Skip to main content

Proposal Tesis (Penerapan Aturan Kedisiplinan Siswa di MTsN Model Makassar)


Tulisan ini dibuat tahun 2013 sampai 2014 untuk dijadikan proposal penelitian tesis, namun karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan sehingga tidak di angkat sebagai syarat penyelesaian study (AHM @ 2014)


I.       PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah

Tujuan Pendidikan Nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Kecerdasan jika diartikan secara lebih luas berarti upaya peningkatan pengetahuan, pemahaman, kreativitas, keterampilan dan kemampuan untuk membangun mulai dari diri, keluarga hingga membangun peradaban bangsa dan negara. Untuk mencapai tarap kecerdasan bangsa sebagaimana yang dicita-citakan pendiri bangsa Indonesia tentunya hanya bisa ditempuh dengan pendidikan. Pendidikan yang dimaksud adalah upaya mengubah keadaan seseorang maupun sekelompok orang dari keadaan yang kurang baik menuju keadaan yang lebih baik. Jika diurai lebih jauh, pendidikan berarti mengubah seserang menjadi lebih cerdas, berwawasan luas, berbudi pekerti yang mulia, kreatif, inovatif serta memiliki keterampilan untuk membangun.

Islam sebagai agama yang memiliki pemeluk terbesar di Indonesia juga sangat mengutamakan pentingnya berproses dalam Pendidikan. Pendidikan dalam Islam merupakan indikator penting dalam hidup, sebagai jaminan untuk orang yang melatih diri menjadi orang terdidik akan diberikan derajat yang tinggi. Pandangan tentang pentingnya pendidikan memang diakui kebanyakan orang. Karena itu, generasi-genarasi terdahulu selalu memotivasi dan mempersembahkan karya-karya untuk orang-orang yang hidup dizamannya dan berusaha menciptakan temuan-temuan baru yang dipersembahkan untuk generasi selanjutnya. Salah satu motivasi orangtua terhadap anak-anaknya adalah mengupayakan pendidikan yang berkualitas dan jenjang yang tinggi. Sebagaimana diketahui bahwa orangtua dan generasi penerusnya selalu merindukan bagaimana mendapatkan hidup bahagia dan cemerlang untuk dirinya dan sesamanya. Tak heran jika lembaga-lembaga pendidikan banyak dipenuhi oleh para penuntut ilmu (siswa dan mahasiswa). Telah tumbuh dan berkembang perguruan-perguruan, mulai taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi negeri/swasta di seluruh tanah air.

Yang menjadi masalah adalah munculnya gejala baru di tengah-tengah masyarakat ilmuwan, yaitu sangat besar jumlah pencari kerja atau penganggur baik dari kalangan yang tidak/kurang terdidik sampai lulusan perguruan tinggi. Kebanyakan dari para penganggur terdidik itu lulusan fakultas dari ilmu-ilmu sosial bahkan dari lulusan ilmu-ilmu eksakta, diantaranya lulusan dari fakultas pertanian, teknik, dan kedokteran. Banyaknya pengangguran dari kalangan putus sekolah, lulusan Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan, fakultas-fakultas sosial/keguruan, sudah menjadi berita biasa. Realita di atas merupakan salah satu faktor yang membuat orang muda kehilangan semangat dan motivasi dalam menempa diri menjadi lebih baik. Kondisi semacam ini cenderung menciptakan prinsip baru bagi sebagian orang untuk berhenti atau memilih untuk tidak sekolah karena sekolah hanya akan menambah jumlah pengangguran intelektual. Dengan demikian, motivasi menjadi sangat penting untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik.

Upaya meningkatkan kualitas belajar merupakan salah satu jalan yang ditempuh untuk meretas setiap persoalan yang dihadapi masyarakat. Memaksimalkan hasil belajar harus tempuh, mulai dari melatih disiplin pada setiap siswa, melatih budaya saling menghargai, meningkatkan kualitas wawasan dan sebagainya. Yang menjadi masalah kemudian adalah tidak semua aturan dan konsep yang dibuat bisa dijalankan dengan baik.

Pengertian hasil (mutu atau kualitas) pendidikan terkait banyak komponen yang saling mempengaruhi, perubahan dari pengaruh itulah yang sering dibahasakan dengan perubahan kualitatif yakni menyangkut hubungan‑hubungan dalam pendidikan dimana pendidik dan pesesrta didik memungkinkan bertemu, atas dasar itulah sehingga pendekatan yang digunakan untuk menentukan pendidikan yang berkualitas tinggi adalah dengan manajemen yang baik, terutama dari segi proses atau sistem pengajaran yang betul‑betul mendidik.

H. Umar Tirtaraharja dalam sebuah analisisnya menguraikan bahwa hal yang dapat dijadikan sebagai standar penilaian sebuah lembaga pendidikan yang berkualitas adalah terletak pada hasil dan prosesnya. Dari segi hasilnya, paling tidak manusia output pendidikan harus cerdas otaknya (head), kuat, otot dan terampil tangannya (hand) serta mulia hatinya (heath). Sedangkan dari segi prosesnya adalah kemampuan sebuah lembaga pendidikan menghadapi masalah yang berkaitan dengan partisipasi, efisiensi, efektifitas dan relefansi pendidikan.[1]

Sorotan terhadap persoalan mutu pendidikan dalam dua dasawarsa terakhir ini, menempati urutan yang cukup tinggi. Jika dibandingkan dengan sorotan terhadap persoalan kependidikan lainnya, perhatian terhadap hal itu boleh dikatakan cukup memprihatinkan, karena sorotan masalahnya bukan saja datang dari para pemikir dan pengamat bidang pendidikan, tetapi juga oleh para pengelola dan pengambilan kebijakan di bidang tersebut, dan sejak tahun 1970-an sasaran rendahnya mutu pendidikan secara nasional pada jenjang dan jenis pendidikan dasar dan menengah akan tetapi sekarang ini keadaan yang sama telah menjangkau pula jenis dan jenjang pendidikan tinggi.[2] Walaupun program peningkatan mutu pendidikan selama ini secara terus menerus selalu dilaksanakan, namun mutu pendidikan yang dicapai kelihatannya masih belum memuaskan. Indikatornya adalah antara lain bahwa masih banyak lepasan sekolah menengah, atau bahkan lepasan perguruan tinggi yang belum mendapat lapangan kerja, kurangnya semangat mengembangkan keilmuan, mental yang masih labil dan sebagainya.

Dengan adanya kenyataan seperti yang disebutkan di atas, maka para pendidik hendaknya memainkan peran yang lebih strategis. Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Model Makassar sebagai Lembaga pendidikan Islam yang memiliki peran mencerdaskan kehidupan bangsa, terkhusus pada siswa yang telah memilih belajar di sana adalah tanggung jawab lembaga terhadap masyarakat. Yang menjadi masalah kemudian adalah mampukah lembaga pendidikan ini mengaplikasikan aturan yang ditetapkan untuk meningkatkan hasil belajar siswa?.

B.     Rumusan dan Batasan Masalah

Bertolak dari latar belakang di atas, maka berikut ini diuraikan rumusan masalah sebagai berikut:

1.   Bagaimana penerapan aturan kedisiplinan di Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar?

2.   Bagaimana Peningkatan Hasil Belajar Siswa di Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar?

3.   Bagaimana Peluang dan Tantangan dalam meningkatkan prestasi belajar siswa di  Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar?

C.     Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.   Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah:

a)Untuk mengkaji gambaran penerapan aturan kedisiplinan pada siswa dan guru dalam meningkatkan kualitas belajar siswa di Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar.

b)Untuk mengkaji aktivitas dan kegiatan-kegiatan serta Untuk mengetahui efektivitas penerapan aturan kedisiplinan yang ditempuh dalam upaya peningkatan prestasi belajar siswa di Madrash Tsanawiyah Negeri Model Makassar.

c) Untuk mengetahui peluang dan tantangan dalam meningkatkan kualitas belajar siswa di Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar.

2.   Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a)  Memberikan masukan bagi para pengelola Madrasah agar mengoptimalkan aturan kedisiplinan, terutama untuk mendukung peningkatan prestasi siswa di Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar.

b)  Melatih penulis dalam mengungkapkan pikiran melalui tulisan secara ilmiah, sistematis serta membuka wawasan terhadap disiplin Ilmu  yang digeluti.

c)   Menjadi sumber informasi yang dapat menunjang lebih lanjut aktivitas Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar dalam meningkatkan kualitas belajar siswa.

D.     Pengertian Judul dan Definisi Operasional

1.   Pengertian Judul

Penelitian ini berjudul “Penerapan aturan kedisiplinan dalam meningkatkan hasil belajar siswa di Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar”.

Untuk menghindari kemungkinan terjadinya kekeliruan dalam memahami arti dan makna yang terkandung dalam judul di atas, maka akan dikemukakan secara harfiah sebagai berikut:

a.       Penerapan Aturan

Penerapan aturan berasal dari dua kata yaitu penerapan dan aturan. Penerapan adalah [n] 1) proses, cara, perbuatan menerapkan; 2) pemasangan; 3) pemanfaatan; perihal mempraktikkan[3]. Sedangkan kata aturan berarti [n] 1) hasil perbuatan mengatur; (segala sesuatu) yg sudah diatur; 2) cara (ketentuan, patokan, petunjuk, perintah) yang telah ditetapkan supaya diturut; 3) tindakan atau perbuatan yg harus dijalankan.[4] Dengan demikian, penerapan aturan bisa diartikan proses mempraktikkan atau menerapkan aturan (ketentuan, patokan, petunjuk atau perintah supaya dituruti).

b.      Kedisiplinan

Kedisiplinan adalah suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan atau ketertiban. Karena sudah menyatu dengannya, maka sikap atau perbuatan yang dilakukan bukan lagi atau sama sekali tidak dirasakan sebagai beban, bahkan sebaliknya akan membebani dirinya bilamana ia tidak berbuat sebagaimana lazimnya[5] kedisiplinan hakikatnya adalah sekumpulan tingkah laku individu maupun masyarakat yang mencerminkan rasa ketaatan, kepatuhan, yang didukung oleh kesadaran untuk menunaikan tugas dan kewajiban dalam rangka pencapaian tujuan.

c.       Madrasah Tsanawiyah,

Madrasah Tsanawiyah adalah lembaga yang memberikan pendidikan dan pengajaran menengah serta menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang sekurang-kurangnya 30% di samping mata pelajaran umum.[6]

d.   Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar

Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar merupakan lokasi atau tempat yang akan menjadi objek pada penelitian ini. Lokasi tersebut ini terletak pada Jalan Andi Pangeran Pettarani Nomor 1A Makassar.

Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar merupakan salah satu Madrasah Percontohan di Sulawesi Selatan. Secara umum, aturan kedisiplinan telah ada pada madrasah tersebut, antara lain adalah siswa yang datang pada pukul 7.16 sudah tidak bisa masuk ke madsarah. Aturan lain seperti jam istrahat, waktu sholat dan sebagainya juga telah diatur pada madsarah ini. Dengan demikian, penerapan aturan kedisiplinan pada Madsarah Tsanawiyah Negeri Model Makassar sudah bisa menjadi variabel penelitian.

Berdasarkan pengertian secara harfiah di atas, maka penulis mengemukakan definisi operasional adalah keterlibatan lembaga pendidikan Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar membentuk dan memberlakukan aturan kedisiplinan, terutama pada hubungannya dengan peningkatan hasil belajar siswa.

2.   Definisi Oprasional

a. Penerapan Aturan Kedisiplinan

Penerapan aturan kedisiplinan adalah pembuatan aturan yang ditetapkan dan diberlakukan untuk dipatuhi pada segenap organisasi, komunitas atau kelompok dalam masyarakat. Aturan yang dimaksud adalah ketetapan tentang pedoman yang harus diikuti oleh seluruh anggota dalam kelompok tersebut. Penerapan aturan kedisiplinan adalah pembuatan kesepakatan tentang konsistensi yang harus dipatuhi bersama.

Yang dimaksud penerapan aturan kedisiplinan pada penelitian ini adalah penerapan aturan kedisiplilan yang berlaku di Madsarah Tsanawiyah Negeri Model Makassar.

b.   Peningkatan hasil belajar siswa

 

hasil belajar atau prestasi yang dicapai dari apa yang dikerjakan atau yang sudah diusahakan dalam proses pembelajaran. Peningkatan hasil belajar siswa merupakan upaya memaksimalkan kualitas belajar siswa.

Yang dimaksud peningkatan hasil belajar siswa pada penelitian ini adalah upaya peningkatan hasil belajar siswa di Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar.

 

II.            TINJAUAN PUSTAKA

 


A.     Hubungan dengan Penelitian Sebelumnya

Sejauh kajian penulis, memang belum ada penelitian tentang “Penerapan Aturan Kedisiplinan Dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa”. Namun demikian, dari berbagai literarur kepustakaan berupa hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, tetap ditemukan korelasi dengan penelitian yang penulis lakukan terutama yang menyangkut tentang mutu pendidikan atau hasil belajar pada lembaga pendidikan. Penelitian yang dimaksudkan oleh penulis terkait dengan hasil belajar antara lain:

1.   Tesis Taufik Abd. Rahini yang berjudul Studi tentang Mutu Pendidikan Pada Universitas Alkhairat (UNISA) Palu; Suatu Kajian Manajemen Perguruan Tinggi.

Persoalan pokok yang dibahas dalam tesis Taufik Abd. Rahini adalah tentang mutu pendidikan yang dikorelasikan dengan sistem manajemen perguruan tinggi Al-Khairat Palu. Hasil dari penelitian tersebut menyimpulkan bahwa mutu pendidikan pada UNISA Palu sudah memenuhi ukuran standarisasi, jika dilihat dari dua aspek yakni dosen dan mahasiswa. Akan tetapi dalam hal kehadiran dosen pada proses belajar mengajar di kelas belum berjalan sesuai dengan program yang ditetapkan yaitu 16 kali pertemuan.[7] Hubungannya dengan penelitian penulis dalam penelitian ini, adalah pada prihal standarisasi mutu pendidikan, yakni pada aspek kedisiplinan siswa, guru dan pegawai Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar dalam meningkatan hasil belajar di madrasah tersebut.

2.   Tesis H. Iskandar Idy yang berjudul Madrasah Model Sebagai Alternatif Peningkatan Mutu Madrasah; Studi tentang Pengembangan Madrasah di Sulawesi Selatan.

Masalah yang diteliti dalam tesis H. Iskandar Idy tersebut, terdiri atas dua. Pertama, mengapa Madrasah Model lahir, dan kedua bagaimana sistem pengelolaannya serta bagaimana manfaatnya dalam peningkatan mutu madrasah secara keseluruhan.[8] Masalah yang terakhir ini, terkait dengan penelitian penulis dalam penelitian ini.

Iskandar Idy dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa madrasah model adalah suatu bentuk pembinaan madrasah yang dilaksanakan berdasarkan penajaman skala prioritas untuk meningkatkan mutu madrasah secara keseluruhan, dan problem mendasar yang dialami madrasah termasuk madrasah model ialah muatan kurikulumnya terlalu berat, gurunya kurang kuantitas dan kualitas, pengajaran agamanya sangat sedikit, sarana dan prasarananya sangat tidak memadai.

 Hubungannya dengan penelitian ini adalah bagaimana menciptakan mutu pendidikan atau hasil belajar yang maksimal di Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar.

Dapatlah dipahami bahwa kedua hasil penelitian di atas, relevan dengan penelitian penulis dalam penelitian ini walaupun judul dan obyek penelitiannya tidak serupa. Karena demikian halnya, hasil penelitian sebelumnya yang telah disebutkan tadi banyak memberi ilustrasi kepada penulis pada pelaksanaan penelitian di lapangan dalam menganalisis hasil belajar siswa terutama terutama kaitannya dengan penerapan aturan kedisiplinan yang ditetapkan dan diberlakukan oleh madrasah tersebut.

B.     Landasan Teori

1.    Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam.

Pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorag atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pelatihan.[9] Kualitas keberhasilan pendidikan dapat dilihat pada Tingkat baik buruknya sesuatu; Derajat atau taraf (kepandaian, kecakapan dan sebagainya).[10]

Madrasah sebagaimana halnya dengan lembaga pendidikan formal lainnya, memiliki peranan dan tugas setidak-tidaknya mencerminkan sebagai lembaga pendidikan Islam. Menurut An-Nahlawi dalam Muhaimin dan Abdul Mujib bahwa tugas lembaga pendidikan Madrasah termasuk Madrasah Aliyah sebagai lembaga pendidikan Islam antara lain adalah “Lembaga pendidikan Madrasah berperan sebagai benteng yang menjaga keselamatan fitrah manusia (siswa) tersebut”.[11]

Disamping itu, pendidikan juga memberikan sahamnya bagi pemecahan berbagai problem sosial kontemporer dengan melatih generasi muda untuk berpikir sehat dengan metode ilmiah yang kuat. Tujuannya adalah untuk memberikan pelatihan kepada generasi muda agar berpikir sehat berdasarkan metode ilmiah, diperlukan adanya sebuah wahana yang dapat menampung berlangsungnya pelatihan dan pembinaan tersebut, yakni berupa sebuah ruang khusus atau yang lebih dikenal isltilah lembaga pendidikan atau Madrasah.

Di Indonesia, perkataan madrasah baru populer setelah masuknya ide-ide pembaharuan pemikiran Islam ke Indonesia pada awal abad ke 20, dan dikategorikan sebagai lembaga pendidikan Islam yang menyuarakan suara pembaharuan, berbeda dengan  pesantren yang dianggap sebagai lembaga pendidikan tradisional.[12]

Selanjutnya dalam rangka meningkatkan masyarakat sesuai dengan sasaran agar Madrasah dapat bantuan material dan bimbingan dari pemerintah, maka Kementerian Agama mengeluarkan peraturan Menteri Agama nomor 1 tahun 1952. Menurut ketentuan ini, yang dinamakan Madrasah adalah tempat pendidikan yang telah diatur sebagai sekolah dan membuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam menjadi pokok pengajarannya.[13]

Perbedaan antara lembaga pendidikan islam atau Madrasah dengan sekolah umum bukanlah sebagai perbedaan derajat antara keduanya melainkan eksistensi dan pandangannya terhadap pendidikan Islam lebih khusus pada Madrasah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa eksistensi Madrasah sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam merupakan salah satu wadah bagi masyarakat Islam untuk menempuh  atau memperoleh pengetahuan keagamaan dan atau pengetahuan umum secara mendalam. Eksistensi Madrasah, termasuk Madrasah Aliyah merupakan wadah berlangsungnya interaksi para siswa dalam naungan suatu sistem Madrasah yang inputnya berasal dari berbagai lingkungan hidup. Pada madrasah ini,anak didik ditempa dan dipadukan dalam satu kondisi dan iklim yang sama, yang menyatukan qalb dan jiwa mereka.

2.      Penerapan aturan kedisiplinan di Madrasah Tsanawiyah

3.      Peningkatan Hasil Belajar siswa di Madrasah Tsanawiyah

4.   Konsepsi Mutu Pendidikan dan Tolok Ukurnya

Mutu pendidikan yang sering diperbincangkan akhir-akhir ini, masih sebatas konsep. Ace Suryadi dan dan H.A.R. Tilaar menyatakan bahwa berbagai cara berpikir telah dikembangkan untuk mencoba memberikan suatu pengertian tentang mutu pendidikan, dalam kenyataannya konsepsi tentang mutu itu masih tetap bergerak dalam bentuk‑bentuknya yang masih bersifat rethorical, artinya bahwa mutu pendidikan masih bergerak dari gagasan satu kegagasan lain dan belum diterjemahkan secara tepat ke dalam ukuran dan tindakan yang lebih nyata.[14]

Masalah mutu pendidikan merupakan salah satu masalah nasional yang dihadapi oleh sistem pendidikan, dan berbagai usaha dan program telah dikembangkan dalam rangka ­peningkatan mutu pendidikan. Karena masalah akan mutu pendidikan merupakan suatu masalah yang sangat penting walaupun program peningkatan mutu pendidikan selama enam, pelita secara terus menerus selalu dilaksanakan, namun mutu pendidikan yang dicapai masih belum maksimal memuaskan. Karena itu, perlu ditinjau bagaimana konseptual mutu pendidikan melihat dua segi yakni segi normatif dan segi deskriptif.

Segi normatif ditentukan berdasarkan pertimbangan (kriteria) intrinsik dan ekstrinsik.[15]    Berdasarkan kriteria intrinsik, mutu pendidikan merupakan produk pendidikan, yakni "manusia yang terdidik" sesuai dengan standar ideal, dan berdasarkan kriteria ekstrinsik, pendidikan merupakan instrumen untuk mendidik "tenaga kerja" yang terlatih dan mutu pendidikan menengah ditentukan berdasarkan keadaan hasil tes prestasi belajar atau output lulusan dengan kriteria siap lanjut, siap latih dan siap kerja.[16]

Berkaitan dengan hasil tes prestasi belajar, maka lebih awal perlu dikategorisasikan tingkat mutu prestasi hasil belajar siswa dan kaitannya dengan mutu pendidikan siswa. Dalam hal ini, telah dirumuskan bahwa mutu pendidikan siswa adalah kadar prestasi yang diraih oleh peserta didik melalui proses belajar mengajar, atau tingkat kecakapan kognitif, afektif, dan psikomotorik pada diri siswa.

Kecakapan kognitif, merupakan mutu peserta didik yang berkaitan dengan ranah cipta dan penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan. Pada dasarnya, mutu kognitif dihasilkan dari hasil belajar. Hasil belajar merupakan perbaduan antara faktor pembawaan dan pengaruh lingkungan (faktor dasar dan ajar). Faktor dasar yang berpengaruh menonjol pada kemampuan kognitif dapat dibedakan dalam bentuk lingkungan alamiah dan lingkungan yang dibuat.[17] Lingkungan alamiah misalnya keadaan gent (keturunan), dan lingkungan yang dibuat misalnya keadaan lingkungan di sekolah.

Selanjutnya kecakapan afektif, merupakan mutu peserta didik yang lebih banyak berkenaan dengan aspek perasaan, nilai, sikap dan minatnya. Keberhasilan pengembangan kecakapan kognitif tidak hanya akan membuahkan mutu kognitif, tetapi juga menghasilkan mutu afektif. Dalam perspektif Islam menurut Mappanganro, evaluasi dalam mutu afektif ini, lebih ditekankan pada unsur pokok akhlak.[18] Seorang guru agama yang piawai dalam mengembangkan mutu kognitif, akan berdampak positif terhadap ranah afektif siswa. Peningkatan mutu afektif ini, antara lain berupa kesadaran beragama yang mantap. Misalnya saja, apabila seorang siswa diajak kawannya untuk berbuat sesuatu yang buruk seperti melakukan seks bebas, dan atau meminum minuman keras, ia akan serta merta menolak dan bahkan berusaha mencegah perbuatan asusila itu dengan segenap daya dan upayanya.

Mengenai kecakapan psikomotorik, merupukan mutu peserta didik yang lebih banyak berkenaan dengan aspek keterampilan motoriknya. Jadi mutu psikomotorik adalah manifestasi wawasan pengetahuan dan kesadaran serta sikap mental peserta didik. Dalam pendidikan Islam, penilaian terhadap aspek psikomotorik terutama ditekankan pada unsur pokok ibadah, misalnya shalat, kemampuan baca tulis Alquran, dan semisalnya.[19] Evaluasi dalam aspek psikomotrik ini, dapat dibedakan atas lima taraf, sebagai berikut; (1) persepsi, yakni mencakup kemampuan menafsirkan rangsangan, peka terhadap rangsangan, dan mendiskripminasikan rangsangan; (2) kesiapan, yakni mencakup tiga aspek, yaitu intelektual, fisis, dan emosional; (3) gerakan terbimbing, yakni kemampuan-kemampian yang merupakan bagian dari keterampilan yang lebih kompleks; (4) gerakan terbiasa, yakni terampil melakukan suatu perbuatan; dan (5) gerakan kompleks, yakni melakukan perbuatan motoris yang kompleks dengan lancar, luwes, gesit, atau lincah.[20]

Mutu pendidikan yang diperoleh dari hasil belajar menghasilkan nilai kemampuan kognitif (ranah cipta), afektif (ranah rasa) dan psikomotor (ranah karsa) yang bervariasi. Variasi mutu tersebut menggambarkan perbedaan kemampuan kualitas tiap-tiap peserta.

Pengukuran tingkat mutu kognitif dapat dilakukan dengan tes kemampuan belajar atau tes hasil belajar. Tes hasil belajar digunakan hendaknya memenuhi persyaratan sebagai tes yang baik, yaitu bahwa tes tersebut harus valid dan realible.

Selanjutnya pengukuran tingkat mutu afektif yang populer ialah tes “skalah likert” yang tujuannya untuk mengidentifikasi kecenderungan sikap siswa. Bentuk skala ini menampung pendapat yang mencerminkan sikap sangat setuju, ragu-ragu, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Rentang skala ini diberi skor 1 sampai 5, atau 1 sampai 7 bergantung kebutuhan dengan catatan skor-skor itu dapat mencerminkan sikap-sikap mulai sangat “ya” sampai sangat “tidak”. Perlu pula dicatat, untuk memudahkan identifikasi jenis kecenderungan afektif siswa yang representatif item-item skala sikap sebaiknya  dilengkapi dengan label/identitas sikap yang meliputi (1) doktrin, yakni pendirian; (2) komitemen, yakni ikrar setia untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan; (3) penghayatan, yakni pengalaman batin; (4) wawasan, yakni pandangan atau cara memandang sesuatu. Cara lain menyusun instrumen skala sikap dan atau akhlak siswa dapat juga ditempuh dengan menggunakan skala ciptaan Osgood yang disebut semantic differential.

Mengenai cara yang dipandang tepat untuk mengukur keberhasilan mutu belajar pada aspek psikomotor adalah melakukan observasi. Observasi dalam hal ini, dapat diartikan sebagai sejenis tes mengenai peristiwa, tingkah laku, atau fenomena lain, dengan pengamatan langsung.

Guru yang hendak melakukan observasi perilaku psikomotorik siswa-siswanya hendaknya mempersiapkan lankah-langkah yang cermat dan sistematis menurut pedoman yang terdapat dalam lembar format observasi yang sebelumnya telah disediakan baik oleh sekolah maupun guru itu sendiri. Untuk lebih jelasnya penulis membuat contoh evaluasi kecakapan ranah karsa siswa dalam melaksanakan ibadah shalat

5.   Tinjauan tentang Mutu Pendidikan Madrasah

Standar mutu lembaga pendidikan madrasah untuk dapat mewujudkan dan memobilisasi peran lembaga pendidikan menengah dalam hal ini Madrasah Tsanawiyah dengan menyusun kembali visi dan misinya, maka agenda peningkatan mutu lembaga pendidikan menengah merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar lagi. Dalam upaya peningkatan mutu. maka perlu dibangun sumber daya manusia yang profesional dan handal sesuai dengan kompotensi keilmuannya masing‑masing sehingga dapat menjadi kekuatan besar dalam menghadapi realitas yang kompetitif di masa yang akan datang.

Term profesional adalah sebuah istilah yang erat kaitannya dengan persiapan sumber daya manusia memasuki abad 21 yang penuh dengan dinamika problematika krusial. Ada yang menekankan profesionalisme kepada penguasaan beserta kiat‑kiat dalam penerapannya, dan ada pula yang menekankan kepada kemampuan manajemen.[21]

Menghadapi persaingan global ke depan, sebuah pertanyaan yang sering mengusik para praktisi pendidikan, apakah sikap prefesionalisme telah darat dikembangkan dalam lembaga pendidikan menengah ? Pertanyaan di atas rrielahirkan sebuah asumsi akademik bahwa pada kenyataannya menunjukkan lembaga pendidikan menengah yang ada sekarang ini belum memainkan peran yang maksinial, malahan terlihat lebih mementingkan penguasaan intelektual, akan tetapi belum memberikan perhatian kepada terbentuk sikap profesionalisme, yang iniplikasinya setiap lulusannya belum terserap secara maksinial dalam dunia kerja.

Ketidakmampuan lembaga pendidikan menengah dalam mempersiap-kan lulusannya di dunia kerja, karena terkait dengan fungsi kelembagaan. Ada pula yang beranggapan bahwa tidak mungkin lembaga pendidikan menengah mempersiapkan lulusannya yang siap pakai, tetapi yang lebih tepat dan benar adalah siap latih, dengan dua asumsi. Pertama, tidak mungkin lembaga pendidikan mengikuti perkembangan dunia kerja yang berubah dengan cepat. Kedua, lembaga pendidikan biasanya tercecer dari perkembangan ilmu pengetahuan dan aplikasinya dalam dunia industri.[22]

Seiring dengan tuntutan perubahan dan upaya dengan dunia kerja, maka di dalam masyarakat industri modern terjadi pergeseran paradigma orientasi, yakni setiap lembaga pendidikan harus diberikan otonomi dalam proses pengembangannya. Dalam artian lembaga pendidikan tersebut harus mempunyai progam pendidikan yang fleksibel sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Otonomi itu dalam substansinya dapat berupa program akademik, dalam hal ini kurikulum, rekruitmen tenaga edukatif yang memiliki kualifikasi yang mampu, sehingga ia mampu memberikan sesuatu yang berharga dalam membawa lembaga tersebut pada tingkat kemajuan yang menggembirakan baik bagi masyarakat maupun bagi lulusannya nanti. Jika strategi ini diterapkan secara maksinial, maka lembaga pendidikan menengah semakin terbuka terhadap tuntutan masyarakat.

Keterbukaan terhadap masyarakat disebabkan karena adanya hubungan yang erat antara dunia pendidikan dengan industri dan masyarakat. Diniana masyarakat menyisikan dana untuk membiayai pendidikan dan sebaliknya lembaga pendidlikan menyediakan program‑program pendidikan yang berkelanjutan yang dibutuhkan masyarakat.

Untuk mencapai sinergitas atas tuntutan dunia kerja dengan tingkat kebutuhan masyarakat, maka perbincangan mengenai mutu  pendidikan merupakan wacana yang aktual di dalam mendongkrak dan menghasilkan lulusan yang kualified. Mutu diartikan sebagai kesesuaian (fitness) atau relefansi keluaran pendidikan dengan kebutuhan.

Berdasarkan pro kontra tentang standar mutu pendidikan menengah seharusnya diintegrasikan dalam sebuah konsepsi yang utuh, karena bagainianapun menghasilkan lulusan yang mengutamakan kecerdasan  intelektual  semata,  akan  tetapi melahirkan sebuah kepincangan yang berimplikasi pada pola pikir yang utopis yang cenderung keblingeran yang tak bermoral    sedangkan menekankan pada diniensi instrumental pendidikan semata akan menghasilkan sikap mental hedortistik. Materialistik yang berakibat  hilangnya jati diri sebagai manusia yang memiliki kecenderungan hanif. Oleh karena itu sebaiknya sebuah mutu pendidikan harus ditentukan seberapa jauh menjadikan dirinya sebagai khalifah di muka bumi yang menyandang misi keduniaan dan misi kekhalifaan yang dalam terminologi K H. Ahmad Azhar Basyir, bahwa setiap output pendidikan, harus memposisikan dirinya sebagai "insan kamil" yang memiliki tiga dimensi utama, yakni memiliki iman yang kuat, ilmu yang luas dan konsisten dalam amal dan perbuatannya dalam, kehidupan sehari‑hari.[23] Dalam perspektif Islam Insan kamil, adalah tujuan akhir pendidikan. Itu berarti bahwa perwujudkan insan kamil adalah perwujudan mutu pendidikan yang ideal.

 

6.  Sasaran Evaluasi Pendidikan (Penilaian hasil belajar) Berbasis Madrasah

Istilah evaluasi sering juga diidentikkan dengan measurement, yakni pengukuran untuk mengetahui keadaan terhadap sesuatu.[24] Evaluasi dalam arti pengukuran biasanya dilakukan dengan memakai ukuran-ukuran tertentu misalnya; meter mengukur tinggi, thermometer untuk mengukur suhu, gram untuk mengukur berat, membaca Alquran luar kepala untuk mengukur kemampuan menghafal Alquran dan lain-lain.[25] Di samping evaluasi dalam arti  pengukuran, ditemukan ada pula kata lain yang searti dan relatif lebih masyhur dalam pendidikan yakni tes, ujian, dan ulangan.





1
 


Kegiatan evaluasi, memiliki arti penting dalam dunia pendidikan. Dalam hal ini, ada tiga alasan tentang pentingnya evaluasi pendidikan dalam proses kegiatan belajar mengajar. Pertama, berkepentingan untuk perumusan prosedur pelaksanaan proses belajar mengajar, sehingga nantinya akan diketahui apakah tujuan pendidikan sudah tercapai dengan baik. Kedua, kegiatan evaluasi terhadap hasil belajar merupakan salah satu ciri dari pendidik profesional. Ketiga, evaluasi merupakan manejemen kontrol dalam proses belajar mengajar.[26] Karena evaluasi pendidikan memiliki arti penting, maka kelihatan adanya hubungan interpendensi antara tujuan pendidikan, dan proses belajar-mengajar, di mana tujuan tersebut akan dapat tercapai secara maksimal bilamana evaluasi yang dilakukan sesuai dengan prosedur.

Untuk mengevaluasi keberhasilan dalam proses belajar mengajar, maka yang terpenting untuk dinilai adalah aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotorik. Ketiga aspek ini, saling terkait antara satu dengan yang lainnya dan ia tidak berdiri sendiri. Penilaian terhadap ketiganya hendaknya dijelas-kan secara gamblang sehingga siswa dapat merencanakan kerja-kerjanya untuk memenuhi standar yang dinilai oleh mereka.

Dengan demikian, penilaian sangat erat kaitannya dengan evaluasi. Apabila dilihat dari prosedur kerjanya, penilaian memiliki pengertian yang hampir sama sengan kegiatan research. Keduanya sama-sama merupakan kegiatan untuk memperoleh gambaran tentang keadaan suatu obyek melalui proses penelaahan secara logik dan sistematik, membutuhkan  data empirik untuk membuat kesimpulan, dan menuntut syarat keahlian bagi pelakunya.

Dalam pelaksanaan evaluasi hasil belajar, khususnya bila dikaitkan dengan penerapan aturan kedisiplinan sangat penting untuk dikaji secara cermat dan mendalam.

a.  Evaluasi dalam Aspek Kognitif

Istilah kognitif berasal dari kata cognition yang padanannya knowing, berarti mengetahui. Dalam arti yang luas cognition ialah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif yang dalam bahasa Indonesia disebut “kognisi” adalah salah satu domain atau wilayah ranah psikologis manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengilahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaaan. Atau dengan kata lain, aspek kognitif yang merupakan bagian dari cognitive sciences itu adalah sebuah disiplin psikologi yang khusus membidangi penelitian dan pembahasan mengenai segala hal yang berhubungan dengan cognitive person, yakni ranah cipta pada setiap manusia, seperti proses penerimaan, pengolahan, penyimpanan, dan perolehan kembali informasi dari sistem memori (akal) manusia.[27]

Kognitif memiliki enam taraf yang meliputi pengetahuan (taraf yang paling rendah) sampai evaluasi (taraf yang paling tinggi).[28] Pertama, pengetahuan (knowledge) yang mencakup ingatan. Dalam rangka penilaian, tes ingatan hampir tidak menuntut lebih daripada mengingat kembali. Kedua, pemahaman (comprehension) yang memerlukan kemampuan menangkap makna dari sesuatu konsep. Ketiga, penerapan (aplikasi), yakni kesanggupan menerapkan abstraksi dalam suatu situasi kongkrit. Keempat, analisis yakni kesanggupan mengurai suatu integritas menjadi unsur-unusr atau bagian-bagian yang mempunyai arti. Kelima, sintesis, yakni menekankan suatu kesanggupan menyatukan unsur-unsur menjadi satu integritas. Keenam, evaluasi, yakni kesanggupan memberikan keputusan tentang nilai sesuatu berdasarkan kriteria yang dipakainya.

Evaluasi atau penilaian yang dilakukan untuk menilai proses dan hasil belajar siswa dalam aspek kognitif adalah mencakup semua materi unsur pokok pendidikan.[29] Sekurang-kurangnya ada dua macam kecakapan kognitif siswa yang amat perlu dikembangkan segera khususnya guru, yakni pertama, strategi belajar memahami isi materi pelajaran, dan kedua starategi menyakini arti penting isi materi pelajaran dan aplikasinya serta menyerap pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran tersebut.[30] Tanpa adanya pengembangan dua macam kecakapan kognitif ini, agaknya siswa sulit diharapkan mampu mengembangan ranah afektif dan psikomotor nya sendiri.

Strategi adalah sebuah istilah populer dalam psikologi kognitif, yang berarti prosedur mental yang berbentuk tatanan tahjapan yang memerlukan alokasi upaya-upaya yang bersifat kognitif dan selalu dipengaruhi oleh pilihan-pilihan kognitif atau pilihan-pilihan kebiasaan belajar siswa. Pilihan kebiasaan belajar ini secara garis besar terdiri atas dua. Pertama, menghafal prinsip-prinsip yang terkandung dalam materi; dan kedua mengaplikasikan prinsip-prinsip materi.

Preferensi kognitif yang pertama pada umumnya timbul karena dorongan luar (motif eksrinsik) yang mengakibatkan siswa menganggap belajar hanya sebagai alat pencegah ketidaklulusan atau ketidaknaikan. Aspirasi yang dimilikinya pun bukan ingin menguasai materi secara men-dalam, melainkan sekedar asal lulus atau naik kelas semata. Sebaliknya, prefensi kognitif yang kedua biasanya timbul karena dorongan dalam diri siswa sendiri (motif intrinsik), dalam arti siswa tersebut memang tertarik dan membutuhkan materi-materi pelajaran yang disajikan gurunya. Tugas guru dalam hal ini ialah menggunakan pendekatan metode yang memungkinkan para siswa menggunakan strategi belajar yang berorientasi pada pemahaman yang mendalam terhadap isi materi pelajaran. Seiring dengan upaya ini, guru juga diharapkan mampu menjauhkan para siswa dari strategi dan preferensi akan yang hanya mengarah ke aspirasi asal naik atau lulus.[31] Selanjutnya, guru juga dituntut untuk mengembangkan kecakapan kognitif para siswa dalam memecahkan masalah dengan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dan keyakinan-keyakinan terhadap pesan-pesan moral atau nilai-nilai yang terkandung dan menyatu dalam pengetahuannya. Sehubungan dengan upaya ini, guru diharapkan tidak bosan-bosan melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa dalam aspek kognitifnya.

Evaluasi keberhasilan belajar siswa dalam aspek kognitif (ranah cipta) ini, dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik dengan tes tertulis maupun lisan dan perbuatan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa karena semakin membengkaknya jumlah siswa di sekolah-sekolah, tes lisan dan perbuatan saat ini semakin jarang digunakan.

Penilaian terhadap hasil belajar siswa selama ini, banyak dilakukan dengan tes tertulis, yang diistilahkan dengan “ulangan” dan “ulangan umum” yang dulu disebut “tes hasil belajar” atau THB dan “tes prestasi belajar” atau TPB. Di samping itu itu, penilaian hasil belajar pada akhir jenjang pendidikan biasa disebut dengan istilah “evaluasi belajar tahap akahir nasional” atau EBTANAS yang kini disebut Ujian Akhir Nasional (UAN). Khusus untuk mengevaluasi kemampuan analisis dan sistesis siswa, kelihatannya tepat untuk dilakukan dengan cara menggunakan tes essay, karena tes ini adalah ragam untuk mengevaluasi kemampuan siswa dalam menguasi materi pelajaran

b.    Evaluasi dalam Aspek Afektif

Keberhasilan pengembangan ranah kognitif tidak hanya akan membuahkan kecakapan kognitif, tetapi juga menghasilkan kecakapan ranah afektif. Evaluasi dalam ranah afektif ini, lebih ditekankan pada unsur pokok akhlak.[32] Seorang guru agama yang piawai dalam mengembangkan kecakapan kognitif, akan berdampak positif terhadap ranah afektif siswa. Peningkatan kecakapan afektif ini, antara lain berupa kesadaran beragama yang mantap. Misalnya saja, apabila seorang siswa diajak kawannya untuk berbuat tidak senonoh seperti melakukan seks bebas, dan atau meminum minuman keras, ia akan serta merta menolak dan bahkan berusaha mencegah perbuatan asusila itu dengan segenap daya dan upayanya.

Dalam merencanakan penyusunan instrumen tes prestasi siswa yang berdimensi afektif (ranah rasa), jenis-jenis prestasi internaslisasi dan karakterisasi seyogyanya mendapat perhatian khusus. Alasannya, karena kedua jenis prestasi ranah rasa itulah yang lebih banyak mengendalikan sikap dan perbuatan siswa.

Mengenai afektif ini, terdiri atas lima taraf, yakni ; (1) memperhatikan, di mana taraf ini berkenaan dengan kepekaan pelajar terhadap rangsangan fenomena yang datang dari luar; (2) merespon, di mana pada taraf ini pelajar sudah lebih dari sekedar memperhatikan fenomena. Ia sudah memiliki motivasi yang cukup; (3) menghayati nilai, di mana pada taraf ini pelajar sudah menghayati dan menerima nilai; (4) mengorganisasikan, dimana pada taraf ini pelajar mengembangkan nilai-nilai ke dalam suatu sistem organisasi; (5) menginternalisasi diri, dan inilah taraf tertinggi, di mana pelajar telah mendarahdaging serta mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya.

Salah satu bentuk evaluasi afektif yang populer ialah tes “skalah likert” yang tujuannya untuk mengidentifikasi kecenderungan sikap siswa. Bentuk skala ini menampung pendapat yang mencerminkan sikap sangat setuju, ragu-ragu, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Rentang skala ini diberi skor 1 sampai 5, atau 1 sampai 7 bergantung kebutuhan dengan catatan skor-skor itu dapat mencerminkan sikap-sikap mulai sangat “ya” sampai sangat “tidak”. Perlu pual dicatat, untuk memudahkan identifikasi jenis ke-cenderungan afektif siswa yang representatif item-item skala sikap sebaiknya  dilengkapi dengan label/identitas sikap yang meliputi (1) doktrin, yakni pendirian; (2) komitemen, yakni ikrar setia untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan; (3) penghayatan, yakni pengalaman batin; (4) wawasan, yakni pandangan atau cara memandang sesuatu. Cara lain menyusun instrumen skala sikap dan atau akhlak siswa dapat juga ditempuh dengan menggunakan skala ciptaan Osgood yang disebut semantic differential. Hal lain yang perlu diingat adalah bahwa guru yang hendak menggunakan skala sikap ialah bahwa dalam evaluasi ranah rasa yang dicari bukan sekedar benar dan salah, melainkan sikap atau kecenderungan setuju atau tidak setuju.[33]

c.   Evaluasi dalam Aspek Psikomotorik

keberhasilan pengembangan ranah kognitif juga akan berdampak positif terhadap perkembangan ranah psikomotorik. Kecakapan psikomotorik adalah sagal amal jasmaniah yang kongkrit dan muda diamati baik kuantitasnya maupun kualitasnya, karena sifatnya yang terbuka. Jadi kecakapan psikomotorik siswa adalah merupakan manifestasi wawasan pengetahuan dan kesadaran serta sikap mentalnya. Dalam pendidikan Islam, penilaian terhadap aspek psikomotorik terutama ditekankan pada unsur pokok ibadah, misalnya shalat, kemampuan baca tulis Alquran, dan semisalnya.[34] Evaluasi dalam aspek psikomotrik ini, dapat dibedakan atas lima taraf, sebagai berikut; (1) persepsi, yakni mencakup kemampuan menafsirkan rangsangan, peka terhadap rangsangan, dan mendiskripminasikan rangsangan; (2) kesiapan, yakni mencakup tiga aspek, yaitu intelektual, fisis, dan emosional; (3) gerakan terbimbing, yakni kemampuan-kemampian yang merupakan bagian dari keterampilan yang lebih kompleks; (4) gerakan terbiasa, yakni terampil melakukan suatu perbuatan; dan (5) gerakan kompleks, yakni melakukan perbuatan motoris yang kompleks dengan lancar, luwes, gesit, atau lincah.[35]

Cara yang dipandang tepat untuk mengevaluasi keberhasilan belajar yang berdimensi rana psikomotor (ranah karsa) adalah observasi. Observasi dalam hal ini, dapat diartikan sebagai sejenis tes mengenai peristiwa, tingkah laku, atau fenomena lain, dengan pengamatan langsung.

Guru yang hendak melakukan observasi perilaku psikomotorik siswa-siswanya sejatinya mempersiapkan lankah-langkah yang cermat dan sistematis menurutu pedoman yang terdapat dalam lembar format observasi yang sebelumnya telah disediakan baik oleh sekolah maupun guru itu sendiri. Menilai prestasi atau hasil belajar melalui rahan kedisiplinan siswa adalah tinjauan atau penilaian psikomotorik.

 

C.     Kerangka Pikir

Kerangka pikir sebagai landasan konseptual yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan pada bentuk penerapan aturan kedisiplinan dalam hubungannya dengan peningkatan hasil belajar siswa pada Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar.

Kerangka Pikir pada penelitian ini dimulai pada terbentuknya Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar sebagai lembaga pendidikan Islam. Selanjutnya lembaga ini memiliki hak dan kewajiban membentuk aturan sebagai sistem kelembagaan. Aturan yang ada diperuntukkan pada siswa, guru dan pegawai yang tujuannya untuk meningkatkan kualitas atau hasil belajar siswa pada lembaga pendidikan Islam tersebut. Penerapan aturan yang telah dibuat dan diberlakukan bisa berarti baik (bernilai positif) dan juga bisa berarti buruk (bernilai negatif). Untuk lebih jelasnya, kerangka pikir pada penelitian ini dapat kita lihat sebagaimana skema berikut ini.

 

Gambar 1. Gambar Kerangka Konseptual

 


 

D.     Hipotesis

Terkait dengan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka dikemukakan jawaban sementara atau hipotesis penelitian ini sebagaiana berikut :

1.   Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar memiliki aturan kedisiplinan yang diterapkan untuk siswa, guru dan pegawai yang terdiri dari aturan pemerintah dan aturan khusus yang berlaku pada lembaga tersebut.

2.  Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar melakukan berbagai hal untuk meningkatkan Hasil Belajar Siswa, termasuk penerapan kedisiplinan pada siswa, guru dan pegawai pada lembagai tersebut.

3.  Dalam meningkatkan prestasi belajar siswa di  Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar, terdapat Peluang dan Tantangan antara lain siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar telah memiliki aturan kedisiplinan sehingga potensi peningkatan hasil belajar sangat baik, adapun tantangannya adalah aturan tersebut tidak sepenuhnya dipatuhi oleh siswa maupun guru dan pegawai.

 

III.           METODE PENELITIAN

Sebagaimana lazimanya sebuah penelitian ilmiah yang menggunakan cara-cara atau metode-metode ilmiah yang seuai dengan kriteria penulisan ilmiah yang lazim digunakan, penelitian ini juga menggungakan kriteria penulisan karya tulis ilmiah yang perpedoman pada metode penulisan karya tulis ilmiah Universitas Muslim Indonesia Makassar.

Berangkat dari pola tersebut, dalam penelitian ini, digunakan beberapa perangkat penelitian sebagai berikut:

A.     Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian lapangan, yaitu penulis melakukan penelitian langsung ke Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar, untuk mendapatkan dan mengumpulkan informasi atau data-data. Penelitian ini menggunakan desain survey yang bersifat deskriftif.

Penelitian survey bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data-data dari sekian banyak orang (populasi) di Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar, dengan mewawancarai dan membagikan angket pada sebagian kecil yang terpilih berdasarkan sistem sampel, juga mendokumentasikan praktek lapangan yang ada kaitannya dengan penelitia ini.

 

B.     Lokasi dan Waktu Penelitian

Penentuan lokasi yang tepat merupakan salah satu hal yang amat urgen dan ikut menentukan berhasil tidaknya suatu proses penelitian. Pemilihan lokasi penelitian tertentu sebagai objek penelitian senantiasa didasarkan pada berbagai kriteria.

Penelitian ini dilaksanakan di Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar yang terletak di Jalan Andi Pangeran Pettarani No. 1A Makassar. Adapun waktu penelitian ini direncanakan selama dua bulan yaitu pada bulan Juni hingga bulan Agustus tahun 2014.

C.     Populasi dan Sampel

1.   Populasi

Sebelum mengemukakan apa yang dimaksud dengan populasi, berikut akan dipaparkan pandangan beberapa orang pakar antara lain Nana Sudjana bahwa yang dimaksud dengan populasi adalah:

     Totalitas semua nilai yang mungkin hasil hitung ataupun pengukuran aualitatif maupun kuantitatif dari karekteristik tertentu mengenai sekumpulan objek yang ingin dipelajari sifat-sifatnya.[36]

 

Menurut Burhan Bungin, Populasi berasal dari Bahasa Inggris Population, yang berarti jumlah penduduk. Oleh karena itu, apabila disebutkan kata populasi, orang kebanyakan menghubungkannya dengan masalah-masalah kependudukan. Hal tersebut ada benarnya juga, karena itulah makna populasi yang sesungguhnya. Kemudian pada perkembangan selanjutnya, kata populasi menjadi amat populer dan digunakan pada berbagai disiplin ilmu. Dalam metode penelitian, populasi digunakan untuk menyebutkan serumpun atau sekelompok objek yang menjadi sasaran penelitian. Oleh karena itu, populasi merupakan keseluruhan dari objek penelitian berupa manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, gejalan, nilai, perstiwa,  sikap hidup dan sebagainya, sehingga objek-objek ini dapat menjadi sumber data penelitian.[37]

Pengertian populasi juga dikemukakan oleh Ambo Enre Abdullah, bahwa populasi adalah “sekelompok yang menjadi sasaran penelitian dalam usaha memperoleh informasi dan menarik kesimpulan”.[38] Juga berarti “Populasi adalah keseluruhan objek penelitian”.[39]

Pendapat lain tentang populasi sebagaimana telah dikemukakan oleh Sutrisno Hadi bahwa Populasi adalah:

Seluruh penduduk yang dimaksudkan untuk diselidiki disebut populasi atau universum. Populasi dibatasi sejumlah penduduk atau individu yang paling sedikit mempunyai sifat yang sama.[40]

 

Dengan demikian, yang dimaksud dengan populasi adalah seluruh penduduk atau individu yang menjadi sasaran penelitian yang mempunyai satu sifat yang sama dalam usaha memperoleh informasi dan menarik kesimpulan.

Sehubungan dengan uraian di atas, maka yang menjadi populasi pada penelitian ini adalah seluruh Siswa dan Siswi Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar. Berdasarkan data jumlah siswa-siswi Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar, terdapat 11 (sebelas) kelas untuk tingkat pertama (Kelas VII), 10 (Sepuluh) kelas untuk tingkat kedua (Kelas VIII) dan 9 (Sembilan) kelas untuk angkatan ketiga (Kelas IX), rata-rata ruang belajar diisi oleh 40 orang siswa. Dengan demikian, jumlah siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar adalah sebanyak 1200 orang. Dari totalitas objek penelitian akan menyulitkan peneliti untuk mengumpulkan data atau informasi jika peneliti mengambil data pada seluruh populasi tersebut. Dengan demikian, perlu dilakukan generalisasi berdasarkan kuota sampling, atau penelitian yang dilakukann adalah penelitian sampel.

2.   Sampel

Sebagaimana lazimnya dalam suatu penelitian Ilmiah, tidak semua populasi dapat diteliti, melainkan dapat pula secara perwakilan hal ini berdasarkan pada pertimbangan bahwa peneliti mengalami keterbatasan, baik keterbatasan waktu, biaya, tenaga dan kemampuan sehingga penelitian yang dilakukan tidak bersifat populatif tapi dilakukan berdasarkan sampling, atau penelitian yang dilakukan adalah penelitian sampel.

Penelitian sampel sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ahli adalah sebagai berikut :

Menurut Muhammad Arief Tiro Bahwa Sampel Yaitu Sejumlah Anggota yang dipilih atau yang diambil dari suatu populasi.[41] Juga berarti proses menarik sebaian subjek, gejala, atau objek yang ada pada pupulasi disebut sampel.[42]

Hakikat penggunaan sampel dalam penelitian adalah karena sulitnya meneliti seluruh populasi. Sampel diambil dalam penelitian sebagai bahan pertimbangan efisiensi dan mengarah kepada sentralisasi permasalahan dengan memfokuskan sebagian dari populasi penelitian. Pengambilan sampel yang tepat merupakan langkah awal penelitian, karena dengan penelitian sampel yang dilakukan dengan tidak benar akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak benar pula atau kurang dapat dipercaya.

Teknik sampling yang digunakan harus tepat sehingga penelitian akurat dan dapat dipercaya. Menurut Burhan Bungin, agar sampel penelitian memiliki bobot refresentatif sebagaimana yang diharapkan maka peneliti harus mempertimbangkan beberapa hal yaitu derajat keseragaman populasi, derajat kemampuan peneliti mengenali sifat-sifat khusus populasi, presisi (kesamaan) yang dikhendaki peneliti serta penggunaan teknik sampling yang tepat.[43]

Secara matematis, penentuan sampel pada penelitian ini dihitung berdasarkan rumus yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan beberapa hal yaitu dengan mengacu pada pendapat Suharsimi Arikunto yang menyatakan bahwa: jika peneliti mempunyai beberapa ribu subjek penelitian, peneliti dapat menentukan persentase sampel kurang lebih 10 % sampai 15 %. Jika peneliti mempunyai beberapa ratus atau beberapa puluh subyek dalam suatu populasi, mereka (peneliti) dapat menentukan kurang lebih 25% sampai 30% dari jumlah subyek tersebut. Jika jumlah subyek dalam populasi hanya meliputi 20 sampai 30 orang dan dalam pengumpulan data peneliti menggunakan daftar interview atau wawancara dan sebaiknya diambil jumlah subyek secara keseluruhan.[44]

Adapun yang menjadi sampel pada penelitian ini sebanyak 10 % untuk angket. Ketentuan ini diambil dari jumlah siswa sebanyak 1200 orang siswa MTsN Model Makassar. Sampel pada penelitian ini hanya difokuskan pada kelas VIII dan Kelas IX, dengan demikian, dari jumlah siswa sebanyak 699 Kelas VIII dan Kelas IX, ditetapkan sampel pada tiap-tiap kelas antara 3 sampai 4 orang tiap kelas. Penentuan jumlah sampel dapat diuraikan pada tabel berikut:

 

Tabel 2: Penentuan Sampel

No
Kelas
Jumlah
Persentase Sampel
Jumlah Sampel
1
VIII.1
34
10 %
3
2
VIII.2
38
10 %
4
3
VIII.3
40
10 %
4
4
VIII.4
40
10 %
4
5
VIII.5
39
10 %
4
6
VIII.6
33
10 %
3
7
VIII.7
33
10 %
3
8
VIII.8
38
10 %
4
9
VIII.9
40
10 %
4
10
VIII.10
40
10 %
4
11
IX.1
39
10 %
4
12
IX.2
33
10 %
3
13
IX.3
39
10 %
4
14
IX.4
33
10 %
3
15
IX.5
33
10 %
3
16
IX.6
38
10 %
4
17
IX.7
37
10 %
4
18
IX.8
37
10 %
4
19
IX.9
35
10 %
4
Jumlah
699
10 %
70

 

Dari sejumlah sampel yang terpilih, pengumpulan data angket hanya diperuntukkan pada siswa kelas VIII dan IX karena siswa kelas VII masih sangat baru di kelas dan mereka masih butuh bersosialisasi tentang aturan yang diterapkan di MTsM Model Makassar.

Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data di lapangan maka perlu dilakukan pengumpulan data. Dalam pengumpulan data, perlu ada insntrumen. Untuk lebih jelasnya, instrumen penelitian tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

1.   Obeservasi

Observasi merupakan instrumen yang digunakan untuk melakukan pengamatan langsung tentang fenomena-fenomena yang ada kaitannya dengan maslaah yang akan dibahas dalam penelitian ini, misalnya kegiatan-kegiatan Madrasah yang ada kaitannya dengan prestasi belajar di Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar.

2.  Interview

Menurut Bimo Walingto bahwa pedoman interview adalah suatu alat yang digunakan dalam melakukan wawancara untuk mendapatkan data anak atau orang yang mengadakan hubungan secara langsung dengan informan (face to relation).[45]

Instrumen memerlukan waktu tertentu untuk bertatap muka secara langsung dengan sumber daya yaitu informan dengan cara tanya jawab, untuk mengetahui bagaimana penerapan aturan kedisiplinan dalam meningkatkan prestasi belajar siswa di Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar.

3.  Dokumentasi

Dokumentasi ini dilakukan dengan mengumpulkan data yang telah ada seperti dokumen-dokumen tertulis dalam hubungannya dengan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Instrumen penelitian ini digunakan untuk memperoleh data tentang kegiatan siswa, guru dan pegawai dalam mengikuti aturan yang telah ditetapkan Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar.

4.  Anket

Pada dasarnya angket atau kuesioner adalah sebuah daftar pertayaan yang harus diisi oleh orang yang diukur (responden). Dengan demikian kuesioner ini dapat diketahui keadaan diri, pengalaman, pengetahuan sikap atau pendapat dan lain-lain.[46]

Berdasarkan pengertian di atas, maka cara yang ditempuh baik secara langsung kepada orang yang diperlukan datanya (responden) maupun secara tidak langsung dengan cara melalui orang lain yang mengetahui diri orang yang akan didata.

Instrumen angket ini digunakan sebagai alat atau cara utama untuk memperoleh data tentang penerapan aturan kedisiplinan pada Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar terutama yang terkait dengan upaya peningkatan hasil belajar siswa.

D.     Teknik Analisis Data

Untuk mengetahui atau memperoleh data di lapangan, maka perlu dilakukan pengumpulan data. Dalam pengumpulan data diperlukan adanya suatu prosedur dala mengumpulkan data. Adapun prosedur pengumpulan data yang harus ditempuh dalam penelitian ini adalah:

1.   Tahap pesiapan

Sebelum melakukan penelitia lapangan, terlebih dahulu menyelesaikan segala urusan administrasi yang berkaitan dengan prosedur penelitian, mulai dari surat keputusan dari Universitas Muslim Indonesia, persetujuan pembimbing dan penguji proposal, kemudian ke Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan cq. Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah untuk urusan izin penelitian. Setelah mendapatkan izin penelitian, selanjunya rekomendasi diteruskan pada lembaga tempat meneliti yaitu, Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar.

Kegiatan dalam mengumpulkan data diperlukan teknik tertentu yang sesuai dengan data yang diperlukan. Dalam penelitian ini, terkait dengan penerapan aturan kedisiplinan dalam kaitannya dengan peningkatan hasil belajar siswa di Madrasa Tsanawiyah Negeri Model Makassar. Untuk memperoleh data tersebut, digunakan teknik observasi, interview, dokumentasi, dan angket. Untuk teknik observasi digunakan dalam melakukan pengamatan langsung ke tempat penelitian untuk mendapatkan data yang dibutuhkan, misalnya penerapan aturan kedisiplinan terkait peningkatan hasil belajar siswa.

Teknik interview digunakan untuk mendapatkan data lisan yang tidak dapat diperoleh melalui angket dan hasil interview tidak dianalisa secara tersendiri, sedangkan teknik angket adalah digunakan dalam penelitian untuk memperoleh data yang ada kaitannya dengan permasalah yang telah diajukan dalam penelitian ini.

Dalam pengolahan dan menganalis data, penulis menggunakan teknik analisis deskriptif yang bersifat kualitatif dengan bentuk pemaparan dekskriptif analisis.

E.    Jadwal Penelitian

Jadwal kegiatan dalam sebuah penelitian merupakan suatu yang hal yang sangat penting, karena dengan jadwal tersebut akan dijadikan sebagai alat kontrol sehingga penelitian bisa selesai sesuai dengan rencarana yang telah diprogram.

Agenda Penelitian

Penelitian in akan dilaksanakan selama kurang lebih dua bulan. Adapun rancangan jadwal penelitian ini sebagai berikut

Kegiatan Penelitian
Bulan
 
Ket
Mei
Juni
Juli
Agustus
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
 
Persiapan
-          Menyusun Proposal dan Konsultasi
-          Seminar Proposal
-          Revisi Proposal
-          Pengumpulan Data
-          Analisis Data
 
Menyusun Laporan
Perbaikan Laporan
Ujian Teseis
 
 
 
x
 
 
x
 
 
 
x
 
 
 
x
 
 
 
 
x
 
 
 
 
 
 
 
 
x
 
 
 
 
 
 
 
 
x
 
 
 
 
 
 
 
x
 
 
 
 
 
 
 
 
 
x
 
 
 
 
 
 
 
 
 
x
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
x
 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Tirtaraharja, Umar, Optinialisasi Sumber Daya Manusia dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan, "Makalah" disampaikan dalam Seminar IMDI, Parepare: t.p., 1993.

Mentja, William, Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pengajaran : Kumpulan Karya Tulis Terpublikasi, Cet, I ; Malang : Wineka Media, 2002.

Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Edisi I, Cet. 2; Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

Abd. Rahini, Taufik, Studi tentang Mutu Pendidikan Pada Universitas Alkhairat (UNISA) Palu; Suatu Kajian Manajemen Perguruan Tinggi "Penelitian Magister", Makassar: Program Pascasarjana UMI, 2002.

Idy, Iskandar, Madrasah Model Sebagai Alternatif Peningkatan Mutu Madrasah; Studi tentang Pengembangan Madrasah di Sulawesi Selatan "Penelitian Magister", Ujungpandang: Program Pascasarjana UMI, 2002.

Alwi, Hasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-3, Jakarta; Balai Pustaka, 2007.

Muhaimin dan Abd, Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofik dan Kerangka Dasar Operasional Operasional, Cet. I; Bandung: Trigenda Karya, 1993.

Putra Dauly, Haidar, Pendidikan Islam dalam Sistem Nasional di Indonesia, Edisi I, Cet. I; Jakarta: Kencana, 2004.

Suryadi, Tilaar, Ace, Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar, Cet. II; Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1994.

hamalik, Oemar, Evaluasi Kurikulum, Cet. II; Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1993.

Pongtuluran, Aris, Manajemen Mutu Total dalam Pendidikan”, Makalah disampaikan dalam Konfrensi Nasional Manajemen Pendidikan, Jakarta : 2002.

Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Cet. II; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003.

Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, Cet. IV; Jakarta: Rineka Cipta, 2003.

H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Persfektif Abad 21, Magelang : Indonesia Tera, 2001.

K. H. Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman, Bandung : Mizan, 1994).

Robert L. Thorndike dan Elisabeth P. Hagen Measurement and Aevaluation in Psychology and Education Fourth Edition, Newy York: John Wiley and Sons, t.th.

Mappanganro, Implementasi Pendidikan Islam di Sekolah, Cet.I; Ujung Pandang: Yayasan Ahkam, 1996.

Julian C. Stanley dan Kenneth D Hopkins, Educational and Psyicological Measurement and Evaluation, New Delhi: Prentive Hal Private Limited, 1978.

W. James Popham dan Evi L. Baker, Teknik Mengajar secara Sistematis, Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1992. 

Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Cet. II; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.

John W. M. Rothney, Evaluation of Learning dalam Charles E. Skinner, Educational Psychology, New Delhi: Prencite-Hall Inc, 1984. 

Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, cet. IV; Jakarta: Rineka Cipta, 2003.

Nana Sudjana, Tuntutan Penyusunan Karya Ilmiah, Makalah-Skripsi-Tesis-Desertasi, Cet. VI, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2001.

Burhan Bungin, Metode Penelitian Kuantitatif – Komunikasi, Ekonomi, dan kebijakan Publik serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya, Edisi I, Jakarta; Prenada Media, 2005.

Abdullah, Ambo Enre, Dasar-dasar Penelitian Sosial Kependudukan, Ujung Pandang: FIP IKIP, 1983.

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Jakarta: Bina Aksara, 1989).

Sutrisno Hadi, Statistik 2, Yogyakarta; YPEP UGM, 1986.

Arif Tiro, Muhammad, Dasar-dasar Statistik, Cet. I, Makassar: Universitas Negeri Makassar, 2000.

Arikunto, Suharsimi, Manajemen Penelitian, Cet. I., Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1990.

Walgito, Bimo, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1991.

 




[1]Umar Tirtaraharja, Optinialisasi Sumber Daya Manusia dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan, "Makalah" disampaikan dalam Seminar IMDI (Parepare: t.p., 1993), h. 3‑4.
[2]William Mentja, Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pengajaran : Kumpulan Karya Tulis Terpublikasi (Cet, I ; Malang : Wineka Media, 2002), h. 15.
[5] wikipedia
[6] Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Edisi I (Cet. 2; Jakarta: Bumi Aksara, 1992) h. 104
[7]Taufik Abd. Rahini, Studi tentang Mutu Pendidikan Pada Universitas Alkhairat (UNISA) Palu; Suatu Kajian Manajemen Perguruan Tinggi "Penelitian Magister" (Makassar: Program Pascasarjana UMI, 2002), h. 121-122.
[8] Iskandar Idy, Madrasah Model Sebagai Alternatif Peningkatan Mutu Madrasah; Studi tentang Pengembangan Madrasah di Sulawesi Selatan "Penelitian Magister" (Ujungpandang: Program Pascasarjana UMI, 2002), h. 7.
[9] Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Edisi ke-3, Jakarta; Balai Pustaka, 2007). h.263
[10]Ibid. h. 603
[11] Muhaimin dan Abd, Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofik dan Kerangka Dasar Operasional Operasional, (Cet. I; Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 307
[12] Haidar Putra Dauly, Pendidikan Islam dalam Sistem Nasional di Indonesia, Edisi I (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2004), h.55
[13]Ibid, h. 176
[14]Ace Suryadi dan H.A.R. Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar, (Cet. II; Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1994), h. 161.
[15]Oemar hamalik, Evaluasi Kurikulum, (Cet. II; Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1993), h. 33.
[16]Aris Pongtuluran, “Manajemen Mutu Total dalam Pendidikan”, Makalah disampaikan dalam Konfrensi Nasional Manajemen Pendidikan, (Jakarta : 2002), h. 9.
[17]Muhibbin Syah, Psikologi Belajar(Cet. II; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), h. 53.
[18]H. Mappanganro, op. cit., h. 117
[19]Ibid.
[20]Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya (Cet. IV; Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 17-18.
[21]H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Persfektif Abad 21, (Magelang : Indonesia Tera, 2001), h. 179.
[22]H.A.R. Tilaar, op.cit., h. 179.
[23]K. H. Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman (Bandung : Mizan, 1994), h. 39.
[24]Lihat Robert L. Thorndike dan Elisabeth P. Hagen Measurement and Aevaluation in Psychology and Education Fourth Edition (Newy York: John Wiley and Sons, t.th), h. 3
[25]Lihat Mappanganro, Implementasi Pendidikan Islam di Sekolah (Cet.I; Ujung Pandang: Yayasan Ahkam, 1996), h. 99
[26]Lihat Julian C. Stanley dan Kenneth D Hopkins, Educational and Psyicological Measurement and Evaluation (New Delhi: Prentive Hal Private Limited, 1978), h. 6
[27]Robert L. Thorndike dan Elisabeth P. Hagen, op. cit., h. 336-337
[28]W. James Popham dan Evi L. Baker, Teknik Mengajar secara Sistematis (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 29. 
[29]Mappanganro, op. cit.,  117
[30]Muhibbin Syah, Psikologi Belajar (Cet. II; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), h. 51
[31]John W. M. Rothney, Evaluation of Learning dalam Charles E. Skinner, Educational Psychology (New Delhi: Prencite-Hall Inc, 1984), h.  686 
[32]H. Mappanganro, loc cit.
[33]Robert L. Thorndike dan Elisabeth P. Hagen, op. cit., h. 440-441
[34]Mappanganro, loc cit.
[35]Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya (cet. IV; Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 17-18.
[36] Nana Sudjana, Tuntutan Penyusunan Karya Ilmiah, Makalah-Skripsi-Tesis-Desertasi, (Cet. VI, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2001), h.71.
[37] Burhan Bungin, Metode Penelitian Kuantitatif – Komunikasi, Ekonomi, dan kebijakan Publik serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya, (Edisi I, Jakarta; Prenada Media, 2005), h. 99
[38] Ambo Enre Abdullah, Dasar-dasar Penelitian Sosial Kependudukan (Ujung Pandang: FIP IKIP, 1983), h. 37.
[39] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, (Jakarta: Bina Aksara, 1989), h. 103.
[40] Sutrisno Hadi, Statistik 2, (Yogyakarta; YPEP UGM, 1986), h. 220
[41] Muhammad Arif Tiro, Dasar-dasar Statistik, (Cet. I, Makassar: Universitas Negeri Makassar, 2000), h. 3
[42] Nana Sudjana, Op. Cit., h.71
[43] Burhan Bungin, Op. Cit., h. 104
[44] Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, Cet. I. (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1990), h. 125.
 
[45] Bimo Walgito, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1991), h. 68
[46] Suharsimi Arikunto, Op. Cit., h. 24.

Comments

Popular posts from this blog

Strategi Kepemimpinan Ali Bin Abu Thalib

BAB I PENDAHULUAN A.       Latarbelakang Masalah Nabi Muhammad saw. Tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau tampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum Muslimin untuk menentukannya sendiri. Kaena itu, tidak lama setelah beliau wafat; belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokohMuhajirin dan Ashor Berkumpul dibalai kota   Bani Sa’dah, Madinah.  

Kedudukan Ar-ra'yu sebagai Landasan Hukum Islam

Referensi Pada dasarnya umat Islam yang beriman Kepada Allah swt. Meyakini bahwa Sumber utama Ajaran Islam yaitu Alquran dan Hadis sudah sempurna. Firman Allah dalam Alquran sudah sempurna membahas aturan-aturan, hukum, ilmu pengetahuan (filsafat), kisah, ushul fiqh dan lain-lain. Begitu juga Hadis Rasulullah yang salah satu sifatnya menjadi penjelasan ayat-ayat dalam Alquran. Posisi Hadis adalah penjelas dan sumber kedua setelah Alquran.

Pendidikan Islam Pasca Runtuhnya Bagdad

I.               PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah Kemunduran umat Islam dalam peradabannya terjadi pada sekitar tahun 1250 M. s/d tahun 1500 M.   Kemunduran itu terjadi pada semua bidang terutama dalam bidang Pendidikan Islam. Di dalam Pendidikan Islam kemunduran itu sebagian diyakini karena berasal dari berkembangnya secara meluas pola pemikiran tradisional. Adanya pola itu menyebabkan hilangnya kebebasan berpikir, tertutupnya pintu ijtihad, dan berakibat langsung kepada menjadikan fatwa ulama masa lalu sebagai dogma yang harus diterima secara mutlak (taken for garanted). Saat umat Islam mengalami kemunduran, di dunia   Eropa   malah   sebaliknya   mengalami   kebangkitan   mengejar ketertinggalan mereka, bahkan mampu menyalib akar kemajuan-kemajuan Islam.   Ilmu Pengetahuan dan filsafat   tumbuh   dengan   subur   di   tempat...