Tulisan ini dibuat
tahun 2013 sampai 2014 untuk dijadikan proposal penelitian tesis, namun karena
situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan sehingga tidak di angkat sebagai
syarat penyelesaian study (AHM @ 2014)
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Tujuan
Pendidikan Nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Kecerdasan jika
diartikan secara lebih luas berarti upaya peningkatan pengetahuan, pemahaman,
kreativitas, keterampilan dan kemampuan untuk membangun mulai dari diri,
keluarga hingga membangun peradaban bangsa dan negara. Untuk mencapai tarap
kecerdasan bangsa sebagaimana yang dicita-citakan pendiri bangsa Indonesia
tentunya hanya bisa ditempuh dengan pendidikan. Pendidikan yang dimaksud adalah
upaya mengubah keadaan seseorang maupun sekelompok orang dari keadaan yang
kurang baik menuju keadaan yang lebih baik. Jika diurai lebih jauh, pendidikan
berarti mengubah seserang menjadi lebih cerdas, berwawasan luas, berbudi
pekerti yang mulia, kreatif, inovatif serta memiliki keterampilan untuk
membangun.
Islam
sebagai agama yang memiliki pemeluk terbesar di Indonesia juga sangat
mengutamakan pentingnya berproses dalam Pendidikan. Pendidikan dalam Islam
merupakan indikator penting dalam hidup, sebagai jaminan untuk orang yang
melatih diri menjadi orang terdidik akan diberikan derajat yang tinggi.
Pandangan tentang pentingnya pendidikan memang diakui kebanyakan orang. Karena
itu, generasi-genarasi terdahulu selalu memotivasi dan mempersembahkan
karya-karya untuk orang-orang yang hidup dizamannya dan berusaha menciptakan
temuan-temuan baru yang dipersembahkan untuk generasi selanjutnya. Salah satu
motivasi orangtua terhadap anak-anaknya adalah mengupayakan pendidikan yang
berkualitas dan jenjang yang tinggi. Sebagaimana diketahui bahwa orangtua dan generasi penerusnya selalu merindukan bagaimana
mendapatkan hidup bahagia dan cemerlang untuk dirinya dan sesamanya. Tak heran
jika lembaga-lembaga pendidikan banyak dipenuhi oleh para penuntut ilmu (siswa dan mahasiswa). Telah tumbuh dan berkembang
perguruan-perguruan, mulai taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi
negeri/swasta di seluruh tanah air.
Yang menjadi masalah adalah munculnya gejala baru di tengah-tengah masyarakat ilmuwan, yaitu sangat besar
jumlah pencari kerja atau penganggur baik dari kalangan yang tidak/kurang
terdidik sampai lulusan perguruan tinggi. Kebanyakan dari para penganggur
terdidik itu lulusan fakultas dari ilmu-ilmu sosial bahkan dari lulusan
ilmu-ilmu eksakta, diantaranya lulusan dari fakultas pertanian, teknik, dan
kedokteran. Banyaknya pengangguran dari kalangan putus sekolah, lulusan Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan, fakultas-fakultas sosial/keguruan, sudah menjadi berita biasa.
Realita di atas merupakan salah satu faktor yang membuat orang muda kehilangan
semangat dan motivasi dalam menempa diri menjadi lebih
baik. Kondisi semacam ini cenderung menciptakan prinsip baru bagi sebagian
orang untuk berhenti atau memilih untuk tidak sekolah karena sekolah hanya akan
menambah jumlah pengangguran intelektual.
Dengan demikian, motivasi menjadi sangat penting untuk mendapatkan pendidikan
yang lebih baik.
Upaya
meningkatkan kualitas belajar merupakan salah satu jalan yang ditempuh untuk
meretas setiap persoalan yang dihadapi masyarakat. Memaksimalkan hasil belajar
harus tempuh, mulai dari melatih disiplin pada setiap siswa, melatih budaya
saling menghargai, meningkatkan kualitas wawasan dan sebagainya. Yang menjadi masalah
kemudian adalah tidak semua aturan dan konsep yang dibuat bisa dijalankan
dengan baik.
Pengertian
hasil (mutu atau kualitas)
pendidikan terkait banyak komponen yang saling mempengaruhi, perubahan dari
pengaruh itulah yang sering dibahasakan dengan perubahan kualitatif yakni
menyangkut hubungan‑hubungan dalam pendidikan dimana pendidik dan pesesrta didik memungkinkan bertemu, atas dasar itulah sehingga
pendekatan yang digunakan untuk menentukan pendidikan yang berkualitas tinggi
adalah dengan manajemen yang baik, terutama dari segi proses atau sistem
pengajaran yang betul‑betul mendidik.
H. Umar Tirtaraharja
dalam sebuah analisisnya menguraikan bahwa hal yang dapat dijadikan sebagai
standar penilaian sebuah lembaga pendidikan yang berkualitas adalah terletak
pada hasil dan prosesnya. Dari segi hasilnya, paling tidak manusia output
pendidikan harus cerdas otaknya (head), kuat,
otot dan terampil tangannya (hand) serta
mulia hatinya (heath). Sedangkan dari
segi prosesnya adalah kemampuan sebuah lembaga pendidikan menghadapi masalah
yang berkaitan dengan partisipasi, efisiensi, efektifitas dan relefansi
pendidikan.[1]
Sorotan terhadap
persoalan mutu pendidikan dalam dua dasawarsa terakhir ini, menempati urutan
yang cukup tinggi. Jika dibandingkan dengan sorotan terhadap persoalan
kependidikan lainnya, perhatian terhadap hal itu boleh dikatakan cukup
memprihatinkan, karena sorotan masalahnya bukan saja datang dari para pemikir
dan pengamat bidang pendidikan, tetapi juga oleh para pengelola dan pengambilan
kebijakan di bidang tersebut, dan sejak tahun 1970-an sasaran rendahnya mutu
pendidikan secara nasional pada jenjang dan jenis pendidikan dasar dan menengah
akan tetapi sekarang ini keadaan yang sama telah menjangkau pula jenis dan
jenjang pendidikan tinggi.[2] Walaupun program
peningkatan mutu pendidikan selama ini secara terus menerus selalu dilaksanakan,
namun mutu pendidikan yang dicapai kelihatannya masih belum memuaskan.
Indikatornya adalah antara lain bahwa masih banyak lepasan sekolah menengah,
atau bahkan lepasan perguruan tinggi yang belum mendapat lapangan kerja, kurangnya semangat mengembangkan keilmuan, mental yang masih labil dan
sebagainya.
Dengan
adanya kenyataan seperti yang disebutkan di atas, maka para pendidik hendaknya
memainkan peran yang lebih strategis. Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Model
Makassar sebagai Lembaga pendidikan Islam yang memiliki peran mencerdaskan
kehidupan bangsa, terkhusus pada siswa yang telah memilih belajar di sana
adalah tanggung jawab lembaga terhadap masyarakat. Yang menjadi masalah
kemudian adalah mampukah lembaga pendidikan ini mengaplikasikan aturan yang
ditetapkan untuk meningkatkan hasil belajar siswa?.
B. Rumusan dan Batasan Masalah
Bertolak dari latar
belakang di atas, maka berikut ini diuraikan rumusan
masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
penerapan aturan kedisiplinan di Madrasah Tsanawiyah
Negeri Model Makassar?
2.
Bagaimana
Peningkatan Hasil Belajar Siswa di Madrasah Tsanawiyah
Negeri Model Makassar?
3.
Bagaimana
Peluang dan Tantangan dalam meningkatkan prestasi belajar
siswa di Madrasah Tsanawiyah Negeri Model
Makassar?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.
Tujuan
Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai pada
penelitian ini adalah:
a)Untuk mengkaji
gambaran penerapan aturan kedisiplinan pada siswa dan guru dalam
meningkatkan kualitas belajar siswa di Madrasah Tsanawiyah Negeri Model
Makassar.
b)Untuk mengkaji
aktivitas dan kegiatan-kegiatan serta Untuk mengetahui
efektivitas penerapan aturan kedisiplinan yang ditempuh dalam
upaya peningkatan prestasi belajar siswa di Madrash Tsanawiyah
Negeri Model Makassar.
c)
Untuk mengetahui
peluang dan tantangan dalam meningkatkan kualitas belajar siswa di Madrasah
Tsanawiyah Negeri Model Makassar.
2.
Kegunaan
Penelitian
Adapun kegunaan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a)
Memberikan
masukan bagi para pengelola Madrasah agar mengoptimalkan aturan kedisiplinan, terutama untuk mendukung peningkatan
prestasi siswa di Madrasah Tsanawiyah Negeri Model
Makassar.
b)
Melatih
penulis dalam mengungkapkan pikiran melalui tulisan secara ilmiah,
sistematis serta membuka wawasan terhadap disiplin Ilmu yang digeluti.
c)
Menjadi
sumber informasi yang dapat menunjang lebih lanjut aktivitas Madrasah Tsanawiyah
Negeri Model Makassar dalam meningkatkan kualitas belajar
siswa.
D. Pengertian Judul dan Definisi Operasional
1.
Pengertian
Judul
Penelitian ini berjudul “Penerapan aturan kedisiplinan dalam meningkatkan hasil belajar siswa di
Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar”.
Untuk menghindari kemungkinan terjadinya
kekeliruan dalam memahami arti dan makna yang terkandung dalam judul di atas,
maka akan dikemukakan secara harfiah sebagai berikut:
a.
Penerapan Aturan
Penerapan aturan berasal dari dua kata yaitu penerapan dan aturan. Penerapan adalah [n] 1) proses, cara, perbuatan menerapkan; 2) pemasangan; 3)
pemanfaatan; perihal mempraktikkan[3]. Sedangkan kata aturan berarti [n] 1) hasil perbuatan mengatur; (segala sesuatu) yg sudah
diatur; 2) cara (ketentuan, patokan, petunjuk, perintah) yang telah
ditetapkan supaya diturut; 3) tindakan atau perbuatan yg harus dijalankan.[4]
Dengan demikian, penerapan aturan bisa diartikan proses mempraktikkan atau menerapkan
aturan (ketentuan, patokan, petunjuk atau perintah supaya dituruti).
b.
Kedisiplinan
Kedisiplinan
adalah suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari
serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan,
keteraturan dan atau ketertiban. Karena sudah menyatu dengannya, maka sikap
atau perbuatan yang dilakukan bukan lagi atau sama sekali tidak dirasakan
sebagai beban, bahkan sebaliknya akan membebani dirinya bilamana ia tidak
berbuat sebagaimana lazimnya[5] kedisiplinan
hakikatnya adalah sekumpulan tingkah laku individu maupun masyarakat yang
mencerminkan rasa ketaatan, kepatuhan, yang didukung oleh kesadaran untuk
menunaikan tugas dan kewajiban dalam rangka pencapaian tujuan.
c.
Madrasah Tsanawiyah,
Madrasah Tsanawiyah
adalah lembaga yang memberikan pendidikan dan pengajaran menengah serta
menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang
sekurang-kurangnya 30% di samping mata pelajaran umum.[6]
d.
Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar
Madrasah Tsanawiyah
Negeri Model Makassar merupakan lokasi atau tempat yang akan menjadi objek pada
penelitian ini. Lokasi tersebut ini terletak pada Jalan Andi Pangeran Pettarani Nomor 1A Makassar.
Madrasah Tsanawiyah
Negeri Model Makassar merupakan salah satu Madrasah Percontohan di Sulawesi
Selatan. Secara umum, aturan kedisiplinan telah ada pada madrasah
tersebut, antara lain adalah siswa yang datang pada pukul 7.16 sudah tidak bisa
masuk ke madsarah. Aturan lain seperti jam
istrahat, waktu sholat dan sebagainya juga telah diatur pada madsarah ini. Dengan demikian, penerapan aturan kedisiplinan pada Madsarah Tsanawiyah Negeri Model
Makassar sudah bisa menjadi variabel penelitian.
Berdasarkan pengertian secara harfiah di
atas, maka penulis mengemukakan definisi operasional adalah keterlibatan
lembaga pendidikan Madrasah Tsanawiyah Negeri Model
Makassar membentuk dan memberlakukan aturan kedisiplinan, terutama pada
hubungannya dengan peningkatan hasil belajar siswa.
2. Definisi Oprasional
a. Penerapan Aturan Kedisiplinan
Penerapan aturan kedisiplinan adalah pembuatan aturan yang ditetapkan dan
diberlakukan untuk dipatuhi pada segenap organisasi, komunitas atau kelompok
dalam masyarakat. Aturan yang dimaksud adalah ketetapan tentang pedoman yang
harus diikuti oleh seluruh anggota dalam kelompok tersebut. Penerapan aturan
kedisiplinan adalah pembuatan kesepakatan tentang konsistensi yang harus
dipatuhi bersama.
Yang dimaksud penerapan aturan kedisiplinan pada penelitian ini adalah
penerapan aturan kedisiplilan yang berlaku di Madsarah Tsanawiyah Negeri Model
Makassar.
b.
Peningkatan hasil belajar siswa
hasil
belajar atau prestasi yang dicapai dari apa yang dikerjakan atau yang
sudah diusahakan dalam proses
pembelajaran. Peningkatan hasil belajar siswa merupakan upaya memaksimalkan
kualitas belajar siswa.
Yang dimaksud peningkatan hasil belajar siswa pada penelitian ini adalah
upaya peningkatan hasil belajar siswa di Madrasah Tsanawiyah Negeri Model
Makassar.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hubungan dengan Penelitian Sebelumnya
Sejauh kajian penulis, memang belum ada penelitian
tentang “Penerapan Aturan Kedisiplinan Dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa”.
Namun
demikian, dari berbagai literarur kepustakaan berupa hasil penelitian yang
pernah dilakukan sebelumnya, tetap ditemukan korelasi dengan penelitian yang
penulis lakukan terutama yang menyangkut tentang mutu pendidikan atau hasil belajar pada lembaga pendidikan. Penelitian yang dimaksudkan oleh penulis terkait dengan hasil belajar
antara lain:
1.
Tesis
Taufik Abd. Rahini yang berjudul Studi tentang Mutu Pendidikan Pada
Universitas Alkhairat (UNISA) Palu; Suatu Kajian Manajemen Perguruan Tinggi.
Persoalan
pokok yang dibahas dalam tesis Taufik Abd. Rahini adalah tentang mutu
pendidikan yang dikorelasikan dengan sistem manajemen perguruan tinggi
Al-Khairat Palu. Hasil dari penelitian tersebut menyimpulkan bahwa mutu
pendidikan pada UNISA Palu sudah memenuhi ukuran standarisasi, jika dilihat
dari dua aspek yakni dosen dan mahasiswa. Akan tetapi dalam hal kehadiran dosen
pada proses belajar mengajar di kelas belum berjalan sesuai dengan program yang
ditetapkan yaitu 16 kali pertemuan.[7] Hubungannya dengan
penelitian penulis dalam penelitian ini, adalah pada prihal standarisasi mutu
pendidikan, yakni pada aspek kedisiplinan siswa,
guru dan pegawai Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar dalam meningkatan hasil belajar
di madrasah tersebut.
2.
Tesis
H. Iskandar Idy yang berjudul Madrasah Model Sebagai Alternatif Peningkatan
Mutu Madrasah; Studi tentang Pengembangan Madrasah di Sulawesi Selatan.
Masalah
yang diteliti dalam tesis H. Iskandar Idy tersebut, terdiri atas dua. Pertama,
mengapa Madrasah Model lahir, dan kedua bagaimana sistem pengelolaannya
serta bagaimana manfaatnya dalam peningkatan mutu madrasah secara keseluruhan.[8] Masalah yang terakhir ini,
terkait dengan penelitian penulis dalam penelitian ini.
Iskandar Idy dalam penelitiannya
menyimpulkan bahwa madrasah model adalah suatu bentuk pembinaan madrasah yang
dilaksanakan berdasarkan penajaman skala prioritas untuk meningkatkan mutu
madrasah secara keseluruhan, dan problem mendasar yang dialami madrasah
termasuk madrasah model ialah muatan kurikulumnya terlalu berat, gurunya kurang
kuantitas dan kualitas, pengajaran agamanya sangat sedikit, sarana dan
prasarananya sangat tidak memadai.
Hubungannya dengan penelitian ini adalah bagaimana menciptakan mutu pendidikan atau hasil belajar yang
maksimal di Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar.
Dapatlah
dipahami bahwa kedua hasil penelitian di atas, relevan dengan penelitian
penulis dalam penelitian ini walaupun judul dan obyek penelitiannya tidak
serupa. Karena demikian halnya, hasil penelitian sebelumnya yang telah
disebutkan tadi banyak memberi ilustrasi kepada penulis pada pelaksanaan
penelitian di lapangan dalam menganalisis hasil belajar siswa
terutama terutama kaitannya dengan penerapan aturan kedisiplinan
yang ditetapkan dan diberlakukan oleh madrasah tersebut.
B. Landasan Teori
1.
Madrasah
sebagai lembaga pendidikan Islam.
Pendidikan merupakan proses pengubahan sikap
dan tata laku seseorag atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui pengajaran dan pelatihan.[9] Kualitas keberhasilan
pendidikan dapat dilihat pada Tingkat baik buruknya sesuatu; Derajat atau taraf
(kepandaian, kecakapan dan sebagainya).[10]
Madrasah sebagaimana halnya dengan lembaga
pendidikan formal lainnya, memiliki peranan dan tugas setidak-tidaknya
mencerminkan sebagai lembaga pendidikan Islam. Menurut An-Nahlawi dalam
Muhaimin dan Abdul Mujib bahwa tugas lembaga pendidikan Madrasah termasuk
Madrasah Aliyah sebagai lembaga pendidikan Islam antara lain adalah “Lembaga
pendidikan Madrasah berperan sebagai benteng yang menjaga keselamatan fitrah
manusia (siswa) tersebut”.[11]
Disamping itu, pendidikan juga memberikan
sahamnya bagi pemecahan berbagai problem sosial kontemporer dengan melatih generasi
muda untuk berpikir sehat dengan metode ilmiah yang kuat. Tujuannya adalah
untuk memberikan pelatihan kepada generasi muda agar berpikir sehat berdasarkan
metode ilmiah, diperlukan adanya sebuah wahana yang dapat menampung
berlangsungnya pelatihan dan pembinaan tersebut, yakni berupa sebuah ruang
khusus atau yang lebih dikenal isltilah lembaga pendidikan atau Madrasah.
Di Indonesia, perkataan madrasah baru
populer setelah masuknya ide-ide pembaharuan pemikiran Islam ke Indonesia pada
awal abad ke 20, dan dikategorikan sebagai lembaga pendidikan Islam yang
menyuarakan suara pembaharuan, berbeda dengan
pesantren yang dianggap sebagai lembaga pendidikan tradisional.[12]
Selanjutnya dalam rangka meningkatkan
masyarakat sesuai dengan sasaran agar Madrasah dapat bantuan material dan
bimbingan dari pemerintah, maka Kementerian Agama mengeluarkan peraturan
Menteri Agama nomor 1 tahun 1952. Menurut ketentuan ini, yang dinamakan
Madrasah adalah tempat pendidikan yang telah diatur sebagai sekolah dan membuat
pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam menjadi pokok pengajarannya.[13]
Perbedaan antara lembaga pendidikan islam
atau Madrasah dengan sekolah umum bukanlah sebagai perbedaan derajat antara
keduanya melainkan eksistensi dan pandangannya terhadap pendidikan Islam lebih
khusus pada Madrasah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa eksistensi
Madrasah sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam merupakan salah satu wadah
bagi masyarakat Islam untuk menempuh
atau memperoleh pengetahuan keagamaan dan atau pengetahuan umum secara
mendalam. Eksistensi Madrasah, termasuk Madrasah Aliyah merupakan wadah
berlangsungnya interaksi para siswa dalam naungan suatu sistem Madrasah yang
inputnya berasal dari berbagai lingkungan hidup. Pada madrasah ini,anak didik
ditempa dan dipadukan dalam satu kondisi dan iklim yang sama, yang menyatukan qalb
dan jiwa mereka.
2.
Penerapan aturan kedisiplinan di Madrasah Tsanawiyah
3.
Peningkatan Hasil Belajar siswa di Madrasah Tsanawiyah
4.
Konsepsi
Mutu Pendidikan dan Tolok Ukurnya
Mutu
pendidikan yang sering diperbincangkan akhir-akhir ini, masih sebatas konsep.
Ace Suryadi dan dan H.A.R. Tilaar menyatakan bahwa berbagai cara berpikir telah
dikembangkan untuk mencoba memberikan suatu pengertian tentang mutu pendidikan,
dalam kenyataannya konsepsi tentang mutu itu masih tetap bergerak dalam bentuk‑bentuknya
yang masih bersifat rethorical, artinya bahwa mutu pendidikan masih bergerak
dari gagasan satu kegagasan lain dan belum diterjemahkan secara tepat ke dalam
ukuran dan tindakan yang lebih nyata.[14]
Masalah mutu pendidikan merupakan salah satu
masalah nasional yang dihadapi oleh sistem pendidikan, dan berbagai usaha dan
program telah dikembangkan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Karena
masalah akan mutu pendidikan merupakan suatu masalah yang sangat penting
walaupun program peningkatan mutu pendidikan selama enam, pelita secara terus
menerus selalu dilaksanakan, namun mutu pendidikan yang dicapai masih belum
maksimal memuaskan. Karena itu, perlu ditinjau bagaimana konseptual mutu
pendidikan melihat dua segi yakni segi normatif dan segi deskriptif.
Segi normatif
ditentukan berdasarkan pertimbangan (kriteria) intrinsik dan ekstrinsik.[15] Berdasarkan kriteria intrinsik, mutu pendidikan merupakan produk
pendidikan, yakni "manusia yang terdidik" sesuai dengan standar
ideal, dan berdasarkan kriteria ekstrinsik, pendidikan merupakan instrumen
untuk mendidik "tenaga kerja" yang terlatih dan mutu pendidikan
menengah ditentukan berdasarkan keadaan hasil tes prestasi belajar
atau output lulusan dengan kriteria siap lanjut, siap latih dan siap kerja.[16]
Berkaitan dengan hasil tes prestasi
belajar, maka lebih awal perlu dikategorisasikan tingkat mutu prestasi hasil
belajar siswa dan kaitannya dengan mutu pendidikan siswa. Dalam hal ini, telah dirumuskan
bahwa mutu pendidikan siswa adalah kadar prestasi yang diraih oleh peserta
didik melalui proses belajar mengajar, atau tingkat kecakapan kognitif,
afektif, dan psikomotorik pada diri siswa.
Kecakapan
kognitif, merupakan mutu peserta didik yang berkaitan dengan ranah cipta dan
penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan. Pada dasarnya, mutu kognitif
dihasilkan dari hasil belajar. Hasil belajar merupakan perbaduan antara faktor
pembawaan dan pengaruh lingkungan (faktor dasar dan ajar). Faktor dasar yang
berpengaruh menonjol pada kemampuan kognitif dapat dibedakan dalam bentuk
lingkungan alamiah dan lingkungan yang dibuat.[17] Lingkungan alamiah
misalnya keadaan gent (keturunan), dan lingkungan yang dibuat misalnya keadaan
lingkungan di sekolah.
Selanjutnya
kecakapan afektif, merupakan mutu peserta didik yang lebih banyak berkenaan
dengan aspek perasaan, nilai, sikap dan minatnya. Keberhasilan pengembangan
kecakapan kognitif tidak hanya akan membuahkan mutu kognitif, tetapi juga
menghasilkan mutu afektif. Dalam perspektif Islam menurut Mappanganro, evaluasi
dalam mutu afektif ini, lebih ditekankan pada unsur pokok akhlak.[18] Seorang guru agama yang
piawai dalam mengembangkan mutu kognitif, akan berdampak positif terhadap ranah
afektif siswa. Peningkatan mutu afektif ini, antara lain berupa kesadaran
beragama yang mantap. Misalnya saja, apabila seorang siswa diajak kawannya
untuk berbuat sesuatu yang buruk seperti melakukan seks bebas, dan atau meminum
minuman keras, ia akan serta merta menolak dan bahkan berusaha mencegah
perbuatan asusila itu dengan segenap daya dan upayanya.
Mengenai
kecakapan psikomotorik, merupukan mutu peserta didik yang lebih banyak
berkenaan dengan aspek keterampilan motoriknya. Jadi mutu psikomotorik adalah
manifestasi wawasan pengetahuan dan kesadaran serta sikap mental peserta didik.
Dalam pendidikan Islam, penilaian terhadap aspek psikomotorik terutama
ditekankan pada unsur pokok ibadah, misalnya shalat, kemampuan baca tulis
Alquran, dan semisalnya.[19] Evaluasi dalam aspek
psikomotrik ini, dapat dibedakan atas lima taraf, sebagai berikut; (1)
persepsi, yakni mencakup kemampuan menafsirkan rangsangan, peka terhadap
rangsangan, dan mendiskripminasikan rangsangan; (2) kesiapan, yakni mencakup
tiga aspek, yaitu intelektual, fisis, dan emosional; (3) gerakan terbimbing,
yakni kemampuan-kemampian yang merupakan bagian dari keterampilan yang lebih
kompleks; (4) gerakan terbiasa, yakni terampil melakukan suatu perbuatan; dan
(5) gerakan kompleks, yakni melakukan perbuatan motoris yang kompleks dengan
lancar, luwes, gesit, atau lincah.[20]
Mutu
pendidikan yang diperoleh dari hasil belajar menghasilkan nilai kemampuan
kognitif (ranah cipta), afektif (ranah rasa) dan psikomotor (ranah karsa) yang
bervariasi. Variasi mutu tersebut menggambarkan perbedaan kemampuan kualitas
tiap-tiap peserta.
Pengukuran
tingkat mutu kognitif dapat dilakukan dengan tes kemampuan belajar atau tes
hasil belajar. Tes hasil belajar digunakan hendaknya memenuhi persyaratan
sebagai tes yang baik, yaitu bahwa tes tersebut harus valid dan realible.
Selanjutnya
pengukuran tingkat mutu afektif yang populer ialah tes “skalah likert” yang
tujuannya untuk mengidentifikasi kecenderungan sikap siswa. Bentuk skala ini
menampung pendapat yang mencerminkan sikap sangat setuju, ragu-ragu, tidak
setuju dan sangat tidak setuju. Rentang skala ini diberi skor 1 sampai 5, atau
1 sampai 7 bergantung kebutuhan dengan catatan skor-skor itu dapat mencerminkan
sikap-sikap mulai sangat “ya” sampai sangat “tidak”. Perlu pula dicatat, untuk
memudahkan identifikasi jenis kecenderungan afektif siswa yang representatif
item-item skala sikap sebaiknya
dilengkapi dengan label/identitas sikap yang meliputi (1) doktrin, yakni
pendirian; (2) komitemen, yakni ikrar setia untuk melakukan atau meninggalkan
suatu perbuatan; (3) penghayatan, yakni pengalaman batin; (4) wawasan, yakni
pandangan atau cara memandang sesuatu. Cara lain menyusun instrumen skala sikap
dan atau akhlak siswa dapat juga ditempuh dengan menggunakan skala ciptaan
Osgood yang disebut semantic differential.
Mengenai
cara yang dipandang tepat untuk mengukur keberhasilan mutu belajar pada aspek
psikomotor adalah melakukan observasi. Observasi dalam hal ini, dapat diartikan
sebagai sejenis tes mengenai peristiwa, tingkah laku, atau fenomena lain, dengan
pengamatan langsung.
Guru
yang hendak melakukan observasi perilaku psikomotorik siswa-siswanya hendaknya
mempersiapkan lankah-langkah yang cermat dan sistematis menurut pedoman yang
terdapat dalam lembar format observasi yang sebelumnya telah disediakan baik
oleh sekolah maupun guru itu sendiri. Untuk lebih jelasnya penulis membuat
contoh evaluasi kecakapan ranah karsa siswa dalam melaksanakan ibadah shalat
5.
Tinjauan
tentang Mutu Pendidikan Madrasah
Standar mutu lembaga pendidikan madrasah
untuk dapat mewujudkan dan memobilisasi peran lembaga pendidikan menengah dalam
hal ini Madrasah Tsanawiyah dengan menyusun kembali visi dan misinya, maka
agenda peningkatan mutu lembaga pendidikan menengah merupakan suatu keharusan
yang tidak bisa ditawar lagi. Dalam upaya peningkatan mutu. maka perlu dibangun
sumber daya manusia yang profesional dan handal sesuai dengan kompotensi
keilmuannya masing‑masing sehingga dapat menjadi kekuatan besar dalam
menghadapi realitas yang kompetitif di masa yang akan datang.
Term profesional
adalah sebuah istilah yang erat kaitannya dengan persiapan sumber daya manusia
memasuki abad 21 yang penuh dengan dinamika problematika krusial. Ada yang
menekankan profesionalisme kepada penguasaan beserta kiat‑kiat dalam
penerapannya, dan ada pula yang menekankan kepada kemampuan manajemen.[21]
Menghadapi persaingan global ke depan,
sebuah pertanyaan yang sering mengusik para praktisi pendidikan, apakah sikap
prefesionalisme telah darat dikembangkan dalam lembaga pendidikan menengah ?
Pertanyaan di atas rrielahirkan sebuah asumsi akademik bahwa pada kenyataannya
menunjukkan lembaga pendidikan menengah yang ada sekarang ini belum memainkan
peran yang maksinial, malahan terlihat lebih mementingkan penguasaan
intelektual, akan tetapi belum memberikan perhatian kepada terbentuk sikap
profesionalisme, yang iniplikasinya setiap lulusannya belum terserap secara
maksinial dalam dunia kerja.
Ketidakmampuan lembaga pendidikan menengah
dalam mempersiap-kan lulusannya di dunia kerja, karena terkait dengan fungsi kelembagaan.
Ada pula yang beranggapan bahwa tidak mungkin lembaga pendidikan menengah
mempersiapkan lulusannya yang siap pakai, tetapi yang lebih tepat dan benar
adalah siap latih, dengan dua asumsi. Pertama, tidak mungkin lembaga
pendidikan mengikuti perkembangan dunia kerja yang berubah dengan cepat. Kedua,
lembaga pendidikan biasanya tercecer dari perkembangan ilmu pengetahuan dan
aplikasinya dalam dunia industri.[22]
Seiring
dengan tuntutan perubahan dan upaya dengan dunia kerja, maka di dalam
masyarakat industri modern terjadi pergeseran paradigma orientasi, yakni setiap
lembaga pendidikan harus diberikan otonomi dalam proses pengembangannya. Dalam
artian lembaga pendidikan tersebut harus mempunyai progam pendidikan yang
fleksibel sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Otonomi itu
dalam substansinya dapat berupa program akademik, dalam hal ini kurikulum,
rekruitmen tenaga edukatif yang memiliki kualifikasi yang mampu, sehingga ia
mampu memberikan sesuatu yang berharga dalam membawa lembaga tersebut pada
tingkat kemajuan yang menggembirakan baik bagi masyarakat maupun bagi
lulusannya nanti. Jika strategi ini diterapkan secara maksinial, maka lembaga
pendidikan menengah semakin terbuka terhadap tuntutan masyarakat.
Keterbukaan
terhadap masyarakat disebabkan karena adanya hubungan yang erat antara dunia
pendidikan dengan industri dan masyarakat. Diniana masyarakat menyisikan dana
untuk membiayai pendidikan dan sebaliknya lembaga pendidlikan menyediakan
program‑program pendidikan yang berkelanjutan yang dibutuhkan masyarakat.
Untuk
mencapai sinergitas atas tuntutan dunia kerja dengan tingkat kebutuhan
masyarakat, maka perbincangan mengenai mutu
pendidikan merupakan wacana yang aktual di dalam mendongkrak dan
menghasilkan lulusan yang kualified. Mutu diartikan sebagai kesesuaian
(fitness) atau relefansi keluaran pendidikan dengan kebutuhan.
Berdasarkan
pro kontra tentang standar mutu pendidikan menengah seharusnya diintegrasikan
dalam sebuah konsepsi yang utuh, karena bagainianapun menghasilkan lulusan yang
mengutamakan kecerdasan intelektual semata,
akan tetapi melahirkan sebuah
kepincangan yang berimplikasi pada pola pikir yang utopis yang cenderung
keblingeran yang tak bermoral sedangkan
menekankan pada diniensi instrumental pendidikan semata akan menghasilkan sikap
mental hedortistik. Materialistik yang berakibat hilangnya jati diri sebagai manusia yang
memiliki kecenderungan hanif. Oleh karena itu sebaiknya sebuah mutu pendidikan
harus ditentukan seberapa jauh menjadikan dirinya sebagai khalifah di muka bumi
yang menyandang misi keduniaan dan misi kekhalifaan yang dalam terminologi K H.
Ahmad Azhar Basyir, bahwa setiap output pendidikan, harus memposisikan dirinya
sebagai "insan kamil" yang memiliki tiga dimensi utama, yakni memiliki
iman yang kuat, ilmu yang luas dan konsisten dalam amal dan perbuatannya dalam,
kehidupan sehari‑hari.[23] Dalam perspektif Islam
Insan kamil, adalah tujuan akhir pendidikan. Itu berarti bahwa perwujudkan
insan kamil adalah perwujudan mutu pendidikan yang ideal.
6. Sasaran Evaluasi Pendidikan (Penilaian hasil belajar)
Berbasis Madrasah
Istilah evaluasi sering juga diidentikkan
dengan measurement, yakni pengukuran untuk mengetahui keadaan terhadap
sesuatu.[24]
Evaluasi dalam arti pengukuran biasanya dilakukan dengan memakai ukuran-ukuran
tertentu misalnya; meter mengukur tinggi, thermometer untuk mengukur suhu, gram
untuk mengukur berat, membaca Alquran luar kepala untuk mengukur kemampuan
menghafal Alquran dan lain-lain.[25] Di samping evaluasi dalam
arti pengukuran, ditemukan ada pula kata
lain yang searti dan relatif lebih masyhur dalam pendidikan yakni tes, ujian,
dan ulangan.
|
Kegiatan
evaluasi, memiliki arti penting dalam dunia pendidikan. Dalam hal ini, ada tiga
alasan tentang pentingnya evaluasi pendidikan dalam proses kegiatan belajar
mengajar. Pertama, berkepentingan untuk perumusan prosedur pelaksanaan
proses belajar mengajar, sehingga nantinya akan diketahui apakah tujuan
pendidikan sudah tercapai dengan baik. Kedua, kegiatan evaluasi terhadap
hasil belajar merupakan salah satu ciri dari pendidik profesional. Ketiga, evaluasi
merupakan manejemen kontrol dalam proses belajar mengajar.[26] Karena evaluasi
pendidikan memiliki arti penting, maka kelihatan adanya hubungan interpendensi
antara tujuan pendidikan, dan proses belajar-mengajar, di mana tujuan tersebut
akan dapat tercapai secara maksimal bilamana evaluasi yang dilakukan sesuai
dengan prosedur.
Untuk mengevaluasi keberhasilan dalam proses
belajar mengajar, maka yang terpenting untuk dinilai adalah aspek kognitif,
aspek afektif, dan aspek psikomotorik. Ketiga aspek ini, saling terkait antara
satu dengan yang lainnya dan ia tidak berdiri sendiri. Penilaian terhadap
ketiganya hendaknya dijelas-kan secara gamblang sehingga siswa dapat
merencanakan kerja-kerjanya untuk memenuhi standar yang dinilai oleh mereka.
Dengan demikian, penilaian sangat erat
kaitannya dengan evaluasi. Apabila dilihat dari prosedur kerjanya, penilaian
memiliki pengertian yang hampir sama sengan kegiatan research. Keduanya
sama-sama merupakan kegiatan untuk memperoleh gambaran tentang keadaan suatu
obyek melalui proses penelaahan secara logik dan sistematik, membutuhkan data empirik untuk membuat kesimpulan, dan
menuntut syarat keahlian bagi pelakunya.
Dalam
pelaksanaan evaluasi hasil belajar, khususnya bila dikaitkan dengan penerapan
aturan kedisiplinan sangat
penting untuk dikaji secara cermat dan mendalam.
a. Evaluasi
dalam Aspek Kognitif
Istilah kognitif berasal dari kata cognition
yang padanannya knowing, berarti mengetahui. Dalam arti yang luas cognition
ialah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan. Dalam perkembangan
selanjutnya, istilah kognitif yang dalam bahasa Indonesia disebut “kognisi”
adalah salah satu domain atau wilayah ranah psikologis manusia yang meliputi
setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan,
pengilahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaaan. Atau dengan kata lain,
aspek kognitif yang merupakan bagian dari cognitive sciences itu adalah
sebuah disiplin psikologi yang khusus membidangi penelitian dan pembahasan
mengenai segala hal yang berhubungan dengan cognitive person, yakni
ranah cipta pada setiap manusia, seperti proses penerimaan, pengolahan,
penyimpanan, dan perolehan kembali informasi dari sistem memori (akal) manusia.[27]
Kognitif memiliki enam taraf yang meliputi
pengetahuan (taraf yang paling rendah) sampai evaluasi (taraf yang paling
tinggi).[28]
Pertama, pengetahuan (knowledge) yang mencakup ingatan. Dalam
rangka penilaian, tes ingatan hampir tidak menuntut lebih daripada mengingat
kembali. Kedua, pemahaman (comprehension) yang memerlukan
kemampuan menangkap makna dari sesuatu konsep. Ketiga, penerapan (aplikasi),
yakni kesanggupan menerapkan abstraksi dalam suatu situasi kongkrit. Keempat,
analisis yakni kesanggupan mengurai suatu integritas menjadi unsur-unusr
atau bagian-bagian yang mempunyai arti. Kelima, sintesis, yakni
menekankan suatu kesanggupan menyatukan unsur-unsur menjadi satu integritas. Keenam,
evaluasi, yakni kesanggupan memberikan keputusan tentang nilai sesuatu
berdasarkan kriteria yang dipakainya.
Evaluasi atau penilaian yang dilakukan untuk
menilai proses dan hasil belajar siswa dalam aspek kognitif adalah mencakup
semua materi unsur pokok pendidikan.[29] Sekurang-kurangnya ada
dua macam kecakapan kognitif siswa yang amat perlu dikembangkan segera
khususnya guru, yakni pertama, strategi belajar memahami isi materi
pelajaran, dan kedua starategi menyakini arti penting isi materi
pelajaran dan aplikasinya serta menyerap pesan-pesan moral yang terkandung
dalam materi pelajaran tersebut.[30] Tanpa adanya pengembangan
dua macam kecakapan kognitif ini, agaknya siswa sulit diharapkan mampu
mengembangan ranah afektif dan psikomotor nya sendiri.
Strategi adalah sebuah istilah populer dalam
psikologi kognitif, yang berarti prosedur mental yang berbentuk tatanan
tahjapan yang memerlukan alokasi upaya-upaya yang bersifat kognitif dan selalu
dipengaruhi oleh pilihan-pilihan kognitif atau pilihan-pilihan kebiasaan
belajar siswa. Pilihan kebiasaan belajar ini secara garis besar terdiri atas
dua. Pertama, menghafal prinsip-prinsip yang terkandung dalam materi;
dan kedua mengaplikasikan prinsip-prinsip materi.
Preferensi kognitif yang pertama pada
umumnya timbul karena dorongan luar (motif eksrinsik) yang mengakibatkan
siswa menganggap belajar hanya sebagai alat pencegah ketidaklulusan atau
ketidaknaikan. Aspirasi yang dimilikinya pun bukan ingin menguasai materi
secara men-dalam, melainkan sekedar asal lulus atau naik kelas semata.
Sebaliknya, prefensi kognitif yang kedua biasanya timbul karena dorongan dalam
diri siswa sendiri (motif intrinsik), dalam arti siswa tersebut memang
tertarik dan membutuhkan materi-materi pelajaran yang disajikan gurunya. Tugas
guru dalam hal ini ialah menggunakan pendekatan metode yang memungkinkan para
siswa menggunakan strategi belajar yang berorientasi pada pemahaman yang
mendalam terhadap isi materi pelajaran. Seiring dengan upaya ini, guru juga
diharapkan mampu menjauhkan para siswa dari strategi dan preferensi akan yang
hanya mengarah ke aspirasi asal naik atau lulus.[31] Selanjutnya, guru juga
dituntut untuk mengembangkan kecakapan kognitif para siswa dalam memecahkan
masalah dengan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dan keyakinan-keyakinan
terhadap pesan-pesan moral atau nilai-nilai yang terkandung dan menyatu dalam
pengetahuannya. Sehubungan dengan upaya ini, guru diharapkan tidak bosan-bosan
melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa dalam aspek kognitifnya.
Evaluasi keberhasilan belajar siswa dalam
aspek kognitif (ranah cipta) ini, dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik
dengan tes tertulis maupun lisan dan perbuatan. Namun, kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa karena semakin membengkaknya jumlah siswa di sekolah-sekolah,
tes lisan dan perbuatan saat ini semakin jarang digunakan.
Penilaian terhadap hasil belajar siswa
selama ini, banyak dilakukan dengan tes tertulis, yang diistilahkan dengan
“ulangan” dan “ulangan umum” yang dulu disebut “tes hasil belajar” atau THB dan
“tes prestasi belajar” atau TPB. Di samping itu itu, penilaian hasil belajar
pada akhir jenjang pendidikan biasa disebut dengan istilah “evaluasi belajar
tahap akahir nasional” atau EBTANAS yang kini disebut Ujian Akhir Nasional
(UAN). Khusus untuk mengevaluasi kemampuan analisis dan sistesis siswa,
kelihatannya tepat untuk dilakukan dengan cara menggunakan tes essay, karena
tes ini adalah ragam untuk mengevaluasi kemampuan siswa dalam menguasi materi
pelajaran
b.
Evaluasi dalam Aspek Afektif
Keberhasilan pengembangan ranah kognitif
tidak hanya akan membuahkan kecakapan kognitif, tetapi juga menghasilkan
kecakapan ranah afektif. Evaluasi dalam ranah afektif ini, lebih ditekankan
pada unsur pokok akhlak.[32] Seorang guru agama yang
piawai dalam mengembangkan kecakapan kognitif, akan berdampak positif terhadap
ranah afektif siswa. Peningkatan kecakapan afektif ini, antara lain berupa
kesadaran beragama yang mantap. Misalnya saja, apabila seorang siswa diajak
kawannya untuk berbuat tidak senonoh seperti melakukan seks bebas, dan atau
meminum minuman keras, ia akan serta merta menolak dan bahkan berusaha mencegah
perbuatan asusila itu dengan segenap daya dan upayanya.
Dalam merencanakan penyusunan instrumen tes
prestasi siswa yang berdimensi afektif (ranah rasa), jenis-jenis prestasi
internaslisasi dan karakterisasi seyogyanya mendapat perhatian khusus.
Alasannya, karena kedua jenis prestasi ranah rasa itulah yang lebih banyak
mengendalikan sikap dan perbuatan siswa.
Mengenai afektif ini, terdiri atas lima
taraf, yakni ; (1) memperhatikan, di mana taraf ini berkenaan dengan
kepekaan pelajar terhadap rangsangan fenomena yang datang dari luar; (2)
merespon, di mana pada taraf ini pelajar sudah lebih dari sekedar memperhatikan
fenomena. Ia sudah memiliki motivasi yang cukup; (3) menghayati nilai, di mana
pada taraf ini pelajar sudah menghayati dan menerima nilai; (4)
mengorganisasikan, dimana pada taraf ini pelajar mengembangkan nilai-nilai ke
dalam suatu sistem organisasi; (5) menginternalisasi diri, dan inilah taraf
tertinggi, di mana pelajar telah mendarahdaging serta mempengaruhi pola
kepribadian dan tingkah lakunya.
Salah satu bentuk evaluasi afektif yang
populer ialah tes “skalah likert” yang tujuannya untuk mengidentifikasi
kecenderungan sikap siswa. Bentuk skala ini menampung pendapat yang
mencerminkan sikap sangat setuju, ragu-ragu, tidak setuju dan sangat tidak
setuju. Rentang skala ini diberi skor 1 sampai 5, atau 1 sampai 7 bergantung
kebutuhan dengan catatan skor-skor itu dapat mencerminkan sikap-sikap mulai
sangat “ya” sampai sangat “tidak”. Perlu pual dicatat, untuk memudahkan
identifikasi jenis ke-cenderungan afektif siswa yang representatif item-item
skala sikap sebaiknya dilengkapi dengan
label/identitas sikap yang meliputi (1) doktrin, yakni pendirian; (2)
komitemen, yakni ikrar setia untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan;
(3) penghayatan, yakni pengalaman batin; (4) wawasan, yakni pandangan atau cara
memandang sesuatu. Cara lain menyusun instrumen skala sikap dan atau akhlak
siswa dapat juga ditempuh dengan menggunakan skala ciptaan Osgood yang disebut semantic
differential. Hal lain yang perlu diingat adalah bahwa guru yang hendak
menggunakan skala sikap ialah bahwa dalam evaluasi ranah rasa yang dicari bukan
sekedar benar dan salah, melainkan sikap atau kecenderungan setuju atau tidak
setuju.[33]
c.
Evaluasi dalam Aspek Psikomotorik
keberhasilan pengembangan ranah kognitif
juga akan berdampak positif terhadap perkembangan ranah psikomotorik. Kecakapan
psikomotorik adalah sagal amal jasmaniah yang kongkrit dan muda diamati baik
kuantitasnya maupun kualitasnya, karena sifatnya yang terbuka. Jadi kecakapan
psikomotorik siswa adalah merupakan manifestasi wawasan pengetahuan dan
kesadaran serta sikap mentalnya. Dalam pendidikan Islam, penilaian terhadap
aspek psikomotorik terutama ditekankan pada unsur pokok ibadah, misalnya
shalat, kemampuan baca tulis Alquran, dan semisalnya.[34] Evaluasi dalam aspek
psikomotrik ini, dapat dibedakan atas lima taraf, sebagai berikut; (1)
persepsi, yakni mencakup kemampuan menafsirkan rangsangan, peka terhadap
rangsangan, dan mendiskripminasikan rangsangan; (2) kesiapan, yakni mencakup
tiga aspek, yaitu intelektual, fisis, dan emosional; (3) gerakan terbimbing,
yakni kemampuan-kemampian yang merupakan bagian dari keterampilan yang lebih
kompleks; (4) gerakan terbiasa, yakni terampil melakukan suatu perbuatan; dan
(5) gerakan kompleks, yakni melakukan perbuatan motoris yang kompleks dengan
lancar, luwes, gesit, atau lincah.[35]
Cara yang dipandang tepat untuk mengevaluasi
keberhasilan belajar yang berdimensi rana psikomotor (ranah karsa) adalah
observasi. Observasi dalam hal ini, dapat diartikan sebagai sejenis tes
mengenai peristiwa, tingkah laku, atau fenomena lain, dengan pengamatan
langsung.
Guru yang hendak melakukan observasi
perilaku psikomotorik siswa-siswanya sejatinya mempersiapkan
lankah-langkah yang cermat dan sistematis menurutu pedoman yang terdapat dalam
lembar format observasi yang sebelumnya telah disediakan baik oleh sekolah
maupun guru itu sendiri. Menilai prestasi atau
hasil belajar melalui rahan kedisiplinan siswa adalah tinjauan atau penilaian
psikomotorik.
C. Kerangka Pikir
Kerangka pikir sebagai landasan konseptual
yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan pada bentuk penerapan aturan kedisiplinan dalam hubungannya dengan peningkatan hasil belajar siswa
pada Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar.
Kerangka Pikir pada penelitian ini dimulai
pada terbentuknya Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar
sebagai lembaga pendidikan Islam. Selanjutnya lembaga ini memiliki hak dan
kewajiban membentuk aturan sebagai sistem kelembagaan. Aturan yang ada diperuntukkan pada siswa, guru dan pegawai yang tujuannya
untuk meningkatkan kualitas atau hasil belajar siswa pada lembaga pendidikan
Islam tersebut. Penerapan aturan yang telah dibuat dan diberlakukan bisa berarti baik
(bernilai positif) dan juga bisa berarti buruk (bernilai negatif). Untuk lebih
jelasnya, kerangka
pikir pada penelitian ini dapat kita lihat sebagaimana skema berikut ini.
Gambar 1. Gambar
Kerangka Konseptual
D. Hipotesis
Terkait dengan permasalahan yang telah
dirumuskan di atas, maka dikemukakan jawaban
sementara atau hipotesis penelitian ini sebagaiana berikut :
1.
Madrasah Tsanawiyah
Negeri Model Makassar memiliki aturan kedisiplinan yang diterapkan untuk siswa,
guru dan pegawai yang terdiri dari aturan pemerintah dan aturan khusus yang
berlaku pada lembaga tersebut.
2.
Madrasah Tsanawiyah
Negeri Model Makassar melakukan berbagai hal
untuk meningkatkan Hasil Belajar Siswa, termasuk penerapan kedisiplinan pada
siswa, guru dan pegawai pada lembagai tersebut.
3.
Dalam meningkatkan
prestasi belajar siswa di Madrasah Tsanawiyah Negeri
Model Makassar, terdapat Peluang dan Tantangan
antara lain siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar telah memiliki
aturan kedisiplinan sehingga potensi peningkatan hasil belajar sangat baik,
adapun tantangannya adalah aturan tersebut tidak sepenuhnya dipatuhi oleh siswa
maupun guru dan pegawai.
III.
METODE PENELITIAN
Sebagaimana lazimanya sebuah penelitian
ilmiah yang menggunakan cara-cara atau metode-metode ilmiah yang seuai dengan
kriteria penulisan ilmiah yang lazim digunakan, penelitian ini juga
menggungakan kriteria penulisan karya tulis ilmiah yang perpedoman pada metode
penulisan karya tulis ilmiah Universitas Muslim Indonesia Makassar.
Berangkat dari pola tersebut, dalam
penelitian ini, digunakan beberapa perangkat penelitian sebagai berikut:
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian lapangan,
yaitu penulis melakukan penelitian langsung ke Madrasah Tsanawiyah
Negeri Model Makassar, untuk mendapatkan dan mengumpulkan informasi atau
data-data. Penelitian ini menggunakan desain survey yang bersifat deskriftif.
Penelitian survey bertujuan untuk
mengumpulkan informasi atau data-data dari sekian banyak orang (populasi) di
Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar, dengan mewawancarai
dan membagikan angket pada sebagian kecil yang terpilih berdasarkan sistem sampel,
juga mendokumentasikan praktek lapangan yang ada kaitannya dengan penelitia
ini.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penentuan lokasi yang tepat merupakan salah
satu hal yang amat urgen dan ikut menentukan berhasil tidaknya suatu proses
penelitian. Pemilihan lokasi penelitian tertentu sebagai objek penelitian
senantiasa didasarkan pada berbagai kriteria.
Penelitian ini dilaksanakan di Madrasah Tsanawiyah
Negeri Model Makassar yang terletak di Jalan Andi Pangeran Pettarani No. 1A Makassar. Adapun waktu penelitian ini
direncanakan selama dua bulan yaitu pada bulan Juni
hingga bulan Agustus tahun 2014.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Sebelum mengemukakan apa yang dimaksud
dengan populasi, berikut akan dipaparkan pandangan beberapa orang pakar antara
lain Nana Sudjana bahwa yang dimaksud dengan populasi adalah:
Totalitas semua nilai yang mungkin hasil
hitung ataupun pengukuran aualitatif maupun kuantitatif dari karekteristik
tertentu mengenai sekumpulan objek yang ingin dipelajari sifat-sifatnya.[36]
Menurut Burhan Bungin, Populasi berasal dari
Bahasa Inggris Population, yang berarti jumlah penduduk. Oleh karena
itu, apabila disebutkan kata populasi, orang kebanyakan menghubungkannya dengan
masalah-masalah kependudukan. Hal tersebut ada benarnya juga, karena itulah
makna populasi yang sesungguhnya. Kemudian pada perkembangan selanjutnya, kata
populasi menjadi amat populer dan digunakan pada berbagai disiplin ilmu. Dalam
metode penelitian, populasi digunakan untuk menyebutkan serumpun atau
sekelompok objek yang menjadi sasaran penelitian. Oleh karena itu, populasi
merupakan keseluruhan dari objek penelitian berupa manusia, hewan,
tumbuh-tumbuhan, udara, gejalan, nilai, perstiwa, sikap hidup dan sebagainya, sehingga
objek-objek ini dapat menjadi sumber data penelitian.[37]
Pengertian populasi juga dikemukakan oleh
Ambo Enre Abdullah, bahwa populasi adalah “sekelompok yang menjadi sasaran
penelitian dalam usaha memperoleh informasi dan menarik kesimpulan”.[38] Juga berarti “Populasi
adalah keseluruhan objek penelitian”.[39]
Pendapat lain tentang populasi sebagaimana
telah dikemukakan oleh Sutrisno Hadi bahwa Populasi adalah:
Seluruh penduduk yang dimaksudkan untuk
diselidiki disebut populasi atau universum. Populasi dibatasi sejumlah penduduk
atau individu yang paling sedikit mempunyai sifat yang sama.[40]
Dengan demikian, yang dimaksud dengan
populasi adalah seluruh penduduk atau individu yang menjadi sasaran penelitian
yang mempunyai satu sifat yang sama dalam usaha memperoleh informasi dan
menarik kesimpulan.
Sehubungan dengan uraian di atas, maka yang
menjadi populasi pada penelitian ini adalah seluruh Siswa dan Siswi Madrasah Tsanawiyah
Negeri Model Makassar. Berdasarkan data jumlah siswa-siswi Madrasah Tsanawiyah
Negeri Model Makassar, terdapat 11 (sebelas)
kelas untuk tingkat pertama (Kelas VII), 10 (Sepuluh)
kelas untuk tingkat kedua (Kelas VIII) dan 9 (Sembilan)
kelas untuk angkatan ketiga (Kelas IX), rata-rata ruang belajar diisi oleh 40 orang siswa. Dengan demikian, jumlah siswa Madrasah
Tsanawiyah Negeri Model Makassar adalah sebanyak 1200
orang. Dari totalitas objek penelitian akan menyulitkan peneliti untuk
mengumpulkan data atau informasi jika peneliti mengambil data pada seluruh
populasi tersebut. Dengan demikian, perlu dilakukan generalisasi berdasarkan
kuota sampling, atau penelitian yang dilakukann adalah penelitian sampel.
2. Sampel
Sebagaimana lazimnya dalam suatu penelitian
Ilmiah, tidak semua populasi dapat diteliti, melainkan dapat pula secara
perwakilan hal ini berdasarkan pada pertimbangan bahwa peneliti mengalami
keterbatasan, baik keterbatasan waktu, biaya, tenaga dan kemampuan sehingga
penelitian yang dilakukan tidak bersifat populatif tapi dilakukan berdasarkan
sampling, atau penelitian yang dilakukan adalah penelitian sampel.
Penelitian sampel sebagaimana dikemukakan
oleh beberapa ahli adalah sebagai berikut :
Menurut Muhammad Arief Tiro Bahwa Sampel
Yaitu Sejumlah Anggota yang dipilih atau yang diambil dari suatu populasi.[41] Juga berarti proses
menarik sebaian subjek, gejala, atau objek yang ada pada pupulasi disebut
sampel.[42]
Hakikat penggunaan sampel dalam penelitian
adalah karena sulitnya meneliti seluruh populasi. Sampel diambil dalam
penelitian sebagai bahan pertimbangan efisiensi dan mengarah kepada
sentralisasi permasalahan dengan memfokuskan sebagian dari populasi penelitian.
Pengambilan sampel yang tepat merupakan langkah awal penelitian, karena dengan
penelitian sampel yang dilakukan dengan tidak benar akan menghasilkan
kesimpulan-kesimpulan yang tidak benar pula atau kurang dapat dipercaya.
Teknik sampling yang digunakan harus tepat
sehingga penelitian akurat dan dapat dipercaya. Menurut Burhan Bungin, agar
sampel penelitian memiliki bobot refresentatif sebagaimana yang diharapkan maka
peneliti harus mempertimbangkan beberapa hal yaitu derajat keseragaman
populasi, derajat kemampuan peneliti mengenali sifat-sifat khusus populasi,
presisi (kesamaan) yang dikhendaki peneliti serta penggunaan teknik sampling
yang tepat.[43]
Secara matematis, penentuan sampel pada
penelitian ini dihitung berdasarkan rumus yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan
beberapa hal yaitu dengan mengacu pada pendapat Suharsimi Arikunto yang
menyatakan bahwa: jika peneliti mempunyai beberapa ribu subjek penelitian,
peneliti dapat menentukan persentase sampel kurang lebih 10 % sampai
15 %. Jika peneliti mempunyai beberapa ratus
atau beberapa puluh subyek dalam suatu populasi, mereka (peneliti) dapat
menentukan kurang lebih 25% sampai 30% dari jumlah subyek tersebut. Jika
jumlah subyek dalam populasi hanya meliputi 20 sampai 30 orang dan dalam pengumpulan data peneliti menggunakan daftar interview
atau wawancara dan sebaiknya diambil jumlah subyek secara keseluruhan.[44]
Adapun
yang menjadi sampel pada penelitian ini sebanyak 10 %
untuk angket. Ketentuan ini diambil dari jumlah siswa sebanyak 1200
orang siswa MTsN Model Makassar. Sampel pada penelitian ini hanya difokuskan pada kelas
VIII dan Kelas IX, dengan demikian, dari jumlah siswa sebanyak 699 Kelas VIII
dan Kelas IX, ditetapkan sampel pada tiap-tiap kelas antara 3 sampai 4 orang
tiap kelas. Penentuan jumlah sampel dapat
diuraikan pada tabel berikut:
Tabel
2: Penentuan Sampel
No
|
Kelas
|
Jumlah
|
Persentase Sampel
|
Jumlah Sampel
|
1
|
VIII.1
|
34
|
10 %
|
3
|
2
|
VIII.2
|
38
|
10 %
|
4
|
3
|
VIII.3
|
40
|
10 %
|
4
|
4
|
VIII.4
|
40
|
10 %
|
4
|
5
|
VIII.5
|
39
|
10 %
|
4
|
6
|
VIII.6
|
33
|
10 %
|
3
|
7
|
VIII.7
|
33
|
10 %
|
3
|
8
|
VIII.8
|
38
|
10 %
|
4
|
9
|
VIII.9
|
40
|
10 %
|
4
|
10
|
VIII.10
|
40
|
10 %
|
4
|
11
|
IX.1
|
39
|
10 %
|
4
|
12
|
IX.2
|
33
|
10 %
|
3
|
13
|
IX.3
|
39
|
10 %
|
4
|
14
|
IX.4
|
33
|
10 %
|
3
|
15
|
IX.5
|
33
|
10 %
|
3
|
16
|
IX.6
|
38
|
10 %
|
4
|
17
|
IX.7
|
37
|
10 %
|
4
|
18
|
IX.8
|
37
|
10 %
|
4
|
19
|
IX.9
|
35
|
10 %
|
4
|
Jumlah
|
699
|
10 %
|
70
|
Dari sejumlah sampel yang terpilih, pengumpulan data
angket hanya diperuntukkan pada siswa kelas VIII dan IX karena siswa kelas VII
masih sangat baru di kelas dan mereka masih butuh bersosialisasi tentang aturan
yang diterapkan di MTsM Model Makassar.
Metode
Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data di lapangan
maka perlu dilakukan pengumpulan data. Dalam pengumpulan data, perlu ada
insntrumen. Untuk lebih jelasnya, instrumen penelitian tersebut akan dijelaskan
sebagai berikut:
1.
Obeservasi
Observasi merupakan instrumen yang digunakan
untuk melakukan pengamatan langsung tentang fenomena-fenomena yang ada
kaitannya dengan maslaah yang akan dibahas dalam penelitian ini, misalnya
kegiatan-kegiatan Madrasah yang ada kaitannya dengan prestasi belajar
di Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Makassar.
2.
Interview
Menurut Bimo Walingto bahwa pedoman
interview adalah suatu alat yang digunakan dalam melakukan wawancara untuk
mendapatkan data anak atau orang yang mengadakan hubungan secara langsung
dengan informan (face to relation).[45]
Instrumen memerlukan waktu tertentu untuk
bertatap muka secara langsung dengan sumber daya yaitu informan dengan cara
tanya jawab, untuk mengetahui bagaimana penerapan aturan
kedisiplinan
dalam meningkatkan prestasi belajar siswa di Madrasah Tsanawiyah
Negeri Model Makassar.
3.
Dokumentasi
Dokumentasi ini dilakukan dengan
mengumpulkan data yang telah ada seperti dokumen-dokumen tertulis dalam
hubungannya dengan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Instrumen
penelitian ini digunakan untuk memperoleh data tentang kegiatan siswa, guru dan pegawai dalam mengikuti aturan yang telah
ditetapkan Madrasah Tsanawiyah Negeri Model
Makassar.
4.
Anket
Pada dasarnya angket atau kuesioner
adalah sebuah daftar pertayaan yang harus diisi oleh orang yang diukur
(responden). Dengan demikian kuesioner ini dapat diketahui keadaan diri,
pengalaman, pengetahuan sikap atau pendapat dan lain-lain.[46]
Berdasarkan pengertian di atas, maka cara
yang ditempuh baik secara langsung kepada orang yang diperlukan datanya
(responden) maupun secara tidak langsung dengan cara melalui orang lain yang
mengetahui diri orang yang akan didata.
Instrumen angket ini digunakan sebagai alat
atau cara utama untuk memperoleh data tentang penerapan aturan kedisiplinan pada Madrasah Tsanawiyah Negeri
Model Makassar terutama yang terkait dengan upaya peningkatan hasil belajar siswa.
D. Teknik Analisis Data
Untuk mengetahui atau memperoleh data di
lapangan, maka perlu dilakukan pengumpulan data. Dalam pengumpulan data
diperlukan adanya suatu prosedur dala mengumpulkan data. Adapun prosedur
pengumpulan data yang harus ditempuh dalam penelitian ini adalah:
1.
Tahap
pesiapan
Sebelum melakukan penelitia lapangan,
terlebih dahulu menyelesaikan segala urusan administrasi yang berkaitan dengan
prosedur penelitian, mulai dari surat keputusan dari Universitas Muslim
Indonesia, persetujuan pembimbing dan penguji proposal, kemudian ke Pemerintah
Provinsi Sulawesi Selatan cq. Badan Koordinasi
Penanaman Modal Daerah untuk
urusan izin penelitian. Setelah mendapatkan izin penelitian, selanjunya
rekomendasi diteruskan pada lembaga tempat meneliti yaitu, Madrasah Tsanawiyah Negeri
Model Makassar.
Kegiatan dalam
mengumpulkan data diperlukan teknik tertentu yang sesuai dengan data yang
diperlukan. Dalam penelitian ini, terkait dengan penerapan aturan kedisiplinan dalam kaitannya dengan peningkatan hasil belajar siswa
di Madrasa Tsanawiyah Negeri Model Makassar. Untuk memperoleh
data tersebut, digunakan teknik observasi, interview, dokumentasi, dan angket.
Untuk teknik observasi digunakan dalam melakukan pengamatan langsung ke tempat
penelitian untuk mendapatkan data yang dibutuhkan, misalnya penerapan aturan kedisiplinan terkait peningkatan hasil belajar siswa.
Teknik interview
digunakan untuk mendapatkan data lisan yang tidak dapat diperoleh melalui
angket dan hasil interview tidak dianalisa secara tersendiri, sedangkan teknik
angket adalah digunakan dalam penelitian untuk memperoleh data yang ada
kaitannya dengan permasalah yang telah diajukan dalam penelitian ini.
Dalam pengolahan dan
menganalis data, penulis menggunakan teknik analisis deskriptif yang bersifat
kualitatif dengan bentuk pemaparan dekskriptif analisis.
E. Jadwal Penelitian
Jadwal kegiatan
dalam sebuah penelitian merupakan suatu yang hal yang sangat penting, karena
dengan jadwal tersebut akan dijadikan sebagai alat kontrol sehingga penelitian
bisa selesai sesuai dengan rencarana yang telah diprogram.
Agenda Penelitian
Penelitian in akan dilaksanakan selama kurang lebih dua
bulan. Adapun rancangan jadwal penelitian ini sebagai berikut
Kegiatan Penelitian
|
Bulan
|
Ket
|
||||||||||||||||
Mei
|
Juni
|
Juli
|
Agustus
|
|||||||||||||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
I
|
II
|
III
|
IV
|
I
|
II
|
III
|
IV
|
I
|
II
|
III
|
IV
|
|||
Persiapan
-
Menyusun Proposal dan Konsultasi
-
Seminar Proposal
-
Revisi Proposal
-
Pengumpulan Data
-
Analisis Data
Menyusun
Laporan
Perbaikan
Laporan
Ujian
Teseis
|
x
|
x
|
x
|
x
|
x
|
x
|
x
|
x
|
x
|
x
|
x
|
|||||||
DAFTAR PUSTAKA
Tirtaraharja,
Umar, Optinialisasi Sumber
Daya Manusia dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan,
"Makalah" disampaikan dalam Seminar IMDI,
Parepare:
t.p., 1993.
Mentja,
William, Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pengajaran : Kumpulan
Karya Tulis Terpublikasi, Cet, I ; Malang :
Wineka Media, 2002.
Daradjat,
Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Edisi I,
Cet. 2;
Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Abd.
Rahini, Taufik, Studi tentang Mutu Pendidikan Pada Universitas Alkhairat
(UNISA) Palu; Suatu Kajian Manajemen Perguruan Tinggi "Penelitian
Magister", Makassar:
Program Pascasarjana UMI, 2002.
Idy,
Iskandar, Madrasah Model Sebagai Alternatif Peningkatan Mutu
Madrasah; Studi tentang Pengembangan Madrasah di Sulawesi Selatan "Penelitian
Magister", Ujungpandang:
Program Pascasarjana UMI, 2002.
Alwi,
Hasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-3, Jakarta;
Balai Pustaka, 2007.
Muhaimin
dan Abd, Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofik dan Kerangka
Dasar Operasional Operasional, Cet. I; Bandung: Trigenda Karya, 1993.
Putra
Dauly, Haidar, Pendidikan Islam dalam Sistem Nasional di Indonesia, Edisi I,
Cet. I;
Jakarta: Kencana, 2004.
Suryadi,
Tilaar, Ace, Analisis Kebijakan
Pendidikan Suatu Pengantar, Cet. II; Bandung : PT. Remaja Rosdakarya,
1994.
hamalik,
Oemar, Evaluasi Kurikulum, Cet. II; Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, 1993.
Pongtuluran,
Aris, “Manajemen
Mutu Total dalam Pendidikan”, Makalah disampaikan dalam Konfrensi Nasional
Manajemen Pendidikan, Jakarta : 2002.
Muhibbin
Syah, Psikologi Belajar, Cet. II; Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2003.
Slameto,
Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, Cet.
IV; Jakarta: Rineka Cipta, 2003.
H.A.R.
Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam
Persfektif Abad 21, Magelang : Indonesia Tera, 2001.
K.
H. Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman, Bandung
: Mizan, 1994).
Robert
L. Thorndike dan Elisabeth P. Hagen Measurement and Aevaluation in
Psychology and Education Fourth Edition, Newy
York: John Wiley and Sons, t.th.
Mappanganro,
Implementasi Pendidikan Islam di Sekolah, Cet.I;
Ujung Pandang: Yayasan Ahkam, 1996.
Julian
C. Stanley dan Kenneth D Hopkins, Educational and Psyicological Measurement
and Evaluation, New Delhi: Prentive
Hal Private Limited, 1978.
W.
James Popham dan Evi L. Baker, Teknik Mengajar secara Sistematis, Cet.
I; Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Muhibbin
Syah, Psikologi Belajar, Cet. II; Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2003.
John
W. M. Rothney, Evaluation of Learning dalam Charles E. Skinner, Educational
Psychology, New Delhi: Prencite-Hall Inc, 1984.
Slameto,
Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya,
cet.
IV; Jakarta: Rineka Cipta, 2003.
Nana
Sudjana, Tuntutan Penyusunan Karya Ilmiah, Makalah-Skripsi-Tesis-Desertasi,
Cet. VI, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2001.
Burhan
Bungin, Metode Penelitian Kuantitatif – Komunikasi, Ekonomi, dan kebijakan
Publik serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya, Edisi I, Jakarta; Prenada Media,
2005.
Abdullah,
Ambo Enre, Dasar-dasar Penelitian Sosial Kependudukan, Ujung
Pandang: FIP IKIP, 1983.
Arikunto,
Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Jakarta: Bina
Aksara, 1989).
Sutrisno
Hadi, Statistik 2, Yogyakarta; YPEP UGM, 1986.
Arif
Tiro, Muhammad, Dasar-dasar Statistik, Cet. I, Makassar: Universitas
Negeri Makassar, 2000.
Arikunto, Suharsimi, Manajemen Penelitian, Cet. I., Jakarta
: PT. Rineka Cipta, 1990.
Walgito,
Bimo, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, Yogyakarta: Fakultas
Psikologi UGM, 1991.
[1]Umar
Tirtaraharja, Optinialisasi Sumber Daya
Manusia dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan, "Makalah"
disampaikan dalam Seminar IMDI (Parepare: t.p., 1993), h. 3‑4.
[2]William
Mentja, Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pengajaran : Kumpulan Karya Tulis
Terpublikasi (Cet, I ; Malang : Wineka Media, 2002), h. 15.
[5]
wikipedia
[6]
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Edisi I (Cet. 2; Jakarta: Bumi
Aksara, 1992) h. 104
[7]Taufik
Abd. Rahini, Studi tentang Mutu Pendidikan Pada Universitas Alkhairat
(UNISA) Palu; Suatu Kajian Manajemen Perguruan Tinggi "Penelitian
Magister" (Makassar: Program Pascasarjana UMI, 2002), h. 121-122.
[8] Iskandar Idy, Madrasah Model Sebagai
Alternatif Peningkatan Mutu Madrasah; Studi tentang Pengembangan Madrasah di
Sulawesi Selatan "Penelitian Magister" (Ujungpandang: Program
Pascasarjana UMI, 2002), h. 7.
[9]
Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Edisi ke-3, Jakarta; Balai
Pustaka, 2007). h.263
[10]Ibid.
h. 603
[11]
Muhaimin dan Abd, Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofik dan
Kerangka Dasar Operasional Operasional, (Cet. I; Bandung: Trigenda Karya,
1993), h. 307
[12]
Haidar Putra Dauly, Pendidikan Islam dalam Sistem Nasional di Indonesia,
Edisi I (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2004), h.55
[13]Ibid,
h. 176
[14]Ace Suryadi dan H.A.R. Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar, (Cet. II; Bandung :
PT. Remaja Rosdakarya, 1994), h. 161.
[15]Oemar hamalik, Evaluasi Kurikulum, (Cet. II;
Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1993), h. 33.
[16]Aris Pongtuluran, “Manajemen Mutu Total dalam
Pendidikan”, Makalah disampaikan dalam Konfrensi Nasional Manajemen
Pendidikan, (Jakarta : 2002), h. 9.
[17]Muhibbin Syah, Psikologi Belajar(Cet. II; Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2003), h. 53.
[18]H.
Mappanganro, op. cit., h. 117
[19]Ibid.
[20]Slameto,
Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya (Cet. IV; Jakarta: Rineka
Cipta, 2003), h. 17-18.
[21]H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan
Nasional dalam Persfektif Abad 21, (Magelang : Indonesia Tera, 2001), h.
179.
[22]H.A.R. Tilaar, op.cit., h. 179.
[23]K. H. Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan
Keislaman (Bandung : Mizan, 1994), h. 39.
[24]Lihat
Robert L. Thorndike dan Elisabeth P. Hagen Measurement and Aevaluation in
Psychology and Education Fourth Edition (Newy York: John Wiley and Sons,
t.th), h. 3
[25]Lihat
Mappanganro, Implementasi Pendidikan Islam di Sekolah (Cet.I; Ujung
Pandang: Yayasan Ahkam, 1996), h. 99
[26]Lihat
Julian C. Stanley dan Kenneth D Hopkins, Educational and Psyicological
Measurement and Evaluation (New Delhi: Prentive Hal Private Limited, 1978),
h. 6
[27]Robert
L. Thorndike dan Elisabeth P. Hagen, op. cit., h. 336-337
[28]W.
James Popham dan Evi L. Baker, Teknik Mengajar secara Sistematis (Cet.
I; Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 29.
[29]Mappanganro,
op. cit., 117
[30]Muhibbin
Syah, Psikologi Belajar (Cet. II; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003),
h. 51
[31]John
W. M. Rothney, Evaluation of Learning dalam Charles E. Skinner, Educational
Psychology (New Delhi: Prencite-Hall Inc, 1984), h. 686
[32]H.
Mappanganro, loc cit.
[33]Robert
L. Thorndike dan Elisabeth P. Hagen, op. cit., h. 440-441
[34]Mappanganro,
loc cit.
[35]Slameto,
Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya (cet. IV; Jakarta: Rineka
Cipta, 2003), h. 17-18.
[36]
Nana Sudjana, Tuntutan Penyusunan Karya Ilmiah,
Makalah-Skripsi-Tesis-Desertasi, (Cet. VI, Bandung: Sinar Baru Algesindo,
2001), h.71.
[37]
Burhan Bungin, Metode Penelitian Kuantitatif – Komunikasi, Ekonomi, dan
kebijakan Publik serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya, (Edisi I, Jakarta; Prenada
Media, 2005), h. 99
[38]
Ambo Enre Abdullah, Dasar-dasar Penelitian Sosial Kependudukan (Ujung
Pandang: FIP IKIP, 1983), h. 37.
[39]
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, (Jakarta:
Bina Aksara, 1989), h. 103.
[40]
Sutrisno Hadi, Statistik 2, (Yogyakarta; YPEP UGM, 1986), h. 220
[41]
Muhammad Arif Tiro, Dasar-dasar Statistik, (Cet. I, Makassar:
Universitas Negeri Makassar, 2000), h. 3
[42]
Nana Sudjana, Op. Cit., h.71
[43]
Burhan Bungin, Op. Cit., h. 104
[45]
Bimo Walgito, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, (Yogyakarta: Fakultas
Psikologi UGM, 1991), h. 68
[46]
Suharsimi Arikunto, Op. Cit., h. 24.
Comments
Post a Comment
شُكْرًا كَثِرًا
Mohon titip Komentarnya yah!!
وَالسَّلامُ عَليْكُم