Skip to main content

Strategi dan Perkembangan Politik Dinasti Bani Abbasiyah


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai agama, merupakan wadh’un ilāhiyyun yang berarti peraturan dari Allah Yang Mahatahu dan Mahakuasa yang kebenarannya mutlak dan abadi. Jadi, sebagai agama, Islam mangatur manusia dengan konsep akidah yang menjadi landasan syariah dan akhlak yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam beribadah maupun dalam men-ciptakan karya-karya budaya. Dengan budaya, maka manusia memiliki peradaban.

Peradaban Islam (al-hadhārah al-islāmiyyah), merupakan kajian yang sangat aktual sepanjang masa. Sejarah pertumbuhan dan perkembangan peradaban Islam mengalami pasang surut dan periodesasi, yang oleh Harun Nasution membaginya atas lima fase periode, yaitu: (1) periode klasik/650-1250 M; (2) periode disintegrasi/1000-1250 M; (3) periode pertengahan/ 1250-1800 M; (4) periode tiga kerajaan besar/1500-1800 M; dan (5) periode modern/1800-sekarang.[1] Sementara itu, Badri yatim membaginya menjadi tiga fase periode, yakni ; (1) periode klasik/650-1250 M; (2) periode pertenghan/1250-1800; (3) modern/1800-sekarang.[2]
Walaupun terjadi perbedaan dalam penetapan periodesasi per-tumbuhan dan perkembangan peradaban Islam sebagaimana yang disebutkan di atas, kelihatan bahwa ada persamaan yang mendasar, yakni periode klasik dimulai sejak tahun 650 H dan periode moderen dimulai sejak tahun 1800 M. Periode klasik, dimulai sejak berakhirnya masa khulafā’ al-rāsyidīn, kemudian berpindah ke Daulat Umayyah yang pusat pemerintahannya berada di Damaskus. Setelah Daulat Ummayyah berakhir pada tahun 750 M, maka pusat peradaban Islam selanjutnya dikuasai oleh Daulat Abbāsiyah yang pusat pemerintahannya berada di Baghdad.
Roda pemerintahan Islam pada masa Daulat Abbasiyyah, dikendali-kan sepenuhnya oleh keturunan paman Nabi saw yang bernama Abbās, sehingga struktur kekhalifahannya disebut Daulat Abbāsiyyah, atau Dinasti Abbāsiyah, dan Bani Abbās. Jadi, klaim “Abbāsiyah” di sini, dinisbatkan kepada nama “Abbās” salah seorang paman Nabi saw.
Daulat Abbāssiyah mempunyai corak tersendiri dibanding dengan daulat atau dinasti sebelumnya. Dikatakan demikian, karena daulat Abbāsiyyah telah memberikan sumbangan besar dalam peradaban Islam dengan ekspansi ke daerah lainnya yang belum pernah dilakukan oleh daulat atau dinasti sebelumnya.
Pada sisi lain, Dr. G. H. Harifuddin Cawidu menyatakan bahwa per-tumbuhan dan perkembangan Islam pada masa Daulat Abbāsiyah, memiliki arti yang siginifikan. Islam ketika itu, sudah meluas sampai ke daratan Utara Barat India, Afganistan, Turkistan, Jazirah, Armenia, Syam, Palestina, Mesir sampai pada Afrika Utara. Di samping itu, Daulat Abbāsiyah merupakan dinasti terpanjang dan terlama, yakni lebih dari lima abad lamanya.[3]
Dengan merujuk pada uraian-uraian di atas, kelihatan bahwa pem-bahasan tentang Daulat Abbāsiyah sangat menarik untuk dikembangkan. Namun yang terpenting adalah, terlebih dahulu harus ditelusuri proses pembentukan Daulat Abbāsiyah itu sendiri.

B. Rumusan Masalah

Berdasar pada uraian latar belakang yang telah dipaparkan, maka permasalahan pokok yang dijadikan obyek pembahasan dalam makalah ini adalah bagaimana pembentukan Daulat Abbāsiyah ?
Agar pembahasan ini dapat terarah dan tersistematis, maka pokok permasalahan di atas dirinci ke dalam sub-sub masalah sebagai berikut :

1.  Bagaimana keadaan Daulat Abbāsiyah pada awal pembentukannya?
2.  Bagaimana Perkembangan Politik Dinasti Bani Abbasiyah?
Sesuai dengan permasalahan di atas, maka pembahasan ini bertujuan untuk menelusuri latar belakang dan faktor-faktor terbentuknya pemerintahan Daulat Abbāsiyah. Selanjutnya, akan dipaparkan suasana yang dialami Daulat Abbāsiyah sesaat setelah daulat ini terbentuk. Dengan dengan demikian, praktis bahwa makalah ini tidak sampai pada pembahasan tentang perkembangan politik dan ilmu pengetahuan pada masa itu. Di sisi lain, makalah ini juga, tidak membahas tentang kemunduran dan kehancuran Daulat Abbāsiyah.


BAB II

PEMBAHASAN
A.  Keadaan Daulat Abbāsiyah pada Awal Pembentukannya
Penggantian Daulat Umayyah oleh Daulat Abbāsiyah, dalam ke-khalifahan masyarakat Islam lebih dari sekedar perubahan dinasti, di mana pusat pemerintahan dipindahkan dari Siria ke Irak, tepatnya dari Damaskus ke Baghdad. Dengan perubahan seperti ini, maka secara cara internal di dalam pemerintahan Daulat Abbasiyah tidak sama dengan Daulat Umayyah sebelumnya. Lebih lanjut Ahmad Amin menyatakan bahwa pada Daulat Abbāsiyah, terjadi kesuksesan emas yang tidak dialami oleh Daulat Umayyah. Dalam hal ini, sejak awal pemerintahan Daulat Abbāsiyah, suasana kehidupan semakin terbuka, dalam arti struktur kehidupan masyarakat menjadi membaik (al-ishlāhāt al-ijtimā’iyyah).[4] Dalam sisi lain Bagdad sebagai pusat pemerintahan berkembang secara pesat, keputusan untuk membangun pusat militer di sana merupakan program utama. Perluasan perkampungan militer yang bernama al-harbiyah sampai ke bagian selatan Bagdad, yakni di al-Karkh. Dengan keadaan awal seperti ini, menjadikan Daulat Abbāsiyah semakin memperlihatkan eksistensinya.
Di samping itu, menurut Ahmad Amin bahwa pada periode pertama bagi Daulat Abbāsiyah dapat pula disebut periode Persia pertama, karena untuk memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, ibu kota yang baru dibangunnya yakni Bagdad, dekat bekas ibu kota Persia.[5] Dalam Ensiklopedia Islam dikatakan bahwa memang peluang besar yang tersedia buat seluruh penghuni wilayah Daulat Abbāsiyah dalam hampir seluruh lapangan hidup. Dengan sendirinya corak dan pola hubungan sosial tidak lepas dari dasar dan alasan dikorbankannya gerakan Abbāsiyah (al-da’wah al-‘Abbāsiyah).[6]
Periode awal pembentukan Dinasti Abbāsiyah yang disebutkan di atas, bermula dari tahun 750 M sampai 847 M.[7] Pada periode ini, pe-merintahan Daulat Abbāsiyah mencapai kemajuan drastis secara politis. Para kahlifah bentil-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus.[8] Periode ini, juga berhasil menyiapkan landasan perkembangan pemetaan wilayah Islam, karena penguatan pada bidang militer sebagai mana yang telah disebutkan menjadi program utamanya.
Sepeninggal al-Shafah pada bulan juni 754 karena serangan penyakit cacar yang dialaminya, memang telah ada calon penggantinya, yakni Abū Ja’far al-Manshūr (saudara al-Shafah sendiri), untuk menduduki tahta ke-khalifahan.  Meskipun al-Saffāh merupakan penguasa pertama dari Daulat Abbāsiyah, tetapi Menurut Harun Nasution bahwa al-Manshūr ini, harus pula dianggap sebagai pendiri dari Daulat Abbāsiyah tersebut. Kekuasaan yang dimilikinya serta pengaruhnya sangat luas karena kemampuan al-Manshūr memandang ke masa depan.[9] Alasan lainnya adalah, al-Manshūr berkuasa sampai tahun 726 M, dan oleh karena itu ia sebagai khalifah kedua, serta tergolong sebagai khalifah dalam periode awal Daulat Abbāsiyah.
Abū Ja’far dengan pengetahuan yang cemerlang itu, selama masa pemerintahannya, mampu menciptakan ikatan hierarki yang kuat dan setia kepada daulat Abbāsiyah yang baru sementara dibangun itu. Ia meng-konsolidasikan dinasti ini dengan kukuh dan tidak pernah mengurangi tindakan kejamnya apabila kepentingan-kepentingan dinasti terancam.
Al-Saffah sebelum al-Manshūr, memang termasuk “kejam” (kalau mau dikatakan demikian) disebabkan oleh kekuatannya menghancurkan Daulat Umayyah, tetapi bagi al-Manshūr sendiri juga dapat dikatakan “kejam”, disebabkan kekuatannya menaklukkan wilayah-wilayah lain secara paksa misalnya di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Sicila pada tahun 756-758 M. Ke Utara bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosporus. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kapis, Turki di bagian lain Okus dan India.[10] Kemenangan-kemenangan yang diraihnya, boleh jadi sebab utamanya karena rezim Daulat Abbāsiyah dalam periode ini menekankan orientasinya pada organisasi kemiliteran yang kuat dan mapan.
Popularitas Daulat Abbāsiyah mencapai puncaknya di zaman Khalifah Harūn al-Rasyīd (786-809) dan putranya al-Ma’mūn (813-833 M). kekayaan yang banyak dimanfaatkan al-Rasyīd untuk keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Kesejahteraan, kesehatan, dan kebudayaan serta kesusastraan sangat maju pada zaman ini.[11] Dalam menjalankan roda kekhalifahan, al-Rasyīd tidak segan-segan memecat pegawainya yang berlaku curang. Misalnya saja, seorang Hakim bernama Hafs bin Ghiyāś dipecat karena berlaku tidak adil.[12] Pada masa periode awal Daulat Abbāsiyah inilah, menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dalam bidang militer, dan menjadikan sistem pemerintahan secara kuat pula.
Sebagaimana Daulat Umayyah telah mewarisi preseden birokrasi bangsa Romawi dan Sasania dan bahkan dari sisa-sisa organisasi kuno, maka Daulat Abbāsiyah mewarisi berbagai tradisi, praktik, keahlian, dan bahkan personil administrasi Umayyah. Ikatan perorangan dan perwalian terhadap khalifah sungguh merupakan esensi organisasi pemerintahan.
Pada periode pertama Daulat Abbāsiyah menteri-menteri semata staf juru tulis dari jabatan-jabatan penting, dan khalifah merupakan tempat mendapatkan petunjuk dalam segala urusan. Namun, lambat laun peran peran keluarga khalifah secara subtansial digantikan oleh bentuk pemerintahan yang lebih rasional, meskipun dalam pengertian yang seutuhnya. Walaupun demikian, dalam periode ini tentu ada pula sisi-sisi kelemahan yang dihadapi oleh Daulat Abbāsiyah, semisal sebagian menteri dan staf juru tulis mereka tidak ahli di bidangnya masing-masing, karena mereka diangkat atas dasar sistem kekeluargaan dan keturunan. Di luar keluarga dan atau keturunan, tidak mendapatkan jabatan apapun, walaupun sebenarnya mereka memiliki keahlian tersendiri.
Dari uraian-uraian di atas, dapat dipahami bahwa pada periode awal pembentukan Daulat Abbāsiyah, lebih menekankan pada bidang kemiliteran dan pembinaan kebudayaan umat. Kelihatannya Daulat Abbāsiyah pada periode awal pembentukannya tidak melekat pada diri Khalifah moralitas yang sebaik dengan sahabat pada masa Nabi saw, khulafā’ al-rasyiīn, dan Daulat Umayyah itu sendiri. Dikatakan demikian, karena para khalifah Daulat Abbāsiyah kelihatannya tidak terkonsentrasi pada masalah pembangunan akhlak dan spritual. Mereka banyak melakukan penindasan terhadap pecinta Daulat Umayyah, dan mengadakan agresi militer dengan cara kekerasan.
Masih terkait dengan uraian di atas, Dr. G. H. Harifuddin Cawidu juga menyatakan bahwa atribut khalifah pada Daulat Abbāsiyah, mengalami penambahan makna. Sebelumnya, khalifah mengandung arti khalīfatu Rasulillah yakni pengganti Rasulullah untuk memelihara agama dan mengurus kehidupan ummat. Sedangkan pada Daulat Abbāsiyah, terutama pada kekhalifahan al-Mansur (754-775), makna khalifah sudah berkonotasi khalīfatullah, yakni pengganti atau “wakil Allah di bumi ini”. Al-Mansur sendiri menamakan dirinya sebagai sultanillāhi fī al-ard (penguasa Tuhan di bumi) atau zillullāhi ‘alā al-ard (bayangan Tuhan di atas bumi). Dengan demikian, khalifah di mata masyarakat dianggap sebagai wakil atau pengejewantahan Tuhan di bumi yang harus ditaati sepenuhnya. Perubahan makna khalifah seperti ini, tampaknya merupakan pengaruh langsung dari kepercayaan orang-orang Persia yang menganggap raja sebagai titisan suci dari Tuhan yang mempunyai hak-hak suci (divine rights of ling). Seperti diketahui, Dinasti ‘Abasiyyah sangat didominasi oleh kebudayaan Persia dan bercorak internasional, menggantikan corak Arab yang bersifat regional di masa Dinasti Umayyah.[13] Inilah perbedaan pokok antara Daulat Abbāsiyah dengan Daulat Umayyah. Di samping itu, menurut penulis bahwa ciri khas yang menonjol Daulat Abbāsiyah adalah perpindahan ibu kota dan pusat pemerintahan ke Bagdad, menjadi jauh dari pengaruh Arab. Sedangkan Daulat Umayyah sangat berorientasi kepada Arab. Dalam periode pertama pembentukan Daulat Abbāsiyah, kelihatan dengan jelas bahwa pengaruh kebudayaan Persia sangat berperan.
Sekaitan dengan uraian di atas, maka dalam rumusan penulis bahwa puncak perkembangan militer dan kebudayaan pada Daulat Abbāsiyah, tidaklah berarti seluruhnya berawal dari kreatifitas dan keprofesionalan banī Abbās sendiri. Akan tetapi, sebagian di antaranya sudah dimulai sejak masa Nabi saw, kemudian masa khulafā’ al-rasyidīn, dan masa Daulat Umayyah. Peralatan militer dan warisan kebudayaan yang ditinggalkan oleh masa sebelumnya, adalah modal utama yang tidak dapat dinafikan bagi Daulat Abbāsiyah pada periode awal pembetukannya.
Masa selanjutnya, yakni pada periode kedua pembentukan Daulat Abbāsiyah, dan periode-periode sesudahnya, Daulat Abbāsiyah mengalami kemajuan dan perkembangan, terutama dalam bidang politik dan ilmu pengetahuan. Walaupun, pada akhirnya daulat ini mengalami kemuduran dan kehancuran, tetapi masalah-masalah disebut terakhir ini, bukan sebagai obyek pembahasan penulis di sini.


B. Perkembangan Politik Dinasti Bani Abbsiyah
Berkat keijakan politik yang dibangun oleh khalifah pada masa dinasti Bani Abbas, kehidupan masyarakat serta gaya hidup masyarakat yang lebih baik. Salah satu dampak positif dari kebijakan khalifah terhadap kebebasan wanita berkarya sehingga banyak wanita yang memberikan sumbangan prestasi terhadap negara. Kebijakan ini terjadi pada pemerintahan[14], disamping itu kedudukan budak dan mantan budak lebih bergeser pada derajat yang lebih baik[15]. Khusus dibidang perdagangan dan Industri, kebijakan khalifah dalam melibatkan jaringan perdagana Internasional. Perdagangan paling awal adalah dengan melibatkan orang kristen dan yahudi sementara pada masa berikutnya lebih melibatkan orang-orang Islam arab yang pandai berdagang. Kebijakan ini ditetapkan mengingat luasnya wilayah kekuasaan khalifah.[16] Kebijakan lain yang juga ditetapkan oleh khalifah adalah mengembangkan industri pertanian, islamisasi kerajaan dan sebagainya.
Disamping kebijakan politik di atas, program khalifah juga meliputi peningkatan kualitas dan kapasitas keilmuan dan sastra. Program Keilmuan yang paling terkenal ketika dan banyak diproduksi adalah ilmu kedokteran, Filsafat Islam, kajian astronomi dan matematika, perkembangan dalam bidang kimia, kajian geografi, hitoriografi teologi, hukum dan etika Islam serta perkembangan sastra dan bidang kesenian lainnya.[17]
Tatanan Negeri dibawa pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah membawa pengarung bersar terhadap peradaban dunia karena sistem politiknya yang luarbiasa tertata rapi. Mulai dari penataan sumber pemasukan Negara[18], penyetaraan dan penguatan biro-biro pemerintahan[19], penguatan sistem organisasi militer[20] serta penguatan administrasi wilayah pemerintahan. Berangkat dari sistem politik itulah sehingga Dinasti Bani Abbasiyah berkembang dengan pesatnya, bahkan tercatat dalam sejarah islam sebagai Dinasti terlama yaitu selama 5 abad lebih. Inilah catatan pada tinta emas sejarah islam yang berhasil ditorehkan oleh kekhalifaan Dinasti Bani Abbas.




BAB III
PENUTUP

Sesuai permasalahan yang telah ditetapkan dan kaitannya dengan uraian-uraian yang telah dipaparkan, maka dapat dirumuskan suatu ke-simpulan bahwa dari perjalanan rentang sejarahnya, ternyata Banī Abbās merebut Daulat Umayyah melalui proses yang lama dan melelahkan, yakni dengan jalan propoganda dan perang. Keberhasilan dan kemenangan Banī Abbās dari proses tersebut, ditambah lagi dengan adanya faktor-faktor pendukung lainnya, akhirnya Banī Abbās mendeklarasikan pembentukan Daulat Abbāsiyah.
Pada periode awal pembentukan Daulat Abbāsiyah, sistem ke-khalifahannya berada di bawa kendali al-Shafah, kemudian berpindah ke al-Mashūr, dan Daulat Abbāsiyah tersebut mengalami peningkatan dan kemajuan yang signifikan pada masa khaliīfah al-Rasyīd dan al-Ma’mūn. Peningkatan dan kemajuan yang diraihnya, terutama dalam bidang militer dan peradaban. Namun di sisi lain, dalam periode tersebut Daulat Abbāsiyah kelihatannya tidak mengutamakan pembinaan spritual kepada dirinya dan masyarakatnya, sehingga warna dan bentuk Daulat Abbāsiyah ketika itu bermuara pada krisis moralias.
Berdasar pada rumusan kesimpulan di atas, kelihatan bahwa pem-bahasan lebih lanjut mengenai pembentukan Daulat Abbāsiyah, masih perlu dikembangkan. Karena itu, disarankan kepada segenap pihak untuk mem-berikan kontribusi pemikiran yang konstruktif, akurat dan argumentif terhadap masalah yang telah dipaparkan dalam pembahasan ini untuk men-dapatkan hasil lebih komprehensif.
Wassalam Alaikum Wr. Wb.

DAFTAR PUSTAKA
Amin, Ahmad. Dhuhay al-Islām, juz I. Cet. VIII; Mesir: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyyah, t.th
              . al-Tarīkh al-Islām wa al-Hadhārah al-Islāmiyah, juz III; Mesir: Maktabah al-Nahdhah, t.th
Cawidu, H. Harifuddin. Konsep Khilafah dalam Islam Dilihat dari Perpektif Politis dan Teologis dalam Tim Lakpesdam NU (ed), Kumpulan Makalah Dr. H. Harifuddin Cawidu tahun 1987-2000. Makassar: PMII Cabang Metro Makassar, 2003
Hitti, Philip K. History of Arab. London and Basing Stoke: The Macmillan Press LTD, 1974
Al-Mawdūdi, Abū al-A’lā. al-Khilāfah wa al-Mulk diterjemahkan oleh Muhanmad al-Baqir dengan judul Khilafah dan Kerajaan. Cet. VI; bandung: Mizan, 1996
Nasution, Harun. Islam; Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I. Cet. V; Jakarta: UI. Press, 1985
              . Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1975
Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam. Cet. I; Jakarta: Djambatan, 1992
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Cet. II; Jakarta: LSIK dan PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
            . Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II (edisi revisi) Cet. XIV; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.




[1]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 13-14
[2]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Cet. II; Jakarta: LSIK dan PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h. 6
[3]H. Harifuddin Cawidu, Konsep Khilafah dalam Islam Dilihat dari Perpektif Politis dan Teologis dalam Tim Lakpesdam NU (ed), Kumpulan Makalah Dr. H. Harifuddin Cawidu tahun 1987-2000  (Makassar: PMII Cabang Metro Makassar, 2003), h. 12
[4]Ahmad Amin, Dhuhay al-Islām, juz I (Cet. VIII; Mesir: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyyah, t.th), h. 2
[5]Ahmad Amin, op. cit., h. 3. Lihat juga Ahmad Amin, al-Tarīkh al-Islām wa al-Hadhārah al-Islāmiyah, juz 3 (Mesir: Maktabah al-Nahdhah, t.th), h. 27.
[6]Lihat Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam (Cet. I; Jakarta: Djambatan, 1992), h. 3
[7]Lihat Badri Yatim, op. cit., 49. Dalam hal ini, Badri Yatim menyatakan bahwa para sejarawan membagi masa pemerintahan Bani Abbās menjadi lima periode. Periode pertama (132 H/750 M - 232 H/ 847 M) disebut periode pengaruh Persia pertama; Periode kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M, disebut masa pengaruh Turki Pertama; Periode ketiga (334 H/945 – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbāsiyah. Periode ini disebut pula masa pengaruh Persia kedua; Periode keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194), masa kekuasaan dinasti Bani saljuk dalam pemerintahan khilāfah Abbāsiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki Muda; Periode kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar koda Bagdad.
[8]Lihat Ahmad Amin, Dhuhay … loc. cit.
[9]Harun Nasution, Islam; Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I (Cet. V; Jakarta: UI. Press, 1985),  h. 67
[10]Badri Yatim, op. cit., h. 51
[11]Ibid., h. 52-53. Lihat juga Ahmad Amin, al-Tārikh, op. cit.., h. 29
[12]Abū al-A’lā al-Mawdūdi, al-Khilāfah wa al-Mulk diterjemahkan oleh Muhanmad al-Baqir dengan judul Khilafah dan Kerajaan (Cet. Vi; bandung: Mizan, 1996), h. 253
[13]H. Harifuddin Cawidu, op. cit., h. 7
[14] Philip K. Hitti, Op Cit., h. 415
[15] Ibid., h. 426
[16] Ibid., h. 428
[17] Ibid., h. 454
[18] 398
[19] 401
[20] 407

Comments

Popular posts from this blog

Strategi Kepemimpinan Ali Bin Abu Thalib

BAB I PENDAHULUAN A.       Latarbelakang Masalah Nabi Muhammad saw. Tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau tampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum Muslimin untuk menentukannya sendiri. Kaena itu, tidak lama setelah beliau wafat; belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokohMuhajirin dan Ashor Berkumpul dibalai kota   Bani Sa’dah, Madinah.  

Kedudukan Ar-ra'yu sebagai Landasan Hukum Islam

Referensi Pada dasarnya umat Islam yang beriman Kepada Allah swt. Meyakini bahwa Sumber utama Ajaran Islam yaitu Alquran dan Hadis sudah sempurna. Firman Allah dalam Alquran sudah sempurna membahas aturan-aturan, hukum, ilmu pengetahuan (filsafat), kisah, ushul fiqh dan lain-lain. Begitu juga Hadis Rasulullah yang salah satu sifatnya menjadi penjelasan ayat-ayat dalam Alquran. Posisi Hadis adalah penjelas dan sumber kedua setelah Alquran.

Pendidikan Islam Pasca Runtuhnya Bagdad

I.               PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah Kemunduran umat Islam dalam peradabannya terjadi pada sekitar tahun 1250 M. s/d tahun 1500 M.   Kemunduran itu terjadi pada semua bidang terutama dalam bidang Pendidikan Islam. Di dalam Pendidikan Islam kemunduran itu sebagian diyakini karena berasal dari berkembangnya secara meluas pola pemikiran tradisional. Adanya pola itu menyebabkan hilangnya kebebasan berpikir, tertutupnya pintu ijtihad, dan berakibat langsung kepada menjadikan fatwa ulama masa lalu sebagai dogma yang harus diterima secara mutlak (taken for garanted). Saat umat Islam mengalami kemunduran, di dunia   Eropa   malah   sebaliknya   mengalami   kebangkitan   mengejar ketertinggalan mereka, bahkan mampu menyalib akar kemajuan-kemajuan Islam.   Ilmu Pengetahuan dan filsafat   tumbuh   dengan   subur   di   tempat...