BAB I
PENDAHULUAN
A. Latarbelakang
Masalah
Agama Islam merupakan suatu jalan
yang berisi tuntunan agar manusia tidak tersesat dalam menjalani hidup. Sebagai
acuan tertulis, Al-Qur’an dan Hadist adalah pedoman yang harus dijadikan
rujukan, dengan demikian, manusia tidak lagi saling berperang.
Sedemikian
sempurnanya, sehingga setiap permasalahan yang dihadapi manusia akan ditemukan
jawabannya melalui penafsiran al-Qur’an. Baik urusan agama, fiqhul ikhtilaf,
kenegaraan atau khilafah dan lain-lain.[1]
Dengan demikian, Islam adalah ajaran yang mengatur (menjadi pedoman) dalam
seluruh hal, baik lahir maupun batin, baik dunia maupun akhirat. Keterangan
yang menjelaskan hal tersebut adalah “Kami telah menurunkan al-Qur’an sebagai
peraturan…”[2].
Ketarangan lain adalah bahwa “… kami memberikan aturan dan jalan yang benar….”[3]
Sejarah
membuktikan, setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. permasalahan yang muncul
adalah masalah kekuasaan politik atau juga disebut persoalan khilafah, yakni
siapa yang harus menggantikan kedudukan Nabi Saw. sebagai kepala negara.[4] Sementara itu, Alquran sebagai acuan dasar di
samping sunnah Nabi tidak menyinggung
tentang pengganti Nabi Saw. dan menjelaskan tentang bentuk pemerintahan
(sistem kenegaraan). Akibatnya, tidak mengherankan kalau persoalan bentuk
pemerintahan dalam Islam telah menjadi bahan diskursus menarik di kalangan
pemikir Islam.
Problematika kenegaraan dalam Islam
telah menjadi bahan diskusi yang panjang, bahkan menjadi sebuah polemik dan
perdebatan ketika kaum muslimin memasuki era modern dan bersentuhan langsung
dengan dunia Barat. Tema-tema diskusi dan polemik pada garis besarnya berkisar
pada wajib tidaknya kaum muslim mendirikan sebuah negara, bagaimana bentuk negara ideal? Siapa yang
berhak menduduki jabatan kepala negara? Bahkan lebih mendalam lagi ketika
dipertentangkan antara negara dan agama, apakah suatu negara harus berpisah
dengan agama ataukah harus bersatu? dan apakah Islam mendidik ke arah
terbentuknya negara Islam atau tidak?
Jika diamati perjalanan sejarah umat
Islam pasca Nabi Saw. sampai di abad modern ini, umat Islam telah menampilkan
berbagai sistem dan bentuk pemerintahan yang saling berbeda, mulai dari bentuk
kekhalifahan yang demokratis sampai ke bentuk yang monarkis absolut.
Keberagaman tersebut tampaknya disebabkan oleh perbedaan perspektif mereka dan
mengepresikan sumber normatif Islam yang ada
hubungannya dengan persoalan yang dimaksud. Hal ini dapat dimengerti,
mengingat kedudukan Alquran dari segi kehujjahannya memang interpretable (zanny
al-dalalah). Oleh karena itu, polemik seputar sistem negara Islam belum
sepenuhnya dapat terselesaikan.
Seiring dengan keberagaman bentuk
pemerintahan yang diterapkan di negara-negara Islam, tiba-tiba muncul Ali Abd.
Raziq dengan bukunya yang berjudul Al-Islam wa Ushul al-Hukm. Buku ini
sempat menggoncangkan dunia Islam, karena isinya yang kontroversial. Menurut
penulisnya, syariat Islam tidak memberi aturan tentang negara. Pandangan ini
memang sangat radikal, sehingga berbagai reaksi terhadap buku tersebut terus
menggema sejak dipublikasikannya tahun 1925 sampai sekarang.[5]
Tidak sedikit orang yang memuji isinya karena dianggap mengandung
pemikiran-pemikiran baru. Namun, banyak juga yang mencelanya karena isinya
dianggap hanyalah kumpulan kekeliruan.
B. Rumusan Masalah
Merujuk pada masalah di atas, maka dapat ditarik suatu
inti permasalah, yaitu bagaimana ide Ali Abdul Razik tentang Khalifah dan
Pemerintahan dalam Islam. Dari permasalaha tersebut, dapat ditarik suatu
sub masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana latar ketokohan Ali Abdul Raziq?
2.
Bagaimana pandangan Ali Abdul Razik terhadap Khilafah dan pemerintahan
dalam Islam?
Makalah ini
juga sedikit menguraikan kontroversial pemikiran Ali Abdul Raziq tentang khilafah
dan pemerintahan Islam dengan tujuan memperkaya arah pemaparan makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tentang
Ali Abdul Raziq
Ali Abdul Raziq muncul dan terkenal pada saat dunia
Islam dikejutkan oleh tindakan Mustafa Kemal tentang penghapusan pranata
khalifah (1924) yang sudah berjalan kurang lebih tiga belas abad. Peran
terpenting Ali Abdul Raziq adalah ketika ia mengemukakan teori baru mengenai
negara dalam Islam yang berlandaskan sistem khalifah. Pembahasan ini dituangkan
dalam bukunya al-Islam wa Usul al-Hukm. Isi buku ini pada dasarnya
membenarkan tindakan Mustafa Kemal tentang penghapusan khilafah, digantikan
dengan sistem Republik yang berlandaskan sekularisme. Buku ini juga merupakan
serangan langsung terhadap pembahasan Rasyid Ridha dalam bukunya al-Khilafah
au al-Imamah al-‘Uzma.[6]
Ali
Abdul Raziq adalah seorang ilmuwan Islam yang berasal dari keluarga terkenal di
daerah al-Shahid (Mesir), di mana keluarga ini memiliki tanah-tanah pertanian
yang sangat luas atau dengan istilah lain disebut keluarga feodal.[7]
Beliau lahir di Mesir pada tahun 1888 dan wafat tahun 1966 di tempat yang sama.[8]
Ayahnya, Hasan Abdul Raziq Pasya, seorang pembesar yang terpandang di daerahnya
dan terjun dalam kegiatan politik dengan menjadi wakil ketua Hizb al-Ummah (Partai
Rakyat) tahun 1907, yaitu sebuah partai yang dibentuk sebagai tandingan Hizb
al-Wathani (Partai Kebangsaan).[9]
Langkah Hasan Abdul Raziq ini dilanjutkan oleh anggota keluarganya dalam
memimpin partai tersebut.
Pada awalnya, Ali Abdul Raziq
memperoleh pendidikan formalnya di
al-Azhar dan memperoleh ijazah al-Alimiyah, 1911. Di samping belajar
agama di al-Azhar, ia juga pernah mengikuti kuliah di bidang sastra Arab selama
dua tahun di Universitas Cairo dari Prof. Mallino (ahli sastra dan syair Arab)
dan sejarah filsafat dari Prof. Santilana (sejarawan dan filosof), kemudian ia
belajar ilmu kalam dan peradilan dari Syeikh Ahmad Abu Khatwah (sahabat
Muhammad Abduh dan murid al-Afghani). Pada tahun 1912, ia sempat mengabdikan
diri di al-Azhar sebagai tenaga pengajar dalam bidang retorika selama beberapa
bulan.[10]
Tahun berikutnya, Ali Abdul Raziq
berangkat ke Inggris untuk mempelajari politik dan ekonomi. Akan tetapi,
ternyata ia tidak sempat belajar di sana dan seiring dengan pecahnya perang
dunia I, iapun kembali ke Mesir, 1914. Pada tahun 1915, ia ditunjuk sebagai
hakim syari’ah dan di saat ia menduduki jabatan ini di al-Manshuriah setelah
sepuluh tahun, terbitlah bukunya yang terkenal al-Islam wa Ushul al-Hukm, tahun
1925.[11]
Peristiwa paling penting yang
terjadi dalam hidupnya sehingga namanya demikian termasyhur adalah penerbitan
bukunya tersebut. Buku inilah kemudian yang menimbulkan kontroversi terhadap
dirinya, sehingga membuatnya lebih masyhur dari sebelumnya. Dalam pendahuluan
buku itu dikemukakan bahwa ia telah menghabiskan waktu beberapa tahun untuk menyusunnya,
dan karyanya itu baru rampung pada awal April 925. Begitu buku itu terbit dan
dibaca oleh para ulama dan pembaca lainnya, serta-merta mendapat tanggapan dan
bantahan keras. Hal ini disebabkan karena buku tersebut berkaitan dengan
persoalan yang saat itu menjadi perbincangan masyarakat Mesir, seluruh negeri
Arab dan dunia Islam, yakni masalah khilafah (pemerintahan).
B. Pokok-Pokok Pikirannya
1.
Masalah Khilafah
Sepeninggal Nabi pada tahun 632 M.,
kaum muslimin mencapai konsensus dan memilih Abu Bakar al-Shiddiq menjadi
khalifah Rasulullah Saw. Dialah khalifah pertama dalam sejarah Islam yang
kemudian diikuti oleh khalifah kedua dan seterusnya bermunculan
khalifah-khalifah di sepanjang perjalanan sejarah Islam. Jadi, wajar saja bila
kaum muslimin menaruh perhatian yang sangat besar terhadap masalah
kekhalifahan.
Dalam pandangan ulama Islam,
khilafah adalah kepemimpinan umum untuk urusan agama dan dunia sebagai
pengganti Nabi. Keadaan ini didukung oleh kenyataan bahwa semua kekuasaan
politik dalam Islam pasca Nabi selalu menisbatkan diri kepada ajaran-ajaran
Alquran serta mengklaim bertanggung jawab untuk menjaga ajaran-ajaran tersebut.
Semua itu memaksakan suatu pandangan bahwa Islam adalah agama sekaligus negara
(dunia), dan di antara keduanya tidak dapat dipisahkan.[12]
Berbeda dengan pandangan mayoritas
ulama di atas, Ali Abdul Raziq berpendapat bahwa Islam itu tidak ada kaitannya
sedikit pun dengan kekhalifahan, karena kekhalifahan bukanlah suatu sistem yang
Islamis atau bercorak keagamaan. Ia hanyalah sistem keduniaan yang sepenuhnya
berbeda dengan agama serta memiliki tujuan-tujuan yang bercorak dunia. Ali
Abdul Raziq mengutip suatu riwayat yang menceritakan bahwa ketika jabatan
khalifah ditawarkan kepada Abu Bakar, diusulkan dengan sebutan Khalifah Allah,
tetapi Abu Bakar menolaknya dan berkata: Aku bukan khalifah Allah melainkan
khalifah Rasulullah. Dengan demikian, maksud khalifah bagi Abu Bakar adalah
mengurus kepentingan rakyat yang berhubungan dengan dunia.
Bagi Ali Abdul Raziq, baik Alquran
maupun hadis tidak pernah menyebutkan term khalifah dalam pengertian
pemimpin negara. Term ulil amri yang termuat dalam Alquran surat an-Nisa
(4) : 59 diartikannya sebagai para tokoh Islam di masa Rasulullah dan masa sesudahnya,
termasuk para khalifah, para qadhi, para komandan perang dan bahkan para ulama.
Untuk itu, tidak tepat jika ayat tersebut dijadikan dasar yang mewajibkan
pengangkatan khalifah, karena ayat tersebut hanya menunjukkan bahwa di kalangan
kaum muslimin terdapat sekelompok orang yang menjadi panutan bagi beberapa
pesoalan yang muncul.[13]
Dengan demikian, ayat itu lebih luas daripada memberikan keputusan tentang
wajibnya mendirikan khilafah.
Selanjutnya, hadis nabi yang
menyatakan الأمة من قريش (Imam itu berasal
dari suku Quraisy) menurut Ali Abdul Raziq juga tidak sesuai dijadikan
kewajiban mendirikan lembaga khilafah.[14]
Persoalan ijma’ (konsensus ulama) tetap diakuinya, tetapi pengangkatan para
khalifah setelah Nabi Saw. tidak pernah dilandasi dengan ijma’ulama.[15]
Pokok-pokok pikiran Ali Abdul Raziq
tentang khilafah dikritik habis-habisan oleh Dhiyauddin al-Rais. Menurut
Dhiyauddin, wajibnya menegakkan kekhilafahan merupakan ijma’ (konsensus) para sahabat dan kaum
muslimin, pengakuan syara’ terhadap prinsip ijma merupakan pengakuan terhadap aspirasi ummat secara menyeluruh,
seperti yang dinyatakan oleh para mujtahid, sepanjang kekhalifahan itu telah
ditetapkan dengan prinsip ijma’, maka tidak perlu untuk membicarakannya melalui
prinsip lain, sebab prinsip ijma’ itu sendiri berdasarkan Alquran dan hadis
serta selamanya berkaitan dengan keduanya. Dengan demikian, menurut Dhiyauddin
bahwa Ali Abdul Raziq tidak memahami makna prinsip ijma’ yang telah ditetapkan
para ulama Islam.[16]
Perbedaan pendapat antara Ali Abdul
Raziq dan Dhiyauddin disebabkan perbedaan pandangan mereka tentang ijma’. Ali
Abdul Raziq memahami bahwa umat Islam sama sekali tidak pernah mencapai
konsensus dalam memilih khalifah yang mana pun dan juga pada masa kapan pun.[17]
Namun Dhiyauddin memandang ijma’ yang dimaksud adalah kesepakatan para sahabat
dan kaum muslimin terhadap wajibnya menegakkan kekhilafahan.[18]
Dengan demikian, ijma’nya berhubungan dengan kekhilafahan, bukan atas siapa
orang yang akan dipilih. Menurut hemat penulis,
meskipun sistem khilafah sebagai salah satu bentuk ijma’ (konsensus) para sahabat ketika itu,
namun konsensus ini bukan merupakan suatu konsep yang secara mutlak harus
diterapkan pada setiap saat dan tempat. Apabila hal itu dipahami demikian, maka
pemahaman semacam ini akan bertentangan dengan tujuan syari’ah Islam yang ingin
mewujudkan kemaslahatan umum bagi seluruh masyarakat.
2.
Islam dan Pemerintahan
Ali
Abdul Raziq dalam bukunya al-Islam wa Ushul al-Hukm menyebutkan bahwa
seluruh apa yang dibawa oleh Rasulullah hanyalah semata-mata syariat keagamaan
yang murni untuk Allah. Ia tidak memiliki kepentingan apapun dengan
masalah yang bersifat keduniaan sama sekali. Akan halnya masalah masyarakat,
politik maupun pemerintahan. Semuanya itu adalah persoalan dunia. Oleh karena
itu, dalam ajaran Islam tidak terdapat ketentuan tentang corak negara. Nabi
Muhammad Saw. menurutnya hanya mengemban tugas dan misi rasul dan tidak membawa
misi untuk membentuk negara.
Persoalan kemudian adalah apakah
pendirian negara di Madinah oleh Nabi berikut pengawasannya yang dapat
diartikan sebagai tugas pemerintahan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari tugas-tugas kerasulannya? Pertanyaan seperti ini dijawabnya dengan
mengemukakan bahwa pemerintahan Nabi bukanlah bagian dari tugas kerasulannya,
melainkan tugas yang terpisah dan berada di luar dari misi yang diembannya.
Pemerintahan yang pernah dibentuk oleh Nabi, kata Ali Abdul Raziq adalah urusan
dunia yang tidak ada kaitannya dengan tugas kerasulannya.[19]
Untuk memperkuat pendapatnya ini, Ali Abdul Raziq mengutip beberapa ayat
Alquran, antara lain sebagai berikut:
1. Surat Ali Imran (3): 144, yang artinya,
Muhammad Saw. hanyalah seorang Rasul yang kelak didahului oleh wafatnya
rasul-rasul yang lain.
2. Surat al-Ghasyiah (88): 21, yang maksudnya,
Rasulullah hanyalah bertugas menyampaikan risalah Allah kepada umat manusia.
Di samping mengutip ayat-ayat
Alquran, ia juga menggunakan argumen hadis nabi riwayat Muslim.(Hadis
tersebut berbunyi: انتم اعلم بأمور دنياكم (Kamulah yang paling tahu
tentang urusan duniamu) Dari ayat-ayat dan hadis, Ali Abdul Raziq
memahami bahwa soal negara atau pemerintahan adalah urusan dunia, karena itu
terserah kepada manusia dengan cara apa dan bagaimana mengaturnya.
Sehubungan dengan pikiran-pikiran
Ali Abdul Raziq ini, kembali Dhiyauddin memberikan kritikan yang tajam.
Menurutnya, Ali Abdul Raziq memulai pokok-pokok pikiran dan keyakinannya yang
keliru, yakni suatu keyakinan atau motivasi yang sepenuhnya menafikan hakikat
sistem, syariat dan tujuan Islam. Dengan demikian, maka Islam dipahami hanyalah
seruan keagamaan belaka tanpa ada pelaksanaannya.[20]
Argumentasi yang digunakan Ali Abdul Raziq adalah ayat-ayat Alquran periode
Mekah, sedangkan pada periode ini kaum muslimin masih berada di bawah tekanan
pemerintah kafir Quraisy, sehingga tidak mungkin bagi mereka untuk melaksanakan
syariat dalam kehidupan nyata. Akan halnya periode sesudah itu, negara Islam
sudah terbentuk dan syariat pun telah sempurna diturunkan, sehingga Rasulullah
Saw. dan kaum muslimin dapat melaksanakan perintah-perintah yang disyariatkan
Allah yang dibuktikan oleh sejarah.[21]
Selanjutnya, Dhiyauddin mengutip beberapa ayat Alquran yang memerintahkan
Rasulullah Saw. untuk merealisasikan risalahnya, seperti QS. al-Tahrim (66) :
9, QS. al-Anfal (8) : 57 dan QS. al-Maidah (5) : 58.
Pendirian penulis, kehidupan agama
(dalam hal ini Islam) dengan kehidupan negara tidak mungkin dipisahkan.
Keduanya mempunyai hubungan yang erat. Salah satu doktrin Alquran yang
memperkuat doktrin ini adalah hablun min Allah wa hablun hablun min al-nas (QS.
Ali Imran (3): 112), artinya hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia
dengan manusia merupakan satu kesatuan. Untuk itu, masalah hubungan agama
(Islam) dan negara harus ditempatkan
dalam konteks ini. Meskipun Alquran dan sunnah Rasul tidak menentukan bagaimana
bentuk pemerintahan Islam, tetapi prinsip-prinsip umumnya sudah digariskan.
Karena itu, manusia diberikan kewenangan dan kebebasan untuk memilih dan
menentukan sendiri bentuk pemerintahan apa yang paling baik bagi mereka.
Pemikiran Ali Abdul Raziq, tampaknya
mendapat kritikan keras dari kalangan
ulama Mesir, khususnya al-Azhar. Tantangan dan protes keras itu terjadi dalam
rapat Majelis Ulama Besar al-Azhar pada
tanggal 12 Agustus 1925, yang dihadiri sebanyak 24 orang ulama al-Azhar. Di
sinilah diputuskan bahwa isi buku al-Islam wa Ushul al-Hukm telah
bertolak keluar dari seorang muslim,
apalagi dari seorang ulama. Ali Abdul Raziq akhirnya dikeluarkan dari jajaran
ulama al-Azhar.[22]
BAB III
PENUTUP
Mengakhiri tulisan ini, maka dapat
disimpulkan bahwa Ali Abdul Raziq merupakan tokoh yang paling kontroversial,
terutama dengan terbitnya buku al-Islam wa Ushul al-Hukm yang berisi
tentang penolakannya terhadap adanya hubungan antara syariah Islam dengan
negara. Tugas nabi Muhammad menurutnya hanya sebagai penyampai ajaran agama
murni dan tidak bermaksud untuk mendirikan negara. Lebih dari itu, Alquran dan
hadis dianggapnya tidak pernah
menyinggung sedikitpun tentang masalah khilafah dan negara.
Faktor-faktor yang memperngaruhi dan
melatarbelakangi munculannya ide kenegaraan Ali Abdul Raziq adalah: 1) Kondisi
kerapuhan dan kemunduran umat Islam, 2) persentuhan dengan pendidikan Barat
yang walau ditekuninya hanya setahun, tetapi memberi nuansa yang luas kepada
pemikirannya, 3) pengaruh ide pembaharuan dan pemikiran Muhammad Abduh dan
Jamaluddin al-Afghani.
Akibat dari pemikirannya itu, ia
mendapat banyak sorotan dan kritikan dari para ulama di Mesir, karena
pemikirannya itu juga, ada sebagian orang yang menuduhnya sebagai kafir dan
zindiq.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an Digital Search
word-Peraturan, Q.S Ar-Rad : 37
Al-Rais, Dhiyauddin. al-Islam wa al-Khilafah
fi al-‘Ashr al-Hadits, diterjemahkan oleh Afif Muhammad
dengan judul, Islam dan Khilafah, Kritik Terhadap Buku Khilafah dan
Pemerintahan Dalam Islam, Ali Abdul Raziq. Bandung: Pustaka, 1985.
Dahlan, Abd. al-Azis. et. el. (editor). Ensiklopedi
Islam. Jilid I. Cet. I; Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Houve, 1996.
Http://Abussalam.Com/?P=405,
tanggal 12 Juli 2012
Muslim Esplorer, Islamic
Softwere for AL-Qur’an and Al-Hadist Studies v. 7., pencarian ayat versi bahasa
melayu. Al-Ma’idah : 48
Muchtar, Abdul Latief. Gerakan Kembali ke
Islam :Warisan Terakhir A. Latief Muchtar. Cet. I; Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1998.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari
Berbagai Aspek. Jilid. I. Jakarta: UI Press, 1984.
Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam,
Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Putro, Suadi. Muhammad Arkoun Tentang Islam
Modern. Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1998.
Raziq, Ali Abdul. al-Islam wa Ushul al-Hukm.
Cet. III; Kairo: Syirkah Mahammiyah Mishriyah, 1344 H./1925 M.
[1]
http://abussalam.com/?p=405, tanggal 12
Juli 2012
[2]
Al-Qur’an Digital Search word-Peraturan, Q.S Ar-Rad : 37
[3]
Muslim Esplorer, Islamic Softwere for AL-Qur’an and Al-Hadist Studies v. 7.,
pencarian ayat versi bahasa melayu. Al-Ma’idah : 48
[4] Harun
Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jilid. I (Jakarta: UI
Press, 1984), h. 92-93.
[5] Dhiyauddin
al-Rais, al-Islam wa al-Khilafah fi al-‘Ashr al-Hadits, diterjemahkan
oleh Afif Muhammad dengan judul, Islam dan Khilafah, Kritik
Terhadap Buku Khilafah dan Pemerintahan Dalam Islam, Ali Abdul Raziq,
(Bandung: Pustaka, 1985), h. vii.
[6] Abdul
Latief Muchtar, Gerakan Kembali ke Islam :Warisan Terakhir A. Latief Muchtar
(Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998), h. 82.
[7] Dhiyauddin,
op. cit., h. 24.
[8] Abd.
al-Azis Dahlan, et. el., (editor), Ensiklopedi Islam, Jilid I (Cet. I;
Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Houve, 1996), h. 84.
[9] Harun
Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Cet.
IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 84.
[10] Abd. Azis
Dahlan, et.el., loc. cit.
[11] Dhiyauddin,
op. cit.,h. 25.
[12] Suadi
Putro, Muhammad Arkoun Tentang Islam Modern (Cet. I; Jakarta:
Paramadina, 1998), h. 81.
[13] Ali Abdul
Raziq, op. cit., h. 14-15.
[14] Ibid., h.
17.
[15] Ibid., h.
22.
[16] Dhiyauddin
al-Rais, op. cit., h. 172-173.
[17] Ali Abdul
Raziq, op. cit., h. 35.
[18] Dhiyauddin
al-Rais, op. cit., h. 174.
[19] Ibid., h.
55.
[20] Dhiyauddin
al-Rais, op. cit., h. 190.
[21] Ibid., h.
194-195.
[22] Lihat Abd.
Azis Dahlan, et. el., op. cit., h. 84-85.
Comments
Post a Comment
شُكْرًا كَثِرًا
Mohon titip Komentarnya yah!!
وَالسَّلامُ عَليْكُم