Suatu ketika, seorang kakak (A)
berbincang-bincang bersama adiknya (B) yang sangat tertantang dengan pelajaran
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) karena disekolahnya MIPA termasuk
kelas yang unggul. B beranggapan bahwa kelas MIPA adalah pelajaran yang sulit
dan tidak semua orang bisa, sementara ilmu sosial banyak bisa dan di nomor
2-kan di sekolah. Lantaran pemahamannya itu, ia bercerita dengan penuh ekspresi
pada A bahwa ia sangat tertantang hanya pada kelas MIPA. Karenanya terjadi
dialog;
A: “Susah mana ilmu sosial atau eksat”?
B: “Jelas susah eksat dunk!”
A: “Oya, kok bisa?”
B: “Banyak orang yang kesulitan dalam
hitungan”
A: “Bukankah ada alat bantu?”
B: “Ada, tapi tidak mungkin digunakan
saat ujian!”
A: “Bukankah jawaban eksat itu pasti?
Justru menurut saya lebih susah ilmu sosial!”
B: “Alasannya?”
A: “Kalau dalam logika
matematika disebutkan bahwa “jika pekerjaan bisa diselesaikan oleh 1 orang
dalam waktu satu jam maka 2 orang dapat menyelesaikan pekerjaan tersebut dalam
waktu ½ jam”. Sementara menurut ilmu sosial bahwa “bisa jadi pekerjaan tersebut
jika dikerjakan oleh 2 orang maka akan selesai 1 hari”.
B: “Kenapa bisa begitu?”
A: “Tentu saja urusan
itu dikerjakan oleh orang yang bermusuhan. Lebih baik dikerjakan oleh 1 orang
saja biar bisa selesai 1 jam”.
B: “Iya juga sih!”
Itulah sosial yang salah satu
objeknya adalah alasan. Siapa yang punya alasan kuat dan bisa
dipertanggungjawabkan, itulah yang jawaban yang benar. Andaikan ilmu sosial lebih mudah dari ilmu
eksat, pastilah kemiskinan sudah tiada, kejahatan sudah lenyap dan tidak ada
lagi pertengkaran (masalah sosial) karena bisa diselesaikan berdasarkan rumus
pasti. Tapi karena rumus
untuk penyelesaian persoalan (masalah sosial) sangat banyak untuk 1 jawaban
(misalnya terbebas dari kemiskinan), maka setiap orang bisa bingung dibuatnya
karena banyak langkah untuk menemukan jawaban yang sama.
Abdul Haris Mubarak
Jurusan IPA at MAN Model Makassar
Comments
Post a Comment
شُكْرًا كَثِرًا
Mohon titip Komentarnya yah!!
وَالسَّلامُ عَليْكُم