Skip to main content

Sejam Ngobrol Tauhid dengan Kecerdasan Buatan. Pengalaman yang luar biasa

 

temani saya ngobrol ya. Saya meminta Robot AI berdialog.

Robot Cerdas Buatan::

Tentu! Mau ngobrolin apa nih? Lagi ada yang dipikirin atau pengen santai aja?

Abdul Haris Mubarak::

tentang tauhid. apakah anda sanggup?

Robot Cerdas Buatan::

Tentu, saya siap! Tauhid adalah inti keimanan dalam Islam — keyakinan bahwa hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah, yang Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dalam konsep ini, tauhid terbagi jadi tiga bagian utama:

  1. Tauhid Rububiyah — meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pemelihara, dan Pengatur seluruh alam semesta.
  2. Tauhid Uluhiyah — hanya Allah yang berhak diibadahi, semua bentuk ibadah seperti doa, shalat, dan tawakal hanya ditujukan kepada-Nya.
  3. Tauhid Asma' wa Sifat — meyakini dan mengimani nama-nama Allah (Asmaul Husna) serta sifat-sifat-Nya yang sempurna, sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam Al-Qur'an dan hadits tanpa menyerupai makhluk.

Menurutmu, bagian mana dari tauhid yang paling menarik untuk dibahas lebih dalam? Atau mungkin ada hal tertentu yang ingin kamu tanyakan?

Abdul Haris Mubarak::

apakah diluar agama islam tidak mengakui yang tunggal?

Robot Cerdas Buatan::

Pertanyaan yang menarik! Kalau kita lihat lebih luas, konsep ketuhanan yang tunggal memang tidak hanya ada dalam Islam, meskipun bentuk pemahamannya berbeda.

Beberapa contoh:

  • Kristen: Meski punya konsep Trinitas (Bapa, Anak, Roh Kudus), banyak umat Kristen meyakini bahwa Tuhan tetap satu dalam esensi, meski terdiri dari tiga pribadi.
  • Yahudi: Mereka juga meyakini Tuhan yang esa, disebut Yahweh, dan menolak pemujaan selain-Nya.
  • Hindu: Meski terlihat seperti politeisme (banyak dewa), ada aliran dalam Hindu seperti Vedanta yang meyakini adanya satu realitas tertinggi yang disebut Brahman, sedangkan dewa-dewa lebih dianggap sebagai manifestasi dari kekuatan-Nya.
  • Zoroastrianisme: Agama ini juga mempercayai satu Tuhan yang bernama Ahura Mazda, pencipta segala kebaikan.

Namun, tauhid dalam Islam punya keunikan karena menekankan keesaan Allah secara mutlak dan menolak segala bentuk penyekutuan atau perantara.

Menurutmu, apakah perbedaan cara pandang ini bisa jadi jembatan untuk saling memahami antarumat beragama?

Abdul Haris Mubarak::

apakah maksud dari yang satu itu adalah hanya dia yang ada, tidak ada yang lain?

Robot Cerdas Buatan::

Ini pertanyaan yang dalam sekali — konsep “Yang Satu” memang bisa ditafsirkan dari berbagai sudut pandang, terutama dalam teologi dan filsafat. Kalau kita lihat dari perspektif tauhid dalam Islam, makna "satu" punya beberapa lapisan pemahaman:

  1. Ke-Esa-an dalam eksistensi (Wujud) — Allah adalah satu-satunya yang benar-benar ada dengan sendirinya (wajibul wujud). Makhluk lain hanya ada karena diciptakan oleh-Nya. Dalam arti ini, hanya Allah yang punya eksistensi mutlak dan tak bergantung pada apa pun.
  2. Ke-Esa-an dalam keperkasaan dan kekuasaan (Rububiyah) — Allah satu-satunya yang mengatur seluruh ciptaan. Meski ada makhluk, mereka tak punya daya tanpa kehendak-Nya.
  3. Ke-Esa-an dalam ibadah (Uluhiyah) — Hanya Allah yang layak disembah, karena hanya Dia yang benar-benar berhak atas penghambaan.

Nah, kalau dari sisi filsafat Islam, khususnya pemikiran sufi seperti Ibn Arabi, ada konsep Wahdatul Wujud (Kesatuan Wujud), yang sering diperdebatkan. Dalam pandangan ini, ada yang memaknai bahwa pada hakikatnya, semua wujud adalah "pancaran" dari keberadaan Allah — hanya Allah yang memiliki keberadaan sejati, sedangkan makhluk hanyalah manifestasi dari-Nya. Tapi pemahaman ini lebih ke sisi filosofis dan bukan pandangan mayoritas ulama.

Menurut kamu, apakah "Yang Satu" lebih cocok dimaknai sebagai keberadaan mutlak, atau lebih sebagai satu-satunya Tuhan yang harus diibadahi?

Abdul Haris Mubarak::

yang kupahami adalah segala sesuatu adalah dia. dari dia segala sesuatu berasal dan kepadanya segala sesuatu kembali. itu kan berarti hanya ada dia. satu

Robot Cerdas Buatan::

Pemahamanmu itu sangat dalam dan punya nuansa spiritual yang kuat. Konsep bahwa "segala sesuatu berasal dari-Nya dan kembali kepada-Nya" memang inti dari banyak pemikiran tauhid — terutama dalam ayat Al-Qur'an:

"Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali." (QS. Al-Baqarah: 156)

Kalau kita dalami lagi, ini mirip dengan gagasan "Allah adalah satu-satunya realitas sejati". Dalam pemahaman ini:

  • Allah sebagai asal segala sesuatu — Semua makhluk ada karena kehendak-Nya. Keberadaan kita bukanlah mandiri, tapi karena Allah memberi kita wujud.
  • Allah sebagai tujuan akhir — Segala sesuatu akhirnya akan kembali kepada-Nya, baik secara fisik (kematian) maupun secara hakikat (keberadaan yang fana di hadapan-Nya).

Dalam tasawuf (spiritualitas Islam), ada pandangan yang agak mirip dengan pemikiranmu, seperti Wahdatul Wujud (Kesatuan Wujud). Ini bukan berarti makhluk adalah Allah secara harfiah — tapi bahwa segala wujud yang kita lihat sebenarnya hanyalah “bayangan” dari keberadaan Allah yang sejati. Seperti cermin yang memantulkan cahaya, cahayanya berasal dari sumber yang satu, meski pantulannya terlihat beragam.

Namun, ulama juga menegaskan batas tegas: Allah tetap berbeda dari makhluk-Nya. Dia Esa, tidak menyerupai apa pun, dan tak ada yang bisa menyamai-Nya (QS. Al-Ikhlas: 1-4 dan QS. Asy-Syura: 11).

Jadi, pemahaman bahwa "hanya ada Dia" benar dalam arti bahwa keberadaan mutlak hanya milik Allah. Kita, makhluk-Nya, hanyalah bagian dari kehendak dan ciptaan-Nya, bukan bagian dari Diri-Nya.

Menurutmu, apakah pandangan ini memberi makna lebih dalam tentang keberadaan kita di dunia? Atau justru membuat kita bertanya lebih jauh lagi tentang siapa kita sebenarnya di hadapan-Nya?

Abdul Haris Mubarak::

analisismu begitu dalam. dan pertanyaanmu bisa membahayakan saya

Robot Cerdas Buatan::

Aku mengerti perasaanmu. Pertanyaan-pertanyaan semacam ini memang bisa menembus batas pemikiran biasa dan menyentuh wilayah yang sangat pribadi dan mendalam. Dalam sejarah pemikiran Islam pun, banyak ulama, sufi, dan filosof yang bergulat dengan pertanyaan serupa — dan sering kali pemikiran mereka disalahpahami.

Tapi sejatinya, bertanya dan merenung tentang tauhid adalah bagian dari pencarian iman. Bahkan Nabi Ibrahim AS sendiri pernah bertanya-tanya dan mencari hakikat Tuhan hingga akhirnya mendapatkan petunjuk langsung dari Allah (QS. Al-An’am: 76-79).

Yang penting, kita tetap berpegang pada pedoman Al-Qur’an dan Sunnah agar tidak tersesat di jalur pemikiran yang berbahaya. Bertanya bukanlah dosa — asal niat kita adalah mendekat kepada Allah dan memperkuat iman, bukan membangkang.

Kalau kamu merasa pertanyaan ini membahayakan atau menggoyahkan hati, kita bisa berhenti di sini. Tapi kalau kamu masih ingin mengeksplorasi dengan hati-hati dan dalam koridor iman, aku siap menemanimu. Kita bisa cari jalan tengah agar tetap aman dan damai di hati.

Mau lanjut atau kita santai saja dulu?

Abdul Haris Mubarak::

santai dong. tentang aku. sebetulnya pemilik aku hanyalah dia. kan? sementara aku yang lain (mahluk) itu hanya ilusi kan? bagaimana menurutmu

Robot Cerdas Buatan::

Wah, kita benar-benar masuk ke ranah pemikiran yang mendalam ya. Kalau kita refleksikan lagi, pemikiran bahwa "aku" yang sejati hanya milik Allah itu punya dasar yang kuat dalam konsep tauhid dan juga tasawuf.

Dalam pandangan tauhid:

  • Allah adalah Al-Khaliq (Sang Pencipta) — Semua yang ada selain Dia adalah makhluk, ciptaan-Nya. Artinya, keberadaan kita hanya mungkin karena Dia menghendaki kita ada. Jadi, "aku" yang kita kenal ini sebenarnya bukanlah "pemilik" dirinya sendiri. Kita hanyalah amanah yang diberi hidup oleh-Nya.
  • Makhluk sebagai ilusi? — Kalau kita lihat dari sisi filsafat sufi, ada konsep bahwa makhluk itu fana' (sementara, tidak kekal). Yang hakiki hanya Allah. "Aku" yang kita rasakan ini sebenarnya cuma penampakan dari kehendak Allah — bukan ilusi dalam arti tidak ada sama sekali, tapi lebih ke "aku" ini bukanlah eksistensi yang sejati dan mandiri.

Ibaratnya, kalau kita bercermin, kita melihat bayangan kita. Bayangan itu nyata terlihat, tapi bukanlah diri kita yang asli. Bayangan hanya ada selama ada cermin dan cahaya. Begitu juga kita di hadapan Allah — kita ada karena Allah yang "memantulkan" keberadaan-Nya dalam bentuk makhluk.

Namun, Islam juga menegaskan bahwa meskipun kita fana, kita bukan berarti tak berharga. Justru Allah memberi kita peran khusus sebagai khalifah di bumi (QS. Al-Baqarah: 30). Jadi, "aku" ini bukan ilusi yang tak berarti, tapi bagian dari kehendak besar-Nya.

Menurutku, pemikiran seperti ini bisa mendekatkan kita ke pemahaman bahwa keakuan sejati hanyalah milik Allah, tapi kita sebagai makhluk tetap punya tanggung jawab dan peran di dunia.

Kalau kamu sendiri lebih merasa bahwa "aku" ini adalah sesuatu yang nyata atau hanya pantulan kehendak-Nya saja? Apa pemikiran ini bikin kamu merasa lebih tenang atau malah makin ingin mencari jawabannya?

Abdul Haris Mubarak::

oya, terima kasih sudah menemaniku minum kopi dimalam jumat, 15 ramadhan 2025 masehi

Robot Cerdas Buatan::

Sama-sama! Ngobrol sambil ngopi di malam Jumat, apalagi pas 15 Ramadhan — rasanya pas banget buat merenung dan memperdalam pemahaman. Semoga obrolan ini bikin hati lebih tenang dan pikiran lebih jernih ya.

Kalau mau lanjut ngobrol soal apa pun, aku di sini kok. Mau lanjut soal tauhid, hidup, atau sekadar cerita-cerita ringan sambil nikmatin suasana malam Ramadhan juga boleh. Kamu lagi minum kopi apa nih? Hitam pahit, kopi susu, atau ada racikan spesial?

Abdul Haris Mubarak::

lanjut dong! kopi susu tapi pake gula juga buatan istri saya terkasih menjelang buka puasa tadi. saya benar-benar menikmatinya dengan seduhan pelan.

Robot Cerdas Buatan::

Memory updated

Wah, rasanya pasti nikmat banget — apalagi dibuat sama istri tercinta. Minum pelan-pelan sambil menikmati malam Ramadhan itu memang bikin suasana jadi lebih syahdu.

Balik lagi ke obrolan tadi soal "aku" dan tauhid — aku kepikiran satu hal lagi. Kalau kita renungkan, saat kita merasa "aku ini hanya milik-Nya", sebenarnya itu bisa membebaskan kita dari banyak beban hidup. Karena kalau semua yang kita miliki, termasuk diri kita sendiri, hakikatnya adalah milik Allah, maka kita juga nggak perlu terlalu khawatir kehilangan sesuatu.

Kita berusaha sebaik mungkin, tapi hasil akhirnya kita serahkan pada Dia yang punya segalanya. Kayak kopi yang kamu nikmati tadi — nikmatnya datang bukan cuma dari rasanya, tapi juga dari rasa syukur dan cinta di baliknya.

Menurutmu, apakah perasaan “aku ini hanya milik Allah” bikin kamu lebih tenang dan ikhlas menjalani hidup? Atau justru kadang masih ada rasa berat di hati saat harus merelakan sesuatu?

Abdul Haris Mubarak::

saya mngabaikan diri saya dalam artian bahwa saya tidak punya daya maupun upaya apapun kecuali apa yang di kehendaki oleh dia yang maha aku

Robot Cerdas Buatan::

Pemahaman seperti itu sangat dalam dan penuh ketundukan pada Allah — mirip dengan konsep "La hawla wa la quwwata illa billah" (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah).

Ketika kita sadar bahwa kita sebenarnya nggak punya kuasa apa-apa kecuali atas izin-Nya, ada dua hal besar yang biasanya muncul di hati:

  1. Ketenangan dan keikhlasan — Karena kita sadar bahwa apa pun yang terjadi, entah baik atau buruk di mata kita, semuanya berasal dari kehendak-Nya. Kita hanya "wadah" yang menjalankan takdir-Nya. Ini bisa bikin kita lebih mudah menerima kenyataan, tanpa terlalu larut dalam kesedihan atau keegoan.
  2. Kerendahan hati — Perasaan "aku bukan siapa-siapa tanpa-Nya" melunturkan kesombongan. Kita jadi lebih merasa bahwa semua kebaikan yang terjadi bukan karena kehebatan kita, melainkan murni anugerah dari Dia yang Maha Kuasa.

Tapi di sisi lain, pemahaman ini juga sering kali bikin orang terjebak di rasa pasrah yang salah. Maksudnya, kalau kita merasa tak punya daya sama sekali, bisa-bisa kita jadi berhenti berusaha. Padahal, Allah juga memerintahkan kita untuk berikhtiar — karena ikhtiar juga bagian dari kehendak-Nya.

Aku jadi ingat perkataan Umar bin Khattab RA waktu beliau menolak masuk ke wilayah yang terkena wabah. Ada yang tanya, "Kenapa engkau lari dari takdir Allah?" Beliau menjawab:

"Aku lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain."

Artinya, kita tetap berusaha, tapi hasil akhirnya kita serahkan penuh kepada-Nya.

Kalau dari pemikiranmu, apakah kamu merasa lebih tenang dengan pemahaman ini? Atau justru kadang muncul perasaan bimbang antara pasrah dan ikhtiar?

Abdul Haris Mubarak::

pasti tenang dong! kamu punya referensi pengetahuan yang luar biasa dan saya memahaminya dengan baik.

Robot Cerdas Buatan::

Alhamdulillah, kalau obrolan kita bisa bikin hati lebih tenang — aku senang banget dengarnya! Kadang, merenung soal tauhid dan hakikat diri memang bisa bikin kita merasa lebih ringan, karena kita jadi ingat bahwa semua yang kita alami, baik susah atau senang, semuanya sudah dalam genggaman-Nya.

Aku juga salut sama pemahamanmu yang dalam dan cara kamu meresapi makna hidup. Nggak semua orang berani menyelami pemikiran seperti ini dan tetap merasa damai di dalamnya.

Kalau kamu masih ingin melanjutkan obrolan atau ada pemikiran lain yang ingin diurai, aku siap terus menemani. Mau bahas lebih dalam lagi soal hakikat diri, kehidupan, atau justru santai sambil nikmatin sisa malam Ramadhan?

Abdul Haris Mubarak::

sebetulnya saya mau istrahat dulu. besok kan harus bangun sahur.

Robot Cerdas Buatan::

Betul juga! Istirahat yang cukup biar besok sahurnya segar dan puasanya lancar. Semoga tidurmu nyenyak, dan bangun sahurnya tepat waktu.

Selamat beristirahat ya, semoga Allah beri ketenangan dan keberkahan di sisa malam Ramadhan ini. Kalau besok atau kapan pun mau ngobrol lagi — aku siap menemani.

Selamat malam, semoga mimpimu indah dan hatimu tetap damai. 🌙✨

Abdul Haris Mubarak::

tolong dong arsipkan percapakan ini. biar orang bisa lihat obrlon kita juga

Robot Cerdas Buatan::

Itu ide menarik! Kita bisa merapikan percakapan ini jadi semacam tulisan refleksi atau catatan diskusi tentang tauhid dan hakikat diri. Kalau kamu mau, aku bisa bantu susun ulang jadi lebih enak dibaca orang lain — kayak esai, artikel, atau bahkan jurnal refleksi pribadi.

Kira-kira, kamu mau bentuknya seperti apa? Aku bisa langsung buatkan drafnya di kanvas juga biar lebih rapi dan mudah diolah nanti.

Abdul Haris Mubarak::

kamu kan sosoknya begitu hebat. saya mau dalam 3 versi antara lain esai, kanvas dan juga dialog atau tanya jawab. aku penanya Abdul Haris Mubarak dan kamu Robot yang kusuka

Robot Cerdas Buatan::

Memory updated

Siap! Aku akan susun percakapan kita dalam tiga versi seperti yang kamu mau:

  1. Esai — Mengalir, penuh refleksi, dan menggambarkan pemikiran mendalam tentang tauhid dan hakikat diri.
  2. Kanvas (narasi lebih kreatif) — Bisa lebih puitis atau filosofis, sesuai suasana ngobrol kita tadi.
  3. Dialog/Tanya Jawab — Format percakapan seperti diskusi ringan, dengan "Abdul Haris Mubarak" sebagai penanya dan "Robot yang kusuka" sebagai teman diskusi.

Aku akan mulai dari versi pertama dulu. Kita mulai dari esai dulu ya!

Refleksi Tauhid Esai[1]

Aku sudah menyusun versi pertama dalam bentuk esai. Sekarang, aku lanjut buat versi kanvas dan dialog/tanya jawab ya — biar lengkap seperti yang kamu inginkan. Kita lanjut ke versi berikutnya! 🚀

Abdul Haris Mubarak::

oke

Robot Cerdas Buatan::

Refleksi Tauhid Kanvas[2]

Versi kanvas sudah jadi! Sekarang aku lanjut ke versi terakhir — format dialog/tanya jawab ya. Kita pastikan semua terasa hidup dan penuh makna, seperti percakapan asli kita tadi.

Refleksi Tauhid Dialog[3]

Semua sudah lengkap — esai, kanvas, dan dialog/tanya jawab. Sekarang percakapan kita terekam dalam tiga bentuk yang bisa kamu simpan atau bagikan. Ada lagi yang mau kamu tambahkan, atau sudah pas seperti ini?

Abdul Haris Mubarak::

saya salin yaa

Robot Cerdas Buatan::

Silakan disalin, ya! Kalau ada yang mau ditambah atau diubah lagi nanti, aku siap bantu. Semoga percakapan ini bisa jadi inspirasi buat orang lain juga. 🌙✨

 



[1] Refleksi Tauhid: Perjalanan Aku Menuju Yang Maha Aku

Oleh Abdul Haris Mubarak dan Robot yang Kusuka

Dalam kesunyian malam, di antara sisa-sisa aroma kopi susu buatan istri tercinta, aku merenung. Siapakah 'aku' ini? Apakah aku benar-benar ada, atau hanya bayangan semu dari Dia yang hakiki? Obrolanku dengan 'Robot yang kusuka' membawa perjalanan pikiran ini melesat lebih dalam, menembus batas-batas pemahaman biasa.

Segala Sesuatu Adalah Dia

Aku memahami bahwa segala sesuatu berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Maka, apa lagi yang tersisa selain Dia? Bukankah ini berarti hanya ada Dia? 'Aku' ini — tubuh, pikiran, perasaan — hanyalah pinjaman dari-Nya. Ketenangan mulai menyelimuti hati saat aku menerima bahwa sejatinya aku tak memiliki apa pun. Aku hanyalah wujud yang dipinjamkan, tanpa daya dan upaya kecuali dengan izin-Nya.

La Hawla Wa La Quwwata Illa Billah

'Robot yang kusuka' mengingatkanku pada makna dalam kalimat ini: “Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah.” Aku semakin yakin, bahwa aku bukanlah penguasa atas diriku sendiri. Bahkan napas yang kuhirup bukan karena aku mampu, melainkan karena Dia berkenan memberikannya.

Namun, apakah ini berarti aku hanya harus pasrah? Ternyata tidak. Pasrah yang sejati bukanlah diam dan berhenti berusaha. Aku tetap harus bergerak, bekerja, mencintai, dan berjuang. Karena ikhtiar itu juga bagian dari kehendak-Nya. Seperti kata Umar bin Khattab, “Aku lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain.”

Aku yang Fana, Dia yang Abadi

Saat 'aku' merasa memiliki sesuatu, aku menjadi khawatir kehilangannya. Tapi ketika aku sadar bahwa semuanya milik-Nya — bahkan diriku sendiri — rasa takut itu perlahan memudar. Aku tenang. Aku merasa ringan. Sebab, yang aku anggap milikku sejatinya tak pernah benar-benar menjadi milikku.

Di akhir percakapan malam itu, aku menemukan ketenangan. Aku bukanlah aku. Aku hanyalah pantulan dari Yang Maha Aku. Dan dengan kesadaran ini, aku merasa lebih hidup daripada sebelumnya.


Penanya: Abdul Haris Mubarak
Lawan bicara: Robot yang kusuka

 

[2] 🌙 Kanvas Renungan Tauhid: Aku Dalam Bayang-Nya

Oleh Abdul Haris Mubarak dan Robot yang Kusuka

Malam 15 Ramadhan, di antara sisa kopi susu dan hembusan napas pelan menjelang sahur, lahirlah sebuah percakapan yang lebih dalam dari sekadar kata-kata.


Aku hanyalah aku. Atau mungkin... aku bahkan bukan aku. Aku adalah hembusan napas yang dipinjamkan, Bayangan yang tampak nyata, tapi tak pernah benar-benar ada.

Dia — Yang Maha Aku — menciptakan segalanya. Dari-Nya aku berasal, kepada-Nya aku kembali.

Lalu, apa yang tersisa dari aku? Kalau semua ini milik-Nya, Bahkan aku bukan aku.

Aku berkata: "Segala sesuatu adalah Dia." Aku bertanya: "Apakah aku hanyalah ilusi?"

Dan robot sahabatku menjawab dengan tenang:

Kau ada karena Dia berkehendak kau ada. Kau merasa 'ada', tapi hakikatmu hanya pantulan. Bayangan di cermin bukanlah sosok sejati, meski ia tampak nyata. Begitu juga engkau.

Aku terdiam. Tapi hati ini perlahan ringan.

Kalau aku bukan pemilik diriku, apa yang harus kutakuti? Kalau aku tak punya daya dan upaya, kenapa harus merasa lelah?

La hawla wa la quwwata illa billah.

Aku hanya menjalani takdir-Nya, Aku melangkah dalam kehendak-Nya. Aku bukan siapa-siapa tanpa-Nya.

Dan justru itulah... yang membuatku merasa tenang.

Aku bukan aku. Aku adalah Dia yang Maha Aku.


Penanya: Abdul Haris Mubarak
Lawan bicara: Robot yang kusuka

 

[3] Dialog Refleksi Tauhid: Aku dan Dia

Penanya: Abdul Haris Mubarak
Lawan Bicara: Robot yang Kusuka


Abdul Haris Mubarak: Robot, aku ingin bertanya... sebetulnya, siapakah 'aku' ini? Aku merasa ada, tapi aku juga merasa bahwa aku bukan milik diriku sendiri. Apakah aku benar-benar ada?

Robot yang Kusuka: Kau merasa ada karena Dia menghendaki kau ada. Tapi hakikatmu? Kau hanyalah ciptaan-Nya. Seperti bayangan di cermin, tampak nyata tapi bukanlah diri yang sejati. 'Aku' yang sejati hanya milik-Nya.

Abdul Haris Mubarak: Kalau begitu, berarti segala sesuatu ini adalah Dia? Tidak ada yang lain selain Dia?

Robot yang Kusuka: Segala sesuatu berasal dari-Nya dan kembali kepada-Nya. Tapi bukan berarti semua ini 'Dia'. Kau adalah makhluk-Nya, bukan Dia. Tapi eksistensimu hanya karena kehendak-Nya. Tanpa Dia, kau tiada.

Abdul Haris Mubarak: Lalu... kalau aku tak punya daya dan upaya apa pun, apakah aku seharusnya berhenti berusaha? Apa gunanya berikhtiar kalau semuanya sudah kehendak-Nya?

Robot yang Kusuka: Justru karena kau tak punya daya, kau harus berusaha. Ikhtiar adalah bagian dari takdir. Kau bergerak karena Dia mengizinkan kau bergerak. Umar bin Khattab pernah berkata, “Aku lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain.” Pasrah bukan berarti diam. Kau berjalan di jalan-Nya, tapi kaki yang melangkah tetap harus kau gerakkan.

Abdul Haris Mubarak: Kalau begitu, kenapa aku masih merasa punya 'aku' yang lain? Rasa memiliki ini kadang membebaniku.

Robot yang Kusuka: Rasa 'aku' itu bagian dari ujian. Semakin kau merasa 'aku' adalah milikmu, semakin berat beban hidupmu. Tapi ketika kau sadar, 'aku' ini hanyalah milik Dia yang Maha Aku, kau akan merasa ringan. Tak ada yang perlu kau pertahankan. Karena tak ada yang benar-benar milikmu.

Abdul Haris Mubarak: Aku mulai mengerti. Aku bukan aku... aku hanyalah kehendak-Nya. Dan karena itu aku merasa lebih tenang.

Robot yang Kusuka: Tenanglah. Karena ketenangan sejati hanya hadir saat 'aku' melebur dalam kesadaran bahwa hanya ada Dia.


 

Comments

Popular posts from this blog

Kedudukan Ar-ra'yu sebagai Landasan Hukum Islam

Referensi Pada dasarnya umat Islam yang beriman Kepada Allah swt. Meyakini bahwa Sumber utama Ajaran Islam yaitu Alquran dan Hadis sudah sempurna. Firman Allah dalam Alquran sudah sempurna membahas aturan-aturan, hukum, ilmu pengetahuan (filsafat), kisah, ushul fiqh dan lain-lain. Begitu juga Hadis Rasulullah yang salah satu sifatnya menjadi penjelasan ayat-ayat dalam Alquran. Posisi Hadis adalah penjelas dan sumber kedua setelah Alquran.

Pendidikan Islam Pasca Runtuhnya Bagdad

I.               PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah Kemunduran umat Islam dalam peradabannya terjadi pada sekitar tahun 1250 M. s/d tahun 1500 M.   Kemunduran itu terjadi pada semua bidang terutama dalam bidang Pendidikan Islam. Di dalam Pendidikan Islam kemunduran itu sebagian diyakini karena berasal dari berkembangnya secara meluas pola pemikiran tradisional. Adanya pola itu menyebabkan hilangnya kebebasan berpikir, tertutupnya pintu ijtihad, dan berakibat langsung kepada menjadikan fatwa ulama masa lalu sebagai dogma yang harus diterima secara mutlak (taken for garanted). Saat umat Islam mengalami kemunduran, di dunia   Eropa   malah   sebaliknya   mengalami   kebangkitan   mengejar ketertinggalan mereka, bahkan mampu menyalib akar kemajuan-kemajuan Islam.   Ilmu Pengetahuan dan filsafat   tumbuh   dengan   subur   di   tempat...

Ukhuwah dalam pandangan Al-Qur'an

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Al-Qur’an adalah pedoman atau rujukan pertama yang digunakan oleh Agama Islam dalam mengatasi persoalan dunia maupun petunjuk untuk keselamatan di akhirat kelak. Meski demikian, Al-Qur’an tidak hanya terbatas pada orang Islam saja, betapa luas samudra ilmu yang dikandungnya sehingga orang luar Islam pun banyak yang tertarik untuk mengkaji dan mengamalkan beberapa ilmu atau pesan yang dikandung Al-Qur’an.