Skip to main content

Ali Abdul Al-Raziq (Pemikir dalam Pembaharuan Islam)


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latarbelakang Masalah
            Agama Islam merupakan suatu jalan yang berisi tuntunan agar manusia tidak tersesat dalam menjalani hidup. Sebagai acuan tertulis, Al-Qur’an dan Hadist adalah pedoman yang harus dijadikan rujukan, dengan demikian, manusia tidak lagi saling berperang.
Sedemikian sempurnanya, sehingga setiap permasalahan yang dihadapi manusia akan ditemukan jawabannya melalui penafsiran al-Qur’an. Baik urusan agama, fiqhul ikhtilaf, kenegaraan atau khilafah dan lain-lain.[1] Dengan demikian, Islam adalah ajaran yang mengatur (menjadi pedoman) dalam seluruh hal, baik lahir maupun batin, baik dunia maupun akhirat. Keterangan yang menjelaskan hal tersebut adalah “Kami telah menurunkan al-Qur’an sebagai peraturan…”[2]. Ketarangan lain adalah bahwa “… kami memberikan aturan dan jalan yang benar….”[3]
Sejarah membuktikan, setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. permasalahan yang muncul adalah masalah kekuasaan politik atau juga disebut persoalan khilafah, yakni siapa yang harus menggantikan kedudukan Nabi Saw. sebagai kepala negara.[4]  Sementara itu, Alquran sebagai acuan dasar di samping sunnah Nabi tidak menyinggung  tentang pengganti Nabi Saw. dan menjelaskan tentang bentuk pemerintahan (sistem kenegaraan). Akibatnya, tidak mengherankan kalau persoalan bentuk pemerintahan dalam Islam telah menjadi bahan diskursus menarik di kalangan pemikir Islam.
            Problematika kenegaraan dalam Islam telah menjadi bahan diskusi yang panjang, bahkan menjadi sebuah polemik dan perdebatan ketika kaum muslimin memasuki era modern dan bersentuhan langsung dengan dunia Barat. Tema-tema diskusi dan polemik pada garis besarnya berkisar pada wajib tidaknya kaum muslim mendirikan sebuah negara,  bagaimana bentuk negara ideal? Siapa yang berhak menduduki jabatan kepala negara? Bahkan lebih mendalam lagi ketika dipertentangkan antara negara dan agama, apakah suatu negara harus berpisah dengan agama ataukah harus bersatu? dan apakah Islam mendidik ke arah terbentuknya negara Islam atau tidak?
            Jika diamati perjalanan sejarah umat Islam pasca Nabi Saw. sampai di abad modern ini, umat Islam telah menampilkan berbagai sistem dan bentuk pemerintahan yang saling berbeda, mulai dari bentuk kekhalifahan yang demokratis sampai ke bentuk yang monarkis absolut. Keberagaman tersebut tampaknya disebabkan oleh perbedaan perspektif mereka dan mengepresikan sumber normatif Islam yang ada  hubungannya dengan persoalan yang dimaksud. Hal ini dapat dimengerti, mengingat kedudukan Alquran dari segi kehujjahannya memang interpretable (zanny al-dalalah). Oleh karena itu, polemik seputar sistem negara Islam belum sepenuhnya dapat terselesaikan.
            Seiring dengan keberagaman bentuk pemerintahan yang diterapkan di negara-negara Islam, tiba-tiba muncul Ali Abd. Raziq dengan bukunya yang berjudul Al-Islam wa Ushul al-Hukm. Buku ini sempat menggoncangkan dunia Islam, karena isinya yang kontroversial. Menurut penulisnya, syariat Islam tidak memberi aturan tentang negara. Pandangan ini memang sangat radikal, sehingga berbagai reaksi terhadap buku tersebut terus menggema sejak dipublikasikannya tahun 1925 sampai sekarang.[5] Tidak sedikit orang yang memuji isinya karena dianggap mengandung pemikiran-pemikiran baru. Namun, banyak juga yang mencelanya karena isinya dianggap hanyalah kumpulan kekeliruan.
               B. Rumusan Masalah
Merujuk pada masalah di atas, maka dapat ditarik suatu inti permasalah, yaitu bagaimana ide Ali Abdul Razik tentang Khalifah dan Pemerintahan dalam Islam. Dari permasalaha tersebut, dapat ditarik suatu sub masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana latar ketokohan Ali Abdul Raziq?
2.      Bagaimana pandangan Ali Abdul Razik terhadap Khilafah dan pemerintahan dalam Islam?
Makalah ini juga sedikit menguraikan kontroversial pemikiran Ali Abdul Raziq tentang khilafah dan pemerintahan Islam dengan tujuan memperkaya arah pemaparan makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Tentang Ali Abdul Raziq
            Ali Abdul  Raziq muncul dan terkenal pada saat dunia Islam dikejutkan oleh tindakan Mustafa Kemal tentang penghapusan pranata khalifah (1924) yang sudah berjalan kurang lebih tiga belas abad. Peran terpenting Ali Abdul Raziq adalah ketika ia mengemukakan teori baru mengenai negara dalam Islam yang berlandaskan sistem khalifah. Pembahasan ini dituangkan dalam bukunya al-Islam wa Usul al-Hukm. Isi buku ini pada dasarnya membenarkan tindakan Mustafa Kemal tentang penghapusan khilafah, digantikan dengan sistem Republik yang berlandaskan sekularisme. Buku ini juga merupakan serangan langsung terhadap pembahasan Rasyid Ridha dalam bukunya al-Khilafah au al-Imamah al-‘Uzma.[6]
Ali Abdul Raziq adalah seorang ilmuwan Islam yang berasal dari keluarga terkenal di daerah al-Shahid (Mesir), di mana keluarga ini memiliki tanah-tanah pertanian yang sangat luas atau dengan istilah lain disebut keluarga feodal.[7] Beliau lahir di Mesir pada tahun 1888 dan wafat tahun 1966 di tempat yang sama.[8] Ayahnya, Hasan Abdul Raziq Pasya, seorang pembesar yang terpandang di daerahnya dan terjun dalam kegiatan politik dengan menjadi wakil ketua Hizb al-Ummah (Partai Rakyat) tahun 1907, yaitu sebuah partai yang dibentuk sebagai tandingan Hizb al-Wathani (Partai Kebangsaan).[9] Langkah Hasan Abdul Raziq ini dilanjutkan oleh anggota keluarganya dalam memimpin partai tersebut.
            Pada awalnya, Ali Abdul Raziq memperoleh pendidikan formalnya di  al-Azhar dan memperoleh ijazah al-Alimiyah, 1911. Di samping belajar agama di al-Azhar, ia juga pernah mengikuti kuliah di bidang sastra Arab selama dua tahun di Universitas Cairo dari Prof. Mallino (ahli sastra dan syair Arab) dan sejarah filsafat dari Prof. Santilana (sejarawan dan filosof), kemudian ia belajar ilmu kalam dan peradilan dari Syeikh Ahmad Abu Khatwah (sahabat Muhammad Abduh dan murid al-Afghani). Pada tahun 1912, ia sempat mengabdikan diri di al-Azhar sebagai tenaga pengajar dalam bidang retorika selama beberapa bulan.[10]
            Tahun berikutnya, Ali Abdul Raziq berangkat ke Inggris untuk mempelajari politik dan ekonomi. Akan tetapi, ternyata ia tidak sempat belajar di sana dan seiring dengan pecahnya perang dunia I, iapun kembali ke Mesir, 1914. Pada tahun 1915, ia ditunjuk sebagai hakim syari’ah dan di saat ia menduduki jabatan ini di al-Manshuriah setelah sepuluh tahun, terbitlah bukunya yang terkenal al-Islam wa Ushul al-Hukm, tahun 1925.[11]
            Peristiwa paling penting yang terjadi dalam hidupnya sehingga namanya demikian termasyhur adalah penerbitan bukunya tersebut. Buku inilah kemudian yang menimbulkan kontroversi terhadap dirinya, sehingga membuatnya lebih masyhur dari sebelumnya. Dalam pendahuluan buku itu dikemukakan bahwa ia telah menghabiskan waktu beberapa tahun untuk menyusunnya, dan karyanya itu baru rampung pada awal April 925. Begitu buku itu terbit dan dibaca oleh para ulama dan pembaca lainnya, serta-merta mendapat tanggapan dan bantahan keras. Hal ini disebabkan karena buku tersebut berkaitan dengan persoalan yang saat itu menjadi perbincangan masyarakat Mesir, seluruh negeri Arab dan dunia Islam, yakni masalah khilafah (pemerintahan).

B.     Pokok-Pokok Pikirannya

1.      Masalah Khilafah
            Sepeninggal Nabi pada tahun 632 M., kaum muslimin mencapai konsensus dan memilih Abu Bakar al-Shiddiq menjadi khalifah Rasulullah Saw. Dialah khalifah pertama dalam sejarah Islam yang kemudian diikuti oleh khalifah kedua dan seterusnya bermunculan khalifah-khalifah di sepanjang perjalanan sejarah Islam. Jadi, wajar saja bila kaum muslimin menaruh perhatian yang sangat besar terhadap masalah kekhalifahan.
            Dalam pandangan ulama Islam, khilafah adalah kepemimpinan umum untuk urusan agama dan dunia sebagai pengganti Nabi. Keadaan ini didukung oleh kenyataan bahwa semua kekuasaan politik dalam Islam pasca Nabi selalu menisbatkan diri kepada ajaran-ajaran Alquran serta mengklaim bertanggung jawab untuk menjaga ajaran-ajaran tersebut. Semua itu memaksakan suatu pandangan bahwa Islam adalah agama sekaligus negara (dunia), dan di antara keduanya tidak dapat dipisahkan.[12]
            Berbeda dengan pandangan mayoritas ulama di atas, Ali Abdul Raziq berpendapat bahwa Islam itu tidak ada kaitannya sedikit pun dengan kekhalifahan, karena kekhalifahan bukanlah suatu sistem yang Islamis atau bercorak keagamaan. Ia hanyalah sistem keduniaan yang sepenuhnya berbeda dengan agama serta memiliki tujuan-tujuan yang bercorak dunia. Ali Abdul Raziq mengutip suatu riwayat yang menceritakan bahwa ketika jabatan khalifah ditawarkan kepada Abu Bakar, diusulkan dengan sebutan Khalifah Allah, tetapi Abu Bakar menolaknya dan berkata: Aku bukan khalifah Allah melainkan khalifah Rasulullah. Dengan demikian, maksud khalifah bagi Abu Bakar adalah mengurus kepentingan rakyat yang berhubungan dengan dunia.
            Bagi Ali Abdul Raziq, baik Alquran maupun hadis tidak pernah menyebutkan term khalifah dalam pengertian pemimpin negara. Term ulil amri yang termuat dalam Alquran surat an-Nisa (4) : 59 diartikannya sebagai para tokoh Islam di masa Rasulullah dan masa sesudahnya, termasuk para khalifah, para qadhi, para komandan perang dan bahkan para ulama. Untuk itu, tidak tepat jika ayat tersebut dijadikan dasar yang mewajibkan pengangkatan khalifah, karena ayat tersebut hanya menunjukkan bahwa di kalangan kaum muslimin terdapat sekelompok orang yang menjadi panutan bagi beberapa pesoalan yang muncul.[13] Dengan demikian, ayat itu lebih luas daripada memberikan keputusan tentang wajibnya mendirikan khilafah.
            Selanjutnya, hadis nabi yang menyatakan الأمة من قريش (Imam itu berasal dari suku Quraisy) menurut Ali Abdul Raziq juga tidak sesuai dijadikan kewajiban mendirikan lembaga khilafah.[14] Persoalan ijma’ (konsensus ulama) tetap diakuinya, tetapi pengangkatan para khalifah setelah Nabi Saw. tidak pernah dilandasi dengan ijma’ulama.[15]
            Pokok-pokok pikiran Ali Abdul Raziq tentang khilafah dikritik habis-habisan oleh Dhiyauddin al-Rais. Menurut Dhiyauddin, wajibnya menegakkan kekhilafahan merupakan  ijma’ (konsensus) para sahabat dan kaum muslimin, pengakuan syara’ terhadap prinsip ijma merupakan pengakuan  terhadap aspirasi ummat secara menyeluruh, seperti yang dinyatakan oleh para mujtahid, sepanjang kekhalifahan itu telah ditetapkan dengan prinsip ijma’, maka tidak perlu untuk membicarakannya melalui prinsip lain, sebab prinsip ijma’ itu sendiri berdasarkan Alquran dan hadis serta selamanya berkaitan dengan keduanya. Dengan demikian, menurut Dhiyauddin bahwa Ali Abdul Raziq tidak memahami makna prinsip ijma’ yang telah ditetapkan para ulama Islam.[16]
            Perbedaan pendapat antara Ali Abdul Raziq dan Dhiyauddin disebabkan perbedaan pandangan mereka tentang ijma’. Ali Abdul Raziq memahami bahwa umat Islam sama sekali tidak pernah mencapai konsensus dalam memilih khalifah yang mana pun dan juga pada masa kapan pun.[17] Namun Dhiyauddin memandang ijma’ yang dimaksud adalah kesepakatan para sahabat dan kaum muslimin terhadap wajibnya menegakkan kekhilafahan.[18] Dengan demikian, ijma’nya berhubungan dengan kekhilafahan, bukan atas siapa orang yang akan dipilih. Menurut hemat penulis,  meskipun sistem khilafah sebagai salah satu bentuk  ijma’ (konsensus) para sahabat ketika itu, namun konsensus ini bukan merupakan suatu konsep yang secara mutlak harus diterapkan pada setiap saat dan tempat. Apabila hal itu dipahami demikian, maka pemahaman semacam ini akan bertentangan dengan tujuan syari’ah Islam yang ingin mewujudkan kemaslahatan umum bagi seluruh masyarakat.
2.      Islam dan Pemerintahan
            Ali Abdul Raziq dalam bukunya al-Islam wa Ushul al-Hukm menyebutkan bahwa seluruh apa yang dibawa oleh Rasulullah hanyalah semata-mata syariat keagamaan yang murni untuk Allah. Ia tidak memiliki kepentingan apapun dengan masalah yang bersifat keduniaan sama sekali. Akan halnya masalah masyarakat, politik maupun pemerintahan. Semuanya itu adalah persoalan dunia. Oleh karena itu, dalam ajaran Islam tidak terdapat ketentuan tentang corak negara. Nabi Muhammad Saw. menurutnya hanya mengemban tugas dan misi rasul dan tidak membawa misi untuk membentuk negara.
            Persoalan kemudian adalah apakah pendirian negara di Madinah oleh Nabi berikut pengawasannya yang dapat diartikan sebagai tugas pemerintahan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tugas-tugas kerasulannya? Pertanyaan seperti ini dijawabnya dengan mengemukakan bahwa pemerintahan Nabi bukanlah bagian dari tugas kerasulannya, melainkan tugas yang terpisah dan berada di luar dari misi yang diembannya. Pemerintahan yang pernah dibentuk oleh Nabi, kata Ali Abdul Raziq adalah urusan dunia yang tidak ada kaitannya dengan tugas kerasulannya.[19] Untuk memperkuat pendapatnya ini, Ali Abdul Raziq mengutip beberapa ayat Alquran, antara lain sebagai berikut:
     1.      Surat Ali Imran (3): 144, yang artinya, Muhammad Saw. hanyalah seorang Rasul yang kelak didahului oleh wafatnya rasul-rasul yang lain.
     2.      Surat al-Ghasyiah (88): 21, yang maksudnya, Rasulullah hanyalah bertugas menyampaikan risalah Allah kepada umat manusia.
            Di samping mengutip ayat-ayat Alquran, ia juga menggunakan argumen hadis nabi riwayat Muslim.(Hadis tersebut berbunyi:  انتم اعلم بأمور دنياكم (Kamulah yang paling tahu tentang urusan duniamu) Dari ayat-ayat dan hadis, Ali Abdul Raziq memahami bahwa soal negara atau pemerintahan adalah urusan dunia, karena itu terserah kepada manusia dengan cara apa dan bagaimana mengaturnya.
            Sehubungan dengan pikiran-pikiran Ali Abdul Raziq ini, kembali Dhiyauddin memberikan kritikan yang tajam. Menurutnya, Ali Abdul Raziq memulai pokok-pokok pikiran dan keyakinannya yang keliru, yakni suatu keyakinan atau motivasi yang sepenuhnya menafikan hakikat sistem, syariat dan tujuan Islam. Dengan demikian, maka Islam dipahami hanyalah seruan keagamaan belaka tanpa ada pelaksanaannya.[20] Argumentasi yang digunakan Ali Abdul Raziq adalah ayat-ayat Alquran periode Mekah, sedangkan pada periode ini kaum muslimin masih berada di bawah tekanan pemerintah kafir Quraisy, sehingga tidak mungkin bagi mereka untuk melaksanakan syariat dalam kehidupan nyata. Akan halnya periode sesudah itu, negara Islam sudah terbentuk dan syariat pun telah sempurna diturunkan, sehingga Rasulullah Saw. dan kaum muslimin dapat melaksanakan perintah-perintah yang disyariatkan Allah yang dibuktikan oleh sejarah.[21] Selanjutnya, Dhiyauddin mengutip beberapa ayat Alquran yang memerintahkan Rasulullah Saw. untuk merealisasikan risalahnya, seperti QS. al-Tahrim (66) : 9, QS. al-Anfal (8) : 57 dan QS. al-Maidah (5) : 58.
            Pendirian penulis, kehidupan agama (dalam hal ini Islam) dengan kehidupan negara tidak mungkin dipisahkan. Keduanya mempunyai hubungan yang erat. Salah satu doktrin Alquran yang memperkuat doktrin ini adalah hablun min Allah wa hablun hablun min al-nas (QS. Ali Imran (3): 112), artinya hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia merupakan satu kesatuan. Untuk itu, masalah hubungan agama (Islam) dan negara harus  ditempatkan dalam konteks ini. Meskipun Alquran dan sunnah Rasul tidak menentukan bagaimana bentuk pemerintahan Islam, tetapi prinsip-prinsip umumnya sudah digariskan. Karena itu, manusia diberikan kewenangan dan kebebasan untuk memilih dan menentukan sendiri bentuk pemerintahan apa yang paling baik bagi mereka.
            Pemikiran Ali Abdul Raziq, tampaknya mendapat  kritikan keras dari kalangan ulama Mesir, khususnya al-Azhar. Tantangan dan protes keras itu terjadi dalam rapat Majelis  Ulama Besar al-Azhar pada tanggal 12 Agustus 1925, yang dihadiri sebanyak 24 orang ulama al-Azhar. Di sinilah diputuskan bahwa isi buku al-Islam wa Ushul al-Hukm telah bertolak keluar  dari seorang muslim, apalagi dari seorang ulama. Ali Abdul Raziq akhirnya dikeluarkan dari jajaran ulama al-Azhar.[22]
BAB III
PENUTUP
            Mengakhiri tulisan ini, maka dapat disimpulkan bahwa Ali Abdul Raziq merupakan tokoh yang paling kontroversial, terutama dengan terbitnya buku al-Islam wa Ushul al-Hukm yang berisi tentang penolakannya terhadap adanya hubungan antara syariah Islam dengan negara. Tugas nabi Muhammad menurutnya hanya sebagai penyampai ajaran agama murni dan tidak bermaksud untuk mendirikan negara. Lebih dari itu, Alquran dan hadis  dianggapnya tidak pernah menyinggung sedikitpun tentang masalah khilafah dan negara.
            Faktor-faktor yang memperngaruhi dan melatarbelakangi munculannya ide kenegaraan Ali Abdul Raziq adalah: 1) Kondisi kerapuhan dan kemunduran umat Islam, 2) persentuhan dengan pendidikan Barat yang walau ditekuninya hanya setahun, tetapi memberi nuansa yang luas kepada pemikirannya, 3) pengaruh ide pembaharuan dan pemikiran Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani.
            Akibat dari pemikirannya itu, ia mendapat banyak sorotan dan kritikan dari para ulama di Mesir, karena pemikirannya itu juga, ada sebagian orang yang menuduhnya sebagai kafir dan zindiq.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Digital Search word-Peraturan, Q.S Ar-Rad : 37
Al-Rais, Dhiyauddin. al-Islam wa al-Khilafah fi al-‘Ashr al-Hadits, diterjemahkan oleh Afif  Muhammad  dengan judul, Islam dan Khilafah, Kritik Terhadap Buku Khilafah dan Pemerintahan Dalam Islam, Ali Abdul Raziq. Bandung: Pustaka, 1985.
Dahlan, Abd. al-Azis. et. el. (editor). Ensiklopedi Islam. Jilid I. Cet. I; Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Houve, 1996.
Http://Abussalam.Com/?P=405, tanggal 12 Juli 2012
Muslim Esplorer, Islamic Softwere for AL-Qur’an and Al-Hadist Studies v. 7., pencarian ayat versi bahasa melayu. Al-Ma’idah : 48
Muchtar, Abdul Latief. Gerakan Kembali ke Islam :Warisan Terakhir A. Latief Muchtar. Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek. Jilid. I. Jakarta: UI Press, 1984.
Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Putro, Suadi. Muhammad Arkoun Tentang Islam Modern. Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1998.
Raziq, Ali Abdul. al-Islam wa Ushul al-Hukm. Cet. III; Kairo: Syirkah Mahammiyah Mishriyah, 1344 H./1925 M.



[1] http://abussalam.com/?p=405, tanggal 12 Juli 2012
[2] Al-Qur’an Digital Search word-Peraturan, Q.S Ar-Rad : 37
[3] Muslim Esplorer, Islamic Softwere for AL-Qur’an and Al-Hadist Studies v. 7., pencarian ayat versi bahasa melayu. Al-Ma’idah : 48
[4] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jilid. I (Jakarta: UI Press, 1984), h. 92-93.
[5] Dhiyauddin al-Rais, al-Islam wa al-Khilafah fi al-‘Ashr al-Hadits, diterjemahkan oleh Afif  Muhammad  dengan judul, Islam dan Khilafah, Kritik Terhadap Buku Khilafah dan Pemerintahan Dalam Islam, Ali Abdul Raziq, (Bandung: Pustaka, 1985), h. vii.
[6] Abdul Latief Muchtar, Gerakan Kembali ke Islam :Warisan Terakhir A. Latief Muchtar (Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998), h. 82.
[7] Dhiyauddin, op. cit., h. 24.
[8] Abd. al-Azis Dahlan, et. el., (editor), Ensiklopedi Islam, Jilid I (Cet. I; Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Houve, 1996), h. 84. 
[9] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 84.
[10] Abd. Azis Dahlan, et.el., loc. cit.
[11] Dhiyauddin, op. cit.,h. 25.
[12] Suadi Putro, Muhammad Arkoun Tentang Islam Modern (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1998), h. 81.
[13] Ali Abdul Raziq, op. cit., h. 14-15.
[14] Ibid., h. 17.
[15] Ibid., h. 22.
[16] Dhiyauddin al-Rais, op. cit., h. 172-173.
[17] Ali Abdul Raziq, op. cit., h. 35.
[18] Dhiyauddin al-Rais, op. cit., h. 174.
[19] Ibid., h. 55.
[20] Dhiyauddin al-Rais, op. cit., h. 190.
[21] Ibid., h. 194-195.
[22] Lihat Abd. Azis Dahlan, et. el., op. cit., h. 84-85.

Comments

Popular posts from this blog

Strategi Kepemimpinan Ali Bin Abu Thalib

BAB I PENDAHULUAN A.       Latarbelakang Masalah Nabi Muhammad saw. Tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau tampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum Muslimin untuk menentukannya sendiri. Kaena itu, tidak lama setelah beliau wafat; belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokohMuhajirin dan Ashor Berkumpul dibalai kota   Bani Sa’dah, Madinah.  

Kedudukan Ar-ra'yu sebagai Landasan Hukum Islam

Referensi Pada dasarnya umat Islam yang beriman Kepada Allah swt. Meyakini bahwa Sumber utama Ajaran Islam yaitu Alquran dan Hadis sudah sempurna. Firman Allah dalam Alquran sudah sempurna membahas aturan-aturan, hukum, ilmu pengetahuan (filsafat), kisah, ushul fiqh dan lain-lain. Begitu juga Hadis Rasulullah yang salah satu sifatnya menjadi penjelasan ayat-ayat dalam Alquran. Posisi Hadis adalah penjelas dan sumber kedua setelah Alquran.

Dasar-dasar Pendidikan Islam

DASAR-DASAR PENDIDIKAN ISLAM (Tinjauan al-Qur'an dan Hadis) Oleh : Kelompok 2 A.    Pendahuluan Islam mempunyai berbagai macam aspek, di antaranya adalah pendidikan (Islam). Pendidikan Islam bermula sejak nabi Muhammad Saw, menyampaikan ajaran Islam kepada umatnya. [1]   Pendidikan adalah proses atau upaya-upaya menuju pencerdasan generasi, sehingga menjadi manusia dalam fitrahnya. Itu artinya bahwa pendidikan merupakan conditio sine quanon yang harus dilakukan pada setiap masa. Berhenti dari gerakan pendidikan berarti   lonceng kematian (baca; kemunduran atau keterbelakangan) telah berbunyi dalam masyarakat atau negara.