BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam
sebagai agama, merupakan wadh’un ilāhiyyun yang berarti peraturan dari
Allah Yang Mahatahu dan Mahakuasa yang kebenarannya mutlak dan abadi. Jadi,
sebagai agama, Islam mangatur manusia dengan konsep akidah yang menjadi
landasan syariah dan akhlak yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari,
baik dalam beribadah maupun dalam men-ciptakan karya-karya budaya. Dengan
budaya, maka manusia memiliki peradaban.
Peradaban
Islam (al-hadhārah al-islāmiyyah), merupakan kajian yang sangat aktual
sepanjang masa. Sejarah pertumbuhan dan perkembangan peradaban Islam mengalami
pasang surut dan periodesasi, yang oleh Harun Nasution membaginya atas lima
fase periode, yaitu: (1) periode klasik/650-1250 M; (2) periode disintegrasi/1000-1250
M; (3) periode pertengahan/ 1250-1800 M; (4) periode tiga kerajaan
besar/1500-1800 M; dan (5) periode modern/1800-sekarang.[1]
Sementara itu, Badri yatim membaginya menjadi tiga fase periode, yakni ; (1)
periode klasik/650-1250 M; (2) periode pertenghan/1250-1800; (3)
modern/1800-sekarang.[2]
Walaupun
terjadi perbedaan dalam penetapan periodesasi per-tumbuhan dan perkembangan
peradaban Islam sebagaimana yang disebutkan di atas, kelihatan bahwa ada
persamaan yang mendasar, yakni periode klasik dimulai sejak tahun 650 H dan
periode moderen dimulai sejak tahun 1800 M. Periode klasik, dimulai sejak
berakhirnya masa khulafā’ al-rāsyidīn, kemudian berpindah ke Daulat
Umayyah yang pusat pemerintahannya berada di Damaskus. Setelah Daulat Ummayyah
berakhir pada tahun 750 M, maka pusat peradaban Islam selanjutnya dikuasai oleh
Daulat Abbāsiyah yang pusat pemerintahannya berada di Baghdad.
Roda
pemerintahan Islam pada masa Daulat Abbasiyyah, dikendali-kan sepenuhnya oleh
keturunan paman Nabi saw yang bernama Abbās, sehingga struktur kekhalifahannya
disebut Daulat Abbāsiyyah, atau Dinasti Abbāsiyah, dan Bani Abbās. Jadi, klaim
“Abbāsiyah” di sini, dinisbatkan kepada nama “Abbās” salah seorang paman Nabi
saw.
Daulat Abbāssiyah mempunyai corak tersendiri dibanding
dengan daulat atau dinasti sebelumnya. Dikatakan demikian, karena daulat
Abbāsiyyah telah memberikan sumbangan besar dalam peradaban Islam dengan
ekspansi ke daerah lainnya yang belum pernah dilakukan oleh daulat atau dinasti
sebelumnya.
Pada
sisi lain, Dr. G. H. Harifuddin Cawidu menyatakan bahwa per-tumbuhan dan
perkembangan Islam pada masa Daulat Abbāsiyah, memiliki arti yang siginifikan.
Islam ketika itu, sudah meluas sampai ke daratan Utara Barat India, Afganistan,
Turkistan, Jazirah, Armenia, Syam, Palestina, Mesir
sampai pada Afrika Utara. Di samping itu, Daulat Abbāsiyah merupakan dinasti
terpanjang dan terlama, yakni lebih dari lima abad lamanya.[3]
Dengan
merujuk pada uraian-uraian di atas, kelihatan bahwa pem-bahasan tentang Daulat
Abbāsiyah sangat menarik untuk dikembangkan. Namun yang terpenting adalah,
terlebih dahulu harus ditelusuri proses pembentukan Daulat Abbāsiyah itu
sendiri.
B. Rumusan Masalah
Berdasar
pada uraian latar belakang yang telah dipaparkan, maka permasalahan pokok yang
dijadikan obyek pembahasan dalam makalah ini adalah bagaimana pembentukan
Daulat Abbāsiyah ?
Agar
pembahasan ini dapat terarah dan tersistematis, maka pokok permasalahan di atas
dirinci ke dalam sub-sub masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana
keadaan Daulat Abbāsiyah pada awal pembentukannya?
2. Bagaimana
Perkembangan Politik Dinasti Bani Abbasiyah?
Sesuai dengan
permasalahan di atas, maka pembahasan ini bertujuan untuk menelusuri latar
belakang dan faktor-faktor terbentuknya pemerintahan Daulat Abbāsiyah.
Selanjutnya, akan dipaparkan suasana yang dialami Daulat Abbāsiyah sesaat
setelah daulat ini terbentuk. Dengan dengan demikian, praktis bahwa makalah ini
tidak sampai pada pembahasan tentang perkembangan politik dan ilmu pengetahuan
pada masa itu. Di sisi lain, makalah ini juga, tidak membahas tentang
kemunduran dan kehancuran Daulat Abbāsiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Keadaan Daulat Abbāsiyah pada Awal
Pembentukannya
Penggantian Daulat Umayyah oleh Daulat Abbāsiyah, dalam
ke-khalifahan masyarakat Islam lebih dari sekedar perubahan dinasti, di mana
pusat pemerintahan dipindahkan dari Siria ke Irak, tepatnya dari Damaskus ke
Baghdad. Dengan perubahan seperti ini, maka secara cara internal di dalam
pemerintahan Daulat Abbasiyah tidak sama dengan Daulat Umayyah sebelumnya.
Lebih lanjut Ahmad Amin menyatakan bahwa pada Daulat Abbāsiyah, terjadi
kesuksesan emas yang tidak dialami oleh Daulat Umayyah. Dalam hal ini, sejak
awal pemerintahan Daulat Abbāsiyah, suasana kehidupan semakin terbuka, dalam
arti struktur kehidupan masyarakat menjadi membaik (al-ishlāhāt
al-ijtimā’iyyah).[4]
Dalam sisi lain Bagdad sebagai pusat pemerintahan berkembang secara pesat,
keputusan untuk membangun pusat militer di sana merupakan program utama.
Perluasan perkampungan militer yang bernama al-harbiyah sampai ke bagian
selatan Bagdad, yakni di al-Karkh. Dengan keadaan awal seperti ini, menjadikan
Daulat Abbāsiyah semakin memperlihatkan eksistensinya.
Di samping itu, menurut Ahmad Amin bahwa pada periode
pertama bagi Daulat Abbāsiyah dapat pula disebut periode Persia pertama, karena
untuk memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, ibu kota
yang baru dibangunnya yakni Bagdad, dekat bekas ibu kota Persia.[5]
Dalam Ensiklopedia Islam dikatakan bahwa memang peluang besar yang
tersedia buat seluruh penghuni wilayah Daulat Abbāsiyah dalam hampir seluruh
lapangan hidup. Dengan sendirinya corak dan pola hubungan sosial tidak lepas
dari dasar dan alasan dikorbankannya gerakan Abbāsiyah (al-da’wah
al-‘Abbāsiyah).[6]
Periode awal pembentukan Dinasti Abbāsiyah yang disebutkan
di atas, bermula dari tahun 750 M sampai 847 M.[7]
Pada periode ini, pe-merintahan Daulat Abbāsiyah mencapai kemajuan drastis
secara politis. Para kahlifah bentil-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat
kekuasaan politik dan agama sekaligus.[8]
Periode ini, juga berhasil menyiapkan landasan perkembangan pemetaan wilayah
Islam, karena penguatan pada bidang militer sebagai mana yang telah disebutkan
menjadi program utamanya.
Sepeninggal
al-Shafah pada bulan juni 754 karena serangan penyakit cacar yang dialaminya,
memang telah ada calon penggantinya, yakni Abū Ja’far al-Manshūr (saudara
al-Shafah sendiri), untuk menduduki tahta ke-khalifahan. Meskipun al-Saffāh merupakan penguasa pertama
dari Daulat Abbāsiyah, tetapi Menurut Harun Nasution bahwa al-Manshūr ini,
harus pula dianggap sebagai pendiri dari Daulat Abbāsiyah tersebut. Kekuasaan
yang dimilikinya serta pengaruhnya sangat luas karena kemampuan al-Manshūr
memandang ke masa depan.[9]
Alasan lainnya adalah, al-Manshūr berkuasa sampai tahun 726 M, dan oleh karena
itu ia sebagai khalifah kedua, serta tergolong sebagai khalifah dalam periode
awal Daulat Abbāsiyah.
Abū Ja’far
dengan pengetahuan yang cemerlang itu, selama masa pemerintahannya, mampu
menciptakan ikatan hierarki yang kuat dan setia kepada daulat Abbāsiyah yang
baru sementara dibangun itu. Ia meng-konsolidasikan dinasti ini dengan kukuh
dan tidak pernah mengurangi tindakan kejamnya apabila kepentingan-kepentingan
dinasti terancam.
Al-Saffah sebelum al-Manshūr, memang termasuk “kejam” (kalau
mau dikatakan demikian) disebabkan oleh kekuatannya menghancurkan Daulat
Umayyah, tetapi bagi al-Manshūr sendiri juga dapat dikatakan “kejam”,
disebabkan kekuatannya menaklukkan wilayah-wilayah lain secara paksa misalnya
di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Sicila pada tahun 756-758 M. Ke
Utara bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosporus.
Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus,
Daylami di laut Kapis, Turki di bagian lain Okus dan India.[10]
Kemenangan-kemenangan yang diraihnya, boleh jadi sebab utamanya karena rezim
Daulat Abbāsiyah dalam periode ini menekankan orientasinya pada organisasi
kemiliteran yang kuat dan mapan.
Popularitas Daulat Abbāsiyah mencapai puncaknya di zaman
Khalifah Harūn al-Rasyīd (786-809) dan putranya al-Ma’mūn (813-833 M). kekayaan
yang banyak dimanfaatkan al-Rasyīd untuk keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga
pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Kesejahteraan, kesehatan, dan
kebudayaan serta kesusastraan sangat maju pada zaman ini.[11]
Dalam menjalankan roda kekhalifahan, al-Rasyīd tidak segan-segan memecat
pegawainya yang berlaku curang. Misalnya saja, seorang Hakim bernama Hafs bin
Ghiyāś dipecat karena berlaku tidak adil.[12]
Pada masa periode awal Daulat Abbāsiyah inilah, menempatkan dirinya sebagai
negara terkuat dalam bidang militer, dan menjadikan sistem pemerintahan secara
kuat pula.
Sebagaimana Daulat Umayyah telah mewarisi preseden birokrasi
bangsa Romawi dan Sasania dan bahkan dari sisa-sisa organisasi kuno, maka
Daulat Abbāsiyah mewarisi berbagai tradisi, praktik, keahlian, dan bahkan
personil administrasi Umayyah. Ikatan perorangan dan perwalian terhadap
khalifah sungguh merupakan esensi organisasi pemerintahan.
Pada periode
pertama Daulat Abbāsiyah menteri-menteri semata staf juru tulis dari
jabatan-jabatan penting, dan khalifah merupakan tempat mendapatkan petunjuk
dalam segala urusan. Namun, lambat laun peran peran keluarga khalifah secara
subtansial digantikan oleh bentuk pemerintahan yang lebih rasional, meskipun
dalam pengertian yang seutuhnya. Walaupun demikian, dalam periode ini tentu ada
pula sisi-sisi kelemahan yang dihadapi oleh Daulat Abbāsiyah, semisal sebagian
menteri dan staf juru tulis mereka tidak ahli di bidangnya masing-masing,
karena mereka diangkat atas dasar sistem kekeluargaan dan keturunan. Di luar
keluarga dan atau keturunan, tidak mendapatkan jabatan apapun, walaupun
sebenarnya mereka memiliki keahlian tersendiri.
Dari
uraian-uraian di atas, dapat dipahami bahwa pada periode awal pembentukan
Daulat Abbāsiyah, lebih menekankan pada bidang kemiliteran dan pembinaan
kebudayaan umat. Kelihatannya Daulat Abbāsiyah pada periode awal pembentukannya
tidak melekat pada diri Khalifah moralitas yang sebaik dengan sahabat pada masa
Nabi saw, khulafā’ al-rasyiīn, dan Daulat Umayyah itu sendiri. Dikatakan
demikian, karena para khalifah Daulat Abbāsiyah kelihatannya tidak
terkonsentrasi pada masalah pembangunan akhlak dan spritual. Mereka banyak
melakukan penindasan terhadap pecinta Daulat Umayyah, dan mengadakan agresi
militer dengan cara kekerasan.
Masih terkait dengan uraian di atas, Dr. G. H. Harifuddin
Cawidu juga menyatakan bahwa atribut khalifah pada Daulat Abbāsiyah, mengalami
penambahan makna. Sebelumnya, khalifah mengandung arti khalīfatu Rasulillah
yakni pengganti Rasulullah untuk memelihara agama dan mengurus kehidupan ummat.
Sedangkan pada Daulat Abbāsiyah, terutama pada kekhalifahan al-Mansur
(754-775), makna khalifah sudah berkonotasi khalīfatullah, yakni
pengganti atau “wakil Allah di bumi ini”. Al-Mansur sendiri menamakan dirinya
sebagai sultanillāhi fī al-ard (penguasa Tuhan di bumi) atau zillullāhi
‘alā al-ard (bayangan Tuhan di atas bumi). Dengan demikian, khalifah di
mata masyarakat dianggap sebagai wakil atau pengejewantahan Tuhan di bumi yang
harus ditaati sepenuhnya. Perubahan makna khalifah seperti ini, tampaknya
merupakan pengaruh langsung dari kepercayaan orang-orang Persia yang menganggap
raja sebagai titisan suci dari Tuhan yang mempunyai hak-hak suci (divine
rights of ling). Seperti diketahui, Dinasti ‘Abasiyyah sangat didominasi
oleh kebudayaan Persia dan bercorak internasional, menggantikan corak Arab yang
bersifat regional di masa Dinasti Umayyah.[13]
Inilah perbedaan pokok antara Daulat Abbāsiyah dengan Daulat Umayyah. Di
samping itu, menurut penulis bahwa ciri khas yang menonjol Daulat Abbāsiyah
adalah perpindahan ibu kota dan pusat pemerintahan ke Bagdad, menjadi jauh dari
pengaruh Arab. Sedangkan Daulat Umayyah sangat berorientasi kepada Arab. Dalam
periode pertama pembentukan Daulat Abbāsiyah, kelihatan dengan jelas bahwa
pengaruh kebudayaan Persia sangat berperan.
Sekaitan dengan
uraian di atas, maka dalam rumusan penulis bahwa puncak perkembangan militer
dan kebudayaan pada Daulat Abbāsiyah, tidaklah berarti seluruhnya berawal dari
kreatifitas dan keprofesionalan banī Abbās sendiri. Akan tetapi, sebagian di
antaranya sudah dimulai sejak masa Nabi saw, kemudian masa khulafā’
al-rasyidīn, dan masa Daulat Umayyah. Peralatan militer dan warisan
kebudayaan yang ditinggalkan oleh masa sebelumnya, adalah modal utama yang
tidak dapat dinafikan bagi Daulat Abbāsiyah pada periode awal pembetukannya.
Masa
selanjutnya, yakni pada periode kedua pembentukan Daulat Abbāsiyah, dan
periode-periode sesudahnya, Daulat Abbāsiyah mengalami kemajuan dan
perkembangan, terutama dalam bidang politik dan ilmu pengetahuan. Walaupun,
pada akhirnya daulat ini mengalami kemuduran dan kehancuran, tetapi
masalah-masalah disebut terakhir ini, bukan sebagai obyek pembahasan penulis di
sini.
B.
Perkembangan Politik Dinasti Bani Abbsiyah
Berkat keijakan politik yang dibangun oleh khalifah pada
masa dinasti Bani Abbas, kehidupan masyarakat serta gaya hidup masyarakat yang
lebih baik. Salah satu dampak positif dari kebijakan khalifah terhadap
kebebasan wanita berkarya sehingga banyak wanita yang memberikan sumbangan
prestasi terhadap negara. Kebijakan ini terjadi pada pemerintahan[14],
disamping itu kedudukan budak dan mantan budak lebih bergeser pada derajat yang
lebih baik[15].
Khusus dibidang perdagangan dan Industri, kebijakan khalifah dalam melibatkan
jaringan perdagana Internasional. Perdagangan paling awal adalah dengan
melibatkan orang kristen dan yahudi sementara pada masa berikutnya lebih
melibatkan orang-orang Islam arab yang pandai berdagang. Kebijakan ini
ditetapkan mengingat luasnya wilayah kekuasaan khalifah.[16]
Kebijakan lain yang juga ditetapkan oleh khalifah adalah mengembangkan industri
pertanian, islamisasi kerajaan dan sebagainya.
Disamping kebijakan politik di atas, program khalifah juga
meliputi peningkatan kualitas dan kapasitas keilmuan dan sastra. Program
Keilmuan yang paling terkenal ketika dan banyak diproduksi adalah ilmu
kedokteran, Filsafat Islam, kajian astronomi dan matematika, perkembangan dalam
bidang kimia, kajian geografi, hitoriografi teologi, hukum dan etika Islam
serta perkembangan sastra dan bidang kesenian lainnya.[17]
Tatanan Negeri dibawa pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah
membawa pengarung bersar terhadap peradaban dunia karena sistem politiknya yang
luarbiasa tertata rapi. Mulai dari penataan sumber pemasukan Negara[18],
penyetaraan dan penguatan biro-biro pemerintahan[19],
penguatan sistem organisasi militer[20]
serta penguatan administrasi wilayah pemerintahan. Berangkat dari sistem
politik itulah sehingga Dinasti Bani Abbasiyah berkembang dengan pesatnya,
bahkan tercatat dalam sejarah islam sebagai Dinasti terlama yaitu selama 5 abad
lebih. Inilah catatan pada tinta emas sejarah islam yang berhasil ditorehkan
oleh kekhalifaan Dinasti Bani Abbas.
BAB III
PENUTUP
Sesuai permasalahan yang telah ditetapkan dan kaitannya
dengan uraian-uraian yang telah dipaparkan, maka dapat dirumuskan suatu
ke-simpulan bahwa dari perjalanan rentang sejarahnya, ternyata Banī Abbās
merebut Daulat Umayyah melalui proses yang lama dan melelahkan, yakni dengan
jalan propoganda dan perang. Keberhasilan dan kemenangan Banī Abbās dari proses
tersebut, ditambah lagi dengan adanya faktor-faktor pendukung lainnya, akhirnya
Banī Abbās mendeklarasikan pembentukan Daulat Abbāsiyah.
Pada periode awal pembentukan Daulat Abbāsiyah, sistem
ke-khalifahannya berada di bawa kendali al-Shafah, kemudian berpindah ke
al-Mashūr, dan Daulat Abbāsiyah tersebut mengalami peningkatan dan kemajuan
yang signifikan pada masa khaliīfah al-Rasyīd dan al-Ma’mūn. Peningkatan dan
kemajuan yang diraihnya, terutama dalam bidang militer dan peradaban. Namun di
sisi lain, dalam periode tersebut Daulat Abbāsiyah kelihatannya tidak
mengutamakan pembinaan spritual kepada dirinya dan masyarakatnya, sehingga
warna dan bentuk Daulat Abbāsiyah ketika itu bermuara pada krisis moralias.
Berdasar pada rumusan kesimpulan di atas, kelihatan bahwa
pem-bahasan lebih lanjut mengenai pembentukan Daulat Abbāsiyah, masih perlu
dikembangkan. Karena itu, disarankan kepada segenap pihak untuk mem-berikan
kontribusi pemikiran yang konstruktif, akurat dan argumentif terhadap masalah
yang telah dipaparkan dalam pembahasan ini untuk men-dapatkan hasil lebih
komprehensif.
Wassalam Alaikum Wr. Wb.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Ahmad. Dhuhay
al-Islām, juz I. Cet. VIII; Mesir: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyyah, t.th
. al-Tarīkh
al-Islām wa al-Hadhārah al-Islāmiyah, juz III; Mesir: Maktabah al-Nahdhah,
t.th
Cawidu, H.
Harifuddin. Konsep Khilafah dalam Islam Dilihat dari Perpektif Politis dan
Teologis dalam Tim Lakpesdam NU (ed), Kumpulan Makalah Dr. H. Harifuddin
Cawidu tahun 1987-2000. Makassar: PMII Cabang Metro Makassar, 2003
Hitti, Philip
K. History of Arab. London and Basing Stoke: The Macmillan Press LTD,
1974
Al-Mawdūdi, Abū
al-A’lā. al-Khilāfah wa al-Mulk diterjemahkan oleh Muhanmad al-Baqir
dengan judul Khilafah dan Kerajaan. Cet. VI; bandung: Mizan, 1996
Nasution,
Harun. Islam; Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I. Cet. V;
Jakarta: UI. Press, 1985
. Pembaharuan
dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1975
Tim Penyusun
IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam. Cet. I; Jakarta: Djambatan,
1992
Yatim, Badri. Sejarah
Peradaban Islam. Cet. II; Jakarta: LSIK dan PT. Raja Grafindo Persada,
1994.
. Sejarah
Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II (edisi revisi) Cet. XIV;
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
[1]Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975),
h. 13-14
[2]Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam (Cet. II; Jakarta: LSIK dan PT. Raja Grafindo Persada,
1994), h. 6
[3]H. Harifuddin Cawidu,
Konsep Khilafah dalam Islam Dilihat dari Perpektif Politis dan Teologis dalam
Tim Lakpesdam NU (ed), Kumpulan Makalah Dr. H. Harifuddin Cawidu tahun
1987-2000 (Makassar: PMII Cabang
Metro Makassar, 2003), h. 12
[4]Ahmad Amin, Dhuhay
al-Islām, juz I (Cet. VIII; Mesir: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyyah, t.th),
h. 2
[5]Ahmad Amin, op.
cit., h. 3. Lihat juga Ahmad Amin, al-Tarīkh al-Islām wa al-Hadhārah
al-Islāmiyah, juz 3 (Mesir: Maktabah al-Nahdhah, t.th), h. 27.
[6]Lihat Tim Penyusun
IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam (Cet. I; Jakarta: Djambatan,
1992), h. 3
[7]Lihat Badri Yatim, op.
cit., 49. Dalam hal ini, Badri Yatim menyatakan bahwa para sejarawan
membagi masa pemerintahan Bani Abbās menjadi lima periode. Periode pertama (132
H/750 M - 232 H/ 847 M) disebut periode pengaruh Persia pertama; Periode
kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M, disebut masa pengaruh Turki Pertama; Periode
ketiga (334 H/945 – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam
pemerintahan khilafah Abbāsiyah. Periode ini disebut pula masa pengaruh Persia
kedua; Periode keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194), masa kekuasaan
dinasti Bani saljuk dalam pemerintahan khilāfah Abbāsiyah, biasanya disebut
juga dengan masa pengaruh Turki Muda; Periode kelima (590 H/1194 M – 656
H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya
hanya efektif di sekitar koda Bagdad.
[8]Lihat Ahmad Amin, Dhuhay
… loc. cit.
[9]Harun Nasution, Islam;
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I (Cet. V; Jakarta: UI.
Press, 1985), h. 67
[10]Badri Yatim, op.
cit., h. 51
[12]Abū al-A’lā
al-Mawdūdi, al-Khilāfah wa al-Mulk diterjemahkan oleh Muhanmad al-Baqir
dengan judul Khilafah dan Kerajaan (Cet. Vi; bandung: Mizan, 1996), h.
253
[13]H. Harifuddin Cawidu,
op. cit., h. 7
Comments
Post a Comment
شُكْرًا كَثِرًا
Mohon titip Komentarnya yah!!
وَالسَّلامُ عَليْكُم