sumber gambar |
TAWURAN oleh
pemuda kerap mewarnai media akhir-akhir ini, baik pelajar maupun mahasiswa
turut melakukan itu padahal lembaga pendidikan sengaja diciptakan untuk memberikan
jalan terbaik bagi keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Harapannya,
dengan menyekolahkan dan mendidik generasi bangsa akan mengurangi dampak kriminalitas
atau masalah sosial lainnya, tapi argumen ini tampaknya tidak lagi sejalan. Buktinya,
setinggi apapun pendidikan formal seseorang, masih saja berpeluang menjadi
sorotan karena tindakan kriminal!.
Lihat saja para pelaku koruptor, pelakunya
ternyata orang yang telah mengenyam pendidikan tinggi. Lalu bagaimana mengatasi
tawuran antar pemuda. Suatu anti tesa yang lahir dari beberapa
pakar bahwa untuk mengatasi masalah pemuda, maka sejatinya dibuatkan media atau
lapangan untuk menyalurkan bakat, diciptakanlah lapangan olahraga untuk
membangun sportivitas pemuda. Aneh! ternyata inipun jadi masalah, dilapangan
pun terjadi kecurangan sehingga kerap memicu terjadinya tawuran. Itulah yang
terjadi. Sebagai percobaan sekaligus sintesa sementara yang
memberikan gambaran bahwa jika ingin mengurangi aktivitas tawuran, maka
ciptakanlah lapangan kerja untuk mereka (generasi muda, baik yang sering
tawuran maupun orang yang kemungkinan akan terjebak tawuran). Dengan demikian,
tindak tawuran akan beralih menjadi pekerjaan yang produktif, tentunya sintesa
ini memandang masalah pada aktivitas pemuda yang kurang kerjaan, juga menjawab
bahwa tawuran merupakan kerjaan orang-orang yang tidak punya aktivitas berharga
dalam hidupnya.[1]
Pendapat tadi
seolah mengabaikan pendidikan sebagai pilar utama dalam membangun pemuda dan
generasi bangsa. Bisa jadi pendapat tersebut disandarkan pada peserta didik
yang justru menjadi aktor utama pada beberapa aksi tawuran. Sementara pekerja
untuk usaha ekonomi produktif oleh pemuda terbilang aman dari tawuran dan
masalah sosial lainnya, kemungkinan karena ia memiliki visi misi membangung
masa depan yang terencana melalui usaha.
Masalah di
atas kemudian mengarahkan hampir setiap instansi di Negeri ini maupun
organisasi sosial untuk membuat program kerja yang bergerak di bidang usaha
ekonomi produktif. Apakah program ini akan berhasil atau tidak? Ini hanyalah
percobaan dan hipotesanya sangat rasional. Lalu bagaimana memposisikan
pendidikan sebagai pilar utama pada peningkatan kualitas dan kuantitas pemuda
bangsa?
Pribadi menilai
bahwa pendidikan tetap yang utama, selain itu hanyalah program sampingan untuk
mengatasi masalah tawuran antar pemuda bangsa. Persoalan yang terjadi sehingga
pendidikan amburadul adalah kerena pemerintah yang acuh tak acuh dalam
membangung nalar dan mental pemuda. Mereka hanya bekerja karena bayaran, tenaga
pengajar pun demikian. Sejatinya Tenaga pengajar harus ikhlas dan benar-benar
profesional untuk membangun nalar, mental serta mengarahkan peserta didik untuk
berkarya. Kalau demikian adanya, peserta didikpun akan tulus menerima informasi
dan bisa diarahkan pada hal-hal positif lewat pengetahuan yang diberikan.[2]
Sebagai catatan
penutup! Apapun ide atau usahanya, yang terpenting adalah keluar dari masalah
Tawuran dan masalah sosial lainnya. Olehnya itu konsep dan aplikasi konsep
sangat dibutuhkan untuk membangun generasi di Negeri ini.
[1] Sintesa
ini muncul dari sahabat saya, Bahar S., S. Sos – terkait pengamatannya terhadap
gejala sosial dan kepemudaan, inspirasinya berangkat dari sistem usaha yang
dibangunnya.
[2] Pribadi
berpendapat bahwa pendidikan yang baik akan mempengaruhi mental yang baik,
kesimpulannya – jika pelajar dan mahasiswa kerap melakukan tawuran maka
pendidikan yang dibangun oleh instansi bisa jadi kurang tepat sasaran.
artikel yang sangat bagus sekali sukses selalu sob ....
ReplyDeleteMakasih atas kunjungannya ke Blog ini, terutama saran dan motivasnya.
Deleteterima kasih sekali lagi