Politisi telah membuat kehidupan umat manusia menjadi terkotak-kotakkan.
Orang-orang kaya telah membuat jurang pemisah dengan mempeta-petakan status
sosial dengan memberi istilah strata sosial atau status sosial yang ditentukan
berdasarkan tingkat kesejahteraan seseorang atau suatu keluarga. Akademisi yang
diharapkan akan memperbaiki keadaan ternyata juga membetuk simbol yang sama,
yaitu memberikan pengklasifikasian masyarakat tanpa menginformasikan atau
memberitahukan arah yang jelas tentang pengklasifikasian tersebut. Kelas dalam
masyarakat yang dikenal antara lain adalah Komunitas Adat Terpencil (KAT),
Masyarakat Pinggiran dan sebagainya. mungkin saja tujuan pengklasifikasian
tersebut untuk mensejahterakan masyarakat, namun tidak bisa dipungkiri bahwa
masalah sosial kemasyarakatan bukannya berkurang tetapi justru semakin parah.
Mulai dari Individu, Keluarga, komunitas, masyarakat atau bahkan sebuah
negara diberi label oleh orang atau bahkan secara kelembagaan berdasarkan
intervensi masing-masing yang memungkinkan penilaian tersebut sangat subjektif,
kemudian di cabut berdasarkan kepentingan masing-masing. Sebagai suatu contoh
adalah bahwa di Indonesia terkenal sebagai negara agraria. Itu mungkin sebutan
para politisi tingkat nasional, namun jika diintervensi lebih dalam, apakah
hasil pertanian yang bisa dibanggakan di Indonesia? atau dengan identitas
negara Agraria, mengapa ikut-ikutan terpesona pada negara industri?. Memang
aneh pengklasifikasian itu. Parahnya lagi, Negara yang sudah berusaha membidik
industri justru menjadi konsumen terbesar dari negara-negara industri seperti
Jepang yang menjadi produsen utama mesin untuk kendaraan maupun usaha industri
lainnya di Indonesia. Termasuk China yang dapat dikatakan telah menguasai pasar
teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia. Belum lagi berbicara tentang
Amerika Serikat yang menguasai sistem pemerintahan di Indonesia dan negara
lainnya yang menjadi tuan-tuan Indonesia. Lalu dimana identitas negara saat
ini? Masihkah bisa disebut sebagai negara agraria atau tinggal kenangan?. Tentu
jika kembali membaca Sejarah Negara Bangsa, pada masa lalu Indonesia pernah
jaya dan itu tinggal kenangan. Padahal Indonesia memiliki potensi yang sangat
baik untuk terus menjadi negara maju, namun diakui pula bahwa Indonesia masih
terbelakang dari pemanfaatan sistem tekhnologi informasi dan komunikasi.
Padahal TIK diakui sebagai suatu kekuatan yang bisa mendorong kemajuan
berbangsa dan bernegara.
Melalui dogma pengetahuan yang tidak tepat sasaran mengakibatkan bangsa
ini semakin mudah dipeta-petakan. Padahal sudah banyak yang mengetahui bahwa
pengetahuan yang bebas nilai akan menuntun manusia mengerjakan hal-hal yang di
ketahuinya sebagai sesuatu yang positif tanpa menyadari bahwa apa yang dikerjakannya
memiliki efek negatif yang lebih besar. Sebagai contoh, teroris yang didoktrin
bahwa aktivitas mereka adalah suatu kebenaran serta aksi mereka akan
menyelesaikan persoalan yang ada. Doktrin tersebut tentunya dianggap baik,
bahkan sangat mulia bagi komunitas mereka sehingga teror lebih mulia dari
dibanding nyawah dan keutuhan keluarga mereka. Contoh lain adalah doktrin
pengetahuan yang diberikan kepada mahasiswa untuk berlama-lama di kampus
membangun jaringan dan menuntut ilmu. Meskipun mereka sadar bahwa perkuliahan
normal pada jenjang strata 1 berkisar 4 tahun, namun hal tersebut diabaikan
saja karena telah tertanam dalam benak mereka untuk medapatkan jaringan kampus
dan pengetahuan yang diperoleh lewat kolektif. Padalah jika mengefisienkan waktu,
tentunya mahasiswa bisa mendapatkan nilai plus yaitu selesai tepat waktu serta
tetap bisa membangun jaringan dan tetap mendapatkan pengetahuan lewat kampus,
bahkan jika ingin yang lebih serius, jaringan yang lebih besar dan pengetahuan
yang lebih luas justru ada pada jenjang pendidikan selanjutnya.
Anak-anak atau dewasa, laki-laki atau perempuan, orang tua atau anak,
guru atau murid sebetulnya telah berinteraksi dalam suatu sistem
kemasyarakatan, baik melalui interaksi budaya, sosial, keagamaan, pendidikan
atau aktivitas lainnya. Jika ditemukan kesenjangan dalam hubungan tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa mereka tidak berjalan atau bekerja berdasarkan
tuntutan sistem.
Label positif tentang bangsa Indonesia yang diberikan lalu label
tersebut dicabut kembali, ada pula label yang melekat abadi atau bahkan ada
label yang tidak bakal pernah didapatkan oleh bangsa ini adalah berdasarkan
ukuran prestasi suatu negara. Saat ini, rasanya belum ada label positif yang
sangat membanggakan di Indonesia sehingga bisa disimpulkan bahwa Indonesia
adalah negara yang biasa-biasa saja, tidak ada yang patut dibanggakan. Bahkan
kemunkinan ada yang menilai negeri ini sebagai suatu bangsa yang telah jauh
tertinggal oleh bangsa-bangsa lain.
Ada yang menilai bahwa label biasa-biasa saja untuk Indonesia merupakan
pengaruh buruk dari suatu sistem yang ada. Tentunya yang dimaksud adalah sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Telah kita ketahui bersama
bahwa sistem pemerintahan demokrasi belum bisa menjadi solusi untuk keutuhan
hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia. hal tersebut bisa kita lihat pada
doktrin suatu organisasi yang menginginkan sistem Khilafah sebagaimana
ditanamkan dan diupayakan oleh HTI. Bukan tanpa alasan, melainkan sistem yang
ada pada saat ini tidak lagi tepat sehingga butuh perubahan sistem yang lebih
baik. Ada yang menginginkan tetap pada demokrasi namun harus ada perombakan
sistem dan ada pula yang menginginkan kembali pada model pemerintahan sebelum
pengaruh kolonial yaitu sistem kerajaan dengan berpatokan pada azas kebudayaan
dan pemberlakukan nilai-nilai yang terikat dalam suatu norma.
Intervensi lain adalah bahwa Indonesia butuh peningkatan kualitas,
kapasitas dan kuantitas pendidikan. Pendidikanlah yang dijadikan pondasi untuk
membangun suatu nengara, mengelolah kekayaan alam sendiri, mulai dari
pertanian, produksi melalui industri hingga pemasaran internasional. Sementara
itu, membatasi penggunaan produksi luar negeri atau membatasi impor karena hal
tersebut akan mengurangi devisa negara.
Pada akhirnya, penulis menyimpulakan bahwa pengkotak-kotakan dan
pemetaan terhadap bangsa Indonesia, termasuk pengkotak-kotakan secara individu
hingga pemetaan kelas sosial merupakan akibat dari kesalahan dalam menyikapi
sistem. Dengan demikian, untuk mendapatkan label yang positif, baik untuk
pribadi, keluarga, komunitas, masyarakat bahkan negara maka penting untuk
mengikuti sistem yang telah dirancang sebaik mungkin, termasuk para penegak
hukum dan politisi.
Comments
Post a Comment
شُكْرًا كَثِرًا
Mohon titip Komentarnya yah!!
وَالسَّلامُ عَليْكُم