Skip to main content

PERBANKAN SYARI’AH DALAM TATA HUKUM


I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gagasan adanya lembaga perbankan yang beroperasi berdasarkan prinsip syari’at Islam berkaitan erat dengan gagasan terbentuknya suatu sistem ekonomi Islam. Gagasan mengenai konsep ekonomi Islam secara Internasional muncul pada sekitar dasawarsa 70-an, ketika pertama kali diselenggarakan konfrensi Internasional tentang ekonomi Islam di Makkah pada tahun 1976.[1]
Lembaga perbankan syari’at mengalami perkembangan yang amat pesat dengan lahirnya Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 yang bertujuan untuk mendorong bertumbuhan ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan sosial bagi negara-negara anggota dan masyarakat muslim pada umumnya.
Pesatnya perkembangan lembaga perbankan syari’at ini karena bank syari’at memiliki keistimewaan-keistimewaan. Salah satu keistimewaan yang utama adalah yang melekat pada konsep kebersamaan. Orientasi kebersamaan inilah yang menjadikan bank syari’at mampu tampil sebagai alternatif penggati sistem bunga yang selama ini hukumnya (halal-atau haram) masih diragukan oleh masyarakat muslim.[2]
Pada dasarnya, aktivitas bank syari’at tidak jauh berbeda dengan aktivitas bank-bank yang telah ada, perbedaannya selain terletak pada orientasi konsep juga terletak pada konsep dasar operasionalnya yang berlandaskan pada ketentuan-ketentuan dalam Islam.
Perbankan syari’ah menjadi wadah terpercaya bagi masyarakat yang ingin melakukan investasi dengan sistem bagi hasil secara adil sesuai prinsip syari’ah. Memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak dan memberikan maslahat bagi masyarakat luas adalah merupakan prinsip utama bagi bank syari’ah. Oleh karena itu bank syari’ah menerapkan ketentuan dengan menjauhkan diri dari unsur riba dan menjalankan prinsip bagi hasil dan sistem jual beli.[3] Berdasakan petunjuk QS. al-Baqarah (2):275 dan QS. al-Nisa (4):29 yang intinya. Allah swt. telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba serta suruhan untuk menempuh jalan perniagaan dengan suka sama suka, maka setiap transaksi kelembagaan ekonomi syari’ah harus selalu dilandasi atas dasar sistem bagi hasil dan perdagangan atau yang transaksinya didasari oleh adanya petukaran antara uang dengan barang/jasa.
Di Indonesia bank syari’at yang beroperasi sampai sekarang ada dua jenis, yaitu Bank Mu’amalat Indomesia (BMI) dan Bank Perkreditan Rakyat Syari’at (BPRS). Beroperasinya bank syari’at di Indonesia, harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat dan negara Indonesia, baik bidang sosial, ekonomi maupun hukum. Selain itu juga harus memenuhi persyaratan pendirian dan operasionalnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Bank Muamalah Indonesia didirikan pada tahun 1991 dan mulai kegiatan operasinya pada bulan Mei 1992. Pada tahun 1994 dua tahun setelah didirikan, Bank Muamalah berhasil menyandang predikat sebagai bank devisa. Pengakuan ini selanjutnya semakin memperkokoh posisi perseroan sebagai bank syari’ah pertama dan terkemuka di Indonesia dengan beragam jasa maupun produk yang terus berkembang.[4] Dari sebuah riset Business Consulting, diproyeksikan bahwa total aset bank syari’ah di Indonesia akan tumbuh sebesar 2.850 % selama 8 tahun, atau rata-rata 356.25 % tiap tahunnya. Sebuah bertumbuhan aset yang sangat mengesankan. Tumbuh kembangnya aset bank syari’ah ini dikarenakan adanya kepastian di sisi regulasi serta berkembangnya pemikiran masyarakat tentang keberadaan bank syari’ah.[5] Di samping itu perkembangan bank syari’ah ini karena didukung oleh kebijakan pemerintah dalam mengatur perbankan, termasuk bank syari’ah, yaitu setelah lahirnya UU No. 10 tahun 1998.
B. Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, bahwa perkembangan bank syari’ah yang sangat pesat di dunia Islam di awali dengan terbentuknya IDB tahun 1975. Sedang di Indonesia Mulai 1991 setelah lahirnya Bank Muamalah Indonesia (BMI) dan perkembangan yang signifikan ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan tetntang perbankan, khususnya UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan syari’ah.
Sehubungan dengan itu, maka yang menjadi masalah dalam makalah ini adalah; Sejauhmana hubungan perbankan syari’at dalam tata hukum perbankan Nasional ? Dari masalah ini dibagi menjadi sub-sub masalah untuk mempermudah dalam pembahasan, adalah sebagai berikut :
1.  Apakah hakekat perbankan syari’ah dan hukum nasional ?
2.  Bagaimana eksistensi perbankan syari’at dalam tata hukum perbankan nasional ?
II. PEMBAHASAN
A. Hakikat Perbankan Syariah dan Hukum Nasional
Istilah lain yang sering digunakan untuk bank syari’at adalah bank Islam. Secara akademik, istilah bank syari’at dan bnak Islam memang mempunyai pengertian yang berbeda. Namun secara tehnis penyebutan bank Islam dan bank syari’at mempunyai pengertian yang sama.[6]
Bank Islam yang biasa juga disebut bank syari’at merupakan lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip syari’at Islam.
Dalam prakteknya, perbankan Islam memberikan layanan bebas bunga kepada para nasabahnya. Pembayaran dan penarikan bunga memang dilarang dalam semua bentuk transaksi. Islam melarang kaum muslim menarik atau membayar bunga (interest).[7] Ayat Alquran yang secara tegas menyatakan atas pelarangan riba (bunga bank), adalah QS. al-Baqarah (2): 275 yakni :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Terjemahnya :
Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.[8]
Sekalipun dalam ayat tersebut tidak ditemukan alasan secara secara eksplisit diharamkannya riba. Namun dapat dipastikan bahwa salah satu alasan diharamkan riba adalah agar umat Islam terhindar dari unsur gharar (spekulasi) dalam melakukan transaksi.[9] Di sinilah urgensinya pendirian bank Islam dalam upaya menggalakkan perekonomian umat berdasarkan sistem syariat.
Berdasarkan uraian tersebut , bank syari’at berarti bank yang tata cara operasinya didasarkan pada ajaran Islam, yakni mengacu kepada ketentuan-ketentuan al-Qur’an dan al-Hadis. Bank syari’at dalam operasionalisasinya harus mengikuti atau berpedoman kepada praktik-praktik usaha yang telah dilakukan pada zaman Rasulullah saw., bentuk-bentuk usaha yang telah ada sebelumnya tetapi tidak dilarang oleh Rasulullah atau bentuk-bentuk usaha baru sebagai hasil ijtihad para ulama/cendekiawan muslim yang tidak menyimpang dari ketentuan al-Qur’an dan Hadis.
Selanjutnya yang dimaksud Hukum Nasional adalah hukum yang berlaku bagi bangsa tertentu di suatu negara nasional tertentu. Dalam kasus Indonesia, hukum nasional adalah hukum yang dibangun bangsa Indonesia setelah merdeka dan berlaku bagi penduduk Indonesia, terutama warga negara Repuplik Indonesia, sebagai pengganti hukum Kolonial dahulu.[10] Singkatnya, hukum nasional adalah hukum yang berlaku setelah bangsa Indonesia merdeka untuk kepentingan nasional, bersumber pada pancasila dan UUD 1945, berlaku bagi warga negara Republik Indonesia.[11]
Senada dengan pengertian di atas, hukum nasional menurut Amir Syarifuddin adalah seperangkat peraturan tertulis yang mengatur tingkat laku manusia, dibuat dan dijalankan oleh badan negara yang ditentukan, berlaku dan mengikat untuk seluruh warga negara Indonesia.[12]
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa bank syari’at adalah bank yang tata cara operasionalnya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang berdasakan al-Qur’an dan Hadis. Sedang hukum nasional adalah hukum yang mengatur warga negara Republik Indonesia secara tertulis, dari segala tingkah lakunya dalam semua aspek kehidupannya, baik  berbangsa maupun bernegara.
Bank Syariat dalam hal pengawasan dan pembinaannya tetap merujuk pada sistem hukum nasional, yakni undang-undang yang mengatur masalah perbankan, terutama undang-undang Nomor 7 tahun 1992 yang di dalamnya disebutkan dua jenis bank, yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan rakyat yang beroperasi secara konvensional dengan bank-bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariat. Oleh karena itu semua ketentuan bank konvensional pada dasarnya juga diberlakukan terhadap bank yang beroperasi berdasarkan syariat Islam.
Suatu hal lagi yang teristimewa dalam Bank Islam sesuai peraturan perundang-undangan, dan sekaligus sebagai pembeda Bank Konvensional adalah karena pada Bank Islam sesuai kenyataannya, terbentuk Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) yang bersifat independen. Keberadaan DPS di Bank Islam yang melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syari’ah berfungsi sebagai penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pemimpin unit usaha syari’ah, dan pemimpin kantor cabang Syari’ah mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek syari’ah.
B. Eksistensi Perbankan Syari’ah dalam Tata Hukum Nasional
Di Indonesia pendirian bank syari’ah dengan prinsip bagi hasil tersebut sudah sejak lama dicita-citakan oleh umat Islam. Hal itu antara lain terungkap dalam Keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah yang diadakan di Sidoarjo Jawa Timur pada tahun 1968. dalam poin nomor 4 diputuskan, Majelis Tarjih Muhammadiyah menyarankan kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.[13]
Eksistensi bank syari’at di Indonesia secara formal dimulai sejak tahun 1992 dengan diberlakukannya UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Namun, harus diakui bahwa UU tersebut belum memberikan landasan hukum yang cukup kuat terhadap pengembangan bank syari’at karena masih menggunakan istilah bank bagi hasil. Pengertian bank bagi hasil yang dimaksudkan dalam UU tersebut belum sesuai dengan cakupanpengertian bank syari’at yang relatif lebih luas dari bank bagi hasil. Dengan tidak adanya pasal-pasal dalam UU tersebut yang mengatur bank syari’at, maka hingga tahun 1998 belum terdapat ketentuan operasional yang secara khusus mengatur kegiatan usaha bank syari’ah.[14]       
 Amandemen terhadap UU No. 7 Tahun 1992 yang melahirkan UU No. 10 Tahun 1998 yang secara eksplisit menetapkan bahwa bank dapat beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syari’at. Kemudian, UU No. 23 Tahun 1999 tetang Bank Indonesia juga menetapkan bahwa Bank Indonesia dapat melakukan pengendalian moneter berdasarkan prinsip-prinsip syari’at. Kemudian UU tersebut telah mengamanatkan Bank Indonesia untuk menyiapkan perangkat ketentuan dan fasilitas penunjang lainnya yang mendukung operasional bank syri’at sehingga memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang lebih luas bagi pengembangan perbankan syari’at di Indonesia, yaitu dengan diterbitkannya sejumlah ketentuan operasional dalam bentuk SK. Direksi BI/Peraturan Bank Indonesia. Kedua UU tersebut  selanjutnya menjadi dasar hukum bagi keberadaan dual banking system di Indonesia, yaitu adanya dua sistem perbankan (konvensional dan syari’at) secara berdampingan dalam memberikan pelayanan jasa perbankan bagi masyarakat yang pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.[15]
Upaya pengembangan perbankan syari’at di Indonesia tidak semata hanya konsekuensi dari UU No 10/1998 dan UU No. 23/1999 tetapi juga merupakan bagian dari upaya penyehatan sistem perbankan yang bertujuan meningkatkan daya tahan perekonomian nasional. Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan 1997 membuktikan bahwa bank yang beroperasi dengan prinsip syari’at dapat bertahan di tengah gejolak nilai tukar dan tingkat suku bunga yang tinggi. Kenyataan tersebut di topang oleh karakteristik operasi bank syari’at yang melarang bunga (riba), transaksi yang bersifat tidak transparan (garar) dan spekulatif (maisyir). Dengan kenyataan tersebut, pengembangan perbankan syari’at diharapkan dapat meningkatkan ketahanan sistem perbankn nasional yang pada gilirannya juga diharapkan dapat meningkatkan ketahanan ekonomi nasional di masa mendatang.
Dalam upaya pengembangan perbankan syari’at tersebut disadari masih terdapat sejumlah permasmasalahan. Lengkapnya peraturan dan infrastruktur saja belum cukup untuk menjamin suksesnya bank syari’at dalam mendekatkan sektor riil. Sejumlah permasalahan lain masih ditemukan dalam upaya pengembangan perbankan syari’at, misalnya relatif rendahnya pemahaman masyarakat terhadap operasional perbankan syari’at dan terbatasnya tenaga ahli perbankan syari’at berpengaruh terhadap potensi permintaan dan penawaran. Di samping itu, relatif terbatasnya jaringan kantor bank syari’at menyebabkan masih terbatasnya jangkauan bank syari’at dalam melayani masyarakat. Keberadaan institusi-institusi pendukung agar perbankan syari’at dapat beroperasi secara optimal juga dirasakan belum memadai. Di lain pihak, sejumlah isu yang berkaitan dengan perkembangan
teknologi dan inovasi ragam produk bank syari’at memerlukan pengaturan yang memadai agar stabilitas sistem perbankan syari’at dapat terwujud.[16]
Namun demikian berdasarkan penyelidikan bahwa bank-bank Islam telah dapat mngembangkan dananya seperti bank konvensional umumnya. Bank-bank Islam itu telah menjadi penampung dana dan penyalur dana-dana umat Islam baik untuk kepentingan yang berhubungan dengan ibadah seperti dana dari zakat, infak, dan shadaqah maupun muamalah seperti simpanan wadi’ah dan mu«arabah. Data yang berhasil dikumpulkan ternyata bahwa 26 dari 32 bank merupakan bank yang sehat dan untung. Delapan belas di antaranya secara tetap membagikan keuntungan kepada para penyimpan dana. Hasil atas investasi bagi dipositor berkisar antara 3 % s.d 24 % sedangka hasil atas investasi bagi pemegang saham berkisar 0 % s.d 98 %.[17]
Jadi dapat dipahami bahwa keberadaan bank syari’at di Indonesia sejak tahun 1992 UU No. 7 tentang perbankan. Akan tetapi bank syari’ah di anggap lebih sempurna dan telah nampak ciri khasnya sebagai bank syari’at setelah lahirnya UU No 10 tahun 1998. Menurut Muslimin H. Kara bahwa Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 ini dikeluarkan sebagai periode kedua perkembangan kebijakan perbankan Islam di Indonesia, yang cukup berdampak positif bagi perkembangan bank Islam.[18] Undang tersebut sebagai amandemen UU No 7 tahun 1992. Kemudian didukung oleh UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia dapat mengendalikan sistem moneter berdasarkan prinsip syari’at, sehingga keberadaan bank sayri’at berkembang semakin pesat. Di mana UU tersebut memperbolehkan juga bank konvensional membuka sistem syari’ah.
Dengan lahirnya bank syari’at yang beroperasi berdasarkan sistem bagi hasil sebagai alternatif pengganti bunga pada bank konvensional, merupakan peluang bagi umat Islam untuk memanfaatkan jasa bank seoptimal mungkin. Merupakan peluang karena umat Islam akan berhubungan perbankan dengan tenang, tanpa keraguan dan didasari oleh motivasi keagamaan yang kuat di dalam memobilisasi dana masyarakat untuk pembiayaan pembagunan ekonomi umat.
Peluang tersebut tidak hanya dirasakan umat Islam saja, tetapi juga oleh umat non muslim, karena bank syari’at dinilai terbukti mampu menjadi sarana penunjang pembangunan ekonomi yang handal dan dapat beroperasi secara sehat, karena di dalam operasinya terkandung misi kebersamaan antara nasabah dengan bank. Selain itu bank syari’at dinilai mampu hidup berdampingan secara serasi dan kompetisi secara sehat dan wajar dengan bank-bank konvensional yang telah ada, karena bank syari’at tidak bersifat ekslusif untuk umat Islam saja, tetapi tidak ada larangan bagi umat non muslim untuk melakukan hubungan dengan bank syari’at. Bahkan pengelolaannya pun bisa dilakukan oleh orang-orang non muslim, seperti yang terjadi pada bank syari’at di London, Luxemburg, switzerland dan bank-bank asing di Pakistan.[19]
Kedudukan bank syari’at dalam sistem perbankan nasional mendapat pijakan yang kukuh setelah adanya deregulasi sektor perbankan pada tahun 1983. dengan deregulasi sektor perbankan tersebut, kepada lembaga keuangan bank diberikan keleluasaan, termasuk dalam hal penentuan tingkat suku bunga (hingga nol persen) bahkan peniadaan bungan sekaligus.[20] Deregulasi tersebut baru dapat dimanfaatkan setelah keluarnya paket Oktober (Pakto) 1988. dalam pakto tersebut diperkenankan untuk mendirikan bank-bank baru.
III. PENUTUP
Berdasar dari uraian yang telah dikemukakan maka dapat dirumus-kan kesimpulan bahwa Bank syari’at disebut pula Bank Islam yakni lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip syari’at Islam. Dalam prakteknya, perbankan Islam memberikan layanan bebas bunga kepada para nasabahnya. Sebab, tata cara operasinya didasarkan pada ajaran Islam, yakni mengacu kepada ketentuan-ketentuan al-Qur’an dan al-Hadis, di mana dalam ketentuan ini melarang adanya praktek riba dalam berbagai transaksi pereknomian. Di samping berdasar pada ketentuan ajaran Islam, Bank Islam juga beroperasi sesuai dengan aturan Hukum Nasional yang mengatur tentang masalah perbankan. Aturan tersebut terutama yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1992.
Dengan diberlakukannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, maka Bank Syari’at di Indonesia secara formal mulai eksis, walaupun UU tersebut belum memberikan landasan hukum yang cukup kuat terhadap pengembangan Bank Syari’at karena masih menggunakan istilah bank bagi hasil. Dalam perkembangan selanjutnya, lahir lagi Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, dan sejak itulah maka secara eksplisit menetapkan bahwa bank dapat beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syari’at. Demikian seterusnya diundangkan lagi UU No. 23 Tahun 1999 tetang Bank Indonesia juga menetapkan bahwa Bank Indonesia dapat melakukan pengendalian moneter berdasarkan prinsip-prinsip syari’at. Berkenaan dengan itulah, maka dipahami Bank Konvensional dan Bank Syariat sama kedudukannya dalam tata hukum perbankan nasional, karena sama-sama diatur dalam undang-undang. Bahkan dengan undang-undang bank-bank Islam telah dapat mengembangkan dananya seperti bank konvensional umumnya.
Sejalan dengan rumusan kesimpulan di atas, maka implikasi akhir dari pembahasan ini adalah, pentingnya pemahaman bahwa antar Bank Konvensional dan Bank Syariah sama-sama memiliki kedudukan hukum dalam tata hukum perbankan nasional. Untuk memahami lebih lanjut tentang hal tersebut disarankan agar bahasan dan kajian tentangnya sebagaimana yang diuraikan dalam makalah tetap dikembangkan dan dan didiskusikan.[]

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Abdullah Yusuf. The Holy Qur’an. Maryland: Amana Corporation, 1989.
Ali, Mohammad Daud. “Pendidikan Syari’at dalam Mengisi Kebutuhan Hukum Nasional” dalam Mimbar Hukum No. II Tahun IV 1993. Jakarta: al-Hikmah dan BITBINBAPERA Islam.
                 . Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 1992
Husain dan Suanto (Ed), Menggagas Konsep ekonomi Syari’ah : Jalan Menuju Tatanan Perekonomian Yang Berkeadilan. Makassar: Umitoha Ukhuwah Grafika, 2003
Kara, Muslimin H. Bank Syariah di Indonesia. Cet. I; Yogyakarta: UII Press, 2005.
Karim, Adiwarman. Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004
Lewis, Mervyn K. dan Lativa M. Agaoud, Islamic Banking. t.t. Massachusetts, 2001
Lubis, Suhrawardi K. Hukum Ekonomi Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2000.
Perwataatmaja, Karnaen. et al., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2005.
Sumitro, Warkum. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Syarifuddin, Amir. Meretas Kebekuan Ijtihad: Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia. Jakarta: Ciputat Press, 2002.





[3]Lihat Karnaen Perwataatmaja, et al., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 17-18.
[4]Husain dan Suanto (Ed), Menggagas Konsep ekonomi Syari’ah : Jalan Menuju Tatanan Perekonomian Yang Berkeadilan, (Makassar: Umitoha Ukhuwah Grafika, 2003), h. 117.
[5]Adiwarman Karim, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 25.
[6]Warkum Sumitro, op. cit., h. 5.
[7]Mervyn K. Lewis dan Lativa M. Agaoud, Islamic Banking (t.t. Massachusetts, 2001), h. 11.
[8]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 1992), h. 69
[9]Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an (Maryland: Amana Corporation, 1989), h. 589.
[10]Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 200), h. 240.
[11]Mohammad Daud Ali, “Pendidikan Syari’at dalam Mengisi Kebutuhan Hukum Nasional” dalam Mimbar Hukum No. II Tahun IV 1993, (Jakarta: al-Hikmah dan BITBINBAPERA Islam), h. 2.
[12]Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad: Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 22.
[13]Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 47.
[14]Husain dan Suanto (Ed), op. cit., h. 101.
[15]Ibid.
[16]Ibid., h. 102-103.
[17]Suhrawardi K. Lubis, op. cit., h. 47.
[18]Muslimin H. Kara, Bank Syariah di Indonesia (Cet. I; Yogyakarta: UII Press, 2005), h. 224
[19]Warkum Sumitro, op. cit., h. 56.
[20]Suhrawardi K. Lubis, op. cit., h. 47.

Comments

Popular posts from this blog

Strategi Kepemimpinan Ali Bin Abu Thalib

BAB I PENDAHULUAN A.       Latarbelakang Masalah Nabi Muhammad saw. Tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau tampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum Muslimin untuk menentukannya sendiri. Kaena itu, tidak lama setelah beliau wafat; belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokohMuhajirin dan Ashor Berkumpul dibalai kota   Bani Sa’dah, Madinah.  

Kedudukan Ar-ra'yu sebagai Landasan Hukum Islam

Referensi Pada dasarnya umat Islam yang beriman Kepada Allah swt. Meyakini bahwa Sumber utama Ajaran Islam yaitu Alquran dan Hadis sudah sempurna. Firman Allah dalam Alquran sudah sempurna membahas aturan-aturan, hukum, ilmu pengetahuan (filsafat), kisah, ushul fiqh dan lain-lain. Begitu juga Hadis Rasulullah yang salah satu sifatnya menjadi penjelasan ayat-ayat dalam Alquran. Posisi Hadis adalah penjelas dan sumber kedua setelah Alquran.

Dasar-dasar Pendidikan Islam

DASAR-DASAR PENDIDIKAN ISLAM (Tinjauan al-Qur'an dan Hadis) Oleh : Kelompok 2 A.    Pendahuluan Islam mempunyai berbagai macam aspek, di antaranya adalah pendidikan (Islam). Pendidikan Islam bermula sejak nabi Muhammad Saw, menyampaikan ajaran Islam kepada umatnya. [1]   Pendidikan adalah proses atau upaya-upaya menuju pencerdasan generasi, sehingga menjadi manusia dalam fitrahnya. Itu artinya bahwa pendidikan merupakan conditio sine quanon yang harus dilakukan pada setiap masa. Berhenti dari gerakan pendidikan berarti   lonceng kematian (baca; kemunduran atau keterbelakangan) telah berbunyi dalam masyarakat atau negara.