Siang itu, suasana
cukup sesak. Rasa panas bukan karena terik matahari yang menyinari para pengguna
jalan. Keluh itu nampak pada sebagian besar pengguna jalan yang melintas di
Jalan Sultan Alauddin Makassar. Suasana sesak disebabkan aksi demonstrasi
mahasiswa membuat para pangguna jalan merasa kesal dan sesekali terdengar keluh
tertuju pada mereka yang berdemo.
“Semoga kalian
dilumpukan oleh pihak keamanan” suara di seberang sana terdengar agak samar. Sepertinya
itu suara supir angkot yang merasa pekerjaannya terganggu.
“Aku masih lebih
percaya pada mahasiswa” sahut lelaki tua tiba-tiba membuka dialog pada angkutan
umum yang juga ditumpangi oleh Khalil. Maksud orang tua itu berbicara karena
ingin mengomentari suara yang barusan didengarnya diseberang sana.
Tidak ada yang
mengomentari suara lelaki tua itu. Suasana jadi hening. Nampak kekesalan
seorang ibu yang usianya belum terlalu tua menyaksikan demo mahasiswa yang
membuat urusannya jadi terbengkalai. Jiwanya meronta seolah mengaminkan do’a
yang juga didengarnya dari seberang.
“Mendingan mahasiswa
dari pada DPR!” kembali lelaki tua itu menyeru para penumpag yang tidak dikenalnya.
“mahasiswa berjuang atas nama rakyat dan itu merupakan aspirasi murni.
Sedangkan DPR hanya bekerja untuk memenuhi kantong mereka dan membayar utang
politik. Mereka bekerja dikendalikan oleh kelompok” Lanjutnya.
Tidak ada komentar.
Reaksi penumpang dalam sesaknya suasana itu lebih banyak yang Marah karena
urusannya terganggu. Khalil yang juga ada pada Angkot itu sebetulnya ingin
mengiyakan tutur lelaki tua itu. Ia sepakat namun tidak berani berkomentar
ditengah amarah para penumpang. Sikapnya hanya diam mengangguk.
Setelah suasana di
angkot hening beberapa jenak, mata seorang ibu yang usianya terbilang masih
muda tertuju pada wartawan yang asyik meliput mahasiswa berdemo. Muncullah ide
dibenaknya kemudian dilemparkan untuk menanggapi celoteh lelaki tua itu yang
duduk di depannya.
“Wartawan itu akan
mewakili aspirasi rakyat!” serunya penuh keyakinan.
“Betul bu” kata
penumpang lainnya.
“Tapi apa yang mau
deberitakan kalau tidak ada demo?” protes lelaki tua yang duduk di bagian
depan.
“Setidaknya jangan mengganggu
kenyamanan masyarakat dong!” tutur ibu muda itu yang kembali mengelak yang
penuh amarah di hatinya.
“sejatinya memang
harus begitu bu!” terdiam sejenak dan suasana kembali hening. Lalu lelaki tua
itu melanjutkan “tapi media juga tidak akan mau meliput berita yang biasa-biasa
saja”.
“betul pak!
Pengalaman kami memang seperti itu, media tidak meliput kami jika aksi kami
damai, pemerintah juga tidak mau mendengarkan aspirasi kami dengan cara-cara
damai” seru Khalil yang mulai menampakkan identitasnya sebagai mahasiswa yang
terbiasa demo. Dibenaknya bertutur serius “Memang mahasiswa melakukan demo
anarkis itu adalah jalan terakhir dalam artian terpaksa. Lagian anarkis bukan
hanya dari mahasiswa saja tetapi gesekan keamanan yang seringkali memaksa
tindak anarkis itu”.
“bukan soal anarkis
atau tidak, tapi jangan merusak fasilitas umum dan mengganggu keretiban
masyarakat” Ibu itu kembali bicara dengan nada yang kesal.
Khalil sebagai
mahasiswa yang terbiasa demo memperjuangkan kepentingan rakyat sebenarnya tau
amarah warga. Ia pun harus menahan amarah ketika ia sebagai demonstran
terganggu, tapi khalil paham bahwa cara yang terbaik agar suara didengar pemerintah
adalah berteriah di jalan, bahkan mengamuk kalau perlu. Baginya, media massa
tidak begitu baik mengangkat aspirasi rakyat. Itu karena media massa Tidak
berbicara apa adanya tapi yang dibicarakan adalah seperlunya saja. Tentunya itu
adalah kepentingan media.
Media massa tidak
suka aspirasi yang kosong atau sekedar bicara tanpa sesuatu yang heboh. Itu
karena prinsip media bahwa berita yang baik adalah yang unik atau menggelitik.
Media juga sangat mendukung aksi demonstrasi yang besar, lebih suka lagi jika
sampai terjadi bentrok karena beritanya jadi penting dan sangat mahal. Itulah
kepentingan media.
“turun ke jalan
menyuarakan aspirasi rakyat masih jauh lebih baik dari pada berdemo ala
teroris” pernyataan Khalil berusaha menenagkan ibu disampingnya yang masih terlihat
kesal.
Sebetulnya Khalil
juga punya kepentingan yang sama dengan penumpang lainnya, mereka semuanya
diburu waktu untuk segera menyelesaikan tugas diluar sana. Tapi bagi Khalil
kepentingan umum lebih utama dibanding kepentingan pribadi.
“Mahasiswa itu
berdemo atas aspirasi rakyat” tutur lelaki tua lalu memberikan penjelasan
“orang akan marah ketika haknya diganggu oleh orang lain. contohnya adalah
kasus sengketa tanah. Tanpa dipandu untuk protes/demo pun mereka akan
menurunkan massa. Contoh lain adalah siswa SD yang sering ditayangkan di TV
ternyata juga mereka menuntut hak sebagai siswa”. Suasana diam, lelaki tua itu
kembali melanjutkan “hewan pun akan marah ketika merasa terganggu, hewanpun
berdemo”. Tuturnya terus membela mahasiswa seoleh ingin membahasakan bahwa
“mahasiswalah yang selama ini memperjuagkan aspirasi rakyat, bukan anggota
Dewan”.
Ibu yang dihatinya
penuh amarah itu diam dan sedikit mengerti maksud lelaki tua itu. Pahamlah ia
bahwa yang dilakukan oleh mahasiswa selama ini sesungguhnya sangat mulia. Hanya
masih tersisa sedikit kekesalan yang dengan cara-nya yang harus mengganggu kenyamanan
hidup bermasyarakat, khususnya kenyamanan di jalan raya.
Berbicara soal
solusi mengatasi demo sebetulnya sudah sangat sering diperbincangkan. Bahkan
seluruh elemen masyarakat dari berbagai lapisan diminta untuk menemukan solusi
agar aksi anarkis para pendemo bisa ditekan.
“Siapa yang mau
mendengan mereka yang berteriak di jalan?, toh orang pada cuek dan kesal dengan
ulah mereka” ibu muda yang belum puas berdialog itu kembali melanjutkan
pembicaraan.
“Bukan suaranya yang
utama, mengamuk dulu yang penting untuk mendapat perhatian dari media, keamanan
dan pemerintah lalu menyuarakan aspirasi” kata lelaki tua yang tidak pernah
memberik kesempatan ibu muda itu berkeluh kesah.
“Sebetulnya aspirasi
dulu pak yang disuarakan!” komentar Khalil membetulkan pernyataan lelaki tua
itu. “Sebelum turun aksi, harus ada analisis wacana tentang fenomena atau
kebijakan timpang yang dilakukan oleh pemegang kebijakan. Dari kebijakan
tersebut, dimintalah tanggapan seluruh peserta rapat untuk menyikapi fenomena
tersebut. Jika harus ditindaklanjuti dengan demo, maka persiapan selanjutnya
adalah menghubungi pihak keamanan dan intel serta media massa untuk membantu
mahasiswa menjalankan aksinya”, tegas Khalil untuk menenangkan suasana dan
meluruskan pembicaraan.
“Kalau prosesnya
sebaik itu, mengapa harus tercipta bentrok yang merugikan banyak orang?” Kata
Ibu muda itu yang selalu protes.
“bentrok itu tidak
terencana, hanya saja pancingan untuk bentrok sering menunggangi para
demonstran” jawab khalil berusaha menenangkan emosi ibu muda itu.
Sepertinya sulit menjelaskan
persoalan ini pada ibu-ibu yang cerewetnya minta ampun. Masing-masing orang
punya cara yang berbeda untuk menyelesaikan persoalan, termasuk soal
menyuarakan aspirasi. Di Negara yang menggunakan sistem pemerintahan demokrasi
memang mengizinkan rakyatnya untuk demo. Tentu dasar demonstrasi itu berangkat
dari issue hak asasi manusia yang dijunjung tinggi pada sistem
pemerintahan demokrasi.
Di Amerika juga
sering terjadi protes oleh rakyatnya akibat kebijakan pemerintah yang dinilai
timpang. Tentu protes itu dibolekan karena alasan Hak Asasi Manusia. Berbeda dengan
negara-negara yang monarki absolut atau yang dipimpin oleh seorang raja,
peluang untuk Demo lebih kecil karena seolah pemilik negara adalah seorang
raja.
Mengertilah semua
penumpag di angkot itu lewat perbincangan singkat tentang demo. Semuanya terlihat
sadar, namun ego itu tidak akan pernah sirna. Semuanya ingin mendapatkan yang
terbaik meski tanpa perjuangan.
Comments
Post a Comment
شُكْرًا كَثِرًا
Mohon titip Komentarnya yah!!
وَالسَّلامُ عَليْكُم