(Kajian Tafsir Tematik dengan Multi Teknik Interpretasi)
I. PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Term Civil Society atau “Masyarakat Madani”, merupakan wacana dan
fokus utama bagi masyarakat dunia sampai saat ini. Apalagi di abad ke-21 ini,
kebutuhan dan tuntutan atas kehadiran bangunan masyarakat madani, bersamaan
dengan maraknya issu demokratisasi dan HAM. Lalu yang menjadi pertanyaan
adalah, sejauh manakah Islam merespon masyarakat tersebut. Jawabannya adalah
bahwa Islam yang ajaran dasarnya Alquran, adalah shālih li kulli zamān wa
makān (ajaran Islam senantiasa relevan dengan situasi dan kondisi). Karena
demikian halnya, maka jelas bahwa Alquran memiliki konsep tersendiri tentang
masyarakat madani.
Pluralisme masyarakat menurut
perspektif Alquran, harus didasarkan pada prinsip keutamaan dan kekhasan, serta
harus dibina dengan sikap toleran (tasamuh).[1]
Berkenaan ini, sekurang-kurangnya ada dua ilustrasi yang patut dikemukakan
terkait dengan masyarakat madani. Pertama, tentang persamaan hak bagi
masyarakat (nadhāriyah al-mushawah). Persamaan ini berlaku untuk seluruh
masyarakat tanpa melihat perbedaan masing-masing-masing individu, kelompok,
etnis, warna kulit, kedudukan, dan keturunan. Kedua, pengakuan atas
eksistensi masyarakat yang terdiri atas bangsa-bangsa dan suku-suku. Tujuan
keberadaannya (mereka) ini, adalah bukan untuk berbangga-banggaan, apalagi
melecehkan pihak lain, tetapi untuk saling mengenali satu sama lain. Sehingga,
pada gilirannya hal itu dapat mendorong terciptanya kondisi di mana satu sama lain
saling menghormati dan saling tolong menolong.
Secara jelas dapat dipahami bahwa ilustrasi tentang masyarakat madani
sebagaimana yang disinggung di atas, terangkum dalam ayat-ayat Alquran. Namun
untuk mengetahui konsepnya secara komprehensif, maka diperlukan kajian tafsir
secara tematik.[2] Di sisi lain, tema mayarakat madani
menurut Alquran dapat dipahami secara utuh dan menyeluruh bilamana tema
tersebut, dijabarkan dalam bentuk interpretasi ayat secara akurat dengan
menggunakan teknik-teknik interpretasi.[3]
B. Rumusan Masalah
Dengan merujuk pada uraian singkat dari latar belakang yang telah
dikemukakan, kelihatan bahwa interpretasi tentang masyarakat madani sangat
menarik untuk dikaji berdasarkan tinjauan tafsir tematik dengan menggunakan multi tekni
interpretasi. Sekaitan dengan ini, maka permasalahan yang dijadikan obyek
pembahasan adalah bagaimana pengertian masyarakat madani, dan bagaimana konsep
masyarakat madani dalam perspektif Alquran
?
II. PENGERTIAN MASYARAKAT MADANI
Untuk memberikan rumusan
pengertian yang akurat tentang “masyarakat madani”, maka terlebih dahulu
dikemukakan batasan pengertian “masyarakat” dan pengertian “madani” itu
sendiri.
1. Pengertian
Masyarakat
Pengertian masyarakat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan
yang mereka anggap sama.[4] Kata masyarakat tersebut, berasal dari
bahasa Arab yaitu syarikat yang berarti golongan atau kumpulan.[5] Dalam al-Munjid dikatakan bahwa al-syarikat
adalah “الإختلاط”[6] (bercampur). Selain kata
ini, istilah masyarakat dalam bahasa Arab, juga biasa disebut dengan al-mujtama’.[7] Louis Ma’luf menjelaskan arti al-mujtama’ adalah
مجازا على جماعة من
الناس خاضعين لقوانين ونظم عامة
[8] (suatu kumpulan dari sejumlah
manusia yang tunduk pada undang-undang dan peraturan umum yang berlaku).
Sedangkan dalam bahasa Inggeris, kata masyarakat tersebut diistilahkan
dengan society dan atau community. Dalam hal ini, Abdul Syani
menjelaskan bahwa bahwa masyarakat sebagai community dapat dilihat dari
dua sudut pandang. Pertama, memandang community sebagai unsur
statis, artinya ia terbentuk dalam suatu wadah/tempat dengan batas-batas
tertentu, maka ia menunjukkan bagian dari kesatuan-kesatuan masyarakat sehingga
ia dapat disebut masyarakat setempat. Misalnya kampung, dusun atau kota-kota
kecil. Kedua, community dipandang sebagai unsur yang dinamis, artinya
menyangkut suatu proses yang terbentuk melalui faktor psikologis dan hubungan
antar manusia, maka di dalamnya terkandung unsur kepentingan, keinginan atau
tujuan yang sifatnya fungsional. Misalnya, masyarakat pegawai, mayarakat
mahasiswa.[9]
Secara terminologi, kata masyarakat menurut Kuntjaraningrat adalah
kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia yang terikat oleh suatu sistem adat
istiadat yang tertentu.[10] Sedangkan menurut M. Quraish Shihab
bahwa masyarakat adalah kumpulan sekian banyak individu kecil atau besar yang
terikat oleh satuan, adat, ritus atau hukum, dan hidup bersama.[11]
Selanjutnya, Anderson dan Parker menyatakan sebagaimana yang dikutip oleh
Dr. Phil Astrid. S Susanto bahwa ciri dari masyarakat adalah : adanya sejumlah
orang; yang tinggal dalam suatu daerah tertentu (ikatan geografis); mengadakan
ataupun mempunyai hubungan satu sama lain yang tetap/tertentu; sebagai akibat
hubungan ini membentuk suatu sistem hubungan antar manusia; mereka terikat
karena memiliki kepentingan bersama; mempunyai tujuan bersama dan bekerja sama;
mengadakan ikatan/kesatuan berdasarkan unsur-unsur sebelumnya; berdasarkan
pengalaman ini, maka akhirnya mereka mempunyai perasaan solidaritas; sadar akan
interdepedensi satu sama lain; berdasarkan sistem yang terbentuk dengan
sendirinya membentuk norma-norma; berdasarkan unsur-unsur di atas akhirnya
membentuk kebudayaan bersama hubungan antar manusia.[12]
Berdasar pada pengertian dan ciri masyarakat yang telah diuraikan di
atas, maka dapat dirumuskan bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang
saling berinteraksi, ada tujuan dan kepentingan bersama dengan norma-norma yang
ada dan dengan kebudayaan bersama.
2. Pengertian Madani
Kata madani, menurut hasil analisis morfologis yang dikemukakan oleh
Prof. Dr. H. Abd. Muin Salim, adalah berasal dari kata dāna yang
menurutnya memiliki dua pola pengembangan, yaitu dain (mengambil utang)
dan dīn (ber-agama). Antara makna kedua pola ini (utang dan agama)
terdapat hubungan yang erat.[13] Utang adalah sesuatu yang harus
dibayar, dan agama pada hakekatnya adalah tanggung jawab yang harus ditunaikan
umat manusia dalam wujud pengabdiannya kepada Sang Pencipta.
Kata dāna yang disebutkan di atas, adalah sesungguhnya berasal
dari kata dayana, yadīnu kemudian dibaca dāna, yadīnu.[14] Dari sini, kemudian menjadi madīnah sebagai ism makān yang
merupakan perubahan dari kata madyan yang dalam Alquran disebut sebagai kota tempat nabi Syu’aib.[15] Dari kata madyan dan
madīnah melalui penyesuaian fonem terbentuklah kata madani sebagai
nisbah dari kata madīnah, yakni kota ideal yang dibangun oleh
Nabi saw. Sehingga, dapat dikatakan secara esensial kehidupan madani
ditandai dengan adanya supremasi hukum dalam kehidupan dan tatanan masyarakat.[16]
Dengan berdasar pada pengertian “masyarakat” dan
“madani” yang telah diuraikan maka istilah “masyarakat madinah” dapat diartikan
sebagai kumpulan manusia dalam satu tempat (daerah/wilayah) di mereka hidup
secara ideal dan taat pada aturan-aturan hukum, serta tatanan kemasyarakatan
yang telah di-tetapkan. Dalam konsep umum, masyarakat madani tersebut sering
disebut dengan istilah civil
society (masyarakat sipil) atau al-mujtama’ al-madani, yang
pengertiannya selalu mengacu pada “pola hidup masyarakat yang berkeadilan, dan
berperadaban”.
Dalam istilah Alquran, kehidupan masyarakat madani tersebut dikonteks-kan
dengan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr yang secara harfiyah
diarti-kan negeri yang baik dalam keridhaan Allah. Istilah yang digunakan
Alquran sejalan dengan makna masyarakat yang ideal, dan masyarakat yang ideal
itu berada dalam ampunan dan keridahan-Nya. “Masyarakat ideal” inilah yang
dimaksud dengan “masyarakat madani”.
II. KONSEP MASYARAKAT MADANI PERSPEKTIF ALQURAN
Dalam upaya menemukan konsep masyarakat madani dalam perspektif Alquran,
maka masalah ini akan dikaji berdasarkan metode tafsir tematik (manhaj tafsīr
bi al-mawdhu’iy), dengan cara menghimpun ayat-ayat Alquran yang mempunyai maksud yang sama dalam arti
sama-sama membicarakan satu topik masalah. Teknik interpretasi yang digunakan
adalah menganalisis ayat-ayat tersebut dan menyusunnya berdasarkan kronologi,
serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Teknik penafsiran seperti ini, disebut
dengan teknik interpretasi sosio historis; kemudian ayat-ayat tentan
masyarakat madani tersebut dijelaskan berdasarkan konteks ayat atau hadis (teknik
interpretasi tekstual) dan menguraikan keterkaitannya dengan berbagai
masalah (teknik interpretasi sistemik), lalu mengambil kesimpulan.
Sekaitan dengan ini, maka kajian tentang masyarakat madani yang penulis
lakukan, terformulasi dan tersistametis sebagai berikut :
A. Himpunan Ayat-ayat tentang Masyarakat Madani
Berdasarkan hasil telaahan penulis, ternyata term “masyarakat
madani” (المجتمع المدنى)
memang tidak ditemukan dalam Alquran. Namun, ada dua kata kunci yang bisa
menghampirkan pada konsep masyarakat madani itu sendiri, yakni term ummah dan
term madīnah. Kedua term ini, menjadi nilai dasar dan nilai-nilai
instrumental bagi terbentuknya masyarakat madani. Kata ummah misalnya
bisa dirangkaikan dengan sifat dan kualitas tertentu, seperti ummah
wasathan, kaheru ummah dan ummah muqtashidah yang merupakan pranata
sosial utama yang dibangun oleh Nabi saw, segera setelah hijrah ke Madinah.
Term ummah dalam bahasa Arab menunjukkan kepada arti tentang
komunitas manusia, sedangkan term madīnah adalah sebagai tempat di mana
komunitas manusia itu berada. Dengan arti seperti ini, dan kaitannya dengan
metode tafsir tematik yang dijadikan acuan, kelihatan bahwa term-term ummah dalam
Alquran lebih tepat untuk dihimpun, kemudian dikaitkan dengan term madīnah
untuk mendapatkan konsep masyarakat madani dari Alquran .
Melalui teknik interpretasi linguistik, diketahui bahwa term أمة (ummah) yang berbentuk
tunggal, dan أمم (umam) adalah bentuk
jamaknya berasal dari akar kata أم
(amma) يؤم (yaummu), أما (ammam) artinya;
menjadi, ikutan dan gerakan.[17] Alquran
menyebut kata امة (ummah) sebanyak 50
kali, sedang kata أمم (umam) sebanyak 13
kali.[18] Penggunaan dua kata tersebut dalam
Alquran tidak menunjuk kata tunggal. أمة
(ummah) adalah konsep komprehensip yang mengandung sejumlah makna antara
lain: Pertama, bermakna binatang yang ada di bumi atau burung yang
terbang dengan dua sayapnya sebagaimana dalam QS. al-An’am (6): 38 yakni; “وَلَا طَائِرٍ
يَطِيرُ … بِجَنَاحَيْهِ
إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ”.
Kedua, bermakna makhluk jin dan manusia, misalnya QS. al-Ahqaf (46) :
18, yakni; “فِي أُمَمٍ
قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ” Ketiga, bermakna imam
(pemipin), misalnya QS. al-Nahl (16) : 120, yakni “إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ
حَنِيفًا” Keempat,
bermakna agama, misalnya dalam QS. al-Anbiya (21):92, yakni “إِنَّ هَذِهِ
أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ”.
Penggunaan kata ummah/umam dalam Alquran yang khusus ditujukan kepada manusia juga
mengandung beberapa pengertian antara lain: Pertama, bermakna setiap
generasi yang kepada mereka diutus seorang Nabi atau Rasul, misalnya umat Nabi
Nuh, umat Nabi Ibrahim, umat Nabi Musa, dan umat Nabi Muhammad saw, misalnya
dalam QS. al-Nahl (16); 36, yakni “وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا”.
Kedua, bermakna golongan manusia yang menganut agama tertentu, misalnya
umat Yahudi, umat Nasrani dan umat Islam, misalnya dalam QS. Ali Imran (3) :
110, yakni “كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ
أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ ... وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ
الْكِتَابِ ...”. Ketiga, bermakna seluruh manusia adalah umat yang satu,
misalnya dalam QS. Al-Baqarah (2) : 213, yakni “كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً” Keempat, bermakna
bagian dari masyarakat yang mengemban fungsi tertentu yakni menyelenggarakan
keutamaan dengan menegakkan yang baik dan mencegeh yang mungkar, misalnya dalam
QS. Ali Imran (3) : 104, yakni “وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ
وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ”.
Dengan mencermati ayat-ayat yang telah dihimpun di atas, diperoleh
kesimpulan bahwa terminologi umat dalam Alquran
menunjukkan berbagai komunitas tertentu, yakni; komunitas binatang,
komunitas jin dan manusia, komunitas keagamaan tertentu, yaitu komunitas yang
mempunyai keyakinan keagamaan yang sama. Secara umum, seperti komunitas yang
mempunyai basis solidaritas tertentu atau dasar komitmen keagamaan, etnis dan
moralitas. Demikian, interpretasi term-term ummah yang penulis temukan
dalam himpunan ayat-ayat Alquran .
B. Masyarakat Madani dalam Tinjauan Teknik Interpretasi Sosio Historis dan
Teknik Interpretasi Sistemik
Dari ayat-ayat Alquran yang di
dalamnya terdapat term أمة (ummah) sebagaimana yang telah diidentifikasi, terklasifikasi atas dua
periodesasi ber-dasarkan kronologi pewahyuannya, yakni makkiyah dan madaniyyah.
1. Ayat-ayat Makkiyah
Berdasarkan telaahan penulis, ditemukan indikasi bahwa bahwa ayat-ayat
tentang “أمة” sebagian besar telah turun pada periode Mekkah
(terutama akhir periode). Hampir semua kata أمة
(ummah) yang turun di Mekkah itu menunjuk pada arti bangsa, bagian dari
bangsa atau generasi dalam sejarah. Rumpun ayat yang pertama kali turun adalah
yang terdapat dalam QS. al A’raf (7) : 34, 38, 159, 160, 164, 168, dan 181.
Ayat-ayat ini menurut data yang penulis temukan dari kitab Mabāhiś al-Qur’ān
karya Mannā’ al-Qaththān diturunkan para periode Mekkah.[19] Namun, penulis tidak menemukan data
lebih lanjut mengenai sabab al-nuzul ayat-ayat ini.[20] Sekaitan dengan ini, al-Wāhidi memang
menyatakan bahwa tidak semua ayat memiliki sabab al-nuzul, oleh karena
terkadang wahyu datang secara tiba-tiba tanpa sebab, ditambah lagi dengan
bermacam-macamnya cara Nabi saw menerima wahyu.[21]
Walaupun ayat-ayat periode makkiyah ini, tidak ditemukan sabab
nuzul-nya, namun antara satu ayat dengan ayat yang lainnya memiliki
aspek-aspek munāsabah, yakni keterkaitan kandungan yang terangkai dan
sistemik. Bermula dari QS. al-A’raf (7):34, yakni ;
وَلِكُلِّ
أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا
يَسْتَقْدِمُونَ
Terjemahannya
:
Tiap-tiap umat mempunyai
batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat
mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.[22]
Ayat tersebut kebanyakan menafsirkan dengan “batas
waktu” seperti halnya dengan mufasir Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab
mengisyaratkan bahwa “ajal” yang dimaksudkan adalah masa keruntuhan dan
kehancuran “umat” atau “masyarakat manusia”,[23] dan kebenaran dari ayat tersebut dapat
disaksikan dari sejarah bahwa bangsa-bangsa kuno seperti; Babilonia, Yunani,
Mesir, Romawi, Persia dan kerajaan-kerajaan yang diperintah oleh berbagai
dinasti yang lenyap dari peta bumi politik dan peradaban.[24] Ayat 34 ini, dimaksudkan sebagai berita
awal tentang akan munculnya suatu masyarakat baru, yang pada waktu itu belum
bisa dibayangkan oleh suku-suku bangsa Arab yang boleh dikata tidak
berpemerintahan, maka sebagai munāsabah-nya dapat ditemukan pada ayat 35
yang merupakan ajakan pada pembaharuan (ishlah) yakni ;
يَابَنِي ءَادَمَ
إِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَقُصُّونَ عَلَيْكُمْ ءَايَاتِي فَمَنِ
اتَّقَى وَأَصْلَحَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Terjemahnya
Tiap-tiap umat mempunyai
batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat
mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.
Ayat di atas merupakan imbauan kepada suku-suku
nomaden dan suku elit Quraisy di Mekkah menyambut ajaran untuk menciptakan
keamanan dan kebahagiaan. Alquran
menyampaikan berbagai gejala terdahulu dalam sejarah, contoh, bangsa
Israil yang telah memiliki sejarah panjang dan tradisi bermasyarakat yang
mengakar dan mengembangkan kebudayaan hukum yang tinggi dan pernah memiliki
sistem politik yang kuat. Munāsabah berikutnya, adalah terdapat pada
ayat 159 yang dimana ayat tersebut mengantar pada kemungkinan terbentuknya
suatu kelompok yang memimpin yang pernah dibentuk Nabi Musa. Berita tentang
gejala ini diulang dalam konteks yang lebih umum yaitu pada ayat 181, yakni ;
وَمِمَّنْ خَلَقْنَا أُمَّةٌ يَهْدُونَ بِالْحَقِّ وَبِهِ
يَعْدِلُونَ
Terjemahnya :
Dan di
antara orang-orang yang Kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan
hak, dan dengan yang hak itu (pula) mereka menjalankan keadilan.
Ayat di atas adalah rintisan untuk menghimpun
kesepakatan, bahwa kelak perlu ada suatu lembaga yang berfungsi menjalankan
keadilan berdasar pada prinsip-prinsip kebenaran. Itulah yang disebut pada ayat
sebelumnya (ayat 157), yakni “يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا” sebagai ayat yang menginformasikan akan ada
kelompok baru di sekitar Nabi saw. Menurut Prof. Dr. Quraish Shibab bahwa ayat
ini juga mempunyai latar belakang salah satu tujuan kedatangan Nabi Muhammad
saw, sebagai anugerah kepada Bani Israil.[25] Diketahui bahwa sistem hukum bangsa
Bani Israil sangat memberatkan pada umat, misalnya hukum qishas tanpa
kesempatan untuk membayar diyah, membuang atau menggunting kain yang
terkena najis dan melakukan taubat dengan bunuh diri.[26] Karena itu masyarakat harus memberikan
legitimasi terhadap risalah tersebut.
Selanjutnya, ayat yang masih menggunakan term ummah
dan turun dalam periode Mekkah adalah yang tercantum dalam QS. Fāthir (35): 24,[27] yakni;
إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ بِالْحَقِّ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَإِنْ
مِنْ أُمَّةٍ إِلَّا خَلَا فِيهَا نَذِيرٌ
Terjemahnya :
Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa
kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan
tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.[28]
Ayat yang disebutkan di atas, juga tidak memiliki sabab
al-nuzul.[29] Term ummah dalam ayat di atas
dikaitkan (munāsabah) dengan seorang rasul atau nabi yang membawa berita
gemira dan memberi peringatan. Umat di sini bisa berarti suatu bangsa atau
generasi tertentu, mereka itu bisa menyambut seruan nabi atau bahkan menolak
atau mendustakan ajaran baru itu. Karena itu, dari segi bahasa, ummah di
sini berkonotasi netral, artinya bukan mesti di-munasabah-kan
(dikait-kan) dengan kepercayaan umat tersebut terhadap suatu ajaran atau agama
tertentu, misalnya umat Yahudi, umat Nashrani, sebagaimana dalam QS. Ali Imrān
(3): 110 dan ayat-ayat lainnya yang tergolong sebagai ayat periode madaniyyah.
2. Ayat-ayat Madaniyyah
Ayat yang turun di Madinah dan menggunakan term ummah di antaranya
adalah QS. Ali Imran (3): 104, yakni
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ
أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Terjemahnya
Dan hendaklah ada di
antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
Ayat di atas, memiliki sabab al-wurud. Dalam Tafsīr Ibn Kasīr dijelaskan
bahwa berdasarkan riwayat dari Ahmad, dari Mughīrah, dari Shafwān, dati Azhar,
dari Abū Amr, ia berkata; ketika kami berhaji dan tiba di Mekkah dengan Mu’awiyah
bin Abi Sufyān, kami bershalat zhuhur dengan Nabi saw, lalu beliau bersabda: sesungguhnya
ahli kitab akan terpecah menjadi beberapa
millah (golongan), dan umat ini (Islam) juga terpecah menjadi 73 golongan … maka turunlah ayat tersebut (QS. Ali Imran/:104)
sebagai perintah bagi setiap ummah untuk melakukan dakwah, dan sekiranya
perpecahan tersebut tidak dihindari, cukuplah ia menjadi rahmat.[30] Bila sabab nuzul ayat ini
dicermati, ditemukan konsep bahwa ummah (bangsa-bangsa dan atau
masyarakat) akan mengalami perbedaan dan kekhasan tersendiri. Mereka memiliki
pandangan yang berbeda antara satu dengan lainnya. Perbedaan-perbedaan itu,
dapat dilihat pada aspek munāsabah ayat yang menggunakan term ummah dalam
ayat 113-114 di surah yang sama, yakni ;
لَيْسُوا سَوَاءً
مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ يَتْلُونَ ءَايَاتِ اللَّهِ ءَانَاءَ
اللَّيْلِ وَهُمْ يَسْجُدُونَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَيَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ
وَأُولَئِكَ مِنَ الصَّالِحِينَ.
Terjemahnya
:
Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada
golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu
di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada
Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah
dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka
itu termasuk orang-orang yang saleh.[31]
Jelas bahwa ayat di atas secara tegas membedakan antara satu ummah dengan
ummah lainnya, namun persamaan juga ada, yakni sama-sama melaksanan
ritual keagamaan, yakni mengembang suatu fungsi tertentu dalam upaya
menyelenggarakan kebenaran. Term ummah dalam ayat di atas, menunjuk
bagian dari masyarakat yang mengemban suatu fungsi tertentu, yaitu;
menyelenggarakan keutamaan dengan menegakkan yang baik dan mencegah yang
munkar. Dalam salah satu hadis, Nabi saw bersabda :
قَالَ
أَبُو سَعِيدٍ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ
الْإِيمَانِ (رواه مسلم) [32]
Artinya :
Abu Sa’id berkata: saya
mendengar Rasulullah saw bersabda : Barang siapa di antara kamu yang melihat
kemungkaran, maka hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak sanggup
(dengan tangannya), maka hendaklah dia mengubahnya dengan lisan. Jika tidak
sanggup (dengan lisannya), maka hendaklah dia mengubahnya dengan hatinya. Dan
yang demikian ini (dengan hati) adalah selemah-lemah iman.
Keberhasilan dalam menegakkan kebaikan dan
keberhasilan dalam mem-berantas kemungkaran pada gilirannya akan terwujud suasana
yang aman, damai, sejahterah. Susasana-suasana seperti ini, kesemuanya
digambarkan dalam ayat-ayat madaniyah dan tersimpul dalam tiga istilah,
yakni masyarakat yang memiliki nilai-nilai keutamaan (khaer ummah),[33]
masyarakat yang seimbang (ummah wasath),[34]
dan masyarakat moderat (ummah muqtashidah).[35]
Dari ketiga istilah inilah, termuat konsep masyarakat madani dan
terimplemenasi di Madinah pada zaman Nabi saw.
C.
Analisis tentang Konsepsi Masyarakat Madani
Konsep masyarakat madani
sebagaimana yang telah ditekankan oleh Alquran , dan telah dirumuskan pada
uraian terdahulu adalah masyarakat yang terbaik (khairah ummah),
masyarakat yang seimbang (ummatan wasathan), dan masyarakat moderat (ummah
muqtashidah). Berikut ini dikutip ayat-ayat yang menggunakan istilah-istilah
tersebut :
1.
Khairah
ummah dalam QS. Ali Imran (3): 110, yakni ;
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ
الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Terjemahnya :
Kamu adalah umat yang
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
2.
Ummatan
wasathan dalam QS. al-Baqarah (2): 143, yakni ;
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً
وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ
عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا
لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ
كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ
لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
Terjemahnya :
Dan demikian (pula)
Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu
menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi
atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu
(sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti
Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat
berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan
Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang kepada manusia.
3.
Ummah
Muqtashidah dalam QS. al-Maidah (5): 66, yakni ;
وَلَوْ
أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ
رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ مِنْهُمْ أُمَّةٌ
مُقْتَصِدَةٌ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ سَاءَ مَا يَعْمَلُونَ
Terjemahnya :
Dan sekiranya mereka
sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al Qur'an) yang
diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan
dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan yang
pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.
Konsep khairah ummah
sebagaimana dalam QS. Ali Imran (3):110, adalah model masyarakat terbaik dan
yang ideal, ditugasi untuk mengembang beberapa fungsi profetik, terutama
senantiasa menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran, serta tidak bercerai
berai dan berselisih setelah memperoleh keterangan yang jelas. Alquran memberi petunjuk beberapa mekanisme damai
untuk memecahkan problem internal, yaitu metode syūrah (musyawarah),[36]
ishlāh (rekonsiliasi),[37]
dan berdakwah dengan cara al-hikmah wa al-mujādalah bi allati hiya ahsan (serua
dengan kebijaksanaan serta perundingan dengan cara yang lebih baik).[38]
Konsep ummatan wasathan
sebagaimana dalam QS. al-Baqarah (2): 143, adalah masyarakat yang seimbang.
Masyarakat seimbang adalah posisi di tengah-tengah (wastah), yakni
menggabungkan yang terbaik dari segala yang bertentangan. Penempatan posisi
tengah itu bukan hanya dengan pernyataan negasi, misalnya, bukan kapitalisme
dan bukan pula sosialisme.[39]
Konsep ummah muqtashidah
isebagai dalam QS. al-Maidah (5): 66, adalah masyarakat yang moderat, yakni
entitas tertentu di kalangan ahli kitab, dan posisi ummah disitu adalah
minoritas. Maksudnya, adalah kelompok kecil dalam masyarakat yang tetap setia
menebarkan kebaikan dan perbaikan serta meminimalisir kerusakan. Kelihatan
bahwa makna ummah muqtashidah ini hampir identik dengan ummah wasath,
karena keduanya mengandung makna moderat da ketidakterjebakan pada titik
ekstrim. Keduanya juga berfungsi memelhara konsistensi penerapan nilai-nilai
utama di tengah pelbagai komunitas sekitar yang telah menyimpang. Bedanya,
cakupan ummah muqtashid adalah sub komunitas seagama (Yahudi atau
Nashrani), sedangkan ummah wasath adalah komunitas seagama itu sendiri,
yakni Islam.
Konsep masyarakat madani yang
digambarkan di atas, sungguh telah terpraktik dalam kenegaraan di Madinah yang
diplopori oleh Nabi saw. Konsep ini, bermula sesaat setelah hijrahnya Nabi saw dan para sahabatnya yang ditandai
dengan adanya Sahifah ay Watsiqah Madīnah atau Madinah Charter yang
dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “Piagam Madinah”. Item-itemnya berisi
statement tentang kemasyarakatan meliputi yang pada intinya adalah :
1.
Asas kebebasan beragama, yakni negara mengakui dan melindungi setiap
kelompok untuk beribadah menurut agamanya masing-masing;
2.
Asas persamaan, yakni semua orang mempunyai kedudukan yang sama sebagai
anggota masyarakat, wajib saling membantu dan tidak boleh seorang pun
diperlakukan secara buruk, bahkan orang yang lemah harus dilindungi dan
dibantu;
3.
Asas kebersamaan, yakni semua anggota masyatakat mempunyai hak dan
kewajiban yang sama terhadap negara;
4.
Asas keadilan, yakni setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama
di hadapan hukum. Hukum harus ditegakkan, siapapun yang melanggarnya harus
terkena hukuman;
5.
Asas perdamaian, yakni warga negara hidup secara berdampingan, tanpa
membedakan suku, agama, dan ras (SARA);
6.
Asas musyawarah, yakni semua permasalahan kenegaraan yang pelik mesti
dicarikan solusinya melalui dewan syura.
Kelima asas
penting “Piagam Madinah” tersebut ditandatangani oleh seluruh komponen
masyarakat; Nasrani, Yahudi, Muslim (Ansar-Muhajirin). Masyarakat pendukung
“Piagam Madinah” jelas memperlihatkan karakter masyarakat yang majemuk, baik
ditinjau dari segi asal keturunan, maupun segi budaya dan agama. Di dalamnya
terdapat Arab Muslim, Yahudi dan Arab non Muslim, semuanya bersatu membangun
madinah.
III. PENUTUP
Berdasar
pada permasalahan yang telah ditetapkan, dan kaitannya dengan uraian-uraian
yang telah dipaparkan, maka dapat dirumuskan kesimpulan bahwa Masyarakat madani
secara umum adalah sekumpulan orang dalam suatu bangsa atau negara di mana
mereka hidup secara ideal dan taat pada aturan-aturan hukum, serta tatanan
kemasyarakatan yang telah ditetapkan. Masyarakat seperti ini sering disebut dengan istilah civil society (masyarakat sipil) atau al-mujtama’
al-madani, yang pengertiannya selalu mengacu pada “pola hidup masyarakat
yang tebaik, berkeadilan, dan berperadaban”. Dalam istilah Alquran , kehidupan
masyarakat madani tersebut dikontekskan dengan baldatun thayyibatun wa
rabbun ghafūr.
Melalui kajian tafsir tematik dengan menggunakan
teknik multi interpretasi, maka dipahami bahwa terminologi masyarakat madani
dalam perspektif Alquran, terungkap melalui term ummah pada ayat-ayat makkiyah
dan madaniyah yang walaupun tidak semuanya memiliki sabab
al-nuzul, namun kesemua ayat tersebut saling berkaitan, sehingga melahirkan
nilai-nilai dasar kemasyarakatan (al-mujtama’) dalam arti
kumpulan atau komunitas, misalnya; komunitas binatang, komunitas jin dan
manusia. Dari nilai-nilai dasar kemasyarakatan ini, maka lahirlah konsep
masyarakat madani, yakni masyarakat yang ideal yang teriterpretasi dalam tiga
istilah, yakni masyarakat yang utama dan terbaik (khairah ummah),
masyarakat yang seimbang (ummatan wasathan), dan masyarakat moderat (ummah
muqtashidah). Konsep masyarakat madani seperti yang disebutkan ini lalu
diimplementasikan oleh Nabi saw, di
masyarakat Madinah yang ditandai dengan adanya Sahifah ay Watsiqah Madīnah atau
Madinah Charter, yakni “Piagam Madinah” yang item-itemnya meliputi enam
prinsip, yakni asas kebebasan beragama, asas persamaan, asas kebersamaan, asas
keadilan, asas perdamaian, dan asas musyawarah
Berdasar pada rumusan kesimpulan
di atas, kelihatan bahwa kajian tentang masyarakat madani menurut perspektif
Alquran , masih perlu dikembangkan, dan didiskusikan lebih lanjut, sehingga
akan diperoleh rumusan konsepsi tentang masyarakat madani yang lebih akurat dan
argumentatif untuk diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.[]
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Al-Bāqy, Muhammad Fu’ad ‘Abd.. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāzh
al-Qur’ān al-Karīm (Bairūt: Dār al-Fikr, 1992
Departemen Agama RI, Alquran
dan Terjemahnya. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Alquran , 1992
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Cet II, Jakarta : Balai Pustaka, 1989
Al-Farmawi, Abd. al-Hayy. al-Bidāyah fī Tafsīr al-Mawdhu’iy diterjemahkan
oleh Suryan A. Jamrah dengan judul Metode Tafsir Mawdhuiy; Suatu Pengantar Cet.
I; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994
Al-Hasyimiy, Al-Sayyed Ahmad. Jawāihr al-Balāgah fī al-Mah’āniy wa
al-bayāni wa al-Badī’iy. Mesir: Dār al-Fikr, 1991
Ibn Kasīr, Abū al-Fidā Ismail. Tafsīr al-Qur’ān al-Azhīm. Semarang:
Toha Putra, t.th
Al-Kalili, Asad M.. Kamus Indonesia Arab. Cet. V; Jakarta: Bulan
Bintang, 1993
Karni, S. Asrory, Civil Society dan Ummah; Sintesa; Diskursif “Rumah”
Demokrasi. Cet. I; jakarta: Logos, 1999.
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi. Cet. V; Jakarta: Aksara
Baru, t.th
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan, 1997
Ma’luf, Luwis. al-Munjid fiy al-Lugah. Bairut: Dar al-Masyriq,
1977
Al-Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir. Surabaya: Pustaka
Progressif, 1984
Parker dan Anderson, Society its Organization and Operation.
Toronto-London- New York; Mostrand co, Inc 1964
Al-Qaththān, Mannā’. Mabāhiś fī ‘Ulū al-Qur’ān. Bairūt: Dār
al-Masyūrat al-Ashr al-Hadīś, 1973
Rahardjo, M. Dawam. Ensiklopedi Alquran ; Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-konsep Kunci. Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1996
Salim, Abd. Muin. Salim, H. Abd. Muin. “Elaborasi Bahasa Politik
Islam dalam Alquran ” dalam Al-Huda; Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Islam, Jakarta:
Vol. 1 No. 2, 2002
.Fiqh
Siayasah; Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Alquran. Cet.
II; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995.
. Implementasi Manajemen Rabbani menuju
Masyarakat Madani
“Makalah”. Ujung Pandang: Panitia Seminar Nasional IAIN Alaudin, 1999.
. Metodologi Tafsir; Sebuah
Rekonstruksi Epistimologis Memantapkan Keberadaan Ilmu Tafsir sebagai Disiplin
Ilmu “Orasi
Pengukuhan Guru Besar”. Ujungpandang: IAIN Alauddin, 1999
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian
Alquran , volume 2. Cet III; Jakarta: Lentera Hati, 2005
. Wawasan Alquran Tafsir Mandhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat.
Cet VIII, Bandung: Mizan, 1998.
Susanto, Astrid S. Pengantar
Sosiologi dan Perubahan Sosial. Cet I; Bandung; Bina Cipta, 1979
Al-Suyuti, Imām Jalāl al-Dīn. Lubāb al-Nuqul fī Asbāb al-Nuzūl. Bairūt:
Dār al-Fikr, 1977
Syani, Abdul. Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan. Cet. I;
Jakarta:Bumi Aksara, 1994
Ubaidillah, A.. Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM dan Masyarakat
Madani Cet I, Jakarta: IAIN Syahid Jakarta Press, 2000
Umari, Akram Dhiauddin. Madinan Society at The Time of the Propeht;
Its Charcteristics and Organization, diterjemahkan oleh Mu’im A. Sirry
dengan judul. Masyarakat Madani; Tinjauan Historis Kheiudpan Za,an Nabi saw.
Jakarta: Gema Insani Pres, 1999.
Wahid, Hidayat Nur. Mengelolah Masa Transisi Menuju Masyarakat Madani.
Cet. I; Ciputat: Fikri, 2004
Al-Wāhidi al-Naysāburi, Abū al-Hasan bin Ali bin Ahmad. Asbāb
al-Nuzūl. Jakarta: Dinamika Utama, t.th.
[1]Demikian interpretasi
ayat yang terkandung dalam QS. al-Hujurat (49): 13
[2]Prof. Dr. H. Abd. Muin Salim menegaskan bahwa
penggunaan metode tafsir tematik sangat relevan dengan kebutuhan masa kini,
karena dengan metode tersebut dapat memberikan gambaran yang utuh dari masalah
yang dibahas. Metode tematik yang juga diistilahkan dengan metode mawdhu’iy yang
dimaksudkannya adalah tidak mengabaikan unsur-unsur metode tahlīliy
sepanjang hal itu penting dan menyangkut dengan masalah yang dibahas.
Langkah-langkah tafsir mawdhū’iy adalah ; (1) Menentukan masalah yang
dibahas; (2) mengadakan penelitian pendahuluan untuk mendapatkan gambaran
mengenai konsep dan kerangka teori yang akan dijadikan sebagai acuan; (3)
menyusun hipotesis bila diperlukan; (4) menghimpun data yang relavan dengan
masalah, baik berupa ayat-ayat Alquran ataupun hadis-hadis Nabi saw serta data
lainnya yan terkait; (5) menyusun ayat-ayat menurut tertib turunnya surahnya;
(6) menafsirkan kosa kata, frase, klausa dan ayat-ayat dengan teknik tasir; (6)
membahas konsep-konsep yang diperoleh dan mengaitkannya kerangka acuan yang
dipergunakan; (7) menyusun hasil-hasil penelitian menurut kerangka yang telah
disipkan dalam bentuk laporsan hasil penelitian (karya tafsir). Lihat H. Abd.
Muin Salim, Metodologi Tafsir; Sebuah Rekonstruksi Epistimologis Memantapkan
Keberadaan Ilmu Tafsir sebagai Disiplin Ilmu “Orasi Pengukuhan Guru Besar”
(Ujungpandang: IAIN Alauddin, 1999), h. 32-33
[3]Teknik interpretasi yang dimaksud adalah; (1) Teknik
Interpretasi Tekstual, yakni ayat-ayat Alquran yang diteliti dan
ditafsirkan dengan menggunakan teks-teks Alquran sendiri ataupun hadis Nabi
saw; (2) Teknik Interpretasi
Liguistik, yakni ayat-ayat Alquran ditafsirkan dengan menggunakan
kaedah-kaedah kebahasaan. Teknik ini mencakup interpretasi dalam bidang
semantik etimologis, semantik morfologis, semantik leksikal, semantik
gramatikal dan semantik retorikal; (3) Teknik Interpretasi Sistematis, yakni
yakni ayat-ayat Alquran ditafsirkan berdasarkan analisis dengan melihat
perpautannya dengan dengan ayat-ayat atau bagian-bagian lainnya yang ada
disekitarnya; (4) Teknik Interpretasi Sosio Historis, yakni ayat-ayat
Alquran ditafsirkan dengan meng-unakan riwayat mengenai kehidupan sosial
politik dan kultural bangsa Arab pada saat diturunkan Alquran. Dengan kata lain
ayat ditafsirkan dengan menggunakan sebab turunnya ayat; (5) Teknik
Interpretasi Teleologis, yakni ayat-ayat Alquran ditafsirkan dengan
menggunakan kaidah-kaidah fikih yang pada hakikatnya merupakan rumusan dari
filsafat hukum Islam yang secara garis besar menghendaki tercapainya
kebahagiaan manusia dengan terwujudnya kesejahteraan dan kedamainan; (6)
Teknik Interpretasi Kultural, yakni ayat-ayat Alquran ditafsirkan dengan menggunakan
pengetahuan yang mapan dan beracu pada asumsi bahwa pengetahuan yang benar
tidak bertentangan dengan Alquran; (7) Teknik Interpretasi Logis, yakni
yakni ayat-ayat Alquran ditafsirkan dengan menggunakan prinsip-prinsip logika
dalam memahami kandungan Alquran; (8) Teknik Interpretasi Ganda, yakni
ayat-ayat Alquran ditafsirkan dengan menggunakan dua atau lebih teknik
interpretasi. Lihat Abd. Muin Salim, Metodologi Tafsir, ibid., h.
33-36. Bandingkan dengan H. Abd. Muin Salim, Fiqh Siayasah; Konsepsi
Kekuasaan Politik dalam Alquran (Cet.
II; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), h. 23-30.
[4]Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet II, Jakarta : Balai
Pustaka, 1989), h. 564.
[5]Ahmad Warson al-Munawwir,
Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 1984), h. 82. Lihat
juga Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1992)
h. 196
[6]Luwis Ma’luf, al-Munjid
fiy al-Lugah (Bairut: Dar al-Masyriq, 1977), h. 384
[7]Asad M. AlKalili, Kamus
Indonesia Arab (Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 338. Lihat juga
Mahmud Yunus, op. cit., h. 91
[8]Luwis Ma’luf, op.
cit., h. 902
[9] Lihat Abdul Syani, Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan (Cet. I;
Jakarta:Bumi Aksara, 1994), h. 30.
[11]Quraish Shihab, Wawasan
Alquran Tafsir Mandhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat (Cet VIII, Bandung: Mizan, 1998), h. 319
[12]Lihat Astrid S. Susanto, Pengantar
Sosiologi dan Perubahan Sosial (Cet I; Bandung; Bina Cipta, 1979), h. 19.
Lebih jelasnya, lihat Parker dan Anderson, Society its Organization and
Operation (Toronto-London- New York; Mostrand co, Inc 1964), h. 29
[13]H. Abd. Muin Salim,
“Elaborasi Bahasa Politik Islam dalam Alquran ” dalam Al-Huda; Jurnal Kajian
Ilmu-Ilmu Islam, Jakarta: Vol. 1 No. 2, 2002, h. 8
[14]Kata kerja dayana,
yadīnu ini berat diucapkan dan janggal didengar. Karena itu, dengan tidak
mengubah makna, kata kerja asal itu diubah berdasarkan kaedah isytiqāq dengan
jalan mengganti huruf yā (‘ain) fi’il madhi-nya dengan
huruf alīf dan bari sukun pada huruf dal (fā) fi’il
mudhari’-nya dengan baris kasrah. Dengan demikian, fi’il (kata
kerja) dayana, yadīnu menjadi dāna, yadīnu. Al-Sayyed Ahmad
al-Hasyimiy, Jawāihr al-Balāgah fī al-Mah’āniy wa al-bayāni wa al-Badī’iy (Mesir:
Dār al-Fikr, 1991), h. 7
[15]Lihat QS. al-Qashash
(28): 22
[16]Uraian lebih lanjut,
lihat H. Abd. Muin Salim, loc. cit. Bandingkan juga dengan Abd. Muin
Salim, Implementasi Manajemen Rabbani menuju Masyarakat Madani “Makalah”
(Ujung Pandang: Panitia Seminar Nasional IAIN Alaudin, 1999), h. 4
[17]Luwis Ma’luf, op.
cit., h. 18
[18]Muhammad Fu’ad ‘Abd.
al-Bāqy, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāzh al-Qur’ān al-Karīm (Bairūt: Dār
al-Fikr, 1992), h. 102-103. Dari sumber ini, diketahui bahwa kata أمة (ummah) terdapat dalam
QS.al-Baqarah: 128, 134, 141, 143, 213; QS. Ali Imran: 104, 110, 113; QS.
al-Nisa: 41; QS. al-Maidah: 48, 66; QS. al-An’am: 108. QS.al-A’raf: 34, 38,
159, 164, 181; QS. Yunus; 19, 47, 49; QS. Hud: 8, 118. QS. Yusuf: 45; QS.
Arra’d: 30; QS. Al-Hijr: 5; QS. An-Nahl: 36, 84, 89, 92, 93, 120; QS.
Al-Anbiya: 92. S. Al-Haj; 34, 67; QS. Qashas; 23, 75; QS. Fatir; 24; QS.
Ghofir: 5. QS. Asysyura: 8; QS. Al-Zuhruf: 22, 23, 33; QS. al-Jaziah: 28; Untuk
kata أمم (umaة) dalam QS. al-An’am: 38, 42;
QS. al A’raf; 28; QS. Hud; 48, 148; QS.
al-Rra’du: 30; QS. al-Nahl: 62; QS. al-Ankabut: 18; QS. Fatir: 42. QS.
al-sabat; 25; QS. al-Ahqaf: 18.
[19]Selengkapnya mengenai
klasifikasi surah-surah dan ayat-ayat periode Makkiyah dan Madaniyah,
lihat Mannā’ al-Qaththān, Mabāhiś fī ‘Ulū al-Qur’ān (Bairūt: Dār
al-Masyūrat al-Ashr al-Hadīś, 1973), h. 54-55.
[20]Sumber-sumber yang
penulis jadikan rujukan, namun tidak disebutkan sabab nuzul ayat-ayat
tersebut di atas adalah (1) Imām Jalāl al-Dīn al-Suyuti, Lubāb al-Nuqul fī
Asbāb al-Nuzūl (Bairūt: Dār al-Fikr, 1977), h. 209-213; (2) Abū al-Hasan
bin Ali bin Ahmad al-Wāhidi al-Naysāburi, Asbāb al-Nuzūl (Jakarta:
Dinamika Utama, t.th), h. 152-156; (3) Abū al-Fidā Ismail bin Kasīr, Tafsīr
al-Qur’ān al-Azhīm (Semarang: Toha Putra, t.th), h. 211-217
[21]Demikian pernyataan
al-Wahidi, lihat Abū al-Hasan bin Ali bin Ahmad al-Wāhidi al-naysāburi, ibid.,
h. 71
[22]Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek
Pengadaan Kitab Suci Alquran , 1992), h. 226
[23]Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran , volume 2 (Cet III; Jakarta:
Lentera Hati, 2005), h. 84-85
[24]M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Alquran ; Tafsir
Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1996),
h. 487
[25]Lihat Quraish Shihab. op.
cit, h. 273
[26]Lihat Dawan Raharjo, op.cit,
h. 489
[27]Mannā al-Qaththān, loc.
cit.
[28]Departemen Agama RI, op.
cit., h. 699
[29]Lihat dan periksa ulang
Imām Jalāl al-Dīn al-Suyuti, op. cit., h. 403-407. Lihat juga Abū
al-Hasan bin Ali bin Ahmad al-Wāhidi al-Naysāburi, op. cit., h.316-317
[30]Lihat Abū al-Fidā Ismail
bin Kaśīr, op. cit., juz I; h. 390, teks aslinya adalah :
... قال
الإمام احمد، حدثنا أبوا المغيرة حدثنا صفوان، حدثى أزهر عن أبى عامر قال : حججنا
مع معاوية بن أبى سفيان فلما قدمنا مكة قام حين قلى صلاة الظهر فقال : إن رسول
الله صلم قال : ان اهل الكتاب افترقوا فى ديهم على الملل، وإن هذه الأمة ستفرقون
على ثلاث وسبعين ملة،.... فنزلت الآية
وستكون رحمة
[31]Departemen Agama RI, op.
cit., h. 94
[33]QS. Ali Imran (3): 110
[34]QS. al-Baqarah (2): 142
[35]QS. al-Maidah (5): 66
[36]QS. Ali Imran (3): 159
[37]QS. al-Hujurat (49): 9
[38]QS. al-nahl (16): 125
[39]Kuntowijoyo, Identitas
Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), h. 4
bagus tulisannya.. :)
ReplyDelete:) makasih yah! ini sekedar pelengkap kuliah. bentar kalau aku semester dua bakal posting karya tulis ilmiah baru sesuai tugas yg diberikan oleh dosen
Delete