]
Urusan sosial keagamaan
lingkup Muhammadiyah juga telah menetapkan beberapa pola gerakan. Mulai dari
tuntunan hidup bermasyarakat, berorganisasi, mengelolah amal usaha, berbisnis,
mengembangkan profesi, berbangsa dan bernegara, melestarikan lingkungan,
mengembangkan ilmu pengatahuan dan teknologi, serta tuntunan hidup
bermasyarakat dalam ruang seni dan budaya.[13]
Gerakan sosial keagamaan
Muhammadiyah telah menetapkan prinsip bahwa setiap Islam harus menjalin
persaudaraan dan kebaikan sesama, seperti tetangga maupun anggota masyarakat
lainnya masing-masing dengan memelihara hak dan kehormatan, baik dengan sesama
Muslim maupun dengan non Muslim, dalam hubungan ketetanggaan. Islam memberikan
perhatian sampai ke area 40 rumah yang dikategirkan sebagai tetangga yang harus
dipelihara hak-haknya. Dalam hubungan-hubungan sosial yang lebih luas, setiap anggota
dan jam’iyah muhammadiyah haruslah
menunjukkan sikap-sikap sosial yang didasarkan pada prinsip menjunjung tinggi
nilai kehormatan manusia, memupuk rasa persaudaraan dan kesatuan kemanusiaan,
mewujudkan kerjasama umat manusia menuju masyarakat sejahtera lahir dan batin,
memupuk jiwa toleransi, menghormati kebebasan orang lain, menegakkan budi baik,
menegakkan amanat dan keadilan, menegakkan kasih sayang dan mencegah kerusakan,
bertanggungjawab atas baik dan buruknya masyarakat dengan melakukan amar ma’ruf
dan nahi munkar, berlomba dalam kebaikan serta hubungan-hubungan sosial lainnya
yang bersifat Islah menuju terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.[14]
Sebagai organisasi Islam
di Indonesia, Mumahhadiyah menuntun warganya untuk memelihara alam dengan
sebaik-baiknya, yaitu mengelolah dan memanfaatkan alam secara wajar dan tetap
mempertimbangkan kelestarian alam. Hal tersebut dipraktekkan oleh kalangan
Muhammadiyah yang juga untuk didakwahkan sebagai suatu amalan sosial yang
mulia. Muhammadiyah juga memiliki gerakan sosial yang sangat potensial untuk
mengembangkan misi dakwahnya. Melalui lembaga pelayanan sosial hingga lembaga
pendidikan yang dimilikinya, antara lain : terdapat 24 universitas di Seluruh Indonesia, 5 Institut, 52 Sekolah Tinggi , 34 Akademi dan 3 politeknik[15]. Disamping itu, juga didukung oleh
beberapa lembaga semi otonom dibawa koordinasi Pimpinan Muhammadiyah Pusat dan
Daerah, antara lain adalah :
1. Aisyiyah,
2. Nasyiatul
'Aisyiyah (NA),
3. Pemuda
Muhammadiyah,
4. Ikatan
Remaja Muhammadiyah (IRM) /Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM),
5. Ikatan
Mahasiswa Muhamadiyyah (IMM),
6. Tapak
Suci Putra Muhamadiyah.
7. Gerakan
Kepanduan Hizbul-Wathan (HW)[16]
Dalam hal Politik, Di era modern seperti sekarang ini,
Muhammadiyah memiliki 2 paradigma mendasar, kedua corak tersebut adalah sebagai berikut:
1. Yang pertama corak modernisme,
yakni pemikiran politik yang menginginkan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam
yang non politik tetapi tidak anti politik. Akar pemikiran ini terfokus pada
cita-cita Muhammadiyah, dan realisasinya ada pada 2 titik gerakan, yaitu
pembaruan ajaran Islam dan kemenangan dunia Islam.
2. Yang kedua, adalah corak sekulerisme
sebagai pemikiran politik yang menginginkan berubahnya identitas Muhammadiyah,
dari gerakan Islam menjadi partai politik.
Potensi tersebut sebagaimana telah
disebutkan di atas, secara tidak langsung, sangat mempengaruhi kekuatan Muhammadiyah
untuk melakukan politik dualisme dengan menggabungkan dua pemikiran tersebut.
akhirnya, banyak tokoh Muhammadiyah yang memelopori gerakan politik Indonesia.
Seperti Amien Rais yang menjadi batu loncatan bagi bangsa Indonesia dalam
mengakhiri rezim Orde Baru, dan melangkah kedalam Orde Reformasi.[17]
Secara Kapasitas, penguatan kader
warga Muhammadiyah terbilang kuat. Hal tersebut didukung oleh lembaga-lembaga
pembinaan mental dan pendidikan yang memadai, penguatan ekonomi, keterlibatan
dalam politik dan lain-lain turut memberikan kontribusi terhadap perkembangan
Muhammadiyah.
|
PENUTUP
Demikianlah makalah ini
dibuat. Sebagai penutup, ada beberapa point penting yang menjadi pokok
pembahasan, antara lain sebagai berikut :
1.
Melihat keadaan ummat Islam dalam keadaan jumud, beku dan penuh
dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, KH. Ahmad Dahlan tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali
kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Untuk memperbesar
ajakan (Dakwah Islam), maka dibentuklah perkumpulan yang kemudian disebut
sebagai “Muhammadiyah”.
2.
Gerakan
Sosial Keagamaan meliputi peningkatan Kualitas Pendidikan berbasis Islam dan
umum, penyediaan lembaga layanan masyarakat, ikut berperan pada kancah politik
Nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Http://www.pdmbontang.com/berdiri.php, 12 Juli 2012
Majelis
Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah,
(Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2011)
Noer,
Deliar., Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942, (Jakarta :
LP3ES, 2003)
Pimpinan
Pusat Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Muhammadiyah (Keputusan Mukhtamar
Muhammadiyah ke-44 tahun 2000 di Jakarta), (Jakarta : Suara Muhammadiyah,
2012),
Raharjo,
M. Dawam., Intelektual Intelegensia dan perilaku politik Bangsa – Risalah
Cendikiawan Muslim, (Bandung : Mizan, 1999),
Syaifullah, Gerakan Politik
Muhammadiyah Dalam Masyumi. (Jakarta
:Grafiti, 1997),
[1] M. Dawam Raharjo, Intelektual
Intelegensia dan perilaku politik Bangsa – Risalah Cendikiawan Muslim, (Bandung
: Mizan, 1999), h. 380
[2] Ibid, h. 381
[7] M. Dawam Raharjo, Intelektual
Intelegensia dan perilaku politik Bangsa – Risalah Cendikiawan Muslim, (Bandung
: Mizan, 1999), h. 173
[8] Deliar Noer, Gerakan Modern
Islam di Indonesia 1900 – 1942, (Jakarta : LP3ES, 1980), h. 253
[9] M. Dawam Raharjo, Op Cit.
[10] Ibid, h. 174
[11] Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pedoman
Hidup Islami Muhammadiyah (Keputusan Mukhtamar Muhammadiyah ke-44 tahun 2000 di
Jakarta), (Jakarta : Suara Muhammadiyah, 2012), h. xi
[12] Majelis Tarjih Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, (Yogyakarta : Suara
Muhammadiyah, 2011), h. 9-10
[13] Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Op
Cit., h.xii
[14] Ibid.
[16] Ibid.
Comments
Post a Comment
شُكْرًا كَثِرًا
Mohon titip Komentarnya yah!!
وَالسَّلامُ عَليْكُم