Saat ini
budaya gotong royong sudah sangat langka. Polah hidup masyarakat telah tergeser
oleh arus globalisasi yang didominasi oleh Budaya barat. Dimana kita ketahui
bahwa budaya barat lebih identik dengan individualisme sedangkan budaya
Nusantara yang memakai sistem kekeluargaan mulai kalah. Corak khas
individualisme adalah sejauh mana suatu hubungan mendatangkan materi atau
manfaat, istilah lain adalah “siapa saya dan siapa anda”. Sementara budaya
kekeluarga lebih mengutamakan persahabatan. Corak budaya kekeluargaan antara
lain adalah memilih siapa saja yang bisa memperbaiki keadaan, istilahnya
“siapapun anda, kami siap bekerja sama dalam kebaikan. Kita sebangsa, senasib,
dan bersaudara”.
Mengapa
budaya gotong-royong tergeser? Tentunya dugaan paling kuat adalah karena adanya
pengaruh budaya Barat, terutama budaya upah kerja atau sistem bayaran. Akhirnya
hampir setiap pekerja di Negeri ini menuntut adanya upah. Itulah yang menggeser
budaya gotong royong menurut hemat penulis. Parahnya lagi, walaupun yang dikerjakan
adalah urusan keluarga namun tuntutan akan bayaran tetap ada. Meskipun
beralasan bahwa seorang pekerja saat ini membutuhkan biaya hidup yang tinggi
tapi setidaknya budaya gotong-royong tatap harus ada.
Berikut
ini adalah contoh budaya gotong royong yang penulis sempat dokumentasikan di
Desa Tombolo Kecamatan Gantareng Keke Bantaeng. Gotong-royong rupanya masih ada
dan tetap bertahan, hanya saja masih
tanda kutip. Karena urusan tersebut memang tidak bisa dikerjakan oleh sedikit
orang kecuali bantuan alat berat.
Semoga
budaya ini tetap bertahan sebagai eksistensi budaya Bugis Makassar yang kental
dengan adat budaya, salah satunya adalah gotong-royong.
Comments
Post a Comment
شُكْرًا كَثِرًا
Mohon titip Komentarnya yah!!
وَالسَّلامُ عَليْكُم