Pahit manis
yang dilalui sekian tahun lamanya tiba-tiba harus berakhir tragis. Romantika hidup
yang telah lama dibangun harus berakhir sekejap dengan kebencian yang mendalam.
Perasaan piluh itu bisa melanda siapa saja yang mencoba melakukan hal yang sama
yaitu “berpacaran”.
Laksana Petir
menyambar jagat raya disiang bolong, tanpa hujan dan tanpa mendung. Serasa samudra
mengering ketika itu terjadi, Air mata menetes menahan piluh, makan tak enak,
tidur tak nyenyak, dunia terasa hampa dan Lebih baik mati saja dari pada harus
menderita ditinggal kekasih.
Bahasa di
atas mengurai “putus cinta versi rasa”. Berikut ini juga akan di urai sedikit “putus
cinta versi rasio”. Pernyataannya adalah “Jika putus cinta itu terpaksa harus
terjadi, sejatinya harus disyukuri. Itu karena alasan logis bahwa putus cinta
berarti telah terjadi ketidak-cocokan (kedua pihak, lingkungan atau keluarga),
ketidak-nyamanan, atau tidak lagi sejalan dengan komitmen awal membangun
hubungan cinta. Dengan demikian, kemungkinan besar akan kacau jika itu sampai
berlanjut kepelaminan. Secara sadar, Allah selalu memberikan yang terbaik untuk
hambahnya, termasuk jodoh. Dengan demikian, harus diyakini bahwa jodoh kita
bukan dia “yang barusan berakhir” tapi orang yang lebih baik dari dia.
Sebetulnya pacaran
itu berangkat dari pertemuan dua insan, lalu kedua insan tersebut menemukan
kenyamanan saat bersama. Perasaan nyaman ketika bersama tersebut kemudian
dibangun suatu komitmen untuk hubungan spesial, yang disebut ikatan cinta atau
pacaran. Sebenarnya, bukan komitmen yang penting dalam pacaran karena bukan itu
yang menjadi inti sebuah jalinan kasih sayang. Justru yang menjadi inti adalah “kenyamanan”
saat bersama, dan ketika kenyamanan saat bersama itu sudah memudar, berarti
saatnya untuk mengoreksi diri masing-masing, terlebih ketika kenyamanan itu
telah hilang atau justru yang mendominasi adalah percekcokan, maka mengakhiri
hubungan dalam pacaran adalah lebih baik.
Satu hal lagi
yang dianggap penting, yaitu jika kita sepakat bahwa tujuan pacaran[1]
itu adalah mencari dan menemukan kecocokan, juga sepakat bahwa pacaran itu bukan
arena untuk memaksakan diri larut dalam tekanan rasa[2],
maka seseorag akan selalu bahagia dalam hidupnya. Dengan demikian, Hal positif yang diperoleh
dari konsep diatas adalah :
1.
Mengurangi rasa sakit hati
yang berlebihan jika cintanya harus kandas di tengah jalan,
2.
Kedua insan cenderung ingin
menjadi yang terbaik untuk pasangan cintanya dan tanpa harus mengharapkan balasan
cinta. Itulah cinta sejati yang tulus!,
3.
Putus cinta tidak menjadikan
seseorang benci pada mantan kekasihnya, justru yang ada adalah rasa terima
kasih karena telah memberikan warna dan arti hidup dan kasih sayang dari sidia.
[1] Pacaran
secara umum diasumsikan sebagai hubungan asmara kedua insan dengan tujuan
persamaan karakter oleh masing-masing pasanan. Dengan demikian, tujuan pacaran
sesungguhnya adalah mencari kecocokan dan kenyamanan saat bersama lalu
kenayamanan dan kecocokan itu diikan dengan hubungan yang lebih serius.
[2] Merasa
bahwa pacar adalah segalanya sehingga apapun yang “sidia” inginkan harus
dilakukan.
Comments
Post a Comment
شُكْرًا كَثِرًا
Mohon titip Komentarnya yah!!
وَالسَّلامُ عَليْكُم