Siapa
bilang bangsa ini mengalami peningkatan kualitas ekonomi, pengetahuan,
produksi, moral dan lain-lain? omong kosong kalau kesejahteraan
bangsa ini terus membaik! Kalaupun ada data yang memperkuat, itu hanyalah bahasa
politik dengan dasar data statistik yang menggunakan pendekatan positivisme
tanpa melibatkan indikator lain yang lebih kuat yaitu pendekatan metafisik.
Ini
penting karena kesejahteraan itu terkait kepuasan terhadap pemenuhan kebutuhan
dasar. Nah! Kepuasan itu tidak terkait dengan data statistik tapi pendekatan
perasaan. Pertanyaannya adalah apakah data terkait kesejahteraan sosial
benar-benar meningkat? Ternyata hanya sebagian kecil yang “merasa” terpenuhi
kebutuhan dasarnya yang meliputi ekonomi, kesehatan, pendidikan, keamanan,
akses informasi dan kebutuhan dasar lainnya. Itu berarti kesejahteraan
masyarakat telah mengalami pergeseran menuju kebobrokan ekonomi, pendidikan,
kesehatan, keamanan dan lain-lain.
Mengapa
Indonesia terancam Game Over? Berbicara Ekonomi Politik
internasional, Geo-strategi dan Intelegen, ternyata indonesia hanya sebagai
objek dari pertarungan konsep, baik mashab ekonomi merkantalis – kapital –
liberal dan sosialis, Indonesia hanya diposisikan sebagai lahan subur untuk
penguatan ekonomi oleh negara-negara maju. Ilmu pengetahuan dan teknologi
dijadikan sebagai alat pengendali mereka di negeri ini. Itulah sebabnya,
orang-orang di Negeri ini telah banyak yang terpengaruh oleh positivisme yang
mengabaikan estetika dan etika. Sementara itu, tiga pilar utama yang seharusnya
dibangun di Negeri ini (minimal bersumber, berbuat, dan untuk negeri sendiri)
yaitu usaha ekonomi, peningkatan kualitas pengetahuan, serta jaringan kerja
untuk kesejahteraan negeri sendiri ternyata tidak mampu mengurai masalah
kesejahteraan sosial. Hanya Negara-negara adidaya yang memegang kendali di
Negeri ini yaitu mengendalikan bangsa ini lewat doktrin pengetahuan dan
informasi. Dengan demikian, segala sesuatunya akan dikendalikan dan itu berarti
telah berada pada ambang kehancuran.
Lalu apa
buktinya kalau Indonesia akan mengalami kehancuran dari panggung Nation
State? Pertama yang akan diurai adalah pergeseran mental
pemuda bangsa. Dalam sejarah, Indonesia dikenal sebagai bangsa yang
berperadaban tinggi, lihatlah catatan sejarah tentang pengaruh kerajaan Madja
Pahit, Sriwijaya, Gowa-Tallo (Makassar) dan lain-lain yang terkenal pemberani,
santun dan inovatif. Pemuda bangsa kala itu lebih terkenal sebagai pelaut yang
berani dan gemar menghadapi tantangan alam. Tapi entah kekuatan apa yang
mempengaruhi sehingga mental itu kini bobrok. Kalau hanya bergeser menuju
“mental darat”, “berani di kandang” itu masih tebilang baik, tapi aneh karena
dikandang sendiri saja tidak berani, parahnya lagi, justu sebangsa sendiri yang
memiliki tujuan dan cita-cita yang sama dijadikan musuh. Itulah kenyataan,
antar pelajar – mahasiswa saja tawuran apalagi antar ras, inilah mental
pengecut[1]
yang mempercepat runtuhnya NKRI. Sementara Barat semakin dibanggakan, gaya
hidup dan filsafanya dijadikan ispirasi tanpa pernah menyadari bahwa mereka
adalah penjajah.
Praktisi
dan Funsional bangsa ini juga sebagian besar adalah penghianat. Mereka menjual
bangsa dengan sangat murah untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya tanpa
memikirkan nasib bangsa. Anehnya lagi, sebagian besar dari pemuda bangsa ini
mendukung hal tersebut karena mendapat imbalan materi seadanya. Alangkah
baiknya jika mental pemuda di Negeri ini tetap pada “mental pelaut” yang berani
mempertarungkan nyawa demi harga diri dan Bangsa. Tidak sujud pada negeri asing
yang menguras, juga tidak simpati terhadap buleg-buleg asing dari negeri
kolonial.
Perkara
yang kedua adalah spiritual. Agama merupakan jembatan spiritual dalam upaya
perjuangan perebutan kemerdekaan Indonesia. selanjutnya, pasca kemerdekaan,
agama menjadi sumbangsi terbesar terhadap kekayaan budaya, sebaliknya budayapun
memberi warna terhadap agama. Perkawinan budaya sangat sejalan dengan agama
hingga masuknya pengaruh-pengaruh orienatalis. Yang menarik dicermati lebih
jauh adalah fakta bahwa kajian-kajian Islam bukan hanya meningkat melainkan
juga mengalami pergeseran trend. Pada masa lalu, kajian-kajian tentang Islam di
Indonesia banyak ditandai dendan upaya-upaya melihat Islam sebagai sistem
budaya yang menarik untuk diselami dan dipahami, sedangkan belakangan ini,
kajian-kajian tentang Islam yang marak disifati oleh corak yang berbeda, yang
melihat islam sebagai potensi dan kekuatan politik.[2]
Akibat
dari munculnya beragam kajian-kajian strategis tentang Islam Indonesia yang
dipelopori oleh direktur International Crisis Group (ICG) Sidney Johes,
tentang adanya gerakan teroris dikalangan Muslim Indonesia. akibatnya
kajian-kajian Islam tidak lagi terfokus pada demokratis atau anti demokratis,
leberal vs konservatif, melainkan yang lahir justru kelompok radikal yang
memiliki aktivitas dan agenda kekerasan, seperti JI, Laskar Jihad, FPI, dan
lain-lain.
Agama
tidak lagi fokus pada penanaman dan pemeliharaan nilai yaitu etika yang
berlandaskan pada kearifan lokal kebudayaan. Tentu gerakan-gerakan ini
terinsipirasi dari kelompok yang memiliki kepentingan ekonomi politik di
Indonesia. Sejatinya agama tidak ikut memperburuk tatanan negeri dengan
hadirnya berbagai gerakan kekerasan tapi menjadi penyejuk dan pelopor lahirnya perdamaian
hingga terciptanya semangat yang kokoh untuk membangun bangsa.
Perkara
yang ketiga adalah terlalu banyak menjadikan Barat sebagai sumber inspirasi
pengetahuan. Barat sebetulnya tidak terlalu fatal secara konsep pengetahuan.
Hanya saja ada beberapa kriteria pengetahuan yang diabaikan oleh sebagian besar
paham Barat yaitu menolak metafisik sebagai objek kajian, itu karena yang
berlaku pada dunia mereka hanyalah sains dengan paham positivisme logis[3]nya.
Sementara itu, mistik yang dalam kajian keilmuan disebut sebagai mitologi
dicampakkan, ada juga yang menolak etika dan estetika sebagai suatu objek
kajian keilmuan tapi menempatkannya pada kajian yang lebih sempit. Sementara di
negeri ini, membangun rasio saja tidak cukup, terlebih membatasi rasio pada
hal-hal yang bersifat empiris. Sejatinya, pengetahuan harus dibangun atas dasar
ketaqwaan sehingga bukan kehancuran yang akan dituai oleh generasi kita. Kalau
ditanya, mana yang lebih baik, berpedoman pada Filsafat Barat atau berpegang
teguh pada konsep Al-Qur’an yang berlaku secara universal? Tentunya, Al-Qur’an
akan menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Tiga point
yang telah di urai di atas jika dibiarkan berjalan, maka yang akan terjadi
adalah kehancuran yang nyata lantaran bukti-buktinya telah diuraikan di atas.
Kedamaian tidak lagi dirasakan, penghianatan terhadap bangsa semakin
merajalela, kekuatan bangsa, baik politik, pengetahuan, pertahanan keamanan,
ekonomi dan sebagainya semakin melemah. Terakhir adalah mari kita menyaksikan
indonesia kalah dalam kancah politik internasional – bahkan game over dari
panggung nation state. Hanya dengan kasih sayang Allah dan perjuangan
pergerakan yang kokoh yang dari gerenasi yang akan membuat Indonesia tetap
bertahan.
[1]
Dalam film Tjoet Nyat Dien, pengecut digambarkan sebagai orang yang menghianati
negerinya sendiri yaitu menjadikan musuh bangsa sendiri dan menjadikan tuan
(menjalin kerjasama) orang-orang yang jelas-jelas telah menjajah negeri ini.
[2]
Artikel dengan judul “Dari study Budaya ke study Bahaya – Arah Baru tentang
kajian Islam di Indonesia oleh Ahmad – Norma Permata – Post tahun 2008 dikutip
dari http://indonesianmuslim.com
[3] Positivisme Logis adalah aliran pemikiran
dalam Filsafat yang membatasi pemikirannya pada segala hal yang dapat
dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis defenisi dan relasi antara
istilah-istilah. Fungsi analisis ini membatasi metafisika dan meneliti struktur
logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep
dan pertanyaan pertanyaan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.
sekedar Opini yach! tapi prediksinya logis dan perlu dipertimbangkan Lho
ReplyDelete