Jilbab
(Kajian Tafsir)
Oleh:
Abdul Haris
Mubarak (0007 03 30 2012)
I.
PENDAHULUAN
A.
Latarbelakang
Masalah
Budaya manusia tidak selalu sama
antara satu tempat dengan tempat lainnya, bahkan kebudayaan itu senantiasa
berubah dari generasi ke generasi secara turun temurun.
Kalau ajaran Islam benar-benar
diyakini keuniversalannya, tentu keberlakuannya tidak terikat oleh tempat
tententu dan waktu tertentu dari generasi ke generasi. Hanya saja, Nabi saw yang
diutus untuk membawa ajaran Islam itu harus dilihat poisinya yang multi
dimensi.
Dalam
kehidupan muamalah sehari-hari, aspek perbedaan yang paling menonjol dari
sejumlah budaya dan tradisi masyarakat yang bersifat simbolis, antara lain
adalah busana. Syariat Islam mewajibkan kaum muslimin memakai busana yang
menutup aurat dan sopan, baik laki-laki maupun perempuan. Aurat laki-laki cukup
sederhana, berdasarkan ijma ulama, auratnya sebatas antara lutut dan di atas
pusat (bayn al-surrat wa al-ruqbatayn). Sedang aurat wanita adalah
segenap tubuhnya kecuali muka, telapak tangan dan telapak kakinya. Bahkan ada
pendapat yang mengatakan bahwa seluruh tubuh wanita tanpa kecuali adalah aurat[1]
Walaupun
demikian, tampak di kalangan ulama masih berbeda-beda dalam menginterpretasikan
budaya berpakaian secara Islami, khususnya kaidah-kaidah tentang batas aurat
itu sendiri. Berdasar pada latar belakang sebagaimana yang telah diuraikan di
atas, maka sangat menarik apabila persoalan budaya berbusana yaitu jilbab tersebut
dikaji berdasarkan pendekatan ijtihadi.
Saat
ini banyak kaum wanita yang menggunakan jilbab dan seakan-akan menjadi tren
modern. Jilbab yang
digunakan pun beraneka ragam. Mulai dari jilbab gaul sampai jilbab syar’i. Lalu
bagaimanakah sebenarnya jilbab dalam pandangan Islam? Ketika masyarakat kita mengenal kata “jilbab” (dalam bahasa Indonesia) maka yang
dimaksud adalah penutup kepala dan leher bagi wanita muslimah yang dipakai
secara khusus dan dalam bentuk yang khusus pula.[2]
Mungkin kita juga pernah mendengar wacana kalau berjilbab
maka harus menutup dada, lalu bagaimana kalau jilbabnya berukuran kecil dan
tidak panjang ke dada dan lengan, apakah muslimah yang memakainya belum
terhitung melaksanakan seruan agama dalam Al-Qur’an, itu sebab tidak ada bedanya antara dia
dan wanita yang belum memakai jilbab sama sekali, apakah sama dengan wanita
yang membuka auratnya (bagian badan yang wajib di tutup dan haram di lihat
selain mahram).
Dari uraian
di atas tampak jelas kalau jilbab
yang dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan arti atau bentuk yang sudah
berubah dari arti asli jilbab itu sendiri, dan perubahan yang demikian ini
adalah bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah sebab
perjalanan waktu dari masa Nabi Muhammad SAW sampai sekarang atau disebabkan jarak
antar tempat dan komunitas masyarakat yang berbeda yang tentu mempunyai
peradaban atau kebudayaan berpakaian yang berbeda.
B.
Rumusan
Masalah
Bersandar pada Latarbelakang Masalah di atas, dapat ditarik
suatu permasalahan yaitu, “Bagaimana tafsir surat Al-Ahzab ayat 59, tentang
perintah berjilbab?”. Dari permasalahan tersebut, dapat dirumuskan beberapa sub
masalah berikut ini yaitu:
1.
Bagaimana pendapat para ahli tafsir
tentang surat Al-Ahzab ayat 59?,
2.
Persoalan apa yang diretas oleh surat
Al-Ahzab ayat 59 yang memerintahkan wanita muslim menggunakan jilbab?.
II.
PEMBAHASAN
Jilbab yang dikenal
secara umum oleh masyarakat Indonesia adalah kain penutup aurat rambut (yang
dikenakan wanita Islam/muslimah).[3]
Arti kata yang dikutif dari kamus tersebut tidaklah sempurna sehingga masih
membutuhkan beberapa pengertian oleh penafsir maupun para ahli. Beberapa
pendapat tentang arti atau definisi Jilbab berikut ini.
Jilbab berarti
selendang yang lebih lebar daripada kerudung. Demikianlah
menurut Ibnu mas`ud, Ubaidah, Qatadah, dan
sebagainya.Kalau sekarang, jilbab itu
seperti kain panjang. Al-Jauhari
berkata, "Jilbab
ialah kain yang dapat di lipatkan."[4]
Terdapat beberapa pengertian yang diberikan para ulama mengenai kata jilbab.
Ibnu Abbas menafsirkannya sebagai ar-ridâ' (mantel) yang menutup tubuh
dari atas hingga bawah. Al-Qasimi menggambarkan, ar-ridâ' itu seperti as-sirdâb
(terowongan). Adapun menurut al-Qurthubi, Ibnu al-'Arabi, dan an-Nasafi jilbab
adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh. Ada juga yang mengartikannya
sebagai milhafah (baju kurung yang longgar dan tidak tipis) dan semua
yang menutupi, baik berupa pakaian maupun lainnya. Sebagian lainnya memahaminya
sebagai mulâ'ah (baju kurung) yang menutupi wanita atau al-qamîsh
(baju gamis).
Meskipun berbeda-beda, semua makna yang dimaksud itu tidak salah. Bahwa
jilbab adalah setiap pakaian longgar yang menutupi pakaian yang biasa dikenakan
dalam keseharian, hal tersebut bisa
dipahami dari Hadist berikut ini.:
“Nabi saw. bersabda “tidaklah halal
bagi seorang perempuan yang percaya kepada Allah dan hari kemudian dan telah
haid untuk menampakkan kecuali wajahnya dan tangannya sampai di sini (lalu
beliau memegang setengah lengan beliau)” (H.R.
Jabir at-Thabari)”[5]
Hadis ini, di samping, menunjukkan kewajiban wanita untuk mengenakan jilbab
ketika hendak keluar rumah, juga memberikan batasan tentang jilbab; bahwa yang dimaksud dengan jilbab bukanlah
pakaian sehari-hari yang biasa dikenakan dalam rumah. Sebab, jika disebutkan
ada seorang wanita yang tidak memiliki jilbab, tidak mungkin wanita itu
tidak memiliki pakaian yang biasa dikenakan dalam rumah. Tentu ia sudah
memiliki pakaian, tetapi pakaiannya itu tidak terkategori sebagai jilbab.
Ali Bin Abi Thalhah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas,dia berkata,"Allah menuyruh kaum wanita
mukmin, jika mereka
hendak keluar rumah untuk suatu kepentingan, agar menutup
wajah mereka mulai dari atas kepala dengan jilbab. Yang boleh
tampak hanyalah kedua matanya saja."[6]
A.
TAFSIR SURAT AL-AHZAB AYAT 59
i.
Terjemah Surat Al-Ahzab ayat 59
“Wahai Nabi! katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya seluruh tubuh mereka.” Yang
demikian itu agar mereka
lebih mudah untuk dikenali, Sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah
adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”[7]
ii.
Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat
59
Allah Swt memerintahkan Nabi saw untuk menyampaikan suatu ketentuan bagi
para Muslimah. Ketentuan yang dibebankan kepada para wanita Mukmin itu adalah: yudnîna
'alayhinna min jalâbîbihinna (hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka). Kata jalâbîb merupakan bentuk jamak dari kata jilbâb.
Kata yudnîna merupakan bentuk mudhâri' dari kata adnâ.
Kata adnâ berasal dari kata danâ yang berarti bawah, rendah, atau
dekat. Dengan demikian, kata yudnîna bisa diartikan yurkhîna
(mengulurkan ke bawah). Meskipun kalimat ini berbentuk khabar (berita),
ia mengandung makna perintah; bisa pula sebagai jawaban atas perintah
sebelumnya.
Berkaitan dengan gambaran yudnîna 'alayhinna, terdapat perbedaan
pendapat di antara para mufassir. Menurut sebagian mufassir, idnâ' al-jilbâb
(mengulurkan jilbab) adalah dengan menutupkan jilbab pada kepala dan
wajahnya sehingga tidak tampak darinya kecuali hanya satu mata. Di antara yang
berpendapat demikian adalah Ibnu Abbas, Ibnu Sirrin, Abidah as-Salmani, dan
as-Sudi. Demikian juga dengan al-Jazairi, an-Nasafi, dan al-Baidhawi. Sebagian lainnya yang menyatakan, jilbab itu diikatkan di atas dahi
kemudian ditutupkan pada hidung. Sekalipun kedua matanya terlihat, jilbab
itu menutupi dada dan sebagian besar wajahnya. Demikian pendapat Ibnu Abbas
dalam riwayat lain dan Qatadah. Adapun menurut al-Hasan, jilbab
itu menutupi separuh wajahnya. [8]
Ada pula yang berpendapat, wajah tidak termasuk bagian yang ditutup dengan jilbab.
Menurut Ikrimah, jilbab itu menutup bagian leher dan mengulur ke bawah
menutupi tubuhnya, sementara bagian di atasnya ditutup dengan kerudung ‘yang juga diwajibkan (QS an-Nur [24]: 31).
“Katakanlah
kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya,
dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau
ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka,
atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki
mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam,
atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”[9]
Ada catatan penting tentang
batasan jilbab sebagaimana telah diuraikan sebelumnya yaitu “Wa lâ yubdîna zînatahunna illâ mâ zhahara minhâ” (dan janganlah mereka menampakkan kecuali
yang biasa tampak daripadanya). Menurut Ibn Jarir di dalam kitab tafsirnya mengartikan
“kecuali yang bisa tampak dari padanya” adalah wajah dan dua telapak
tangan. Ini adalah pendapat yang masyhur menurut jumhur ulama. Pendapat
yang sama juga dikemukakan Ibnu Umar, Atha', Ikrimah, Said bin Jubair, Abu
asy-Sya'tsa', adh-Dhuhak, Ibrahim an-Nakhai, dan al-Auza'i. Demikian
juga pendapat ath-Thabari, al-Jashash, dan Ibnu al-'Arabi.[10]
Pendapat yang senada dengan
pandangan Ibnu Jarir tersebut didasarkan pada ijma’ wajibnya seorang shalat
menutup auratnya, dan bahwa perempuan harus membuka wajah dan kedua tangannya
ketika shalat dan bagian tubuh lainnya harus tertutup.[11]
Kalau semua itu sudah menjadi ijma’, sebagaimana yang sama-sama kita ketahui,
maka berarti wanita dibolehkan membuka bagian badannya yang buka termasuk aurat
sebagaimana berlaku juga pada pria dengan ketentuannya. Meskipun ada perbedaan pendapat tentang wajah dan telapak tangan, para
mufassir sepakat bahwa jilbab yang dikenakan itu harus bisa menutupi seluruh
tubuhnya, termasuk di dalamnya telapak kaki. Hal ini didasarkan pada Hadis Nabi saw :
"Siapa saja yang menyeret bajunya lantaran angkuh, Allah tidak akan
melihatnya pada Hari Kiamat." Ummu Salamah bertanya, "Lalu bagaimana
dengan ujung-ujung pakaian kami?" Beliau menjawab, "Turunkanlah satu
jengkal." Ummu Salamah bertanya lagi, "Kalau begitu, telapak kakinya
tersingkap." Lalu Rasulullah saw. bersabda lagi, "Turunkanlah satu
hasta dan jangan lebih dari itu." (HR at-Tirmidzi).[12]
Berdasarkan hadis ini, jilbab yang diulurkan dari atas hingga bawah harus
bisa menutupi dua telapak kaki wanita. Dalam hal ini, para wanita tidak perlu
takut jilbabnya menjadi najis jika terkena tanah yang najis. Sebab, jika itu
terjadi, tanah yang dilewati berikutnya akan mensucikannya.
Tentang perintah memakai
Jilbab, sebagaimana termaktub dalam Q.S Al-Ahzab : 59, Allah Swt. berfirman: Dzâlika adnâ an yu'rafna falâ yu'dzayn (Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal sehingga mereka tidak
diganggu). Maksud kata dzâlika adalah ketentuan pemakaian jilbab
bagi wanita, sedangkan adnâ berarti aqrab (lebih dekat). Yang
dimaksud dengan lebih mudah dikenal itu bukan dalam hal siapanya, namun apa
statusnya. Dengan jilbab, seorang wanita merdeka lebih mudah dikenali
dan dibedakan dengan budak. Karena diketahui sebagai wanita merdeka, mereka pun
tidak diganggu dan disakiti.
Patut dicatat, hal itu bukanlah 'illat (sebab disyariatkannya hukum)
bagi kewajiban jilbab yang berimplikasi pada terjadinya perubahan hukum
jika illat-nya tidak ada. Itu hanyalah hikmah (hasil yang didapat dari
penerapan hukum). Artinya, kewajiban berjilbab, baik bisa membuat wanita
Mukmin lebih dikenal atau tidak, tidaklah berubah.
Ayat ini ditutup dengan ungkapan yang amat menenteramkan hati: Wa kâna
Allâh Ghafûra Rahîma (Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang). Karena
itu, tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak bertobat kepada-Nya jika telah
terlanjur melakukan perbuatan dosa dan tidak menaati aturan-Nya.
B.
Hikmah
Menggunakan Jilbab.
1. Asbabun Nuzul Q.S Al-Ahzab tentang perintah Berjilbab
Dikemukakan Said bin Manshur, Saad, Abd bin Humaid, Ibnu Mundzir, dan Ibnu
Abi Hatim yang bersumber dari Abi Malik: Dulu istri-istri Rasulullah saw.
keluar rumah untuk keperluan buang hajat. Pada waktu itu orang-orang munafik
mengganggu dan menyakiti mereka. Ketika mereka ditegur, mereka menjawab,
"Kami hanya mengganggu hamba sahaya saja." Lalu turunlah ayat ini yang
berisi perintah agar mereka berpakaian tertutup supaya berbeda dengan hamba
sahaya.[13]
Dari riwayat tersebut,
didapatkan keterangan bahwa menggunakan jilbab merupakan suatu kekuatan
simbolis kaum Mulimat. Itu dikarenakan hanya orang-orang yang tidak menggunakan
jilbab yang mendapat perlakuan tidak terhormat oleh orang-orang munafik.
2. Kajian Kontemporer Tentang Penggunaan Jilbab
Pemakalah menarik tolak ukur
pada penggunaan jilbab berdasarkan fungsi dan hikmahnya yaitu menjadikan wanita
muslimah lebih terhindar dari fitnah pelecehan seksual atau minimal
membangkitkan naluri seksual pada lawan jenisnya ketika menggunakan jilbab. Kalau
hal tersebut didasarkan pada kondisi masyarakat yang kebudayaannya cenderung
terbuka atau berpakaian minimalis, sementara hal itu tidak membangkitkan reaksi
dari lawan jenis maka itu dianggapnya sebagai suatu yang biasa-biasa saja.[14]
Anggapan tersebut tidak semestinya menjadi acuan untuk menggunakan jilbab,
yaitu sekedar meredam reaksi yang kurang beretika dari lawan jenis. Suatu perintah
suci tidaklah akan bergeser dari segi fungsi karena mereka yang kesehariannya
menggunakan jilbab sesungguhnya memiliki keistimewaan yaitu penghormatan dan
penghargaan dari orang lain. Ini pun dijamin oleh Allah sebagaimana telah
diterangkan pada dua ayat yang telah dibahas di atas.
3. Hikmah Menggunakan Jilbab
Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin mengatakan, “wahai saudara-saudaraku yang bertanggungjawab terhadap
wanita, sungguh telah menyebar di sebagian masyarakat dan dianggap remeh oleh
mereka bahwa anak-anak perempuan mereka menggunakan pakaian mini, yang ketat
dan menampakkan lekukan tubuh mereka. Atau menggunakan pakaian yang trasparan
warna kulit tubuhnya. Sesunggunya orang yang membiarkan putrid-putrinya
membiarkan menggunakan pakaian semacam ini dan menyetujuinya, maka pada
hakikatnya, ia telah menggunakan pakaian neraka.[15]
Menggunakan pakaian atau
busana merupakan kebiasaan yang dibawah sejak dari masa kanak-kanak. Dengan
demikian, untuk menggunakan pakaian yang beretika, dibutuhkan pembiasaan karena
membiasakan diri berarti memudahkan jalan untuk menggunakan jilbab. Sebagian
orang berdalih bahwa “mereka masih kecil dan tidak ada kewajiban untuk mereka
menutup aurat” dalih seperti ini bukan berarti menghalalkan segala hal. Sebab,
bila seorang anak perempuan sejak kecil menggungakan pakaian-pakaian semeberono,
maka ketika dewasa, ia akan terbiasa mengenakannya. Bila ia memakainya diwaktu
kecil, maka akan hilang rasa malu darinya dan menganggap remeh ketika ia
menyingkap betis dan pahanya. Sebab bila bagian-bagian tubuh ditutup sejak
dini, maka ia tidak akan berat untuk tetap melakukan hal yang sama ketika
dewasa, bahkan akan muncul rasa malu keti menggunakan pakaian terbuka ditempat
umum.
Ayat ini secara jelas memberikan ketentuan tentang pakaian yang wajib
dikenakan wanita Muslimah. Pakaian tersebut adalah jilbab yang menutup seluruh
tubuhnya. Bagi para wanita, mereka tak boleh merasa diperlakukan diskriminatif
sebagaimana kerap diteriakkan oleh pengajur feminisme. Faktanya, memang
terdapat perbedaan mencolok antara tubuh wanita dan tubuh laki-laki. Oleh karenanya,
wajar jika ketentuan terhadapnya pun berbeda. Keadilan tak selalu harus sama.
Jika memang faktanya memang berbeda, solusi terhadapnya pun juga tak harus
sama.
Penggunaan jilbab dalam kehidupan umum akan mendatangkan kebaikan bagi
semua pihak. Dengan tubuh yang tertutup jilbab, kehadiran wanita jelas tidak
akan membangkitkan birahi lawan jenisnya. Sebab, naluri seksual tidak akan
muncul dan menuntut pemenuhan jika tidak ada stimulus yang merangsangnya.
Dengan demikian, kewajiban berjilbab telah menutup salah satu celah yang dapat
mengantarkan manusia terjerumus ke dalam perzinaan; sebuah perbuatan
menjijikkan yang amat dilarang oleh Islam.
Walhasil, penutup ayat Q.S. Al-Ahzab ini harus menjadi catatan amat penting
dalam menyikapi kewajiban jilbab. Wa kânaLlâh Ghafûra Rahîma (Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang). Ini memberikan isyarat, kewajiban berjilbab
tersebut merupakan salah satu bentuk kasih sayang Allah Swt. kepada hamba-Nya.
Allah Ta`ala
menyuruh Rasulullah agar dia menyuruh wanita-wanita mukimin, terutama
istri-istri dan anak-anak perempuan beliau karena keterpandangan mereka, agar
mengulurkan jilbab keseluruh tubuh mereka. Sebab cara
berpakaian demikian membedakan mereka dari kaum jahiliah dan budak-budak
perempuan.
III. PENUTUP
Demikianlah
makalah ini dibuat, sebagai penutup, pemakalah dapat menyimpulkan beberapa poin
terkait dengan pembahasan makalah ini, diantara catatan penting tersebut,
adalah sebagai berikut:
1.
Jilbab adalah setiap pakaian longgar yang
menutupi pakaian yang biasa dikenakan dalam keseharian wanita muslim dan hukum menggunakannya adalah wajib.
Hal ini sesuai dengan penjelasan Q.S An-Nur (24) 30-31 dan beberapa penjelasan
Hadist yang telah dibahas.
2.
Diantara hikmah dari perintah menggunakan Jilbab bagi wanita Muslim adalah
karena beberapa persoalan sosial yang diretas atau bisa diatasi dengan
menggunkakan menggunakan jilbab, diantaranya ialah dapat menghindari
fitnah syahwat dan sebelihnya mengangkat derajat kaum wanita muslimat dari
perlakuan orang-orang munafik.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Albani, Syaikh Nasaruddin,
Jilbab Wanita Muslimah, Yogyakarta, Media Hidayah, Cet I; November 2002
Kitab Suci Al-Qur’an, Departemen Agama Republik
Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya,
Semarang; PT. Karya Toha Putra, 2002.
http://vanihayat.blogspot.com/ Tafsir Surat Al-Ahzab ; 59, Juni 2012
http://remajaislam-ikhlas.blogspot.com/2011/04/kewajiban.berjilbab.html Kewajiban Berjibab, Juni 2012
http://www.inpasonline.com/index.php?option=comcontent&view=article&id=93:jilbab. khilafiyah&catid=32:gender&Itemid=100.Jilbab,
Khilafiyah. (Kritik Terhadap Qurais Shihab). Juni 2012
Shihab, M. Quraish, Jilbab –
Pakaian Wanita Muslimah (Pandangan Ulama masa lalu & Cendikiawan
Kontemporer), Jakarta, Lentera Hati, Cet V; 2010
Talhah bin Abdus Sattar, Abu, Tata
Busana Para Salaf, (bagaimana gaya Berpakaian Nabi saw., Para Sahabat dan
Shahabiyah?), Solo, Zam-Zam Mata air ilmu, Cet I; 2008
Yassin, Sulchan, Kamus Lengkap
Bahasa Indonesia (KBI-SAKU) untuk Pelajar dan Umum.Surabaya; Penerbit
Amanah, 1997
[1] Shihab, M. Quraish, Jilbab – Pakaian Wanita Muslimah (Pandangan Ulama masa lalu &
Cendikiawan Kontemporer), Jakarta, Lentera Hati, Cet V; 2010. h. 69
[2] Drs.
Sulhan Yasyin, Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia (Untuk Peleajar dan Umum). Surabaya, Penerbit Amanah; Cet I,
1997. h. 207
[6] ibid
[7] Kitab
Suci Al-Qur’an, Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, Semarang; PT. Karya Toha Putra, 2002. h. 603
[9]
Kitab Suci Al-Qur’an, Departemen Agama Republik Indonesia, Op Cit. h. 493
[10] Al-Albani, Syaikh Nasaruddin, Jilbab Wanita Muslimah, Yogyakarta, Media Hidayah, Cet I;
November 2002. h. 49
[12] http://remajaislam-ikhlas.blogspot.com/2011/04/kewajiban-berjilbab.html Kewajiban Berjibab, Juni 2012
[14] http://www.inpasonline.com/index.php?option=com content&view= article&id=93 :jilbab.html// khilafiyah&catid=32:gender&Itemid=100. Jilbab, Khilafiyah. (Kritik Terhadap Qurais Shihab). Juni 2012
[15] Talhah bin Abdus Sattar, Abu, Tata Busana Para Salaf, (bagaimana gaya Berpakaian Nabi saw., Para
Sahabat dan Shahabiyah?), Solo, Zam-Zam Mata air ilmu, Cet I; 2008 h. 142
mohon sarannya yach untuk perbaikan karya tulis saya selanjutnya!
ReplyDeletemakalah ini direvisi berdasarkan hasil seminar di PPs Magister Pengkajian Islam Universitas Muslim Indonesia Makassar pada Tanggal 15 Juli 2012