I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Al-Qur’an adalah
pedoman atau rujukan pertama yang digunakan oleh Agama Islam dalam mengatasi
persoalan dunia maupun petunjuk untuk keselamatan di akhirat kelak. Meski
demikian, Al-Qur’an tidak hanya terbatas pada orang Islam saja, betapa luas
samudra ilmu yang dikandungnya sehingga orang luar Islam pun banyak yang
tertarik untuk mengkaji dan mengamalkan beberapa ilmu atau pesan yang dikandung
Al-Qur’an.
Keistimewaan lain yang dimiliki oleh Al-Qur’an adalah sifatnya yang
tidak pernah kaku dengan berbagai model atau metode tafsir, begitupun akan
hidup pada setiap jaman dan juga mampu menjawab setiap persoalan yang ada.
Salah satu ajaran penting yang banyak disampaikan Alquran
adalah tentang ukhuwah, dan dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah
ajaran persaudaraan. Prinsip ukhuwah yang terdapat dalam Alquran telah
dipraktek-kan sejak Alquran itu diturunkan, dan tampak sekali hasilnya ketika
Nabi saw membangun negara Madinah yang ditandai dengan ketetapan Piagam
Madinah.
J. Suyuthi Pulungan menjelaskan bahwa ketetapan Piagam
Madinah tentang pembentukan umat bagi orang-orang mukmin di satu pihak, dan
bagi orang-orang mukmin bersama kaum yahudi di pihak lain sudah berkonotasi
pentingnya prinsip ukhuwah. Artinya, di dalam organisasi umat terkandung juga
makna persaudaraan, baik persaudaraan seagama, dan persaudaraan sosial, atau
persaudaraan kemanusiaan antara pemeluk agama.[1]
Berkenaan dengan inilah, dipahami bahwa ukhuwah bagi setiap manusia harus
terjalin dengan baik, dan dengan ukhuwah tersebut dapat mempersatukan mereka,
serta menjadikan hidup mereka toleran antara sesama, toleran antara sesama
muslim demikian pula toleran antara muslin dan nonmuslim.
Suatu umat, bangsa, dan negara tidak akan berdiri dengan
tegak bila di dalamnya tidak terdapat persaudaraan. Persaudaraan ini tidak akan
terwujud tanpa saling bekerjasama dan saling mencintai di antara sesama. Setiap
jamaah yang tidak diikat dengan tali persaudaraan, tidak mungkin bersatu dalam
satu prinsip untuk mencapai tujuan bersama.
Berkenaan dengan apa yang telah dikemukakan, maka dapat
dirumuskan ukhuwah sangat penting dalam kehidupan. Sejalan dengan itu, maka
tentu sangat penting pula untuk dikaji lebih lanjut konsep ukhuwah yang
terdapat dalam ayat-ayat Alquran.
Memahami konsep ukhuwah yang terdapat dalam Alquran,
diperlukan kajian spesifik dengan pendekatan qur'ani, dan menggunakan
metode-metode tafsir yang ada. Untuk tujuan tersebut, maka konsep ukhuwah dalam
uraian-uraian penulis selanjutnya, dikaji berdasarkan metode maudhui'iy yang
lazimnya dekenal dengan metode tafsir tematik.
B. Rumusan Masalah
Berdasar dari uraian latar belakang masalah di atas, maka
yang menjadi masalah pokok adalah bagaimana konsep ukhuwah menurut Alquran
dalam perspektif tafsir maudhu'iy ?
Untuk kajian lebih lanjut masalah pokok tersebut
dikembangkan menjadi tiga sub masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana
pengertian ukhuwah ?
2.
Bagaimana redaksi
ayat-ayat tentang ukhuwah dalam Alquran ?
3.
Bagaimana konsepsi Alquran
tentang ukhuwah ?
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Ukhuwah
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa ukhuwah diartikan
dengan "per-saudaraan". Ukhuwah tersebut dalam bahasa Arab (ukhuwwah)
terambil dari kata akha (أخا),
dari sini kemudian melahirkan beberapa kata al-akh, akhu, yang makna
dasarnya "memberi perhatian (اهتم)",
dan kemudian berkembang artinya menjadi "sahabat, teman (الصاحب، الصديق)" yang secara leksikal menunjuk
pada makna "dia bersama di setiap keadaan, saling bergabung antara
selainnya pada suatu komunitas (يستعار لكل مشارك لغيره فى القبيلة)."[2]
Mungkin karena arti dasar tadi, yakni "memperhatikan",
menyebabkan setiap orang yang bersaudara meng-haruskan ada perhatian di antara
mereka, dan menyebabkan mereka selalu bergabung (musyarik) dalam banyak
keadaan.
Masih dalam makna leksikal, kata ukhuwah tersebut pada
dasarnya berakar dari akhun (أخ)
yang jamaknnya ikhwatun (إخوة), artinya saudara. Kalau saudara perempuan
disebut ukhtun (أخت), jamaknya akhwat (أخوات). Dari kata ini kemudian terbentuk al-akhu,
bentuk mutsanna-nya akhwan, dan jamak-nya ikhwan (إخوان)
artinya banyak saudara, dan dalam Kamus Bahasa Indonesia kata ini
dinisbatkan pada arti orang yang seibu dan sebapak, atau hanya seibu atau
sebapak saja. Arti lainnya adalah orang yang bertalian sanak keluarga, orang
yang segolongan, sepaham, seagama, sederajat.[3] Jadi tampak sekali bahwa kata akhun tersebut
semakin meluas artinya, yakni bukan saja saudara seayah dan seibu, tetapi juga
berarti segolongan, sepaham, seagama, dan seterusnya.
Berdasar dari arti-arti kebahasaan
tadi, maka ukhuwah dalam konteks bahasa Indonesia, memiliki arti sempit seperti
saudara sekandung, dan arti yang lebih luas yakni hubungan pertalian antara
sesama manusia, dan hubungan kekeraban yang akrab di antara mereka. Berkenaan
dengan itulah, M. Quraish Shihab menjelaskan definisi ukhuwah secara
terminologis sebagai berikut :
Ukhuwah diartikan sebagai setiap persamaan dan
keserasian dengan pihak lain, baik persamaan keturunan dari segi ibu, bapak,
atau keduanya, maupun dari persusuan,…juga mencakup persamaan salah satu dari
unsur seperti suku, agama, profesi, dan perasaan.[4]
Selanjutnya dalam konteks
masyarakat muslim, berkembanglah istilah ukhuwwah Islamiyyah yang
artinya adalah, persaudaraan antarsesama muslim, atau persaudaraan yang dijalin
oleh sesama umat Islam. Namun M. Quraish Shihab lebih lanjut menyatakan bahwa,
istilah dan pemahaman seperti ini kurang tepat. Menurutnya, kata Islamiah yang
dirangkaikan dengan kata ukhuwah lebih tepat dipahami sebagai adjektifa, sehingga
ukhuwah Islamiah berarti "per-saudaraan yang bersifat Islami atau
persaudaraan yang diajarkan oleh Islam"[5]
Pemahaman yang dikemukakan M.
Quraish Shihab tersebut kelihatannya dapat dibenarkan, dan perlu
dimasyarakatkan oleh karena dalam pandangan Alquran sendiri ditemukan banyak
macam persaudaraan yang bersifat Islami. Demikian pula dalam hadis-hadis
ditemukan banyak jenis persaudaraan, seperti persaudaraan yang dibangun oleh
Nabi saw ketika membangun negara Madinah, ada yang disebut persaudaraan kemasyarakatan,
kebangsaan, persaudaraan antara muslim dan muslim dan selainnya. Macam dan atau
jenis-jenis per-saudaraan ini akan diuraikan lebih lanjut dalam pembahasan
mendatang setelah diurai redaksi ayat-ayat
tentang ukhuwah dalam Alquran.
B. Redaksi Ayat-Ayat tentang Ukhuwah dalam Alquran
Kata akha sebagai dasar kata ukhuwwah dan
derivasinya dengan segala bentuknya, disebutkan dalam Alquran sebanyak 87 kali.[6]
Di antara kata-kata tersebut yang terkait langsung dengan masalah ukhuwah dapat
dilihat redaksinya ayat-ayat yang dikutip berikut;
1. Ayat Makkiah
a. QS. Thaha (20): 29-30
وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا مِنْ أَهْلِي(29)هَارُونَ أَخِي(30)
Terjemahnya :
b. QS. Shad (38): 23.
إِنَّ هَذَا أَخِي لَهُ تِسْعٌ وَتِسْعُونَ نَعْجَةً وَلِيَ نَعْجَةٌ
وَاحِدَةٌ فَقَالَ أَكْفِلْنِيهَا وَعَزَّنِي فِي الْخِطَابِ(23)
Terjemahnya :
Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan
puluh sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja. Maka dia
berkata: "Serahkanlah kambingmu itu kepadaku dan dia mengalahkan aku dalam
perdebatan".[8]
2. Ayat Madaniah
a. QS. al-Hujurat (49): 10
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ(10)
Terjemahnya :
Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan
puluh sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja. Maka dia
berkata: "Serahkanlah kambingmu itu kepadaku dan dia mengalahkan aku dalam
perdebatan".[9]
b. QS. al-Nisa (4): 23
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ
وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ
وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ
نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ
بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ
أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا(23)
Terjemahnya :
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu;
anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.[10]
Dari ayat-ayat di atas, hanya QS. al-Hujurat
(49): 10 yang pertama dikutip dalam kelompok Madaniah dan QS. al-Nisa (4): 23
yang terakhir dikutip, memiliki sabab al-nuzul.[11] Sekaitan dengan ini al-Wahidi memang menyatakan bahwa
tidak semua ayat memiliki sabab al-Nuzul, oleh karena terkadang wahyu
datang secara tiba-tiba tanpa sebab, ditambah lagi dengan bermacam-macamnya
cara Nabi Muhammad saw menerima wahyu.[12]
Dengan demikian hanya QS. al-Hujurat (49): 10 dan QS. al-Nisa (4): 23 tersebut yang diurai sabab nuzul-nya dalam pembahasan ini.
Mengenai QS. al-Hujurat (49): 10 dalam riwayat dikemukakan
bahwa dua orang dari kaum muslimin bertengkar satu sama lain. Maka marahlah
para pengikut kedua kaum itu dan berkelahi dengan tangan dan sandal, lalu turunlah
ayat tersebut yang menegaskan bahwa orang mukmin itu bersaudara. Dalam riwayat
lain dikemukakan bahwa ayat ini, turun berkenaan dengan dua orang Anshar yang
tawar menawar dalam memperoleh haknya. Salah seorang di antara mereka berkata:
Aku akan mengambilnya dengan kekerasan karena aku banyak mempunyai kawan,
sedang yang lainnya mengajak untuk menyerahkan keputusannya kepada Nabi saw.
Orang itu menolaknya, sehingga terjadi pukul memukul dengan sandal dan tangan,
akan tetapi tidak sampai terjadi pertumpahan darah, akhirnya turunlah ayat ini,
ayat 9 dan 10 surah al-Hujurat,
memerintahkan untuk melawan orang yang menolak perdamaian, dan mem-beritahu
bahwa sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara.[13]
Selanjutnya sabab nuzul QS.
al-Nisa (4): 23 diriwayatkan bahwa Ibn Juraij bertanya kepada Atha' tentang wahala
ilu abna ikumullazina min ashlabikum pada QS. al-Nisa (4): 23. Atha' lalu
menjawab: Pernah kami memper bincangkan bahwa ayat itu turun mengenai
pernikahan Nabi kita saw kepada bekas isteri Zaid bin Haritsah (anak angkat
Nabi saw). Kaum musyrikin lalu mempergunjinkannya hingga turunlah ayat tersebut
yang menegaskan perempuan-perempuan yang boleh dinikahi yang tidak boleh
(haram) haram dinikahi.[14]
Ayat-ayat yang ada sabab nuzul-nya maupun yang
tidak ada, memiliki munasabah (keterkaitan) kandungan antara satu dengan
lainnya yang pada intinya membicarakann tentang ukhuwah itu sendiri. QS. Thaha
(20): 29-30 adalah doa Nabi Musa as terhadap Nabi Harun as yang tidak lain
adalah keduanya satu keluarga. Dengan demikian, ayat tersebut menunjukkan
tentang persaudaraan yang dijalin oleh ikatan keluarga. Selanjutnya QS. Shad
(38): 23 membicarakan tentang persaudaraan dalam lingkungan masyarakat. Kedua
surah ini yang tergolong sebagai ayat Makkiah, menunjukkan bahwa sebelum Hijrah
ke Madinah telah terjalin hubungan persaudaraan ikatan kekeluargaan ikatan
kemasyarakatan.
Setelah Nabi saw hijrah, dijalinlah dengan berbagai macam
bentuk per-saudaraan, misalnya persaudaraan sesama muslim yang disebutkan dalam
QS. al-Hujurat (49): 10 dan QS. al-Taubah
(9): 11. Persaudaraan sebangsa dan setanah air dalam QS. al-A'raf (7): 65.
Persaudaraan antara seketurunan, sekandung, dan atau sekeluarga sebagaimana
dalam QS. al-Nisa (4): 23. Yang terakhir ini masih sejalan erat dengan kandungan
QS. Thaha (20): 29-30 yang turun di Makkah.
Selainnya, yakni QS. al-Hujurat
(49): 10, QS. al-Taubah (9): 11, dan QS.
al-A'raf (7): 65 juga terkait dengan QS. QS. Shad (38): 23 sebagai ayat Makkiah. Dengan demikian di pahami bahwa
sejak Nabi saw menetap di Mekkah sampai dan di Madinah, Alquran memandang
bangunan ukhuwwah dalam berbagai bentuknya sangat penting untuk dibangun.
C. Konsepsi Alquran tentang Ukhuwah
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa
ukhuwwah Islamiyah adalah ukhuwah yang bersifat Islami atau ukhuwah yang
diajarkan oleh Islam. Ukhuwah yang demikian, juga telah dikemukakan ayat-ayat
yang terkait dengan-nya. Dari sini kemudian dipahami bahwa setidaknya terdapat
tiga konsep tentang ukhuwah yang diajarkan Alquran, ukhuwah keagamaan, ukhuwah
kebangsaan, dan ukhuwah insaniah.
1. Ukhuwah Keagamaan
Ayat yang terkait dengan ukhuwah
keagamaan adalah, QS. al-Hujurat (49): 10 dan QS. al-Taubah (9): 11 yang telah
dikutip, dimana ayat ini menegaskan bahwa "orang-orang mukmin itu
bersaudara", selanjutnya ditegas-kan bahwa "orang beribadah seperti
shalat, zakat, dan lain-lain mereka saudara seagama". Yang dimaksud oleh
ayat ini adalah persaudaraan segama Islam, atau persaudaraan sesama muslim.
Khusus pada QS. al-Hujurat (49):
10 yang dimulai dengan kata inama (إِنَّمَا) digunakan untuk membatasi sesuatu. Di
sini kaum beriman dibatasi hakikat hubungan mereka dengan
"persaudaraan". Seakan-akan tidak ada jalinan hubungan antar mereka
kecuali dengan hubungan persaudaraan itu. M. Quraish Shihab menjelaskan juga bahwa
kata inama biasa digunakan untuk meng-gambarkan sesuatu yang telah
diterima sebagai suatu hal yang demikian itu adanya dan telah diketahui oleh
semua pihak secara baik. Dengan demikian, penggunaan kata innama dalam
konteks penjelasan tentang "persaudaraan antara sesama mukmin" ini,
mengisyaratkan bahwa sebenarnya semua pihak telah mengetahui secara pasti bahwa
kaum beriman bersaudara, sehingga semestinya tidak terjadi dari pihak manapun
hal-hal yang mengganggu persaudaraan itu.[15] Demikian pula Ibn Katsir menyatakan bahwa
orang-orang beriman adalah hamba Allah yang taat, dan mereka dianjurkan untuk
mempererat persaudaraan di antara mereka sebagaimana hadis Nabi saw, كونو عباد الله إخوانا .[16]
Dalam ayat tersebut menggunakan
kata ikhwah. Kata ini sebagaimana yang telah diuraikan bisa berarti
"persaudaraan seketurunan", artinya bahwa hubungan persaudaraan
seagama sesama muslim harus erat sebagaimana eratnya hubungan antar saudara
seketurunan. Kemudian dalam hadis yang dikemukakan oleh Ibn Katsir tadi menggunakan
kata ikhwan, dan kata ini mengandung arti hubungan persaudaraan tanpa
seketurunan, artinya bahwa orang muslim itu terdiri atas banyak bangsa dan suku
yang tidak seketurunan, maka mereka juga harus mengakui bahwa mereka adalah
bersaudara.
Ukhuwah keagamaan tampak sekali
menjadi prioritas Nabi saw ketika pertama kali Hijrah di Madinah. Pada saat
pertama kali rombongan sahabat dari Mekah tiba, dan mereka ini disebut kaum
Muhajirin, maka saat itu pula Nabi saw langsung mengikatkan tali persaudaraan
mereka kepada orang-orang mukmin di Madinah yang disebut kaum Anshar. Sehingga
terjadilah tali ukhuwah keagamaan yang erat antara Muhajirin dan Anshar. Mereka sama-sama umat beragama Islam, mereka sama-sama menunaikan ibadah yang diajarkan oleh Islam
seperti shalat dan zakat sebagaimana dalam QS. al-Taubah (9): 11 yang telah
sebutkan. Mereka juga sama-sama berjihad di jalan Allah dan sama-sama
mengorbankan jiwa hartanya di jalan Allah sebagaimana dalam QS. al-Anfal (8):
72, yakni :
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا
وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ
ءَاوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
Terjemahnya :
Sesungguhnya orang-orang yang
beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah
dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada
orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi.[17]
Dengan demikian dapat dipahami
bahwa dalam rangka menumbuh kembangkan per-saudaraan ukhuwah keagamaan, yakni ukhuwwah
diniyyah, adalah memantapkan kebersamaan dan persatuan mereka sesama umat
Islam, berdasarkan persamaan agama. Karena itu, bentuk ukhuwah ini tidak
dibatasi oleh wilayah, kebangsaan atau ras, sebab seluruh umat Islam di seluruh
dunia di manapun mereka berada adalah sama-sama bersaudara.
2. Ukhuwah
Kebangsaan
Sebelumnya telah dirumuskan konsep
ukhuwah keagamaan disebut ukhuwwah diniyyah, dan Islam sebagai agama
yang universal ternyata juga memiliki konsep ukhuwah kebangsaan yang disebut ukhuwah
wathaniyyah, yakni saudara dalam arti sebangsa walaupun tidak seagama. Ayat
yang terkait dengan ini adalah QS. Hud (7): 65. Di sini Allah swt berfirman, وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا (Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum `Aad saudara mereka,
Hud). Seperti yang dikemukakan oleh ayat lain bahwa kaum 'Ad membangkang
terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi Hud as. Sehingga Allah memusnahkan
mereka, sebagaimana dalam QS. al-Haqqah (69): 6-7. Jenis ukhuwwah yang demikian
disebut juga dalam QS. Shad (38): 23 yang telah disebelumnya di mana di dalam
ayat ini ditegaskan bahwa adanya per-saudaraan semasyarakat, walaupun
berselisih paham karena adanya perdebatan mengenai jumlah ekor kambing yang
mereka miliki.
M. Quraish Shihab menjelaskan
bahwa guna memantapkan ukhuwah kebangsaan walau tidak seagama, pertama kali
Alquran menggarisbawahi bahwa perbedaan adalah hukum yang berlaku dalam
kehidupan ini. Selain perbedaan tersebut merupakan kehendak Allah, juga demi
kelestarian hidup, sekaligus demi mencapai tujuan kehidupan makhluk di pentas
bumi.[18] Dalam QS. al-Maidah (5): 48 Allah berfirman :
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ
أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا ءَاتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا
الْخَيْرَاتِ
Terjemahnya :
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.[19]
Dari ayat tersebut, maka seorang
muslim hendaknya memahami adanya pandangan atau bahkan pendapat yang berbeda
dengan pandangan agamanya, karena semua itu tidak mungkin berada di luar
kehendak Allah. Walaupun mereka berbeda agama, tetapi karena mereka satu
masyarakat, sebangsa dan setanah air maka ukhuwah di antara mereka harus tetap
ada. J. Suyuti Pulungan menyatakan bahwa indikasi ukhuwah kebangsaan ini dapat
pula dilihat dalam ketetapan Piagam Madinah yang bertujuan mewujudkan segenap
persatuan sesama warga masyarakat Madinah, yakni persatuan dalam bentuk
persaudaraan segenap penduduk Madinah sebagaimana dalam pasal 24 pada piagam
tersebut, yakni : وإن اليهود ينفقوتن مع المؤمنين ما
داموا محاربين (oranng-orang
mukmin dan Yahudi bekerja sama menanggung pembiayaan selama mereka berperang).[20] Jadi di antara mereka harus terjaling kerjasama
dan tolong menolong dalam menghadapi orang yang menyerang terhadap negara
mereka Madinah.
Konsep ukhuwah kebangsaan yang
digambarkan di atas, sungguh telah terpraktik dalam kenegaraan di Madinah yang
diplopori oleh Nabi saw. Kesuksesan dan teladan bangunan ukhuwah Madinah
tersebut akhirnya mengilhami para pemikir muslim kontemporer untuk
mempersamakan wacana civil society dari Barat dengan wacana masyarakat
madani dalam Islam. Upaya pencocokan ini sekalipun dipaksakan, memang sedikit
banyak memiliki titik temu yang cukup signifikan. Pertautan ini nampak jelas
terutama pada proses transformasi sosial budaya, sosial politik dan sosial
ekonomi pada masayarakat madinah dengan proses bangsa Eropa (Barat) menuju
masyarakat modern yang kemudian sering disebut dengan civil society.[21]
Selanjutnya Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa beberapa ciri mendasar dari
ukhuwah masyarakat madani yang dibangun oleh Nabi saw, antara lain (1)
egalitarianisme; (2) penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi, bukan
kesukuan, keturunan, ras, dan sebagainya; (3) keterbukaan partisipasi seluruh
anggota masy aktif; (4) penegakan hukum dan keadilan; (5) toleransi dan
pluralisme; (6) musyawarah.[22] Dalam mewujudkan masyarakat tersebut, tentu saja
dibutuhkan manusia-manusia yang secara pribadi berpendangan hidup dengan
semangat ukhuwah kebangsaan, dan Nabi saw telah memberikan keteladanan dalam
mewujudkan ciri-ciri ukhuwah seperti yang disinggung di atas. Untuk sampai ke
ukhuwah tersebut dapat dirujuk QS. Ali Imrān (3): 159, yakni ;
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ
لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا
عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Terjemahnya :
Maka disebabkan rahmat dari
Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena
itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,
maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.[23]
Secara umum, paradigma ayat diatas
memiliki empat kunci utama dalam membangun ukhuwah kebangsaan. Pertama, bahwa
membentuk pranata sosial masyarakat itu haruslah elektif dan pleksibel, artinya
faktor kultur, demografi dan geografi suatu masyarakat sangat mempengaruhi
strategi pembentukan masyarakat. Kedua, sikap pemaaf terhadap pelaku
kejahatan sosial guna membangun masyarakat baru haruslah dijunjung tinggi,
dengan mengeyampingkan perubahan revolusioner yang justeru akan memakan korban
harta dan nyawa yang tak terhitung. Ketiga, semua perilaku dan perubahan
sosial politik dalam pembentukan masyarakat harus dilandasi upaya kompromi dan
rekonsiliasi melalui musyawarah mufakat, sehingga tercipta demokratisasi. Keempat,
para pelaku yang terlibat dalam proses pembentukan masyarakat haruslah
memiliki landasan moralitas.
3.
Ukhuwah fi
al-Wathaniyah wa al-nasab
Ukhuwah fi al-Wathaniyah wa
al-nasab Adalah saudara dalam seketurunan
dan kebangsaan seperti yang diisyaratkan dalam Al-Quran. Model ukhuwah ketiga
ini juga lebih sempit dari bentuk yang kedua ukhuwah di atas, karena lingkup
persaudaraan hanya meliputi persaudaraan sebangsa dan setanah air. Lebih lanjut
ukhuwah ini tidak mengkosentrasikan pada pemerintahan islam, hanya saja
masing-masing warga negara mempunyai kewenangan untuk berpartisipasi dalam
mengembangkan Negara.
Prinsip paling cocok dalam ukhuwah
ini adalah berpijak pada “al-tasamuh” (toleransi), yaitu adanya
interaksi timbal balik antarumat beragama, menghargai kebebasan beragama bagi
orang yang tidak sepaham , tidak mengganggu peribadatan serta tetap menjaga ukhuwah
wathaniyah-nya[24]
4.
Ukhuwah Insaniah
Ukhuwah insaniyah, yaitu persaudaraan sesama umat manusia.
Manusia mempunyai mempunyai motivasi dalam menciptakan iklim persaudaraan
hakiki yang dan berkembang atas dasar rasa kemanusiaan yang bersifat universal.
Seluruh manusia di dunia adalah bersaudara. Ayat yang menjadi dasar dari
ukhuwah seperti ini adalah antara lain lanjutan dari QS. al-Hujurat (49): 10,
dalam hal ini ayat 11 yang masih memiliki munasabah dengan ayat 10 tadi. Bahkan sebelum ayat 10 ini, Alquran
memerintahkan agar setiap manusia saling mengenal dan mempekuat hubungan
persaudaraan di antara mereka.
Khusus dalam QS. al-Hujurat (49): 11, Allah berfirman :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا
مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا
تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ
الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ
الظَّالِمُونَ(11)
Terjemahnya :
Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum
mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok)
lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita
(mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang
diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah
kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar
yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman
dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang
zalim.
Ayat ini sangat melarang orang beriman untuk saling
mengejak kaum lain sesama umat manusia, baik jenis kelamin laki-laki dan
perempuan. Ayat berikutnya, yakni ayat 12, justru memerintahkan orang mukmin
untuk menghindari prasangsa buruk antara sesama manusia. Dalam Tafsir
al-Maragi di-jelaskan bahwa setiap manusia dilarang berburuk sangka, dilarag
saling membenci. Semua itu wajar karena sikap batiniyah yang melahirkan sikap
lahiriah. Semua petunjuk Alquran yang bericara tentang interaksi antarmanusia
pada akhirnya bertujuan memantapkan ukhuwah di antara mereka.[25]
Memang banyak ayat yang mendukung persaudaraan antara
manusia harus dijalin dengan baik. Hal ini misalnya dapat dilihat tentang
larangan melakukan transaksi yang bersifat batil di antara manusia sebagaimana
dalam QS. al-Baqarah (2): 188, larangan bagi mereka mengurangi dan melebihkan timbangan
dalam usaha bisnis sebagai dalam QS. al-Mutahffifin (48): 1-3. Dari sini
kemudian dipahami bahwa tata hubungan dalam ukhuwah insaniah menyangkut hal-hal
yang berkaitan dengan martabat kemanusiaan untuk mencapai kehidupan yang
sejahtera, adil, damai, dan pada intinya konsep tersebut dalam Alquran
bertujuan untuk memantapkan solidaritas kemanusiaan tanpa melihat agama,
bangsa, dan suku-suku yang ada.
III. KESIMPULAN
Berdasar dari apa yang telah diuraikan sebelumnya, maka
dapat disimpulkan bahwa ukhuwah dalam perspektif Alquran adalah konsep
persaudaraan yang diajarkan oleh Islam. Konsep persaudaraan tersebut ditemukan
dalam ayat-ayat Makkiah, yakni QS. Thaha (20): 29-30 dan QS. QS. Shad (38): 23. Juga dalam ayat-ayat Madaniah,
yakni QS. al-Hujurat (49): 10, QS. al-Taubah (9): 11, QS. al-A'raf (7): 65, dan
QS. al-Nisa (4): 23. Dengan ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa sebelum Hijrah ke Madinah Alquran telah menekankan
betapa pentingnya hubungan persaudaraan dengan ikatan kekeluargaan, keagamaan,
kemasyarakatan, kebangsaan, dan ikatan sesama umat umat manusia.
Dengan ayat-ayat tersebut
setidaknya terdapat tiga konsep penting tentang ukhuwah yang diajarkan Alquran,
yakni ukhuwah keagamaan, ukhuwah kebangsaan, dan ukhuwah insaniah. Ukhuwah
keagamaan adalah ukhuwwah diniyyah sebagai upaya menumbuhkan
kembangkan ukhuwah sesama umat Islam karena adanya persamaan dalam memeluk
agama. Bentuk ukhuwah ini tidak dibatasi oleh wilayah, kebangsaan, sebab
seluruh umat Islam di seluruh dunia di manapun mereka berada adalah sama-sama
bersaudara. Konsep yang kedua, baru ada batasan wilayah, kebangsaan, yakni
ukhuwah wathaniyah sebagaimana yang dibangun oleh Nabi saw di negara Madinah.
Seluruh masyarakat Madinah, atau seluruh masyarakat dalam sebuah negara adalah
bersaudara. Yang terakhir adalah ukhuwah insaniah, yakni persaudaraan antara
sesama umat manusia, tanpa mengenal agama, dan bangsanya. Konsep ukhuwah yanng
terakhir ini bersifat universal dengan prinsip bahwa semua umat manusia di
dunia ini bersaudara.
Berdasar dari kesimpulan di atas,
maka implikasi akhir dari kajian ini adalah bahwa Alquran menekankan pentingnya
ukhuwah dalam rangka mem-bangun solidaritas. Karena itu disarankan agar konsep
ukhuwah seperti ini disosialisasikan dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan
bernegara.
Wassalam …
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maragi, Ahmad Mustahafa. Tafsir al-Marag, juz
IV. Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1973.
Al-Suyuti, Jalal
al-Din. Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul diterjemahkan oleh Qamaruddin
Shaleh, et. al, dengan judul Asbabun Nuzul. Cet. II; Bandung:
Diponegoro, 1975.
Al-Wahidi
al-Naysaburi, Abu al-Hasan bin Ali bin Ahmad. Asbab al-Nuzul. Jakarta:
Dinamika Utama, t.th.
Departemen Agama RI,
Al-Aur'an dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci
Al-Qur'an, 1992.
Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 2002.
Ibn Katsir, Muhammad bin Ismail. Tafsir al-Qur'an
al-Azhim, juz IV. Semarang: Toha Putra, t.th.
Madjid, Nurcholis. Menuju Masyarakat Madani dalam
Adi Suryani Culla, (ed), Masyarakat Madani; Pemikiran, teori dan Relevansinya
dengan Era Reformasi. Cet.III; Jakarta: PT. RajaGRafindo Persada, 2002.
Ma'luf, Luwis. Al-Munjid
fi al-Lughah. Bairut: Dar al-Masyriq, 1977.
Pulungan, J.
Suyuthi. Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah; Dintinjau dari
Pandangan Al-Qur'an. Cet. II; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996.
Shihab, M. Quraish. Tafsir
al-Misbah; Kesan, Pesan, dan Keserasian Al-Qur'an, vol.13. Cet. IV;
Jakarta: Lentera Hati, 2006.
. Wawasan Al-Qur'an; Tafsir Maudhu'iy atas
Pelbagai Persoalan Umat. Cet. XV; Bandung: Mizan, 2004.Muhammad Fu'ad 'Abd.
al-Baqy, Mu'jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur'an al-Karim. Bairut:
Dar al-Fikr, 1992.
[1]J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip
Pemerintahan dalam Piagam Madinah; Dintinjau dari Pandangan Al-Qur'an (Cet.
II; Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 1996), h.
141-142.
[2]Luwis Ma'luf, Al-Munjid fi al-Lughah (Bairut:
Dar al-Masyriq, 1977), h. 5.
[3]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
2002), h. 1003.
[4]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an; Tafsir
Maudhu'iy atas Pelbagai Persoalan Umat (Cet. XV; Bandung: Mizan, 2004), h. 486.
[6]Muhammad Fu'ad 'Abd. al-Baqy, Mu'jam al-Mufahras
li Alfazh al-Qur'an al-Karim (Bairut: Dar al-Fikr, 1992), h. 21.
[7]Departemen Agama RI, Al-Aur'an dan Terjemahnya
(Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur'an, 1992), h. 478.
[11]Sabab al-nuzul
adalah sesuatu yang melatarbelakangi sehingga ayat tersebut diturunkan. Abu al-Hasan bin Ali bin
Ahmad al-Wahidi al-Naysaburi, Asbab al-Nuzul (Jakarta: Dinamika Utama, t.th), h. 17.
[12]Ibid.
[13]Ibid., h.
151. Lihat juga Jalal al-Din al-Suyuti, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul diterjemahkan
oleh Qamaruddin Shaleh, et. al, dengan judul Asbabun Nuzul(Cet.
II; Bandung: Diponegoro, 1975), h. 458-459.
[15]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Kesan,
Pesan, dan Keserasian Al-Qur'an, vol.13 (Cet. IV; Jakarta: Lentera Hati, 2006), h.247.
[16]Muhammad bin Ismail bin Katsir, Tafsir al-Qur'an
al-Azhim, juz IV (Semarang:
Toha Putra, t.th), h. 221. Hadis yang dikutip di atas, menurut apa yang
dikemukakan Ibn Katsir, adalah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah.
[17]Departemen Agama RI, op. cit., h. 273.
[18]M. Quraish Shihab, Wawasan… op. cit., h.
491.
[19]Departemen Agama RI, op. cit., h. 168.
[20]J. Syutuhi Pulungan, op. cit., h. 146.
[21]Nurcholis Madjid, Menuju
Masyarakat Madani dalam Adi Suryani Culla, (ed), Masyarakat Madani;
Pemikiran, teori dan Relevansinya dengan Era Reformasi (Cet.III; Jakarta:
PT. RajaGRafindo Persada, 2002) 192
[23]Departemen Agama RI, op.
cit., h. 103
[24] http://espeilimab.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
[25]Ahmad Mustahafa al-Maragi, Tafsir al-Marag,
juz IV (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1973), h. 78.
Comments
Post a Comment
شُكْرًا كَثِرًا
Mohon titip Komentarnya yah!!
وَالسَّلامُ عَليْكُم