BAB I
PENDAHULUAN
A. Latarbelakang Masalah
Nabi Muhammad saw. Tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan
menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat.
Beliau tampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum Muslimin untuk
menentukannya sendiri. Kaena itu, tidak lama setelah beliau wafat; belum lagi
jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokohMuhajirin dan Ashor Berkumpul dibalai
kota Bani Sa’dah, Madinah.
Mereka memusyawarahkan siapa yang akan
menjadi pemimpin. Musyawarah tersebut berjalan cukup alot karena masing-masing
pihak, baik pihak Muhajirin maupun Anshar merasa berhak menjadi pemimpin Umat
Islam, namun dengan semangat ukhuwah Islamiyah yang tinggi, akhirnya Abu Bakar
terpilih melalui musyawarah tersebut.[1]
Khalifah
Ali Ibnu Abi Thalib adalah Khalifah keempat setelah Khalifah Usman Ibnu Affan.
Nama lengkap beliau adalah Ali Ibnu Abi Thalib Ibnu Abdul Muthalib Ibnu Hasyim
Ibnu Abdi Manaf. Beliau lahir 32 tahun setelah kelahiran Rosulullah Saw. Dan
beliaupun termasuk anak asuh Nabi Muhammad Saw. Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib
boleh dibilang tangan kanan Nabi Muhammad Saw, ketika di Madinah.
Proses
pengangkatan beliau sebagai Khalifah yang mula-mula di tolak oleh beliau karena
situasi yang kurang tepat yang banyak terjadi kerusuhan disana sini. Dan karena
waktu itu masyarakat butuh pemimpin akhirnya karena desakan masyarakat untuk
menjadikan Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib menjadi pemimpin pun akhirnya diterima.
Pada tanggal 23 juni 656 Masehi, beliau resmi menjadi Khalifah.[2]
Yang
menjadi catatan bagi sosok khalifah seperti Ali Bin Abi Thalib adalah
pribadinya yang pernah menolak jadi Pemimpin Islam sebagaimana dikutif pada
uraian di atas. Olehnya itu, jika dibawa pada konteks kekinian, maka sangat
sulit kita mendapatkan sosok manusia yang menolak jadi pemimpin, bahkan yang
terjadi saat ini adalah kecenderungan untuk bersaing dan saling merebut
kekuasaan hingga pertumpahan dara atau menjual aqidah demi kekuasaan.
B. Rumusan Masalah
Berdasar
pada uraian latar belakang yang telah dipaparkan, maka permasalahan pokok yang
dijadikan obyek pembahasan dalam makalah ini adalah bagaimana sosok khalifah
Ali Bin Abi Thalib dan strateginya dalam menghadapi tantangan pada masa
pemerintahannya?
Agar
pembahasan ini dapat terarah dan tersistematis, maka pokok permasalahan di atas
dirinci ke dalam sub-sub masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana Sosok
Pribadi Ali Bin Abi Thalib selaku Khalifah?
2.
Bagaimana Strategi yang digunakan Oleh Khalifah Ali
Bin Abi Thalib dalam menghadapi tangatang pada masa pemerintahannya?
Sesuai dengan
permasalahan di atas, maka pembahasan ini bertujuan untuk menelusuri latar
belakang kekhalifaan Ali Bin Abi Thalib. Selanjutnya, akan dipaparkan strategi
kepemimpinan beliau dalam urusan agama dan negara.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Sosok Khalifak Ali Bin Abi Thalib
Ali Bin Abu Thalib
bin Abdul Muththalib, bin Hasyim, bin Abdi Manaf, bin Qushayy. Ibunya adalah:
Fathimah binti Asad, bin Hasyim, bin Abdi Manaf. Saudara-saudara kandungnya
adalah: Thalib, 'Uqail, Ja'far dan Ummu Hani.
Dengan demikian,
jelaslah, Ali adalah berdarah Hasyimi dari kedua
ibu-bapaknya. Keluarga Hasyim memiliki sejarah yang cemerlang dalam masyarakat Mekkah. Sebelum datangnya Islam, keluarga Hasyim terkenal sebagai keluarga yang mulia, penuh kasih sayang, dan pemegang kepemimpinan masyarakat. Ibunya adalah Fathimah binti Asad, yang kemudian menamakannya Haidarah. Haidarah adalah salah satu nama singa, sesuai dengan nama ayahnya: Asad (singa). Fathimah adalah salah seorang wanita yang terdahulu beriman dengan Risalah Nabi Muhammad Saw. Dia pula-lah yang telah mendidik Nabi Saw, dan menanggung hidupnya, setelah meninggalnya bapak-ibu beliau, Abdullah dan Aminah. Beliau kemudian membalas jasanya, dengan menanggung kehidupan Ali, untuk meringankan beban pamannya, Abu Thalib, pada saat mengalami kesulitan ekonomi. Saat Fathimah meninggal dunia, Rasulullah Saw yang mulai mengkafaninya dengan baju qamisnya, meletakkannya dalam kuburnya, dan menangisinya, sebagai tangisan seorang anak atas ibunya.[3] Dan karena penghormatan beliau kepadanya, maka beliau menamakan anaknya yang tersayang dengan namanya: Fathimah. Darinyalah kemudian mengalir nasab beliau yang mulia, yaitu anak-anaknya: Hasan, Husein, Zainab al Kubra dan Ummu Kultsum.
ibu-bapaknya. Keluarga Hasyim memiliki sejarah yang cemerlang dalam masyarakat Mekkah. Sebelum datangnya Islam, keluarga Hasyim terkenal sebagai keluarga yang mulia, penuh kasih sayang, dan pemegang kepemimpinan masyarakat. Ibunya adalah Fathimah binti Asad, yang kemudian menamakannya Haidarah. Haidarah adalah salah satu nama singa, sesuai dengan nama ayahnya: Asad (singa). Fathimah adalah salah seorang wanita yang terdahulu beriman dengan Risalah Nabi Muhammad Saw. Dia pula-lah yang telah mendidik Nabi Saw, dan menanggung hidupnya, setelah meninggalnya bapak-ibu beliau, Abdullah dan Aminah. Beliau kemudian membalas jasanya, dengan menanggung kehidupan Ali, untuk meringankan beban pamannya, Abu Thalib, pada saat mengalami kesulitan ekonomi. Saat Fathimah meninggal dunia, Rasulullah Saw yang mulai mengkafaninya dengan baju qamisnya, meletakkannya dalam kuburnya, dan menangisinya, sebagai tangisan seorang anak atas ibunya.[3] Dan karena penghormatan beliau kepadanya, maka beliau menamakan anaknya yang tersayang dengan namanya: Fathimah. Darinyalah kemudian mengalir nasab beliau yang mulia, yaitu anak-anaknya: Hasan, Husein, Zainab al Kubra dan Ummu Kultsum.
Haidarah
adalah nama Imam Ali yang dipilihkan oleh ibunya. Namun ayahnya menamakannya
dengan Ali, sehingga dia terkenal dengan dua nama tersebut, meskipun nama Ali
kemudian lebih terkenal. Anak-anaknya adalah: Hasan, Husein,
Zainab, Ummu Kultsum, dari Fathimah binti
Muhammad saw., seorang isteri yang tidak pernah diperlakukan buruk oleh Ali
r.a. selama hidupnya. Bahkan Ali tetap selalu mengingatnya setelah kematiannya. Ia juga mempunyai beberapa orang anak dari isteri-isterinya yang lain, yang ia kawini setelah wafatnya Fathimah r.a. Baik isteri dari kalangan wanita merdeka maupun hamba sahaya. Yaitu: Muhsin, Muhammad al Akbar, Abdullah al Akbar, Abu Bakar, Abbas, Utsman, Ja'far, Abdullah al Ashgar, Muhammad al Ashghar, Yahya, Aun, Umar, Muhammad al Awsath, Ummu Hani, Maimunah, Rahmlah ash Shugra, Zainab ash Shugra, Ummu Kaltsum ash Shugra, Fathimah, Umamah, Khadijah, Ummu al Karam, Ummu Salmah, Ummu Ja'far, Jumanah, dan Taqiyyah.
Muhammad saw., seorang isteri yang tidak pernah diperlakukan buruk oleh Ali
r.a. selama hidupnya. Bahkan Ali tetap selalu mengingatnya setelah kematiannya. Ia juga mempunyai beberapa orang anak dari isteri-isterinya yang lain, yang ia kawini setelah wafatnya Fathimah r.a. Baik isteri dari kalangan wanita merdeka maupun hamba sahaya. Yaitu: Muhsin, Muhammad al Akbar, Abdullah al Akbar, Abu Bakar, Abbas, Utsman, Ja'far, Abdullah al Ashgar, Muhammad al Ashghar, Yahya, Aun, Umar, Muhammad al Awsath, Ummu Hani, Maimunah, Rahmlah ash Shugra, Zainab ash Shugra, Ummu Kaltsum ash Shugra, Fathimah, Umamah, Khadijah, Ummu al Karam, Ummu Salmah, Ummu Ja'far, Jumanah, dan Taqiyyah.
KEKHILAFAHAN
‘ALI RA.
Setelah
‘Utsman ra. syahid, Ali ra. diangkat menjadi khalifah ke-4. Awalnya beliau ra.
menolak, namun akhirnya beliau ra. menerimanya. Imam Ahmad meriwayatkan dengan
sanad yang shahih dari Muhammad bin Al-Hanafiyah berkata: .....Sementara orang
banyak datang di belakangnya dan menggedor pintu dan segera memasuki rumah itu.
Kata mereka: "Beliau (Utsman ra.) telah terbunuh,
sementara rakyat harus punya khalifah, dan kami tidak mengetahui orang yang
paling berhak untuk itu kecuali anda (Ali ra.)". Ali ra. berkata kepada
mereka: "Janganlah kalian mengharapkan saya, karena saya lebih senang
menjadi wazir (pembantu) bagi kalian daripada menjadi Amir". Mereka
menjawab: "Tidak, demi Allah, kami tidak mengetahui ada orang yang lebih
berhak menjadi khalifah daripada engkau". ‘Ali ra. menjawab: "Jika
kalian tak menerima pendapatku dan tetap ingin membaiatku, maka baiat tersebut
hendaknya tidak bersifat rahasia, tetapi aku akan pergi ke masjid, maka siapa
yang bermaksud membaiatku maka berbaiatlah kepadaku". Pergilah ‘Ali ra. ke
masjid dan orang-orang berbaiat kepadanya.
Dalam Tarikh
Al-Ya’qubi dikatakan: ‘Ali bin Abi Thalib (ra.) menggantikan ‘Utsman sebagai
khalifah... dan dia (ra.) dibaiat oleh Thalhah (ra.), Zubair (ra.), Kaum
Muhajirin dan Anshar (radhiyaLlahu anhum). Sedangkan orang yang pertama
kali membaiat dan menjabat tangannya adalah Thalhah bin Ubaidillah (ra.).
Imam Ahmad,
Abu Daud dan At-Tirmidzy mentakhrij hadits berasal dari Safinah ra., ia
berkata: Aku mendengar RasuluLlah saw. bersabda:
Kekhilafahan
berlangsung selama 30 tahun dan setelah itu adalah kerajaan.” Safinah ra.
berkata: “Mari kita hitung, Khilafah Abu Bakar ra. berlangsung 2 tahun,
Khilafah ‘Umar ra. 10 tahun, Khilafah ‘Utsman ra. 12 tahun, dan Khilafah ‘Ali
ra. 6 tahun.”
Ali ra.
bekerja keras pada masa kekhilafahannya guna mengembalikan stabilitas dalam
tubuh umat setelah sebelumnya Ibnu Saba’dan Sabaiyahnya melancarkan konspirasi
dan provokasinya guna menghancurkan Islam dari dalam. Pada masa kekepemimpinan
Ali ra. ini, Ibnu Saba dan Sabaiyah nya pun kembali melancarkan konspirasi dan
makar mereka, sehingga membuat keadaan menjadi semakin rumit. Diriwayatkan
bahwa pada akhirnya ‘Ali ra. membakar banyak dari pengikut Sabaiyah ini dan
juga mengasingkan Ibnu Saba’ ke Al-Madain.
Sahabat yang
lahir dalam keprihatinan dan meninggal dalam Kesunyian. Dialah,
khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Ali kecil adalah anak yang malang.
Namun, kehadiran Muhammad SAW telah memberi seberkas pelangi baginya. Ali,
tidak pernah bisa bercurah hati kepada ayahnya, Abi Thalib, selega ia bercurah
hati kepada Rasulullah. Sebab, hingga akhir hayatnya pun, Abi Thalib tetap tak
mampu mengucap kata syahadat tanda penyerahan hatinya kepada Allah. Ayahnya tak
pernah bisa merasa betapa nikmatnya saat bersujud menyerahkan diri,kepada Allah
Rabb semesta sekalian alam.
Kematian
ayahnya tanpa membawa sejumput iman begitu memukul Ali. Kelak dari sinilah, ia
kemudian bertekad kuat untuk tak mengulang kejadian ini buat kedua kali. Ia
ingin, saat dirinya harus mati nanti, anak-anaknya tak lagi menangisi ayahnya
seperti tangis dirinya untuk ayahnya, Abi Thalib. Tak cuma dirinya,
disebelahnya, Rasulullah pun turut menangisi kenyataan tragis ini...saat paman
yang selama ini melindunginya, tak mampu ia lindungi nanti...di hari
akhir,karena ketiaadaan iman di dalam dadanya.[4]
Betul-betul
pahit, padahal Ali tahu bahwa ayahnya sangatlah mencintai dirinya dan
Rasulullah. Saat ayahnya, buat pertama kali memergoki dirinya sholat berjamaah
bersama Rasulullah, ia telah menyatakan dukungannya. Abi Thalib berkata,
""Janganlah kau berpisah darinya (Rasulullah), karena ia tidak
mengajakmu kecuali kepada kebaikan".
Sejak masih
berumur 6 tahun, Ali telah bersama dan menjadi pengikut setia Rasulullah.
Sejarah kelak mencatat bahwa Ali terbukti berkomitmen pada kesetiaannya. Ia
telah hadir bersama Rasulullah sejak awal dan baru berakhir saat Rasulullah
menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ali ada disaat yang lain tiada. Ali
adalah tameng hidup Rasulullah dalam kondisi kritis atau dalam berbagai
peperangan genting, saat diri Rasulullah terancam.
Kecintaan
Ali pada Rasulullah, dibalas dengan sangat manis oleh Rasulullah. Pada sebuah
kesempatan ia menghadiahkan kepada Ali sebuah kalimat yang begitu melegenda,
yaitu : "Ali, engkaulah saudaraku...di dunia dan di akhirat..."
Ali, adalah
pribadi yang istimewa. Ia adalah remaja pertama di belahan bumi ini yang
meyakini kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah. Konsekuensinya adalah, ia
kemudian seperti tercerabut dari kegermerlapan dunia remaja. Disaat remaja lain
berhura-hura. Ali telah berkenalan dengan nilai-nilai spiritual yang
ditunjukkan oleh Rasulullah, baik melalui lisan maupun melalui tindak-tanduk
beliau. "Aku selalu mengikutinya (Rasulullah SAWW) sebagaimana anak kecil
selalu membuntuti ibunya. Setiap hari ia menunjukkan kepadaku akhlak yang mulai
dan memerintahkanku untuk mengikuti jejaknya", begitu kata Ali mengenang
masa-masa indah bersama Rasulullah tidak lama setelah Rasulullah wafat.[5]
Amirul
mukminin Ali, tumbuh menjadi pemuda yang berdedikasi. Dalam berbagai forum
serius yang dihadiri para tetua, Ali selalu ada mewakili kemudaan. Namun, muda
tak berarti tak bijaksana. Banyak argumen dan kata-kata Ali yang kemudian
menjadi rujukan. Khalifah Umar bahkan pernah berkata,"Tanpa Ali, Umar
sudah lama binasa"
Pengorbanannya
menjadi buah bibir sejarah Islam. Ali-lah yang bersedia tidur di ranjang
Rasulullah, menggantikan dirinya, saat rumahnya telah terkepung oleh puluhan
pemuda terbaik utusan kaum kafir Quraisy yang hendak membunuhnya di pagi buta.
Ali bertaruh nyawa. Dan hanya desain Allah saja semata, jika kemudian ia masih
tetap selamat, begitu juga dengan Rasulullah yang saat itu 'terpaksa' hijrah
ditemani Abu Bakar seorang.
Keperkasaan
Ali tiada banding. Dalam perang Badar, perang pertama yang paling berkesan bagi
Rasulullah (sehingga setelahnya, beliau memanggil para sahabat yang ikut
berjuang dalam Badar dengan sebutan " Yaa...ahlul Badar..."), Ali
menunjukkan siapa dirinya sesungguhnya. Dalam perang itu ia berhasil menewaskan
separo dari 70an pihak musuh yang terbunuh. Hari itu, bersama sepasukan
malaikat yang turun dari langit, Ali mengamuk laksana badai gurun.[6]
Perang Badar
adalah perang spiritual. Di sinilah, para sahabat terdekat dan pertama-tama
Rasulullah menunjukkan dedikasinya terhadap apa yang disebut dengan iman.
Mulanya, jumlah lawan yang sepuluh kali lipat jumlahnya menggundahkan hati para
sahabat. Namun, doa pamungkas Rasulullah menjadi penyelamat dari jiwa-jiwa yang
gundah. Sebuah doa, semirip ultimatum, yang setelah itu tak pernah lagi
diucapkan Rasulullah..."Ya Allah, disinilah sisa umat terbaikmu
berkumpul...jika Engkau tak menurunkan bantuanmu, Islam takkan lagi tegak di
muka bumi ini..."
Dalam
berbagai siroh, disebutkan bahwa musuh kemudian melihat jumlah pasukan muslim
seakan tiada batasnya, padahal jumlah sejatinya tidaklah lebih dari 30
gelintir. Pasukan berjubah putih berkuda putih seperti turun dari langit dan
bergabung bersama pasukan Rasulullah. Itulah, kemenangan pasukan iman. Dan Ali,
menjadi bintang lapangannya hari itu.
Tak hanya
Badar, banyak peperangan setelahnya menjadikan Ali sebagai sosok yang disegani.
Di Uhud, perang paling berdarah bagi kaum muslim, Ali menjadi penyelamat karena
dialah yang tetap teguh mengibarkan panji Islam setelah satu demi satu para
sahabat bertumbangan. Dan yang terpenting, Ali melindungi Rasulullah yang kala
itu terjepit hingga gigi RAsulullah bahkan rompal dan darah mengalir di
mana-mana. Teriakan takbir dari Ali menguatkan kembali semangat bertarung para
sahabat, terutama setelah melihat Rasululah dalam kondisi kritis.
Perang Uhud
meski pahit namun sejatinya berbuah manis. Di Uhud, Rasulullah banyak
kehilangan sahabat terbaiknya, para ahlul Badar. Termasuk pamannya, Hamzah
--sang singa padang pasir. Kedukaan yang tak terperi, sebab Hamzah-lah yang
selama ini loyal melindungi Rasulullah setelah Abi Thalib wafat. Buah manisnya
adalah, doa penting Rasulullah juga terkabul, yaitu masuknya Khalid bin Walid,
panglima musuh di Perang Uhud, ke pangkuan Islam. Khalid kemudian, hingga akhir
hayatnya, mempersembahkan kontribusi besar terhadap kemenangan dan perkembangan
Islam.
Bagi Ali
sendiri, perang Uhud makin menguatkan imagi tersendiri pada sosok Fatimah binti
Muhammad SAW. Sebab di perang Uhud, Fatimah turut serta. Dialah yang membasuh
luka ayahnya, juga Ali, berikut pedang dan baju perisainya yang bersimbah
darah.
Juga di
perang Khandak. Perang yang juga terhitung genting. Perang pertama yang
sifatnya psyco-war. Ali kembali menjadi pahlawan, setelah cuma ia satu-satunya
sahabat yang 'berani' maju meladeni tantangan seorang musuh yang dikenal jawara
paling tangguh, ‘Amr bin Abdi Wud. Dalam gumpalan debu pasir dan dentingan
suara pedang. Ali bertarung satu lawan satu. Rasulullah SAW bahkan bersabda:
“Manifestasi seluruh iman sedang berhadapan dengan manifestasi seluruh
kekufuran”.[7]
Dan teriakan
takbir menjadi pertanda, bahwa Ali menyudahinya dengan kemenangan. Kerja keras Ali
berbuah. Kemenangan di raih pasukan Islam tanpa ada benturan kedua pasukan.
Tidak ada pertumpahan darah. kegemilangan ini, membuat Rasulullah SAW pada
sebuah kesempatan : “Peperangan Ali dengan ‘Amr lebih utama dari amalan umatku
hingga hari kiamat kelak”.
Seluruh
peperangan Rasulullah diikuti oleh Ali, kecuali satu di Perang Tabuk.
Rasulullah memintanya menetap di Mekkah untuk menjaga stabilitas wilayah. Sebab
Rasulullah mengetahui, ada upaya busuk dari kaum munafiq untuk melemahkan
Mekkah dari dalam saat Rasulullah keluar memimpin perang TAbuk. Kehadiran Ali
di Mekkah, meski seorang diri, telah berhasil memporakporandakan rencana buruk
itu. Nyali mereka ciut, mengetahui ada Ali di tengah-tengah mereka.
Perubahan
drastis ditunjukkan Ali setelah Rasulullah wafat. Ia lebih suka menyepi,
bergelut dengan ilmu, mengajarkan Islam kepada murid-muridnya. Di fase inilah,
Ali menjadi sosok dirinya yang lain, yaitu seorang pemikir. Keperkasaannya yang
melegenda telah diubahnya menjadi sosok yang identik dengan ilmu. Ali
benar-benar terinspirasi oleh kata-kata Rasulullah, "jika aku ini adalah
kota ilmu, maka Ali adalah pintu gerbangnya". Dari ahli pedang menjadi
ahli kalam (pena). Ali begitu tenggelam didalamnya, hingga kemudian ia
'terbangun' kembali ke gelanggang untuk menyelesaikan 'benang ruwet', sebuah
nokta merah dalam sejarah Islam. Sebuah fase di mana sahabat harus bertempur
melawan sahabat.
B. Strategi Ali Bin Abi Thalib dalam kepemimpinan
Diantara strategi Ali Bin Abi Thalib dalam menegakkan kekhalifaan adalah memeranig
Khawarij. Untuk kepentingan agama dan negara, Ali Bin Abi Thali juga menggukan
potensi dalam usaha
pengembangan Islam, baik perkembangan dalam bidang Sosial, politik, Militer,
dan Ilmu Pengetahuan. Berikut ini akan diuraikan tentang strategi tersebut;
1.
Ali Bin Abi Thalib Memerangi Khawarij
Semula
orang-orang yang kelak dikenal dengan khawarij ini turut
membaiat ‘Ali ra., dan ‘Ali ra. tidak menindak mereka secara langsung mengingat kondisi umat belumlah kembali stabil, di samping para pembuat makar yang berjumlah ribuan itu pun telah berbaur di Kota Madinah, hingga dapat mempengaruhi hamba sahaya dan orang-orang Badui. Jika Ali ra. bersegera mengambil tindakan, maka bisa dipastikan akan terjadi pertumpahan darah dan fitnah yang tidak kunjung habisnya. Karenanya Ali ra, memilih untuk menunggu waktu yang tepat, setelah kondisi keamanan kembali stabil, untuk menyelesaikan persoalan yang ada dengan menegakkan qishash. Kaum khawarij sendiri pada akhirnya menyempal dari Pasukan Ali ra. setelah beliau melakukan tahkim dengan Muawiyah ra. setelah beberapa saat terjadi perbedaan ijtihad di antara mereka berdua ra. (Ali ra. dan Muawiyah ra.). Orang-orang khawarij menolak tahkim seraya mengumandangkan slogan:
membaiat ‘Ali ra., dan ‘Ali ra. tidak menindak mereka secara langsung mengingat kondisi umat belumlah kembali stabil, di samping para pembuat makar yang berjumlah ribuan itu pun telah berbaur di Kota Madinah, hingga dapat mempengaruhi hamba sahaya dan orang-orang Badui. Jika Ali ra. bersegera mengambil tindakan, maka bisa dipastikan akan terjadi pertumpahan darah dan fitnah yang tidak kunjung habisnya. Karenanya Ali ra, memilih untuk menunggu waktu yang tepat, setelah kondisi keamanan kembali stabil, untuk menyelesaikan persoalan yang ada dengan menegakkan qishash. Kaum khawarij sendiri pada akhirnya menyempal dari Pasukan Ali ra. setelah beliau melakukan tahkim dengan Muawiyah ra. setelah beberapa saat terjadi perbedaan ijtihad di antara mereka berdua ra. (Ali ra. dan Muawiyah ra.). Orang-orang khawarij menolak tahkim seraya mengumandangkan slogan:
“Tidak ada hukum kecuali hukum Allah. Tidak boleh menggantikan
hukum Allah dengan hukum manusia. Demi Allah! Allah telah menghukum penzalim
dengan jalan diperangi sehingga kembali ke jalan Allah.””Ungkapan
mereka: ‘Tiada ada hukum kecuali hukum
Allah, dikomentari oleh Ali: “Ungkapan benar, tetapi disalahpahami. Pada
akhirnya ‘Ali ra. memerangi khawarij tsb., dan berhasil menghancurkan mereka di
Nahrawan, di mana hampir seluruh dari orang Khawarij tsb berhasil dibunuh,
sedangkan yang terbunuh di pihak Ali ra. hanya 9 orang saja.[8]
2.
Upaya Pengembangan dalam
Bidang Pemerintahan
Situasi
ummat Islam pada masa pemerintahan Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib sudah sangat
jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Ummat Islam pada masa pemerintahan
Abu Bakar dan Umar Ibnu Khattab masih bersatu, mereka memiliki banyak tugas yang
harus diselesaikannya, seperti tugas melakukan perluasan wilayah Islam dan
sebagainya. Selain itu, kehidupan masyarakat Islam masih sangat sederhana
karena belum banyak terpengaruh oleh kemewahan duniawi, kekayaan dan kedudukan.[9]
Namun pada
masa pemerintahan Khalifah Usman Ibnu Affan keadaan mulai berubah. Perjuangan
pun sudah mulai terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat duniawi. Oleh karena
itu, beban yang harus dipikul oleh penguasa berikutnya semakin berat.
Usaha-usaha Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib dalam mengatasi persoalan tersebut
tetap dilakukannya, meskipun ia mendapat tantangan yang sangat luar biasa.
Semua itu bertujuan agar masyarakat merasa aman, tentram dan sejahtera.
Usaha-usaha yang dilakukannya diantaranya :
a.
Mengganti Para Gubernur yang diangkat Khalifah Usman
Ibnu Affan
Semua
gubernur yang diangkat oleh Khalifah Usman Ibnu Affan terpaksa diganti, karena
banyak masyarakat yang tidak senang. Menurut pengamatan Khalifah Ali Ibnu Abi
Thalib, para gubernur inilah yang menyebabkan timbulnya berbagai gerakan
pemberontakan terhadap pemerintahan Khalifah Usman Ibnu Affan. Mereka melakukan
itu karena Khalifah Usman pada paruh kedua masa kepemimpinannya tidak mampu
lagi melakukan kontrol terhadap para penguasa yang berada dibawah
pemerintahannya. Hal itu disebabkan karena usianya yang sudah lanjut usia,
selain para gubernur sudah tidak lagi banyak yang memiliki idealisme untuk
memperjuangkan dan mengembangkan Islam. Pemberontakan ini pada akhirnya membuat
sengsara banyak rakyat, sehingga rakyatpun tidak suka terhadap mereka.
Berdasarkan pengamatan inilah kemudian Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib mencopot
mereka. Adapun para gubernur yang diangkat Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib sebagai
pengganti gubernur lama yaitu; Sahl Ibnu Hanif sebagai gubernur Syria, Sahl
Ibnu Hanif sebagai gubernur Syriah, Usman Ibnu Affan sebagai gubernur Basrah,
Umrah Ibnu Syihab sebagai gubernur kuffah, Qais Ibnu Sa'ad sebagai gubernur
Mesir, Ubaidah Ibnu Abbas sebagai gubernur Yaman.
b.
Menarik kembali tanah milik negara
Pada masa
pemerintahan Khalifah Usman Ibnu Affan banyak para kerabatnya yang diberikan
fasilitas dalam berbagai bidang, sehingga banyak diantara mereka yang kemudian
merongrong pemerintahan Khalifah Usman Ibnu Affan dan harta kekayaan negara.
Oleh karena itu, ketika Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib menjadi Khalifah, ia
memiliki tanggung jawab yang besar untuk menyelesaikannya. Beliau berusaha
menarik kembali semua tanah pemberian Usman Ibnu Affan kepada keluarganya untuk
dijadikan milik negara.
Usaha itu
bukan tidak mendapat tantangan. ketika Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib banyak
mendapat perlawanan dari para penguasa dan kerabat mantan Khalifah Usman Ibnu
Affan. Salah seorang yang tegas menentang ketika Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib
adalah Muawiyah Ibnu Abi Sufyan. Karena Muawiyah sendiri telah terancam
kedudukannya sebagai gubernur Syria. Untuk menghambat gerakan Khalifah Ali Ibnu
Abi Thalib, Muawiyah menghasut kepada para sahabat lain supaya menentang
rencana Khalifah, selain menghasut para sahabat Muawiyah juga mengajak kerjasama
dengan para mantan gubernur yang dicopot oleh Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib.
Kemudian terjadi perang Jamal, perang Shiffin dan sebagainya.
Semua
tindakan Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib semata bertujuan untuk membersihkan
praktek Kolusi, korupsi dan Nepotisme didalam pemerintahannya. Tapi menurut
sebagian masyarakat kalo situasi pada saat itu kurang tepat untuk melakukan hal
itu, yang akhirnya Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib pun meninggal ditangan
orang-orang yang tidak menyukainya. Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib bekerja keras
sebagai Khalifah sampai akhir hayatnya, dan beliau menjadi orang kedua yang
berpengaruh setelah Nabi Muhammad Saw.
3.
Perkembangan di Bidang
Politik Militer
Khalifah Ali
Ibnu Abi Thalib memiliki kelebihan, seperti kecerdasan, ketelitian, ketegasan
keberanian dan sebagainya. Karenanya ketika ia terpilih sebagai Khalifah, jiwa
dan semangat itu masih membara didalam dirinya. Banyak usaha yang dilakukan,
termasuk bagaimana merumuskan sebuah kebijakan untuk kepentingan negara, agama
dan umat Islam kemasa depan yang lebih cemerlang. Selain itu, dia juga terkenal
sebagai pahlawan yang gagah berani, penasihat yang bijaksana, penasihat hukum
yang ulung, dan pemegang teguh tradisi, seorang sahabat sejati, dan seorang
kawan yang dermawan.
Khalifah Ali
Ibnu Abi Thalib sejak masa mudanya amat terkenal dengan sikap dan sifat
keberaniannya, baik dalam keadaan damai mupun saat kritis. Beliau amat tahu
medan dan tipu daya musuh, ini kelihatan sekali pada saat perang Shiffin. Dalam
perang itu Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib mengetahui benar bahwa siasat yang
dibuat Muawiyah Ibnu Abi Sufyan hanya untuk memperdaya kekuatan Khalifah Ali
Ibnu Abi Thalib menolak ajakan damai, karena dia sangat mengetahui bahwa
Muawiyah adalah orang yang sangat licik. Namun para sahabatnya mendesak agar
menerima tawaran perdamaian itu. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan istilah
"Tahkim" di Daumatul Jandal pada tahun 34 Hijriyah. Peristiwa itu
sebenarnya merupakan bukti kelemahan dalam system pertahanan pada masa
pemerintahan Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib. Usaha Khalifah terus mendapat
tantangan dan selalu dikalahkan oleh kelompok orang yang tidak senang terhadap
kepemimpinannya.
Karena
peristiwa "Tahkim" itu, timbullah tiga golongan dikalangan umat
Islam, yaitu Kelompok
Khawarij, Kelompok
Murjiah dan Kelompok
Syi'ah (pengikut Ali). Ketiga
kelompok itu yang pada masa berikutnya merupakan golongan yang sangat kuat dan
yang mewarnai perkembangan pemikiran dalam Islam.
4.
Perkembangan di Bidang Ilmu
Bahasa
Pada masa
Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib, wilayah kekuasaan Islam telah sampai Sungai
Efrat, Tigris, dan Amu Dariyah, bahkan sampai ke Indus. Akibat luasnya wilayah
kekuasaan Islam dan banyaknya masyarakat yang bukan berasal dari kalangan Arab,
banyak ditemukan kesalahan dalam membaca teks Al-Qur'an atau Hadits sebagai
sumber hukum Islam.
Khalifah Ali
Ibnu Abi Thalib menganggap bahwa kesalahan itu sangat fatal, terutama bagi
orang-orang yang akan mempelajari ajaran islam dari sumber aslinya yang
berbahasa Arab. Kemudian Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib memerintahkan Abu
Al-Aswad Al-Duali untuk mengarang pokok-pokok Ilmu Nahwu ( Qawaid Nahwiyah ).
Dengan
adanya Ilmu Nahwu yang dijadikan sebagai pedoman dasar dalam mempelajari bahasa
Al-Qur'an, maka orang-orang yang bukan berasal dari masyarakat Arab akan
mendaptkan kemudahan dalam membaca dan memahami sumber ajaran Islam.
5.
Perkembangan di Bidang
Pembangunan
Pada masa
Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib, terdapat usaha positif yang dilaksanakannya,
terutama dalam masalah tata kota. Salah satu kota yang dibangun adalah kota
Kuffah.
Semula
pembangunan kota Kuffah ini bertujuao politis untuk dijadikan sebagai basis
pertahanan kekuatan Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib dari berbagai rongrongan para
pembangkang, misalnya Muawiyah Ibnu Abi Sufyan. Akan tetapi, lama kelamaan kota
tersebut berkembang menjadi sebuah kota yang sangat ramai dikunjungi bahkan
kemudian menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan keagamaan, seperti
perkembangan Ilmu Nahwu, Tafsir, Hadits dan sebagainya. [10]
Pembangunan
kota Kuffah ini dimaksudkan sebagai salah satu cara Khalifah Ali Ibnu Abi
Thalib mengontrol kekuatan Muawiyah yang sejak semula tidak mau tunduk terhadap
perintahnya. Karena letaknya yang tidak begitu jauh dengan pusat pergerakan
Muawiya Ibnu Abi Sufyan, maka boleh dibilang kota ini sangat strategis bagi
pertahanan Khalifah.
BAB III
PENUTUP
Demikialah makalah ini dibuat, sebagai cacatan penutup. Pemakalah dapat
menarik suatu kesimpulan, antara lain:
1.
Ali ra. bekerja keras pada masa kekhilafahannya guna
mengembalikan stabilitas dalam tubuh umat setelah sebelumnya Ibnu Saba’dan
Sabaiyahnya melancarkan konspirasi dan provokasinya guna menghancurkan Islam
dari dalam.
2.
Diantara strategi Khalifah Ali bin Abu Tholib,
yang berhasil dikembangkan adalah:
a.
Perkembangan di bidang pembangunan
b.
Perkembangan di bidang bahasa
c.
Perkembangan di bidang militer
d.
Perkembangan di bidang pemerintahan
e.
Memerangi khawarij
Daftar Pustaka
Yatim, Badri. Sejarah
Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), PT Raja Grafindo Persada; Cet. XXXII, Jakarta 2011
Halim, Arif. Aliran-Aliran
Ilmu Kalam dan Kontemporer (Sejarah Pemikiran Perkembangan, PPs. MPI UMI;
Makassar 2008
http://majlas.yn.lt/Perkembangan%20Islam%20Masa%20Khalifah%20Ali%20bin%20Abi%20Thalib.html
Nasution, Harun. Pembaharuan
dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan), PT Bulan Bintang, Cet VI;
Jakarta 1988
[1] Dr. Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Dirasah
Islamiyah II), PT Raja Grafindo Persada; Cet. XXXII, Jakarta 2011
[2] http://majlas.yn.lt Perkembangan%20Islam%20Masa%2 0Khalifah Ali%20bin%20Abi Thalib.html, 6 juni
2012
[3] Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), PT Raja Grafindo
Persada; Cet. XXXII, Jakarta 2011, h.
[8]
http://alkamilok.wordpress.com/2008/09/16/ringkasan-keutamaan-ali-bin-abi-thalib/
Comments
Post a Comment
شُكْرًا كَثِرًا
Mohon titip Komentarnya yah!!
وَالسَّلامُ عَليْكُم