IDENTITAS MAHASISWA :
Nama
: Abdul Haris Mubarak
NIM
: 50300107007
Jurusan
: Pengembangan Masyarakat Islam Konsentrasi Kesejahteraan Sosial
Fakultas
: Dakwah dan Komunikasi
Judul
: Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat Tubuh di Panti Sosial Bina Daksa Wirajaya Makassar
A. Latar Belakang
Pada dasarnya dimata Allah, Manusia mempunyai kesamaan
derajat dan hak. Namun jika diukur dengan ketaqwaan, maka derajat manusia akan
berbeda. Hal ini telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam Alqur’an
Sebagaimana terdapat dalam surat Al-Hujurat ayat 13 berikut :
Terjemahannya : “Sesungguhnya, yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” ”
(Al-Qur’an dan Terjemahannya:745)[1].
|
Ayat di atas juga tidak membedakan manusia dari
sisi paras wajahnya yaitu cantik atau tidaknya seseorang, tidak pula membedakan
kaya atau miskinnya seseorang, tetapi semuanya sama dimata Allah kecuali
derajat yang baik bagi orang yang bertaqwa dan sebaliknya, derajat yang hina
bagi orang yang tidak bertaqwa.
Jika dihadapkan pada kehidupan bermasyarakat,
tentu akan senantiasa ada perbedaan perlakuan, entah karena perbedaan fisik
berupa cacat atau tidaknya seseorang, perbedaan usia, paras wajah, tingkat
kecerdasan intelektual, bahkan strata sosial cenderung menyebabkan adanya
perlakuan yang berbeda dimata masyarakat.
Jika dipandang dari kacamata sosial, maka
manusia cenderung diklaim sebagai mahluk yang bermasyarakat. Dengan demikian,
manusia memiliki peran serta keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Peran
yang seperti inilah yang membuat manusia diklaim sebagai mahluk sosial. Namun akan
jauh berbeda jika salah satu manusia dalam suatu lingkungan tidak dapat melaksanakan
salah satu fungsi sosialnya. Seseorang yang dimaksud tidak dapat melaksanakan
fungsi sosialnya bisa disebabkan karena beberapa faktor, diantaranya ialah bagi
penyandang cacat tubuh, orang yang jiwanya terganggu dan lain-lain. Namun ada
kecenderungan yang timbul di dalam masyarakat akan adanya perlakuan yang
berbeda terhadap orang yang kurang beruntung. Orang yang kurang cerdas merasa
segan terhadap orang yang cerdas, orang yang berparas cantik merasa tinggi hati
terhadap orang yang kurang cantik. Bisa juga orang cacat merasa minder terhadap
orang yang sempurna fisiknya, meskipun orang kebanyakan tidak bersikap negatif
terhadap kaum kurang beruntung.
Persoalan yang kemudian muncul ialah, walaupun
hak dan kewajiban warga Negara diatur dalam undang-undang, tetapi tetap saja
penyandang masalah kesejahteraan sosial, khususnya penyandang cacat cenderung
merasa tersisi oleh karena cacat yang dialami walaupun penyandang cacat
tersebut mampu melaksanakan seluruh fungsi sosialnya seperti manusia normal lainnya.
Penyandang cacat merupakan salah satu masalah
kesejahteraan Sosial.[2] yang sangat
penting untuk segera diatasi mengingat populasinya yang cukup besar dalam
masyarakat, terutama bagi mereka yang menyandang cacat tubuh (fisik).
Dengan adanya kondisi sosial seperti ini,
tentunya dibutuhkan peran Pekerja Sosial secara berkesinambungan dan
menyeluruh, terpadu dan sinergis baik dari pihak sosial melalui Dinas Sosial
Propinsi serta lembaga-lembaga sosial pemerintah, maupun lembaga sosial non
pemerintah.
Di dalam implementasinya,
tidak banyak perencana dan pengelola pusat-pusat pelayanan umum di kota-kota
besar, baik pemerintah maupun swasta, yang menyadari, betapa pentingnya
menyediakan prasarana dan sarana aksesibilitas standar bagi para penyandang
cacat fisik ini apalagi di kota-kota kecil. Ironisnya lagi, di lembaga -lembaga
pendidikan mulai sekolah dasar hingga pendidikan tinggi seperti universitas,
aksesibilitas bagi para penyandang cacat fisik ini juga tidak banyak memperoleh
perhatian dari pihak perencana dan pengelola. Di pihak lain, sebagian besar
para penyandang cacat, tampaknya belum atau kurang menyadari akan hak mereka
untuk memperoleh fasilitas pelayanan yang dapat mereka akses di tempat -tempat
umum, sehingga mereka mampu melaksanakan aktifitasnya sebagaimana orang normal
lainnya. Selama ini para penyandang cacat fisik, tidak banyak menuntut, bahkan
pasrah dengan kondisi mereka, meski sebenarnya mereka memiliki hak yang lebih
dari fasilitas negara yang khusus diperuntukkan bagi para penyandang cacat.[3]
Pemerintah melalui Kementerian Sosial telah lama
merencanakan dan banyak melaksanakan program dan usaha-usaha kesejahteraan
sosial bagi para penyandang masalah kesejahateraan sosial (PMKS), termasuk para
penyandang cacat. Upaya upaya perlayanan dan rehabilitasi sosial, baik melalui
sistem panti dan luar panti, serta berbagai upaya pemberdayaan dan peningkatan
kesejahteraan hidup penyandang cacat telah pula banyak dilakukan. Namun semua
itu belum cukup untuk mewujudkan amanat UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) yang
ditindak lanjuti dengan UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan
dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 1998 tentang upaya
Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat.
Data penyandang cacat tahun 2006 di Indonesia
sebanyak 2.810.212 orang dengan kecenderungan terus meningkat. Secara umum
penyandang cacat mempunyai potensi untuk dapat dikembangkan hingga mandiri.
Sedangkan jumlah penyandang cacat ganda berdasarkan data BPS tahun 2000
sebanyak 163.232 orang. Untuk para penyandang cacat ganda, perlu adanya
perlakuan khusus karena kondisi kecacatannya sudah tidak bisa lagi
direhabilitasi dan kehidupannya sangat tergantung pada keluarga dan atau orang
dekat lainnya. Mereka mutlak perlu bantuan orang lain. Mereka terkendala dalam
berkomunikasi, bermobilisasi serta bersosialisasi dengan bagian masyarakat
lainnya, termasuk sulit atau bahkan tidak mungkin untuk dapat mengakses
pelayanan kesehatan, pangan, pendidikan dan layanan sosial lainnya. Mereka
sangat membutuhkan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial secara memadai dan
manusiawi.
Selama ini,
kebijakan-kebijakan yang menyangkut aksesibilitas para penyandang cacat (disabled persons)
di tempat-tempat pelayanan umum di Indonesia, tampaknya sebagian besar masih
sebatas wacana. Padahal di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997, pasal
1 (ayat 1) dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998, khususnya pasal 1
(ayat 1) dengan tegas dinyatakan bahwa, sebagaimana warga masyarakat lainnya.
Data penyandang cacat di Indonesia tahun 2006
yang menunjukkan sebanyak 2.810.212 orang dengan kecenderungan terus meningkat,
dengan demikian pelayanan sosial tentunya juga harus lebih ditingkatkan, baik
dari segi kualitas maupun kuantitas. Negara melalui Kementrian Sosial
Republik Indonesia yang kemudian memiliki Instansi (Dinas Sosial Provinsi),
sampai pada dinas sosial Kabupaten/Kota, Secara keseluruhan lembaga tersebut
memiliki program perencanaan peningkatan kesejahteraan sosial. Namun pada
tatarannya, aplikasi perencanaan sosial tersebut belum jelas terlihat di
lapangan (khususnya dikota Makassar) masih banyak penyandang cacat yang
berkeliaran dijalan meski telah memakai kaki palsu (khusus bagi cacat tubuh
yang banyak terlihat dipinggiran jalan). Bukannya tanggung jawab Negara melalui
Dinas Sosial tersebut selesai pada tataran penanganan cacat, tapi justru
masalah sosial lainnya juga muncul menyertai permasalahan awal tadi. Di Jalan,
terlihat bahwa penyandang cacat tersebut mengemis, seolah-olah mereka adalah
tuna wisma atau bahkan anak/orang tua terlantar yang juga bagian dari
penyandang masalah kesejahteraan sosial. Jelas bahwa dengan penanganan yang kurang
maksimal justru akan beresiko lebih parah misalnya penyandang cacat tersebut setelah
dibina melalui Panti Sosial Bina Daksa (panti khusus bagi penyandang cacat di
Indonesia) jika dibina hanya berdasarkan lama waktu pembinaan saja tanpa
mempertimbangkan kematangan keterampilan klien, atau rehabilitasi dari
permasalahan klien yang juga penting untuk menghilangkan rasa rendah diri klien
(penyandang cacat), maka penyandang cacat tubuh tersebut belum dapat dinilai
mampu menjalankan wira usaha sesuai dengan skill masing-masing
Kebijakan pemerintah melalui lembaga-lembaga
sosial, baik lembaga sosial pemerintah, maupun lembaga sosial non
pemerintah sangat penting untuk dikaji aplikasinya, mengingat antara Undang-Undang
yang mengatur tentang kesejahteraan sosial dan Undang-Undang tentang Penyandang
Cacat jelas arah dan tujuannya.
Kebijakan pemerintah menyangkut Sosial Works (Pekerja
Sosial) sangat dibutuhkan partisipasinya, baik sebagai perpanjangan tangan dari
pemerintah, mewakili lembaga maupun instansi pelayanan sosial karena
memang profesinya selaku pekerja sosial. Tentunya sangat penting untuk memiliki
bekal yang mapan dalam hal pembinaan klien. Hal ini penting karena kejadian
(penyandang cacat yang turun kejalan kemudian berprofesi sebagai pengemis)
sebagaimana tergambar di atas, tidak mutlak karena kesalahan pemerintah.
Objek lain juga menjadi sumber informasi adalah
penyandang cacat itu sendiri. Meskipun PPSBD (Pusat Pelayanan Sosial Bina
Daksa) Wirajaya Makassar telah berpengalaman dalam menangani klien, tetapi
mahasiswa kessos juga mampu melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan
pekerja sosial tersebut. Walau pengalaman dilapangan masih minim, tetapi
teori-teori yang didapatkan dibangku perkuliahan yang dipadukan dengan realitas
yang terlihat di jalan menjadi patokan dan bisa menjadi bahan acuan bagi
pekerja sosial untuk menjalankan profesinya.
Agar tidak terjebak pada dikotomi berfikir, maka
seluruh aspek, baik kebijakan pemerintah melalui Kementerian Sosial, kepala Panti
Sosial Bina Daksa Wirajaya Makassar, proses pelayanan profesi Pekerja
Sosial, maupun anak didik yang dalam hal ini adalah Klien PSBD
Wjrajaya Makassar, harus memberikan informasi yang jelas tentang aplikasi
perencanaan peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat di PSBD Wjrajaya
Makassar.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari uraian di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan proposal ini, yaitu : “Bagaimana Perencanaan Peningkatan
Kesejahteraan Sosial di Panti Sosial Bina Daksa Wirajaya Makassar terhadap
Penyandang Cacat Tubuh di Makassar, dengan sub masalah sebagai berikut:
1. upaya-upaya
apa yang dilakukan Panti Sosial Bina Daksa Wirajaya Makassar dalam meningkatkan
kesejahteraan Penyandang cacat Tubuh?
2. Bagaimana
penyusunan dan penerapan Perencanaan Peningkatan Kesejahteraan social
Penyandang Cacat di Panti Sosial Bina Daksa dalam melayani anak didiknya.
3.
Masalah-masalah apa yang dihadapi Panti Sosial Bina Daksa Wirajaya Makassar
dalam meningkatkan kesejahteraan penyandang cacat tubuh?
C. Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas,
maka penulis dapat menggambarkan Hipotesa atau jawaban sementara sebagai
berikut:
1.
Masalah yang dihadapi oleh Panti Sosial Bina Daksa Wirajaya
Makassar dalam meningkatkan kesejahteraan Sosial penyandang cacat tubuh adalah:
a.
Pekerja sosial professional yang sangat minim.
b.
Jenis keterampilan kerja yang tersedia dalam panti terbatas
sehingga bakat anak didik (penyandang cacat tubuh) kurang tersalurkan secara
maksimal.
2.
Panti Sosial Bina Daksa Wirajaya Makassar belum mempunyai
perencanaan peningkatan kesejahteraan bagi warga binaan dipanti tersebut secara
optimal.
D. Ruang Lingkup Penelitian
Untuk memperjelas arah dan maksud pembahasan,
maka penulis akan menguraikan secara rinci pengertian beberapa kata yang
terdapat dalam judul “Perencanaan Peningkatan Kesejahteraan Sosial Panti
Sosial Bina Daksa Wirajaya Makassar terhadap penyandang Cacat Tubuh” yakni:
1.
Perencanaan merupakan proses mendefinisikan
tujuan organisasi, membuat strategi untuk mencapai tujuan itu, dan
mengembangkan rencana aktivitas kerja organisasi. Perencanaan merupakan proses
terpenting dari semua fungsi manajemen karena
tanpa perencanaan fungsi-fungsi pengorganisasian, pengarahan, dan pengontrolan tak
akan dapat berjalan[4]. Dalam kamus besar
bahasa Indonesia, perencanaan diartikan sebagai proses, cara atau
perbuatan merencanakan[5].
Beberapa
ahli memberikan pengertian dan definisi Perencanaan, adapun pandangan para ahli
tersebut adalah Charles J.Keating mengemukakan bahwa Perencanaan adalah
berfikir ke depan mengenai jalannya kegiatan dengan mengerti betul-betul
tentang segala faktor yang tersangkut dan ditujukan kepada sasaran tertentu dan
terukur[6]. T.Hani Handoko
mengemukakan bahwa Perencanaan adalah pemilihan sekumpulan kegiatan dan
pemutusan selanjutnya apa yang harus dilakukan, kapan, dimana, bagaimana dan
oleh siapa[7]. Perencanaan juga
dikemukakan oleh Bintoro Tjokroamidjojo : “perencanaan merupakan proses
mempersiapkan serangkaian kegiatan secara sistematis, yang akan
diimplemen-tasikan untuk mencapai tujuan tertentu[8]”. Ahli lain yaitu
Kaufman juga memberikan pengertian bahwa “perencanaan adalah suatu proyeksi
tentang apa yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan secara sahih dan
berdaya guna”.
2.
Kesejahteraan Sosial, terdapat
beberapa pengertian dan definisi oleh para ahli, diantranya adalah Segel dan Bruzy
(1998:8), “Kesejahteraan sosial adalah kondisi sejahtera dari suatu masyarakat.
Kesejahteraan sosial meliputi kesehatan, keadaan ekonomi, kebahagiaan, dan
kualitas hidup rakyat”. Sedangkan menurut Midgley (1995:14) menjelaskan
bahwa kesejahteraan sosial adalah suatu keadaan sejahtera secara sosial
tersusun dari tiga unsur sebagai berikut. Pertama, bagaimana masalah-masalah
sosial dikendalikan?, kedua, seluas apa kebutuhan-kebutuhan dipenuhi? dan,
ketiga, bagaimana menyediakan sarana untuk maju tersedia. Tiga unsur ini
berlaku bagi individu-individu, keluarga,-keluarga, komunitas-komunitas, dan
bahkan seluruh masyarakat. Wilensky dan Lebeaux (1965:138)
merumuskan kesejahteraan sosial sebagai sistem yang terorganisasi dari
pelayanan-pelayanan dan lembaga-lembaga sosial, yang dirancang untuk membantu
individu-individu dan kelompok-kelompok agar mencapai tingkat hidup dan
kesehatan yang memuaskan. Maksudnya agar tercipta hubungan-hubungan personal
dan sosial yang memberi kesempatan kepada individu-individu pengembangan
kemampuan-kemampuan mereka seluas-luasnya dan meningkatkan kesejahteraan mereka
sesua dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat[9].
3.
Panti adalah tempat mengasuh, tempat memelihara, mendidik dan mengajar
anak (orang tertentu dalam kasus).[10] Sosial adalah
istilah untuk segala sesuatu yang menyagkut aspek hidup masyarakat.[11] Jadi panti sosial
dapat diartikan sebagai tempat pelayanan kesejahteraan masyarakat tempat
memelihara, mendidik dan mengajar beberapa kasus dari penyandang masalah
kesejahteraan Sosial.
4. Bina Daksa (nama panti sosial)
adalah Panti Sosial yang memberi pelayanan sosial
dasar untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien, meliputi : makan, tempat
tinggal, pakaian, pendidikan, dan kesehatan yang terkhusu
kepada penyandang cacat tubuh dan berumur di atas 17 tahun
5. Cacat
adalah kekurangan yang menyebabkan nilai dan mutunya berkurang, sedangkan cacat
tubuh adalah kerusakan pada tubuh seseorang, baik badan maupun anggota badan,
baik kehilangan fisik, ketidaknormalan bentuk mapun kurangnya fungsi karena
bawaan sejak lahir atau karena gangguan penyakit semasa hidupnya sehingga
timbul keterbatasan yang nyata untuk melaksanakan tugas hidup dan penyesuaian
diri.[12]
Mengenai
Cacat, Departemen Sosial membagi kedalam dua bagian penyandang masalah
kesejahteraan sosial (PMKS), yaitu anak cacat dan penyandang cacat. Anak yang
berusia 5-18 tahun yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat
menggangu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan
aktivitas secara layak, yang terdiri dari : penyandang cacat fisik, penyandang
cacat mental, penyandang cacat fisik dan mental (PMKS thn. Sampai tahun 2005)
selanjutnya Dinas Sosial mendefinisikan anak cacat sebagai anak yang berusia
5-21 tahun yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu
atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan aktivitas
sebagaimana layaknya, yang terdiri dari penyandang cacat fisik, penyandang
cacat mental, penyandang cacat fisik dan mental.
Selain anak cacat, dalam PMKS ada juga yang
namanya penyandang cacat yaitu setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan
atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan
baginya untuk melakukan sesuatu secara layaknya yang terdiri dari : penyandang
cacat fisik (penyandang cacat mata/tunanetra dan penyandang cacat
rungu/wicara), penyandang cacat mental (penyandang cacat mental eks psikotik
dan penyandang cacat mental retardasi): penyandang cacat fisik dan mental.[13] Seseorang yang mengalami kelainan fisik atau mental sebagai
akibat dari bawaan sejak lahir maupun lingkungan
(kecelakaan) sehingga menjadi hambatan untuk melakukan
kegiatan sehari-hari secara layak. Penyandang cacat
terdiri dari penyandang Cacat
fisik, penyandang cacat mental, penyandang cacat
fisik dan mental terdekatnya, dan terancam baik
secara fisik maupun non fisik.
E.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.
Tujuan Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan oleh seseorang ataupun
lembaga pada dasarnya memiliki tujuan tertentu, adapun tujuan dari penelitian
ini adalah:
a.
Untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi oleh Panti Sosial
Bina Daksa Wirajaya Makassar dalam meningkatkan Kesejahteraan Sosial Penyandang
Cacat Tubuh.
b.
Untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi oleh Panti Sosial
Bina Daksa Wirajaya Makassar dalam melayani kliennya.
c.
Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan oleh Panti Sosial Bina
Daksa Wirajaya Makassar dalam melakukan peningkatan kesejahteraan sosial anak
didiknya.
2.
Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari
penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.
Memberikn informasi tentang bagaimana aplikasi perencanaan
peningkatan kesejahteraan Sosial Panti Sosial Bina Daksa Wirajaya terhadap
penyandang cacat tubuh di Makassar.
b.
Memberikan informasi atau data seputar masalah-masalah yang
dihadapi Panti Sosial Bina Daksa Wirjaya Makassar dalam menigkatkan
kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat Tubuh.
F.
Tinjauan Pustaka
Pada skripsi yang berjudul Perencanaan
Peningkatan Kesejahteraan Sosial Panti Sosial Bina Daksa Wirajaya Makassar, penulis
mengemukakan beberapa literatur sebagai berikut:
1.
Kesejahteraan Sosial adalah kondisi
terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat
hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi
sosialnya.[14]
2.
Konsisten
dengan visi, misi, strategi dan agenda pokok pembangunan nasional jangka
menengah, di bidang kesejahteraan sosial dirumuskan arah dan tujuan sebagai
berikut:[15]
a.
Arah
i.
Peningkatan kualitas hidup
dan akses seluas-luasnya bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial terhadap
pelayanan sosial dasar dan fasilitas umum serta sumber daya sosial-ekonomi,
seiring dengan meningkatnya kepedulian masyarakat dalam pembangunan di bidang
kesejahteraan sosial.
ii.
Peningkatan pendayagunaan
potensi dan sumber-sumber sosial masyarakat, meliputi tenaga kesejahteraan
sosial masyarakat (TKSM) dan relawan sosial, organisasi sosial kemasyarakatan
dan LSM, karang taruna dan organisasi kepemudaan, kalangan dunia usaha dan kelompok
usaha produktif, lembaga perlindungan sosial dan lembaga sumbangan sosial
masyarakat.
iii.
Peningkatan aksesibilitas
terhadap sumber daya alam dan sumber daya iptek, sebagai hasil kinerja
penerapan profesi pekerjaan sosial dan pengamalan kepedulian sosial yang
didasari oleh nilai-nilai kesetiakawanan sosial dalam bentuk ketahanan sosial
guna mencegah dan menangani masalah serta memperbaiki kualitas hidup dan taraf
kesejahteraan sosial para penyandang masalah.
iv.
Peningkatan dukungan
terhadap terwujudnya rasa aman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
v.
Peningkatan kualitas
manajemen pelayanan kesejahteraan sosial dalam mendayagunakan sumber-sumber
kesejahteraan sosial untuk mencegah, mengendalikan dan mengatasi permasalahan
sosial, dampak negatif globalisasi dan industrialisasi, serta beragam krisis
yang mungkin terjadi.
b. Tujuan
i.
Tujuan pembangunan
kesejahteraan sosial adalah meningkatnya kualitas hidup penyandang masalah
kesejahteraan sosial dan kepedulian serta partisipasi sosial masyarakat, dunia
usaha, dengan indikator: (1) terciptanya aksesibilitas terhadap pelayanan
sosial, (2) meningkatnya ketahanan sosial masyarakat dalam mencegah dan
menangani masalah kesejahteraan sosial, (3) meningkatnya kualitas manajemen
pelayanan kesejahteraan sosial.
3.
Banyak
penyandang cacat yang memiliki kemampuan melebihi potensi orang-orang yang
dilahirkan sempurna[16]
4.
Bagi
penyandang cacat bekerja menunjukkan kemandirian dan pengakuan serta
penghargaan akan kemampuan mereka. Tanpa dunia usaha, akan sulit mewujudkan
kemandirian bagi penyandang cacat[17]
5.
Untuk
membina dan mengembangkan para penderita cacat tubuh menjadi manusia yang
berharga dan mampu berinteraksi dalam pembangunan.[18]
G.
Metodologi Penelitian
Sebagaimana layaknya suatu penelitian ilmiah,
maka penelititan tersebut memiliki objek yang jelas untuk mendapatkan
data yang autentik, teknik pengumpulan data dan analisis data yang akurat, maka
dalam skripsi ini penulis menggunakan metode Penelitian sebagai berikut:
- Populasi dan Sample
- Populasi
Populasi pada Panti
Sosial Bina Daksa Wirajaya Makassar terdiri atas
-
Birokrasi dan Pekerja Sosial sebanyak 30 Orang.
-
Anak didik sebanyak 120 Orang
- Sampel
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik
proportional sampling yaitu suatu teknik penentuan sampel dengan melihat
dan mempertimbangkan kondisi beberapa unsur yang ada pada populasi tersebut.
Karena itu penulis memilih 17 sampel klien dan 7 informan pekerja sosial di
PSBD Wirajaya Makassar, yang dianggap dapat mewakili seluruh populasi yang ada
dengan pertimbangan bahwa seluruh sampel terpilih tersebut dapat memberikan
data yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas. Sampel-sampel
tersebut diambil 17 klien karena jumlah tersebut dianggap dapat memenuhi
keseluruhan klien yang jumlahnya lebih dari 100 orang, sedangkan 7 pekerja
sosial karena PSBD memiliki 7 jenis keterampilan yang tersedia dan
masing-masing dibina oleh pekerja sosial yang berbeda.
Sebagaimana lazimnya dalam suatu penelitian
ilmiah, tidak semua populasi dapat diteliti, tetapi dapat dilakukan sebagian
saja dari populasi tersebut. Hal ini disebabkan karena pertimbangan bahwa
peneliti mengalami keterbatasan waktu, biaya dan tenaga serta kemampuan
sehingga penelitian yang dilakukan itu bukan terhadap populasi tetapi
berdasarkan sampel.
2. Metode
Pengumpulan Data
a.
Observasi
Pengamatan ini dilakukan dengan cara observasi
partisipan, yaitu dengan menggunakan alat bantu berupa alat tulis
menulis. Peneliti memperhatikan segala hal yang erat kaitannya dengan
Masalah yang dihadapi oleh Klien dan Pekerja Sosial di PSBD Wirajaya Makassar.
Pada pengamatan ini, instrument yang dibutuhkan adalah kamera, buku tulis,
pulpen, serta alat pengolahan data.
b.
Wawancara
Dalam mengumpulkan data, penulis mengadakan
wawancara mendalam melalui dari keterangan informan pangkal yang dapat
memberikan kepada peneliti petunjuk lebih lanjut tentang adanya Indvidu lain
dalam masyarakat yang dapat memberikan berbagai informasi atau keterangan
lebih lanjut yang diperlukan.
Instrument yang digunakan pada penelitian ini
adalah questiner, alat perekam suara, pulpen dan kertas.
c.
Angket
Angket (questioner) adalah sejumlah
pertanyaan yang tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari
responden. Kuesioner dipakai untuk menebut metode instrumen. Jadi dalam
menggunakan metode angket atau kuesioner, instrumen yang dipakai adalah angket
atau kuesioner. Instrumen tersebut bermacam-macam, ada angket terbuka dan
tertutup, ada angket pilihan ganda, isian, chek list (daftar cek), dan
skala bertingkat. Adapun instrumennya adalah kertas, pulpen, dan lembar isisan
angket.
3.
Teknik Analisis Data
Mayoritas data yang dipergunakan dalam
pembahasan skripsi ini bersifat kualitatif. Oleh karena itu, dalam
memperoleh data tersebut dipergunakan metode pengolahan data yang
sifatnya kualitatif. Demikian pula dalam menganalisa data yang telah dikumpulkan
juga tidak digunakan teknik analisa data yang sifatnya static. Sehingga dalam
mengelolah data, maka teknik analisis yang digunakan antara lain sebagai
berikut:
a. Analisis
Induktif, yaitu
suatu teknik berpikir atau menganalisa data dari masalah yang bersifat khusus (micro)
kemudian menarik kesimpulan secara umum (makro). Dalam hal ini, sutrisno
hadi menjelaskan bahwa : berpikir induktif berangkat dari fakta yang khusus,
peristiwa yang konkrit , kemudian ditarik generalisasi yang bersifat umum.[19]
b. Analisis
Deduktif,
yaitu menganalisah data dengan jalan mengawali dari masalah-masalah yang
bersifat umum kemudian menarik kesimpulan secara khusus. Atau dengan kata lain
bahwa metode deduktif ini berangkat dari pengetahuan-pengetahuan yang bersifat
umum, kemudian menarik kesimpulan yang bersifat khusus.[20]
c. Analisis
Komparatif, artinya menganalisa data dengan jalan membandingkan antara satu
pendapat atau data dengan data dan pendapat yang lain kemudian menarik
kesimpulan. Jadi dalam menganalisa data yang telah dikumpulkan penulis hanya
menggunakan teknik analisis data yang sifatnya perbandingan.[21]
Dalam metode komparatif inilah makanya
penelitian variable-variabel tertentu yang berkaitan dengan perencanaan
peningkatan kesejateraan sosial Panti Sosial Bina Daksa Wirajaya Makassar.
H. Garis-garis besar isi skripsi
Untuk memudahkan memahami dan membahas judul ini
maka penulis akan memberikan gambaran umum dalam bentuk garis-garis besar isi
skripsi yaitu :
Bab I adalah bab pendahuluan yang dimulai dengan
latarbelakang masalah, rumusan dan batasan masalah, hipotesis, pengertian
judul, tujuan dan kegunaan penelitian dan garis-garis besar isi skripsi.
Bab II membahas tentang tinjauan pustaka yang
meliputi pengertian Perencanaan Peningkatan Kesejahteraan Sosial, dasar,
tujuan, konsep kesejahteraan sosial serta dasar hukum perlindungan penyandang
cacat oleh pemerintah melalui kementrian sosial, khususnya panti sosial bina
daksa wirajaya Makassar yang khusus menangani masalah penyandang cacat di
Indonesia Timur.
Bab III membahas tentang metode penelitian
meliputi populasi dan sampel, instrument penelitian, prosedur penelitian,
prosedur pengumpulan data dan teknik analisis data
Bab IV membahas tentang uraian hasil penelitian
yang meliputi aplikasi perencanaan sosial terhadap penyandang cacat tubuh,
akibat-akibat yang ditimbulkan oleh pemberian konseling terhadap penyandang
cacat serta upaya-upaya apa yang dilakukan oleh Pekerja Sosial Panti Sosial
Bina DaksaWirajaya untuk meningkatkan kesejahteraan penyandang cacat tubuh di
Makassar.
Bab V adalah bab penutup yang terdiri dari
kesimpulan dan saran.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN
HALAMAN PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
ABSTRAK
BAB I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
B.
Rumusan Masalah
C.
Hipotesis
D.
Ruang Lingkup Penelitian
E.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
F.
Garis-garis Besar isi Skripsi
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
Defenisi
B.
Dasar, Tujuan, Hukum dan
C.
Problematika Penyandang Cacat
D.
Konsep Pekerja Sosial
BAB III. METODE
PENELITIAN
A.
Populasi dan Sampel
B.
Teknik Pengumpulan Data
C.
Metode Pengumpulan Data
D. Teknik
Analisis Data
BAB IV. HASIL PENELITIAN
BAB V. PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
Daftar Pustaka
Lampiran
DAFTAR PUSTAKA
Bungin,
Burhan. Metodologi Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Kebijakan Publik, dan
Ilmu Sosial Lainnya (Cet I; Jakarta: Kencana Pranada Media Group, April
2007)
Bungin,
Burhan. Metodologi Penelitian Kuantitatif, Komunikasi, Kebijakan Publik, dan
Ilmu Sosial Lainnya (Edisi I, Cet III; Jakarta: Kencana Pranada Media
Group, 2008)
Arikunto,
Suharismi. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Proposal (Cet. X;
Jakarta: Rineka Cipta 1996)
Hadari
Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Cet VIII; Yogyakarta: Gajah
Mada University Press)
Subagyo,
Joko. Metode Penelitian Teori dan Praktek, (Cet. II; Jakarta: Rineka
Cipta, 1997)
Waristo,
Herman. Pengantar Metodologi Penelitian (Jakarta: Graedia Pustaka Utama,
1992)
Kitab
Suci Al Qur’an, Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan
Terjemahannya (Semarang: PT. Karya Toha Putra 2002)
Alwi,
Hasan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke Tiga, (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pustaka 2002)
Waluyo,
dkk. Kamus Bahasa Indonesia Edisi Lengkap, (Jakarta: Kreasi Media Cet I
2005)
Mardalis,
Metode Penelitian, Suatu pendekatan Proposal, Cet. V; Jakarta, Bumi
Aksara, 2002.
Husaini
Usma dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Cet. IV;
Jakarta: Bumi Aksara, 2001)
Budhy Tjahjati Sugijanto Soegijoko, B. S.
Kusbiantoro Perencanaan pembangunan di Indonesia, (Gramedia Widiasarana
Indonesia, 1997)
Hastuti,
Pudji. (Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial), Petunjuk
Pelaksanaan Pelayanan Sosial Anak Terlantar Luar Panti. (Departemen Sosial
Republik Indonesia, Direktorat Jendral Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial,
Direktorat Bina Sosial Pelayanan Anak. 2005)
Pusdiklat Pegawai Depsos RI (2005), Modul
Diklat Jabatan Fungsional PekerjaSosial Tingkat Ahli Muda, Jakarta. http: / www. policy. hu /
suharto / Naskah% 20PDF / UIN Yogya Paradigma Kesos.
pdf
[1] Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-qur’an
& Terjemahannya (cet ke 3,
Depag. h.745
[2] . Dinas Sosial dan Tenaga Kerja kabupaten Kuningan. Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial,
http://www.kuningankab.go.id/sosial-kemasyarakatan/penyandang-masalah-kesejahteraan-sosial
(20 maret 2011)
3. merrylusianaoktaviani Upaya Pemberian LayananPendidikan Khusushttp://merrylusianaoktaviani.wordpress.com/page/3/ (28 april 2011)
[4]. Ensiklopedia bebas, Wikipedia Indonesia Bebas
Does Business Planning Facilitate the Development of New Ventures" Strategic
Management Journal, December 2003
[8]. Sistem penyelenggaraan pemerintahan negara sistem
administrasi negara Republik Indonesia, internet, google searh engine
perencanaan organisasi Des 2010.
agustus 2010
[13] . www.bappenas.go.id/get-file-server/node/8429 , Data Kegiatan Pemberdayaan
Kelembagaan Kesejahteraan Sosial, Tahun 2004—2009
[15].
Arah, tujuan, visi, misi,
kebijakan dan strategi Pembangunan kesejahteraan
sosialhttp://perencanaan.depsos.go.id/dtbs/slot/analisis/renstra_kl/06190513112007_
bab%2036.pdf (mei 2011)
[16] (UNDANG-undang no.4 Tahun 1997).
[17] Salim Segaf Al Jufri, Societa. Informasi
Pembangunan Kessos 2010 h.35
[18]
ibid
[19]. Suharismi Arikunto, Prosedur Penelitian suatu
Pendekatan Proposal (Cet. X; Jakarta: Rineka Cipta 1996), h.128
Comments
Post a Comment
شُكْرًا كَثِرًا
Mohon titip Komentarnya yah!!
وَالسَّلامُ عَليْكُم