Skip to main content

Betapa Berat Merelakan


Betapa Berat Merelakan –

Hmmmm, istilah itu sepertinya tidak tepat karena merelakan berarti “ikhlas melepas” dan keikhlasan merupakan tindakan murni untuk merelakan sesuatu sesuai dengan kata hati (nurani) dan perbuatan serta perkataan. Meski demikian, biarlah istilah “betapa berat merelakan” tetap digunakan untuk mengantar para pembaca lebih merasakan warna kehidupan.

Sebelum melangkah kepembahasan tema, mari kita mengikuti irama kehidupan bahwa penciptaan manusia tidak selalu sedih tapi setelah kesedihan akan muncul suatu keceriaan yang lebih besar (untuk orang yang pandai bersyukur). Dalam teori diketahui bahwa seseorang telah ditakdirkan (ditetapkan) beberapa hal dalam hidupnya, antara lain adalah soal rejeki, jodoh dan ajal.[1] Meski telah ditetapkan, seseorang mesti berjuang untuk mendapatkan rejeki, berusaha untuk mendapatkan jodoh dan berjalan hingga ajal menjemput. Pada teori tersebut mesti dipahami bahwa skenario (takdir yang telah ditetapkan tuhan) adalah hal yang terbaik untuk ciptaan-Nya, termasuk manusia. Kekayaan sebagai pemberian reski dari Tuhan bukan berarti suatu yang terbaik karena beberapa orang hidup tanpa ketenangan karena kekayaan yang dimilikinya. Orang kaya raya lebih banyak yang mencemaskan hartanya jika suatu saat nanti akan hilang. Sementara itu, orang miskin juga tidak berarti ia tidak menikmati reski dari Tuhan, justru merekalah orang yang paling tenang. Yang terpenting untuk dipahami dari ketetapan tuhan ialah, “semua diciptakan yang terbaik untuk setiap makhluk, termasuk pemberian reski, jodoh dan ajal” bahwa apa yang didapatkan merupakan kadar yang mampu diemban dan dipertanggung jawabkan. Ketetapan tuhan tentang jodoh adalah pasangan yang paling tepat dan selain itu jauh lebih buruk. Taqdir itu menginginkan manusia untuk bersabar, ikhlas, yakin dan pandai bersyukur – apapun yang terjadi.
Ketika diminta merelakan, yang terucap adalah “iya” tapi tidak semua pernyataan itu bisa sesuai dengan kata hati. Perasaan hati juga sering kali mempengaruhi pikiran untuk mengacaukan setiap langkah hidup. Bisa jadi mulut menyatakan “rela” namun hati dan pikiran belum tentu merelakan.
Mestinya ada satu hal yang melampaui perkataan, perbuatan, pemikiran dan hati manusia agar ia bisa tenang, iklas berbuat, merelakan sesuatu yang sudah semestinya direlakan, sabar serta bersyukur atas apa yang telah terjadi. Iman atau keyakinanlah yang seharusnya menempati posisi itu bahwa segala yang terjadi adalah yang terbaik untuk hidup ini. “Iman”lah yang seharusnya mendasari perkataan, perbuatan, pemikiran dan hati manusia. Tidak ada hal yang berat untuk orang-orang yang memiliki keyakinan tinggi.




[1]  Dalam Islam diwajibkan beriman pada ketetapan tuhan (taqdir) dan salah satu ketetapan tuhan ialah terkait reski, jodoh dan ajal.

Comments

  1. subhanalloh postingannya mencerahkan banget,,terimakasih sudah share :)

    ReplyDelete

Post a Comment

شُكْرًا كَثِرًا
Mohon titip Komentarnya yah!!
وَالسَّلامُ عَليْكُم

Popular posts from this blog

Strategi Kepemimpinan Ali Bin Abu Thalib

BAB I PENDAHULUAN A.       Latarbelakang Masalah Nabi Muhammad saw. Tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau tampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum Muslimin untuk menentukannya sendiri. Kaena itu, tidak lama setelah beliau wafat; belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokohMuhajirin dan Ashor Berkumpul dibalai kota   Bani Sa’dah, Madinah.  

Kedudukan Ar-ra'yu sebagai Landasan Hukum Islam

Referensi Pada dasarnya umat Islam yang beriman Kepada Allah swt. Meyakini bahwa Sumber utama Ajaran Islam yaitu Alquran dan Hadis sudah sempurna. Firman Allah dalam Alquran sudah sempurna membahas aturan-aturan, hukum, ilmu pengetahuan (filsafat), kisah, ushul fiqh dan lain-lain. Begitu juga Hadis Rasulullah yang salah satu sifatnya menjadi penjelasan ayat-ayat dalam Alquran. Posisi Hadis adalah penjelas dan sumber kedua setelah Alquran.

Pendidikan Islam Pasca Runtuhnya Bagdad

I.               PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah Kemunduran umat Islam dalam peradabannya terjadi pada sekitar tahun 1250 M. s/d tahun 1500 M.   Kemunduran itu terjadi pada semua bidang terutama dalam bidang Pendidikan Islam. Di dalam Pendidikan Islam kemunduran itu sebagian diyakini karena berasal dari berkembangnya secara meluas pola pemikiran tradisional. Adanya pola itu menyebabkan hilangnya kebebasan berpikir, tertutupnya pintu ijtihad, dan berakibat langsung kepada menjadikan fatwa ulama masa lalu sebagai dogma yang harus diterima secara mutlak (taken for garanted). Saat umat Islam mengalami kemunduran, di dunia   Eropa   malah   sebaliknya   mengalami   kebangkitan   mengejar ketertinggalan mereka, bahkan mampu menyalib akar kemajuan-kemajuan Islam.   Ilmu Pengetahuan dan filsafat   tumbuh   dengan   subur   di   tempat...