Kamu harus jadi contoh! Sebuah kalimat singkat, padat
dan jelas yang memiliki makna sangat kaya serta pesan yang sangat pantas untukku!
Pesan yang disampaikan oleh Maha Guru tercinta. Pesan itu saya jemput di
Benteng Somba Opu lantaran saya diberi kesempatan dan karuniah oleh Allah swt.
untuk bertemu beliau.
Pada kesempatan emas dalam waktu singkat itu, ternyata
banyak hal yang tidak saya dengar, (mungkin karena pesan itu belum pantas untuk
saya) meski jarak dengan maha guru terlampau dekat, tapi aneh! justru kalimat
itu disampaikan oleh orang di sampingku bahwa Guru mengatakan “…..” padaku,
katanya. Saya bilang aneh karena orang disampingku itu mengatakan kalau yang
didengarnya lain tentang saya!. Tidak usah disebut apa yang diungkapnya, yang
terpenting adalah saya mesti banyak merombak diri menjadi contoh! Seperti itu
kira-kira pemahaman saya dalam memaknai pesan Maha Guruku “kamu harus jadi
contoh”.
Meski seumur hidup, baru 3 kali bertemu! Pertama ketika
menghadap beliau di kediamannya. Ke-2 ketika saya lalai lalu dibangunkan sholat
lewat mimpi (alam spiritual), dan yang ke-3 di Benteng Somba Opu. Akh! Sunggu pertemuan
saya tidak mampu dibayar dengan materi, itu karena saya yakin bahwa tidak semua
orang mampu mendapatkan kesempatan bertemu beliau! Pertemuan tersebut sekaligus
mengubah paradigma saya bahwa guru tidak hanya memberikan pengetahuan atau
keterampilan tapi menuntun orang untuk menjadi tawadhu.
Dalam benak, mungkin ini adalah jawaban mengapa ada
beberapa orang yang sudah bosan dengan berpengatahuan, berdialegtika, berlogika
dan mencari kebenaran ala filsafat. Ketika SMP dulu, saya menilai pelajaran di
SD adalah sekedar belajar membaca dan menghafal, lalu di SMP dan SMA belajar
memahami dan praktik (versi KBK). Yang beda adalah di S1 yang mulai
menganalisis wacana. Sejak saat itu (ketika S1), saya mulai menanamkan suatu
prinsip bahwa belajar (mencari pengetahuan untuk ilmu) itu tidak akan pernah
selesai, terlebih ketika bergabung di PMII yang memberikan suatu konsep belajar
yang belum saya temukan dalam organisasi lain yang pernah saya geluti dan mampu
menandingi konsep belajar ala PMII.[1]
Di S2 lain lagi, ternyata pengetahuan tidak lagi
dijadikan sebagai sesuatu yang penting. (mungkin ini hanya berlaku pada jurusan
kami), yang terpenting hanyalah data para pakar untuk didiskusikan lalu
membentuk data baru. Dalam hemeneutika filsafat, antara suatu pendapat (tesa),
lalu muncul pendapat lain yang bisa jadi bertentangan (anti tesa), maka yang
dilakukan adalah meciptakan suatu jawaban baru sebagai jawaban penegas yang
berarti kesimpulan (sintesa). Level untuk s2 adalah memproduksi pengetahuan dan
buku-buku yang dikoleksi atau dibaca bukan untuk dijadikan pedoman melainkan
hanya data belaka.
Teman saya telah menceritakan suatu jenjang yang
serupa bahwa pengetahuan itu hanya digunakan sebagai doktrin belaka. Efektivitasnya
untuk jenjang kader hanya sampai LK II[2] (untuk
kepentingan kader boleh sampai LK III). Selebihnya fokus untuk pengetahuan
mulai dialihkan untuk gerak, yaitu membangun jaringan dan usaha produktif. Pandangan
lain mengisyaratkan bahwa pengetahuan itu mengarahkan orang untuk berbuat!, “kita
ini sudah bosan dengan pengetahuan”, katanya bersama teman-temannya beberapa
saat yang lalu ketika saya mengikuti sebuah meeting kecil oleh kelompok
orang-orang aneh. “lalu apa donk yang mengedalikan gerak kita kalau bukan
pengetahuan” kataku dalam benak! Ternyata tanpa ditanya, ia menjawab “kita ini
butuh tawadhu dalam sikap dan gerak”, batin akan menuntun orang untuk berbuat. Dengan
demikian batinlah yang perlu dilatih lebih dibandingkan nalar.
Kembali pada pesan sang guru, ketika saya diarahkan
untuk menjadi contoh! Itu sangat berat karena saya juga masih butuh contoh pada
orang-orang yang tawadhu, yaitu orang-orang yang membela agama. Sementara itu, Saya
masih dipengaruhi oleh nalar konyol yang banyak berkiblat pada filsafat
materialisme Barat, sementara untuk menjadi contoh harus menanamkan dan
mengamalkan nilai-nilai baik.[3] Setelah
saya membaca buku spiritual Agus Sunyoto lalu saya berkesimpulan bahwa “ternyata
sombong dan keakuan itu akan menjadi hijab batin seseorang sehingga tidak mampu
membedakan mana yang baik dan yang buruk”.[4]
[1] Model
belajar PMII mengacu pada 7 mantra pengetahuan, hal ini didapatkan pada
komunitas belajar PMII di Cabang Metro Makassar, berikut Cabang Makassar Raya
dan Cabang Gowa.
[2] Jenjang
kader HMI yang ke-2 setelah Basic Training
[3] Tentunya
nilai (baik atau buruk) versi batin berbeda dengan nilai-nilai yang lahir
berdasarkan konsep nalar.
[4] secara
umum, karya Agus Sunyoto tentang spiritual sangat banyak tapi yang mengispirasi
soal aliran kebatinan adalah Suluk Abdul Jalil – Jilid 1 -7
Comments
Post a Comment
شُكْرًا كَثِرًا
Mohon titip Komentarnya yah!!
وَالسَّلامُ عَليْكُم