Ketergantungan uman Islam dalam bidang pendidikan, disadari
sebagai faktor terpenting dalam membina umat, hampir tidak dapat dihindarkan
dari pengaruh Barat. Ujungnya, krisis identitas pun tidak bisa dihindarkan
melanda umat Islam. menurut istilah AM. Saefuddin, ketidakberdayaan umat Islam
itu membuatnya bersifat taqiyyah.[1] Artinya, kaum Muslimin lebih
menyembunyikan identitas Islamnya, karena rasa takut dan malu. Ternyata sikap
seperti itu yang banyak melanda umat Islam di segala tingkatan dimanapun
berada, baik di infrastruktur, maupun suprastruktur.
Melemahnya orientasi sosial umat Islam ini secara tidak sadar
telah memilah-milah pengertian Islam yang kaffah ke
dalam pengertiam parsial dalam hakikat hidup bermasyarakat. Islam hanya
dipandang dari arti ritual saja. Sementara urusan lain banyak didominasi dan
dikendalikan oleh konsep-konsep Barat. Akibatnya, umat Islam lebih kenal budaya
Barat dari pada budaya sendiri/Islam.
Di samping dampak umum yang dirasakan di atas, berikut akan
dipaparkan dampak negatif lain sebagai akibat munculnya pendidikan tersebut.
1. Munculnya Ambivalensi Orientasi Pendidikan
Islam
Salah satu dampak negatif adanya dikotomi sistem pendidikan,
terutama di Indonesia adalah munculnya ambivalensi orientasi pendidikan Islam.[2] Sementara ini, dengan pendidikan
pesantren, masih dirasakan adanya kekurangan dalam program yang diterapkan.
Misanya dalam bidang mu’amalah (ibadah dalam arti luas) yang mencakup
penguasaan berbagai disiplin ilmu dan keterampilan, terdapat anggapan, bahwa
seolah semua itu bukan merupakan bidang garapan Islam, melainkan bidang garapan
khusus sistem pendidikan sekuler.
Sistem madrasah apalagi sekolah dan perguruan tinggi Islam, telah
membagi forsi materi pendidikan Islam dan materi pendidikan umum dalam
prosentase tertentu. Hal itu tentu menunjukkan bahwa pendidikan Islam tidak
lagi berorientasi sepenuhnya pada tujuan pendidikan Islam. namun ironisnya,
juga tidak mampu mencapai tujuan pendidikan Barat. Pada akhirnya, pendidikan
Islam di sekolah dan perguruan tinggi (terutama umum) diketahui sebagai materi
pelengkap yang menempel sebagai pencapain orientasi pendidikan sekuler.
2. Kesenjangan antara
Sisem Pendidikan Islam dan Ajaran Islam
Pandangan dikotomis yang memisahkan antara ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu umum bertentangan dengan konsep ajaran Islam yang memiliki ajaran
integralistik. Islam mengajarkan bahwa urusan dunia tidak terpisah dengan
urusan akhirat.
Implikasinya, bila merujuk pada ajaran Islam ilmu-ilmu umum
seharusnya difahami sebgai bagian tak terpisahkan dari ilmu-ilmu agama. Oleh
karenanya, bila paham dikotomi dan ambivalen dipertahankan, output pendidikannya
itu tentu jauh dari cita-cita pendidikan Islam itu sendiri.
3. Disintegrasi Sistem Pendidikan Islam
Hingga saat ini, boleh dikatakan, bahwa dalam sistem pendidikan
kurang terjadinya perpaduan (usaha integralisasi). Kenyataan ini diperburuk
oleh ketidakpastian hubungan antara pendidikan umum dan pendidikan agama.
Bahkan hal itu ditunjang juga oleh kesenjangan antara wawasan guru agama dan
kebutuhan anak didik, terutama di sekolah umum.[3] Dualisme dan dikotomi pendidikan dari
sistem pendidikan warisan zaman kolonial yang membedakan antara pendidikan umum
di satu pihak dan pendidikan agama di pihak lain, adalah penyebab utama dari
kerancuan dan kesenjangan pendidikan khususnya di Indonesia dengan segala
akibat yang ditimbulkannya.
Senada dengan di atas, menurut Marwan Saridjo bahwa,[4] akibat dan dampak negatif dari
sistem pendidikan dualistik, yaitu (1) arti agama telah dipersempit yaitu
sejauh yang berkaitan dengan aspek teologi Islam seprti yang diajarkan di
sekolah-sekolah agama selama ini; (2) sekolah-sekolah agama dan perguruan
tinggi agama Islam rata-rata ber I.Q rendah dan dari kelompok residual.
Pengaruh-pengaruh negatif yang diakibatkan oleh sistem dualisme
pendidikan tersebut sangat merugikan dunia pendidikan Islam. kecenderungan
untuk terpukau pada sistem pendidikan Barat, sebagai tolok ukur kemajuan
pendidikan nasional, diakui itu telah mempengaruhi sistem pendidikan Islam
sehingga sistem pendidikan agama Islam menjadi terpecah dalam tiga bentuk,
yakni; sistem pesantren; madrasah; dan sistem perguruan tinggi Islam,[5] yang masing-masing memiliki
orientasi yang tidak terpadu. Sistem pesantren berorientasi pada
tujuan institusionalnya, antara lain terciptanya ahli ilmu agama. Sistem
madrasah bergeser orientasi ke penguasaan ilmu umum sebagai tujuan sekunder.
Akhirnya berkembang menjadi sekolah Islam atau sekolah tinggi Islam yang tujuan
institusional perimernya adalah penguasaan ilmu-ilmu umum, sedangkan ilmu-ilmu
agama menjadi tujuan skunder. AHM
Baca juga:
[5]Tobrani dan Syamsul Arifin, Islam
Pluralisme Buaya dan Politik (Yogyakarta: SI Press, 1994), h.
167
Comments
Post a Comment
شُكْرًا كَثِرًا
Mohon titip Komentarnya yah!!
وَالسَّلامُ عَليْكُم