Skip to main content

METODE KRITIK SANAD HADIS


BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadis Rasulullah saw. Selain sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah alqur’an, juga berfungsi sebagai penjelas bagi alqur’an, menjelaskan yang global, mengkhususkan yang umum, dan menafsirkan ayat-ayat alqu’ran[1]. Hadis memiliki dua peranan penting : (1) secara struktural sebagai sumber ajaran islam kedua setelah alqur’an, (2) sebagai bayan (penjelas) terhadap alqur’an. Karenanya, hadis memiliki kewenangan dalam menetapkan suatu hukum yang tidak termaktub dalam alqur’an. Sungguhpun demikian, dibandingkan alqur’an, hadis harus melalui prosedur yang ketat untuk sampai derajat hadis yang sahih.[2]

Penelitian hadis, terutama hadis ahad[3] (baik yang masyhur[4] maupun yang aziz[5] perlu dilakukan, bukan berarti meragukan hadis Nabi Muhammad saw., tetapi melihat keterbatasan perawi hadis sebagai manusia, yang adakalanya melakukan kesalahan, baik karena lupa maupun karena didorong oleh kepentingan tertentu. Keberadaan perawi hadis sangat menentukan kualitas hadis, baik kualitas sanad maupun kualitas matan hadis.
Adapun objek terpenting dalam rangka penelitian hadis ada dua, yaitu: (1) materi hadis itu sendiri (matn al-hadits) dan (2) rangkaian terhadap sejumlah periwayat yang menyampaikan riwayat hadis (sanad al-hadits).[6]
Dalam pembahasan makalah ini penulis terkhusus akan mencoba membahas sanad hadist dan permasalahan-permasalahan yang terjadi didalamnya.
B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis dapat merumuskan masalah yang akan diangkat yaitu :
1.   Pengertian Metode kritik sanad hadis
2.  Sejarah singkat munculnya kritik sanad hadis
3.  Urgensi penelitian sanad hadis
4.  Kriteria kesahihan dan ketersambungan sanad hadi


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Metode  Kritik Sanad Hadis
Kata kritik merupakan alih bahasa dari kata Naqd[7] yang berarti berusaha menemukan kebenaran.[8] Namun kritik yang dimaksud disini adalah upaya mengkaji hadis rasulullah Saw. untuk menentukan hadis yang benar-benar datang dari Nabi Muhammad Saw.[9]
Kata sanad dalam bahasa arab sinonim dengan kata da’ama yang mengandung arti menopang atau menyangga,[10] jamaknya Asnad dan Sanadat Sedangkan menurut istilah hadis, terdapat perbedaan rumusan pengertian. Al-Badru bin Jamaah dan Al-Thiby mengatakan bahwa sanad adalah:
الإخبار عن طريق المتن  “Berita tentang jalan matan”. Yang lain menyebutkan: سلسلة الجال الموصلة للمتن “ Silsilah orang-orang (yang meriwayatkan hadis), yang menyampaikannya kepada matan hadis”. Ada juga yang menyebutkan: سلسلة الرواة الذين نقلوا المتن مصدره الاول  “ silsilah perawi yang menukilkan hadis dari sumbernya yang pertama.[11]  Sementara Drs. Fathur Rahman dalam bukunya Ikhtisar Musthalahul Hadis mengatakan bahwa sanad ialah jalan yang dapat menghubungkan matnu’l-Hadist kepada junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w. misalnya seperti kata Bukhary:
حدثنا محمد بن المثنى قال: حدثنا عبد الوهاب الثقفى قال: حدثنا أيوب عن أبى قلابة عن أنس عن النبى صلعم: ثلاث من كن .....(رواه البخارى)

Maka matnu’l-Hadist “Tsalatsun…” diterima oleh al-Bukhary melalui sanad pertama Muhammad ibn al-Mutsanna, sanad kedua ‘Abdul-Wahhab-Ats-Tsaqafy, sanad ketiga Ayyub, sanad keempat Abi Qilab dan seterusnya sampai sanad terakhir, Anas r.a., seorang shahabat yang langsung menerima sendiri dari Nabi Muhammad s.a.w. [12] Dengan demikian al-Bukhary itu menjadi sanad pertama dan rawy terakhir bagi kita.
Sedangkan kata hadist diberi pengertian yang berbeda-beda oleh para ulama; perbedaan-perbedaan pandangan itu, lebih disebabkan oleh terbatasnya dan luasnya objek tinjauan masing-masing yang tentu saja mengandung kecendrungan pada aliran ilmu yang dimiliki oleh ahlinya. Misalnya ulama hadist mendefinisikan hadist sebagai segala sesuatu yang diberikan dari Rasulullah Saw. Baik berupa sabda, perbuatan, takrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Rasulullah Saw.[13]
     Jadi, metode kritik sanad hadis ialah suatu cara yang sistematis dalam melakukan penelitian, penilaian, dan penelusuran sanad hadis tentang individu perawi dan proses penerimaan hadis dari guru mereka masing-masing dengan berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam rangkaian sanad untuk menemukan kebenaran, yaitu kualitas hadis (Shahih, hasan, atau dla’if).
B.    Sejarah Singkat Munculnya Kritik Sanad Hadis
Kritik sanad hadis pada masa hidup rasulullah s.a.w. dan masa khalifah yang empat belum ditemukan. Hal itu dapat dipahami karena para periwayat hadis pada dua masa tersebut disepakati para Muhaddisin sebagai masa berkumpulnya periwayat hadis yang adil.[14]  Perhatian ulama terhadap sanad hadis dipicu oleh ditemukannya hadis palsu yang diciptakan oleh orang-orang zindiq dan orang-orang yang mempunyai kepentingan tertentu.
Pemalsuan hadis pertama kali ditemukan pada masa Ali ibn Abi Thalib.[15] Hadis-hadis palsu yang muncul pada masa itu diantaranya didorong karena faktor-faktor membela kepentingan politik, membela aliran madzhab, membela madzhab fiqh, dan merusak islam.[16] Diantara hadis palsu  tersebut adalah hadis yang dibuat oleh orang Syi’ah untuk memuliakan Ali ibn Abi Thalib, dan hadis palsu yang dibuat oleh orang-orang Mu’awiyah.
Pembukuan hadis secara resmi dan massal dilakukan pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz (memerintah 99-101 H).[17] Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibn Syihab al-Zuhri al-Madani (50-124 H) adalah orang yang diberikan kepercayaan untuk membukukan hadis, beliau dianggap telah berjasa menyebarkan hadis kepada masyarakat Islam hingga menembus berbagai zaman. Hal ini diakui oleh Imam Malik ibn Anas bahwa al-Zuhri adalah orang yang pertama kali membukukan hadis, bahkan beliau banyak menampung hadis-hadis yang telah dikumpulkan oleh al-Zuhri.[18]
C.    Urgensi Penelitian Sanad Hadis
Tujuan pokok penelitian hadis, baik dari segi sanad maupun matn, adalah untuk mengetahui kualitas hadis yang diteliti. Kualitas hadis sangat perlu diketahui dalam hubungannya dengan kehujjahan hadis yang bersangkutan. Hadis yang kualitasnya tidak memenuhi syarat tidak dapat digunakan sebagai hujjah. Pemenuhan syarat itu karena hadis merupakan sumber ajaran Islam. Penggunaan hadis yang tidak memenuhi syarat akan dapat mengakibatkan ajaran Islam tidak sesuai dengan apa yang seharusnya.[19]
Sanad hadis dinyatakan mempunyai kedudukan yang sangat penting, sebab utamanya dapat dilihat dari dua sisi, yakni:
1.   Dilihat dari sisi kedudukan hadis dalam kesumberan ajaran Islam;
2.  Dan dilihat dari sisi sejarah hadis.[20]
Dilihat dari sisi yang disebutkan pertama, sanad hadis sangat penting karena hadis merupakan salah satu sumber ajaran islam. Sedang dilihat dari sisi yang disebutkan kedua, sanad hadis sangat penting karena dalam sejarah:(a) pada zaman Nabi tidak seluruh hadis tertulis; (b) sesudah zaman nabi telah berkembang pemalsuan-pemalsuan hadis; dan (c) penghimpunan (tadwin) hadis secara resmi dan massal terjadi setelah berkembangnya pemalsuan-pemalsuan hadis.[21]
Dengan demikian maka dapat dinyatakan, ada empat faktor penting yang mendorong ulama hadis mengadakan penelitian sanad hadis, yaitu:
1.   Hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam
2.  Hadis tidak seluruhnya tertulis pada zaman Nabi
3.  Munculnya pemalsuan hadis
4.  Proses penghimpunan (tadwin) hadis. 
Pada uraian latar belakang telah dikemukakan bahwa hadis yang diteliti adalah hadis yang berstatus ahad. Untuk hadis yang berstatus Mutawatir[22] ulama menganggap tidak perlu untuk melakukan penelitian lebih lanjut sebab hadis mutawatir telah menimbulkan keyakinan yang pasti bahwa hadis yang bersangkutan berasal dari Nabi.
Pernyataan tersebut tidaklah berarti bahwa terhadap hadis Mutawatir tidak dapat dilakukan penelitian lagi. Hanya saja, yang menjadi tujuan penelitian bukanlah untuk mengetahui bagaimana kualitas sanad dan matn hadis yang bersangkutan, melainkan untuk mengatahui atau untuk membuktikan apakah benar hadis tersebut berstatus mutawatir.[23]
Ulama hadis sesungguhnya telah melakukan penelitian terhadap seluruh hadis yang ada, baik yang termuat dalam berbagai kitab hadis maupun yang termuat dalam berbagai kitab non-hadis. Kalau begitu, apakah penelitian hadis masih diperlukan juga pada saat sekarang ini? Menarik untuk menyimak paparan Dr. M. Syuhudi Ismail[24] sebagai berikut:
1.     Hasil penelitian ulama pada dasarnya tidak terlepas dari hasil ijtihad. Suatu hasil ijtihad tidak terlepas dari dua kemungkinan, yakni benar atau salah. Jadi, hadis tertentu yang dinyatrakan berkualitas sahih oleh seorang ulama hadis masih terbuka kemungkinan diketemukan kesalahannya setelah dilakukan penelitian kembali secara lebih cermat.
2.     Pada kenyataannya, tidak sedikit hadis yang dinilai shahih oleh ulama tertentu, tetapi dinilai tidak sahih oleh ulama tertentu lainnya.
3.     Pengetahuan manusia berkembang dari masa ke masa. Perkembangan pengetahuan itu selayaknya dimanfaatkan untuk melihat kembali hasil-hasil penelitian yang telah lama ada
4.     Ulama hadis adalah manusia biasa, yang tidak lepas dari berbuat salah. Karenanya tidak mustahil bila hasil penelitian yang telah mereka kemukakan masih dapat diketemukan letak kesalahannya setelah diteliti kembali.
5.     Penelitian hadis mencakup penelitian sanad dan matn. Dalam penelitian sanad, pada dasarnya yang diteliti adalah kualitas pribadi dan kapasitas intelektual para periwayat yang terlibat dalam sanad. Kesulitan menilai pribadi seseorang ialah karena pada diri seseorang terdapat berbagai dimensi yang dapat mempengaruhi pribadinya. Karenanya tidaklah mengherankan bila dalam menilai periwayat hadis, tidak jarang ulama berbeda pendapat.    
Dengan beberapa alasan di atas, maka dapatlah dinyatakan bahwa penelitian terhadap hadis terutama sanad, tetap dinilai memiliki manfaat. Penelitian ulang merupakan salah satu upaya untuk selain mengetahui seberapa jauh tingkat akurasi penelitian ulama terhadap hadis yang mereka teliti, juga untuk menghindarkan diri dari penggunaan dalil hadis yang tidak memenuhi syarat dilihat dari segi kehujjahan.
D.    Kriteria Kesahihan dan Ketersambungan  Sanad Hadis
1. Kriteria Kesahihan Sanad Hadis
Ulama hadis sampai abad ke-3 H belum memberikan definisi kesahihan secara jelas, mereka pada umumnya hanya memberikan penjelasan tentang penerimaan berita yang dapat diperpegangi. Di antara pernyataan-pernyataan mereka yaitu:[25]
-          tidak boleh diterima suatu riwayat hadis, terkecuali yang berasal dari orang-orang yang tsiqah.[26]
-          Hendaklah orang yang akan memberikan riwayat hadis itu diperhatikan ibadah salatnya, perilakunya dan keadaan dirinya.
-          Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang tidak dikenal memiliki perngetahuan hadis.
-          Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang-orang yang suka berdusta, mengikuti hawa nafsunya dan tidak mengerti hadis yang diriwayatkannya.
-          Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang ditolak kesaksiannya.
Berbagai pernyataan itu belum melingkupi seluruh syarat keshahihan suatu hadis.
Imam al-Syafi’ilah yang pertama mengemukakan penjelasan yang lebih konkret dan terurai tentang riwayat hadis yang dapat dijadikan hujjah. Hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah kecuali memenuhi dua syarat, pertama hadis tersebut diriwayatkan oleh orang tsiqah (‘adil dan dhabith), kedua rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi
Kriteria yang dikemukakan oleh Muhammad Saw. atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi.[27] al-Syafi’iy tersebut sangat menekankan pada sanad dan cara periwayatan hadis. Kriteria sanad hadis yang dapat dijadikan hujjah tidak hanya berkaitan dengan kualitas dan kapasitas pribadi periwayat saja, melainkan juga berkaitan dengan persambungan sanad.[28] Dan hal ini dipegangi oleh muhadditsin berikutnya, sehingga dia dikenal sebagai bapak ilmu hadis. Namun, dibeberapa tempat termasuk di Indonesia, al-Bukhary dan Muslim yang dikenal sebagai bapak ilmu hadis, padahal mereka tidak mengemukakan kriteria definisi kesahihan hadis secara jelas. Al-Bukhari dan Muslim hanya memberikan petunjuk atau penjelasan umum tentang kriteria hadis yang kualitas sahih. Dan dari hasil penelitian oleh ulama, ditemukan perbedaan yang prinsip antara keduanya tentang kriteria kesahihan hadis disamping persamaannya.[29]   
Perbedaan antara al-Bukhary dan Muslim tentang kriteria hadis sahih terletak pada masalah pertemuan antara periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad, walaupun pertemuan itu terjadi hanya satu kali saja terjadi. Sedangkan Muslim, pertemuan itu tidak harus dibuktikan; yang penting antara mereka telah terbukti kesezamannya.[30] Adapun persyaratan-persyaratan lainnya dapat dinyatakan sama antara yang dikemukakan oleh al-Bukhary dan Muslim. Persyaratan-persyaratan itu menurut hasil penelitian ulama sebagaimana dikutip Syuhudi Ismail dalam kitab Had-y al-Sariy Muqaddimah Fath al-Bary yang dikarang oleh Ahmad ‘Aly bin Hajar al-‘Asqalany, ialah: (a). Rangkaian periwayat dalam sanad itu harus bersambung mulai dari periwayat pertama sampai periwayat terakhir; (2) Para periwayat dalam sanad hadis itu haruslah orang-orang yang dikenal tsiqah; (3) Hadis itu terhindar dari cacat (‘illat)[31] dan kejanggalan (Syadz)[32]; (4) Para periwayat yang terdekat dalam sanad harus sezaman.[33]
Dari pengertian hadis sahih yang disepakati oleh mayoritas ulama hadis diatas dapat dinyatakan bahwa unsur-unsur kesahihan sanad hadis ialah :
1.   Sanad bersambung
2.  Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil
3.  Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith
4.  sanad hadis itu terhindar dari Syadz  
5.  sanad hadis itu terhindar dari ‘illat
dengan demikian, suatu sanad hadis yang tidak memenuhi kelima unsur tersebut adalah hadis yang kualitas sanad-nya tidak sahih
2. Kriteria Ketersambungan Sanad Hadis
 Hadis yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis, misalnya dalam al-kutub al-sittah, terdiri dari matan dan sanad. Dalam sanad hadis termuat nama-nama periwayat dan kata-kata atau singkatan kata-kata yang menghubungkan antara masing-masing periwayat dengan periwayat lainnya yang terdekat. Matan hadis yang sahih belum tentu sanadnya sahih. Sebab, boleh jadi dalam sanad hadis tersebut terdapat masalah sanad, seperti sanadnya tidak bersambung atau salah satu periwayatnya tidak tsiqat.[34]
Kriteria ketersambungan sanad: pertama, periwayat hadis yang terdapat dalam sanad hadis yang diteliti semua berkualitas tsiqat; kedua, masing-masing periwayat menggunakan kata-kata penghubung yang berkualitas tinggi yang sudah disepakati ulama (al-sama’), yang menunjukkan adanya pertemuan diantara guru dan murid. Istilah atau kata yang dipakai untuk cara al-sama’ beragam, diantaranya:
حدثنا, سمعت, حدثنى, أخبرنا, أخبرنى, قال لنا, ذكرنا
  Ketiga; adanya indikasi kuat perjumpaan antara mereka. Ada tiga indikator yang menunjukkan pertemuan antara mereka: (1) Terjadi proses guru dan murid, yang dijelaskan oleh para penulis rijal al-hadist dalam kitabnya, (2) tahun lahir dan wafat mereka diperkirakan adanya pertemuan antara mereka atau dipastikan bersamaan, dan (3) mereka tinggal belajar atau mengabdi (mengajar) ditempat yang sama.[35]
Jika kita ingin mengetahui langkah aplikasi yang kita maksudkan, kita harus menyusun silsilah rawi sanad antara murid dan guru. Berikut ini adalah sampel silsilah sanad dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhary di dalam kitab sahihnya[36]
قال حدثنا عبد الله بن يوسف حدثنا الليث قال حدثني سعيد المقبرى عن أبى شريح العدوى عن النبى صعم
Berikut adalah daftar tabelnya[37] :



 



















Jika kita akan meneliti hasil tabel, kita harus menulis silsilah sanad berdasarkan datangnya silsilah sanad itu dari kitab sumber pokok (kitab asal). Kemudian diadakan perbandingan dengan cara menyusun rawi-rawi ke dalam tabel kajian sanad pada masing-masing, dari arah “murid” dengan dimulai rawi akhir (sanad rawi) khususnya (Imam Bukhari) dan diakhiri dengan rawi awal (sanad akhir), yakni sahabat Abu Syuraih al-‘Adawi. Kemudian diulang dari arah “guru” dimulai dari ujung sanad, khususnya (Abdullah ibn Yusuf) dan diakhiri pada nabi Muhammad Saw.[38]
Apabila hasil pembuatan tabel sudah benar, maka langkah selanjutnya merujuk kepada biografi masing-masing rawi di dalam kitab-kitab himpunan rawi (kitab rijal)[39] untuk mengetahui hal ihwal rawi dari segi jarh[40] maupun ta’dil[41]-nya.[42] Dengan demikian, sanad hadis yang diteliti bersambung dari periwayat pertama sampai kepada Nabi Muhammad Saw.

BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa :
1)  Metode kritik sanad hadis ialah suatu cara yang sistematis dalam melakukan penelitian, penilaian, dan penelusuran sanad hadis tentang individu perawi dan proses penerimaan hadis dari guru mereka masing-masing dengan berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam rangkaian sanad untuk menemukan kebenaran, yaitu kualitas hadis (Shahih, hasan, atau dla’if).
2) Kritik sanad hadis muncul karena adanya kekhawatiran dari para ulama pada waktu itu dipicu oleh ditemukannya hadis palsu yang diciptakan oleh orang-orang zindiq dan orang-orang yang mempunyai kepentingan tertentu. Pemalsuan hadis pertama kali ditemukan pada masa Ali ibn Abi Thalib. Hadis-hadis palsu yang muncul pada masa itu diantaranya didorong karena faktor-faktor membela kepentingan politik, membela aliran madzhab, membela madzhab fiqh, dan merusak islam. Dalam situasi tersebut muncullah kelompok yang dikenal dengan sebutan Ahl Hadist, sebuah kelompok baru yang terang-terangan membela eksistensi hadis sebagai sumber kedua Islam dan mendapat dukungan penguasa (Umar ibn Abdul Aziz) atas upaya pengumpulan hadis ini. Muncullah kemudian ilmu hadis dan kritik hadis, terutama setelah munculnya Muhammad ibn Sirin (w. 110 H).
3) Tujuan pokok penelitian hadis, baik dari segi sanad maupun matn, adalah untuk mengetahui kualitas hadis yang diteliti.
Ada empat faktor penting yang mendorong ulama hadis mengadakan penelitian sanad hadis, yaitu:
a) Hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam
b) Hadis tidak seluruhnya tertulis pada zaman Nabi
c)  Munculnya pemalsuan hadis
d) Proses penghimpunan (tadwin) hadis. 
4)    - Dari pengertian hadis sahih yang disepakati oleh mayoritas ulama hadis diatas dapat dinyatakan bahwa unsur-unsur kesahihan sanad hadis ialah :
a)  Sanad bersambung
b)  Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil
c)  Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith
d)  Sanad hadis itu terhindar dari Syadz 
e)  Sanad hadis itu terhindar dari ‘illat
- Kriteria ketersambungan sanad: pertama, periwayat hadis yang terdapat dalam sanad hadis yang diteliti semua berkualitas tsiqat; kedua, masing-masing periwayat menggunakan kata-kata penghubung yang berkualitas tinggi yang sudah disepakati ulama (al-sama’), yang menunjukkan adanya pertemuan diantara guru dan murid. Istilah atau kata yang dipakai untuk cara al-sama’ beragam; Ketiga,  adanya indikasi kuat perjumpaan antara mereka.

DAFTAR PUSTAKA
Alqur’an dan Terjemahannya

Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Cet. V; Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak: Yogyakarta, tth.

Munawwir, Ahmad Warson, Al-munawwir Kamus arab-Indonesia, Cet. XIV; Pustaka Progressif: Surabaya, 1997

Al-Darimy, Abu Muhammad ‘Abdullah ibn Abd Rahman, Sunan al-Darimy (ttp): Dar Ihya’ al-Sunnat al-Nabawiyyah, tth

Abdullatif, Abdul Mawjud Muhammad, Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil, diterjemahkan Nugroho Notosusanto dengan judul Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil : Penilaian Kredibilitas Para Perawi dan Pengimplementasiannya, Cet. I; Gema Media Pustakama: Bandung, 1988

Ahmad, Kassim, Hadis ditelanjangi: Sebuah Re-evaluasi Mendasar Atas Hadis, Cet. I; Trotoar: Jakarta., 2006

Bisri, Adib dan Munawwir AF, Al-Bisri Kamus Indonesia Arab, Cet. I; Pustaka Progressif: Surabaya, 1999

Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Cet. I; Bulan Bintang: Jakarta, 1992

                                  , Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Cet.II; Bulan Bintang: Jakarta, 1995


Khaeruman, Badri, Otentisitas Hadis: Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, Cet. I; PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, 2004

M. Isa, Bustamin, dan H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, Edisi I, Cet. I; PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2004

Rahman, Fathur, Ikhtisar Musthalahul Hadits Cet. IV; Bandung: PT. Al-Maarif, 1985

Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Cet. III; PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2002

Soetari A, Endang., Ilmu Hadist, (Cet. II; Bandung: Amal Bakti Press, 1997

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. IV; Balai Pustaka: Jakarta, 1976

Oleh: Muhammad Gazali Hadis


 






[1]Lihat QS. Al-Nahl (16): 44.

[2]Yang dimaksud dengan hadis sahih menurut muhaddisin yaitu hadis yang dinukil oleh rawy yang adil,sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal. Lihat Fathur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits (Cet. IV; Bandung: PT. Al-Maarif, 1985), hal. 95

[3] Hadis Dlaif ialah Hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat Hadit shahih atau hadits hasan. Ibid., h. 140

[4] Hadis Masyhur ialah Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir. Ibid., h. 67

[5] Hadits ‘Aziz ialah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah saja, kemudian setelah itu, orang-orang meriwayatkannya. Ibid., h.  74. bandingkan dengan pendapat Ibnu Hibban Al-Busty bahwa hadits ‘Aziz  yang hanya diriwayatkan oleh dan kepada dua orang, sejak dari lapisan pertama sampai pada lapisan terakhir, tidak sekali-kali terjadi. Kemungkinan terjadi memang ada, hanya saja sulit untuk dibuktikan, atau memang kita belum menemukannya.

[6]Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, Edisi I, (Cet. I; PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2004), h. 4

[7] KH. Adib Bisri dan KH. Munawwir AF, Al-Bisri Kamus Indonesia Arab, (Cet. I; Pustaka Progressif: Surabaya, 1999), h. 162 

[8] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Cet. IV; Balai Pustaka: Jakarta, 1976), h. 965

[9] Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, op. cit, h. 5

[10] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Cet. V; Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak: Yogyakarta, tt), h. 1092. lihat juga Ahmad Warson Munawwir, Al-munawwir Kamus arab-Indonesia, (Cet. XIV; Pustaka Progressif: Surabaya, 1997), h. 666   
[11] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Cet. III; PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2002), h. 45-46

[12]Fathur Rahman, op. cit., h. 24-25

[13] Endang Soetari A., Ilmu Hadist, (Cet. II; Bandung: Amal Bakti Press, 1997), h. 2

[14] Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, op. cit, h. 7

[15] Pada masa itu dikalangan umat Islam timbul pertentangan yang bersifat politis diantara para sahabat. Setelah perang Shiffin muncul golongan Khawarij, yakni golongan yang menyalahkan ‘Ali karena menerima Tahkim (Arbitrasi, padahal mereka yang menganjurkan tindakan ini), dan golongan Syi’ah, yaitu golongan yang setia kepada ‘Ali. Munculnya sektarianisme yang bertendensi politik ini mengakibatkan timbulnya perbedaan pendapat dan pertentangan, bukan saja dalam bidang politik, tapi juga dalam ketentuan-ketentuan agama.
Dari suasana itu timbul berbagai pemalsuan hadis, yaitu mengatakan sesuatu dengan memakai Qala Nabi, padahal pernyataan itu bukan berasal dari Nabi. Pemalsuan hadis pada periode ini intensitasnya bertendensi politik, yakni pendukungan terhadap khalifah yang berkuasa (Umawiyyin), atau pembelaan terhadap Ahl al-Bait, dan kaum Khawarij, yang menolak kedua-duanya. Lihat ! Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis: Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, (Cet. I; PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, 2004), h. 49. bandingkan dengan pendapat Kassim Ahmad yang mengatakan bahwa “Booming” penulisan hadis terjadi setelah konflik politik terbesar dalam sejarah Islam, yang berujung pada pembentukan partai-partai pendukung ‘Ali, Mu’awiyah, dan yang tidak mendukung – bahkan mengkafirkan keduanya -, yaitu khawarij. setelah itu lalu, terutama mulai awal abad kedua hijriyah, banyak hadis palsu atau pseudo-hadis diciptakan untuk mendukung partai-partai politik keagamaan yang bertikai itu.
Situasi carut-marut periwayatan hadis semacam ini mencemaskan ulama-ulama yang concern pada hadis Nabi. Maka muncullah kelompok yang dikenal dengan sebutan Ahl Hadist, sebuah kelompok baru yang terang-terangan membela eksistensi hadis sebagai sumber kedua Islam dan mendapat dukungan penguasa (Umar ibn Abdul Aziz) atas upaya pengumpulan hadis ini. Muncullah kemudian ilmu hadis dan kritik hadis, terutama setelah munculnya Muhammad ibn Sirin (w. 110 H). Kassim Ahmad, Hadis ditelanjangi: Sebuah Re-evaluasi Mendasar Atas Hadis, (Cet. I; Trotoar: Jakarta., 2006), h. xxxvii   

[17] Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, op. cit, h. 7

[18] Badri Khaeruman, op. cit., h. 39

[19] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Cet. I; Bulan Bintang: Jakarta, 1992), h. 28-29

[20] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Cet.II; Bulan Bintang: Jakarta, 1995), h. 85
[21] Ibid., h. 85

[22] Hadis Mutawatir adalah suatu hadis tanggapan dari pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawy, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat berdusta. Lihat ! Fathur-Rahman, op. cit., h. 59.

[23] M. Syuhudi Ismail., op. cit., h. 29
[24] Ibid., h. 29-30
[25] M. Syuhudi Ismail., op. cit., h. 120 

[26] Istilah Tsiqah pada zaman itu lebih banyak diartikan sebagai kemampuan hafalan yang sempurna daripada diartikan sebagai gabungan dari istilah ‘adl dan Dhabith yang dikenal luas pada zaman berikutnya. Lebih lanjut lihat misalnya contoh ke-tsiqah-an periwayat hadis yang dikemukakan oleh Abu Muhammad ‘Abdullah ibn Abd Rahman al-Darimy, Sunan al-Darimy (ttp): Dar Ihya’ al-Sunnat al-Nabawiyyah, (tth), Juz I, h. 112
[27] Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, op. cit, h. 22-23 

[28]M. Syuhudi Ismail., op. cit., h. 121
 
[29] Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, loc. cit, h. 23 

[30] Ibid., h. 23
 

[33] M. Syuhudi Ismail., op. cit., h. 123

[34] Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, op. cit, h. 53

[35] Ibid., h. 53

[36] 
[37] Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Al-Jarh wa Al- Ta’dil, diterjemahkan A. Zarkasyi Chumaidy, Ilmu Al-Jarh wa Al- Ta’dil: Penilaian Kredibilitas Para Perawi dan Pengimplementasiannya, (Cet. I; Gema Media Pustakama: Bandung, 1988), h. 81-82
[38] Ibid., h. 82

[39] Kitab Rijal Hadis adalah kitab-kitab yang menguraikan tentang sejarah para perawi. Lihat ! Munzier Supata, Ilmu Hadis, (Cet. III; PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2002), h. 30

[40] Ilmu Jarh secara bahasa berarti luka, cela, atau cacat, adalah ilmu yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedlabitannya. Lihat ! Ibid., h. 31 

[41] Al-Ta’dil yang secara bahasa berarti at-Tasywiyah (menyamakan), menurut istilah berarti pembersihan atau penyucian perawi dan ketetapan, bahwa ia adil atau dlabit. Lihat ! Ibid., h. 31

[42] M. Syuhudi Ismail., op.cit., h. 82

Comments

  1. siip makalahnya gan, bisa buat perbandingan referensi saya..
    ada tulisan saya tentang kritik sanad juga, kalau mau buat perbandingan. salam kenal..

    http://pustakailmiah78.blogspot.co.id/2016/01/pustaka-ilmiah78-metode-kritik-sanad.html?m=1

    ReplyDelete

Post a Comment

شُكْرًا كَثِرًا
Mohon titip Komentarnya yah!!
وَالسَّلامُ عَليْكُم

Popular posts from this blog

Strategi Kepemimpinan Ali Bin Abu Thalib

BAB I PENDAHULUAN A.       Latarbelakang Masalah Nabi Muhammad saw. Tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau tampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum Muslimin untuk menentukannya sendiri. Kaena itu, tidak lama setelah beliau wafat; belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokohMuhajirin dan Ashor Berkumpul dibalai kota   Bani Sa’dah, Madinah.  

Kedudukan Ar-ra'yu sebagai Landasan Hukum Islam

Referensi Pada dasarnya umat Islam yang beriman Kepada Allah swt. Meyakini bahwa Sumber utama Ajaran Islam yaitu Alquran dan Hadis sudah sempurna. Firman Allah dalam Alquran sudah sempurna membahas aturan-aturan, hukum, ilmu pengetahuan (filsafat), kisah, ushul fiqh dan lain-lain. Begitu juga Hadis Rasulullah yang salah satu sifatnya menjadi penjelasan ayat-ayat dalam Alquran. Posisi Hadis adalah penjelas dan sumber kedua setelah Alquran.

Pendidikan Islam Pasca Runtuhnya Bagdad

I.               PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah Kemunduran umat Islam dalam peradabannya terjadi pada sekitar tahun 1250 M. s/d tahun 1500 M.   Kemunduran itu terjadi pada semua bidang terutama dalam bidang Pendidikan Islam. Di dalam Pendidikan Islam kemunduran itu sebagian diyakini karena berasal dari berkembangnya secara meluas pola pemikiran tradisional. Adanya pola itu menyebabkan hilangnya kebebasan berpikir, tertutupnya pintu ijtihad, dan berakibat langsung kepada menjadikan fatwa ulama masa lalu sebagai dogma yang harus diterima secara mutlak (taken for garanted). Saat umat Islam mengalami kemunduran, di dunia   Eropa   malah   sebaliknya   mengalami   kebangkitan   mengejar ketertinggalan mereka, bahkan mampu menyalib akar kemajuan-kemajuan Islam.   Ilmu Pengetahuan dan filsafat   tumbuh   dengan   subur   di   tempat...