I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gagasan adanya lembaga
perbankan yang beroperasi berdasarkan prinsip syari’at Islam berkaitan erat
dengan gagasan terbentuknya suatu sistem ekonomi Islam. Gagasan mengenai konsep
ekonomi Islam secara Internasional muncul pada sekitar dasawarsa 70-an, ketika
pertama kali diselenggarakan konfrensi Internasional tentang ekonomi Islam di
Makkah pada tahun 1976.[1]
Lembaga perbankan syari’at
mengalami perkembangan yang amat pesat dengan lahirnya Islamic Development Bank
(IDB) pada tahun 1975 yang bertujuan untuk mendorong bertumbuhan ekonomi serta
meningkatkan kesejahteraan sosial bagi negara-negara anggota dan masyarakat
muslim pada umumnya.
Pesatnya perkembangan
lembaga perbankan syari’at ini karena bank syari’at memiliki
keistimewaan-keistimewaan. Salah satu keistimewaan yang utama adalah yang
melekat pada konsep kebersamaan. Orientasi kebersamaan inilah yang menjadikan
bank syari’at mampu tampil sebagai alternatif penggati sistem bunga yang selama
ini hukumnya (halal-atau haram) masih diragukan oleh masyarakat muslim.[2]
Pada dasarnya, aktivitas
bank syari’at tidak jauh berbeda dengan aktivitas bank-bank yang telah ada,
perbedaannya selain terletak pada orientasi konsep juga terletak pada konsep
dasar operasionalnya yang berlandaskan pada ketentuan-ketentuan dalam Islam.
Perbankan syari’ah
menjadi wadah terpercaya bagi masyarakat yang ingin melakukan investasi dengan
sistem bagi hasil secara adil sesuai prinsip syari’ah. Memenuhi rasa keadilan
bagi semua pihak dan memberikan maslahat bagi masyarakat luas adalah merupakan
prinsip utama bagi bank syari’ah. Oleh karena itu bank syari’ah menerapkan
ketentuan dengan menjauhkan diri dari unsur riba dan menjalankan prinsip bagi
hasil dan sistem jual beli.[3]
Berdasakan petunjuk QS. al-Baqarah (2):275 dan QS. al-Nisa (4):29 yang intinya.
Allah swt. telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba serta suruhan
untuk menempuh jalan perniagaan dengan suka sama suka, maka setiap transaksi
kelembagaan ekonomi syari’ah harus selalu dilandasi atas dasar sistem bagi
hasil dan perdagangan atau yang transaksinya didasari oleh adanya petukaran
antara uang dengan barang/jasa.
Di Indonesia bank
syari’at yang beroperasi sampai sekarang ada dua jenis, yaitu Bank Mu’amalat
Indomesia (BMI) dan Bank Perkreditan Rakyat Syari’at (BPRS). Beroperasinya bank
syari’at di Indonesia, harus
disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat dan negara Indonesia, baik bidang sosial,
ekonomi maupun hukum. Selain itu juga harus memenuhi persyaratan pendirian dan
operasionalnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Bank Muamalah Indonesia
didirikan pada tahun 1991 dan mulai kegiatan operasinya pada bulan Mei 1992.
Pada tahun 1994 dua tahun setelah didirikan, Bank Muamalah berhasil menyandang
predikat sebagai bank devisa. Pengakuan ini selanjutnya semakin memperkokoh
posisi perseroan sebagai bank syari’ah pertama dan terkemuka di Indonesia
dengan beragam jasa maupun produk yang terus berkembang.[4]
Dari sebuah riset Business Consulting, diproyeksikan bahwa total aset
bank syari’ah di Indonesia
akan tumbuh sebesar 2.850 % selama 8 tahun, atau rata-rata 356.25 % tiap
tahunnya. Sebuah bertumbuhan aset yang sangat mengesankan. Tumbuh kembangnya
aset bank syari’ah ini dikarenakan adanya kepastian di sisi regulasi serta
berkembangnya pemikiran masyarakat tentang keberadaan bank syari’ah.[5]
Di samping itu perkembangan bank syari’ah ini karena didukung oleh kebijakan
pemerintah dalam mengatur perbankan, termasuk bank syari’ah, yaitu setelah
lahirnya UU No. 10 tahun 1998.
B. Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah yang telah diuraikan, bahwa perkembangan bank syari’ah yang
sangat pesat di dunia Islam di awali dengan terbentuknya IDB tahun 1975. Sedang
di Indonesia Mulai 1991 setelah lahirnya Bank Muamalah Indonesia (BMI) dan
perkembangan yang signifikan ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan tetntang
perbankan, khususnya UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan syari’ah.
Sehubungan dengan itu,
maka yang menjadi masalah dalam makalah ini adalah; Sejauhmana hubungan
perbankan syari’at dalam tata hukum perbankan Nasional ? Dari masalah ini
dibagi menjadi sub-sub masalah untuk mempermudah dalam pembahasan, adalah sebagai
berikut :
1.
Apakah hakekat perbankan syari’ah dan hukum
nasional ?
2.
Bagaimana eksistensi perbankan syari’at dalam
tata hukum perbankan nasional ?
II.
PEMBAHASAN
A. Hakikat Perbankan
Syariah dan Hukum Nasional
Istilah lain yang sering
digunakan untuk bank syari’at adalah bank Islam. Secara akademik, istilah bank
syari’at dan bnak Islam memang mempunyai pengertian yang berbeda. Namun secara
tehnis penyebutan bank Islam dan bank syari’at mempunyai pengertian yang sama.[6]
Bank Islam yang biasa
juga disebut bank syari’at merupakan lembaga keuangan yang usaha pokoknya
memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran
uang yang pengoperasannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip syari’at Islam.
Dalam prakteknya,
perbankan Islam memberikan layanan bebas bunga kepada para nasabahnya.
Pembayaran dan penarikan bunga memang dilarang dalam semua bentuk transaksi.
Islam melarang kaum muslim menarik atau membayar bunga (interest).[7]
Ayat Alquran yang secara tegas menyatakan atas pelarangan riba (bunga bank),
adalah QS. al-Baqarah (2): 275 yakni :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا
Terjemahnya :
Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.[8]
Sekalipun dalam ayat
tersebut tidak ditemukan alasan secara secara eksplisit diharamkannya riba.
Namun dapat dipastikan bahwa salah satu alasan diharamkan riba adalah agar umat
Islam terhindar dari unsur gharar (spekulasi) dalam melakukan transaksi.[9]
Di sinilah urgensinya pendirian bank Islam dalam upaya menggalakkan
perekonomian umat berdasarkan sistem syariat.
Berdasarkan uraian
tersebut , bank syari’at berarti bank yang tata cara operasinya didasarkan pada
ajaran Islam, yakni mengacu kepada ketentuan-ketentuan al-Qur’an dan al-Hadis.
Bank syari’at dalam operasionalisasinya harus mengikuti atau berpedoman kepada
praktik-praktik usaha yang telah dilakukan pada zaman Rasulullah saw.,
bentuk-bentuk usaha yang telah ada sebelumnya tetapi tidak dilarang oleh
Rasulullah atau bentuk-bentuk usaha baru sebagai hasil ijtihad para
ulama/cendekiawan muslim yang tidak menyimpang dari ketentuan al-Qur’an dan
Hadis.
Selanjutnya yang dimaksud
Hukum Nasional adalah hukum yang berlaku bagi bangsa tertentu di suatu negara
nasional tertentu. Dalam kasus Indonesia,
hukum nasional adalah hukum yang dibangun bangsa Indonesia
setelah merdeka dan berlaku bagi penduduk Indonesia,
terutama warga negara Repuplik Indonesia, sebagai pengganti hukum Kolonial
dahulu.[10]
Singkatnya, hukum nasional adalah hukum yang berlaku setelah bangsa Indonesia merdeka untuk kepentingan nasional,
bersumber pada pancasila dan UUD 1945, berlaku bagi warga negara Republik Indonesia.[11]
Senada dengan pengertian
di atas, hukum nasional menurut Amir Syarifuddin adalah seperangkat peraturan
tertulis yang mengatur tingkat laku manusia, dibuat dan dijalankan oleh badan
negara yang ditentukan, berlaku dan mengikat untuk seluruh warga negara
Indonesia.[12]
Dari pengertian di atas
dapat disimpulkan bahwa bank syari’at adalah bank yang tata cara operasionalnya
sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang berdasakan al-Qur’an dan Hadis.
Sedang hukum nasional adalah hukum yang mengatur warga negara Republik Indonesia
secara tertulis, dari segala tingkah lakunya dalam semua aspek kehidupannya,
baik berbangsa maupun bernegara.
Bank Syariat dalam hal
pengawasan dan pembinaannya tetap merujuk pada sistem hukum nasional, yakni
undang-undang yang mengatur masalah perbankan, terutama undang-undang Nomor 7
tahun 1992 yang di dalamnya disebutkan dua jenis bank, yaitu Bank Umum dan Bank
Perkreditan rakyat yang beroperasi secara konvensional dengan bank-bank yang
beroperasi berdasarkan prinsip syariat. Oleh karena itu semua ketentuan bank
konvensional pada dasarnya juga diberlakukan terhadap bank yang beroperasi
berdasarkan syariat Islam.
Suatu hal lagi yang teristimewa dalam Bank Islam sesuai peraturan
perundang-undangan, dan sekaligus sebagai pembeda Bank Konvensional adalah
karena pada Bank Islam sesuai kenyataannya, terbentuk Dewan Pengawas Syari’ah
(DPS) yang bersifat independen. Keberadaan DPS di Bank Islam yang melakukan
kegiatan berdasarkan prinsip syari’ah berfungsi sebagai penasehat dan pemberi
saran kepada direksi, pemimpin unit usaha syari’ah, dan pemimpin kantor cabang
Syari’ah mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek syari’ah.
B. Eksistensi Perbankan Syari’ah dalam Tata Hukum Nasional
Di Indonesia pendirian
bank syari’ah dengan prinsip bagi hasil tersebut sudah sejak lama
dicita-citakan oleh umat Islam. Hal itu antara lain terungkap dalam Keputusan
Majelis Tarjih Muhammadiyah yang diadakan di Sidoarjo Jawa Timur pada tahun
1968. dalam poin nomor 4 diputuskan, Majelis Tarjih Muhammadiyah menyarankan
kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi
sistem perekonomian, khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah
Islam.[13]
Eksistensi bank syari’at
di Indonesia
secara formal dimulai sejak tahun 1992 dengan diberlakukannya UU No. 7 Tahun
1992 tentang perbankan. Namun, harus diakui bahwa UU tersebut belum memberikan
landasan hukum yang cukup kuat terhadap pengembangan bank syari’at karena masih
menggunakan istilah bank bagi hasil. Pengertian bank bagi hasil yang
dimaksudkan dalam UU tersebut belum sesuai dengan cakupanpengertian bank
syari’at yang relatif lebih luas dari bank bagi hasil. Dengan tidak adanya
pasal-pasal dalam UU tersebut yang mengatur bank syari’at, maka hingga tahun 1998
belum terdapat ketentuan operasional yang secara khusus mengatur kegiatan usaha
bank syari’ah.[14]
Amandemen terhadap UU No. 7 Tahun 1992 yang
melahirkan UU No. 10 Tahun 1998 yang secara eksplisit menetapkan bahwa bank
dapat beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syari’at. Kemudian, UU No. 23
Tahun 1999 tetang Bank Indonesia
juga menetapkan bahwa Bank Indonesia
dapat melakukan pengendalian moneter berdasarkan prinsip-prinsip syari’at.
Kemudian UU tersebut telah mengamanatkan Bank Indonesia
untuk menyiapkan perangkat ketentuan dan fasilitas penunjang lainnya yang
mendukung operasional bank syri’at sehingga memberikan landasan hukum yang
lebih kuat dan kesempatan yang lebih luas bagi pengembangan perbankan syari’at
di Indonesia,
yaitu dengan diterbitkannya sejumlah ketentuan operasional dalam bentuk SK.
Direksi BI/Peraturan Bank Indonesia. Kedua UU tersebut selanjutnya menjadi dasar hukum bagi
keberadaan dual banking system di Indonesia, yaitu adanya dua sistem
perbankan (konvensional dan syari’at) secara berdampingan dalam memberikan
pelayanan jasa perbankan bagi masyarakat yang pelaksanaannya diatur dalam
berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.[15]
Upaya pengembangan
perbankan syari’at di Indonesia tidak semata hanya konsekuensi dari UU No
10/1998 dan UU No. 23/1999 tetapi juga merupakan bagian dari upaya penyehatan
sistem perbankan yang bertujuan meningkatkan daya tahan perekonomian nasional.
Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan 1997 membuktikan bahwa bank yang
beroperasi dengan prinsip syari’at dapat bertahan di tengah gejolak nilai tukar
dan tingkat suku bunga yang tinggi. Kenyataan tersebut di topang oleh
karakteristik operasi bank syari’at yang melarang bunga (riba), transaksi yang
bersifat tidak transparan (garar) dan spekulatif (maisyir).
Dengan kenyataan tersebut, pengembangan perbankan syari’at diharapkan dapat
meningkatkan ketahanan sistem perbankn nasional yang pada gilirannya juga
diharapkan dapat meningkatkan ketahanan ekonomi nasional di masa mendatang.
Dalam upaya pengembangan
perbankan syari’at tersebut disadari masih terdapat sejumlah permasmasalahan.
Lengkapnya peraturan dan infrastruktur saja belum cukup untuk menjamin
suksesnya bank syari’at dalam mendekatkan sektor riil. Sejumlah permasalahan
lain masih ditemukan dalam upaya pengembangan perbankan syari’at, misalnya
relatif rendahnya pemahaman masyarakat terhadap operasional perbankan syari’at
dan terbatasnya tenaga ahli perbankan syari’at berpengaruh terhadap potensi
permintaan dan penawaran. Di samping itu, relatif terbatasnya jaringan kantor
bank syari’at menyebabkan masih terbatasnya jangkauan bank syari’at dalam
melayani masyarakat. Keberadaan institusi-institusi pendukung agar perbankan
syari’at dapat beroperasi secara optimal juga dirasakan belum memadai. Di lain
pihak, sejumlah isu yang berkaitan dengan perkembangan
teknologi dan inovasi ragam produk bank syari’at
memerlukan pengaturan yang memadai agar stabilitas sistem perbankan syari’at
dapat terwujud.[16]
Namun demikian
berdasarkan penyelidikan bahwa bank-bank Islam telah dapat mngembangkan dananya
seperti bank konvensional umumnya. Bank-bank Islam itu telah menjadi penampung
dana dan penyalur dana-dana umat Islam baik untuk kepentingan yang berhubungan
dengan ibadah seperti dana dari zakat, infak, dan shadaqah maupun muamalah
seperti simpanan wadi’ah dan mu«arabah. Data yang berhasil dikumpulkan
ternyata bahwa 26 dari 32 bank merupakan bank yang sehat dan untung. Delapan
belas di antaranya secara tetap membagikan keuntungan kepada para penyimpan
dana. Hasil atas investasi bagi dipositor berkisar antara 3 % s.d 24 % sedangka
hasil atas investasi bagi pemegang saham berkisar 0 % s.d 98 %.[17]
Jadi dapat dipahami bahwa
keberadaan bank syari’at di Indonesia
sejak tahun 1992 UU No. 7 tentang perbankan. Akan tetapi bank syari’ah di
anggap lebih sempurna dan telah nampak ciri khasnya sebagai bank syari’at
setelah lahirnya UU No 10 tahun 1998. Menurut Muslimin H. Kara bahwa
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 ini dikeluarkan sebagai periode kedua
perkembangan kebijakan perbankan Islam di Indonesia, yang cukup berdampak
positif bagi perkembangan bank Islam.[18]
Undang tersebut sebagai amandemen UU No 7 tahun 1992. Kemudian didukung oleh UU
No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia dapat mengendalikan sistem moneter
berdasarkan prinsip syari’at, sehingga keberadaan bank sayri’at berkembang
semakin pesat. Di mana UU tersebut memperbolehkan juga bank konvensional
membuka sistem syari’ah.
Dengan lahirnya bank
syari’at yang beroperasi berdasarkan sistem bagi hasil sebagai alternatif
pengganti bunga pada bank konvensional, merupakan peluang bagi umat Islam untuk
memanfaatkan jasa bank seoptimal mungkin. Merupakan peluang karena umat Islam
akan berhubungan perbankan dengan tenang, tanpa keraguan dan didasari oleh
motivasi keagamaan yang kuat di dalam memobilisasi dana masyarakat untuk
pembiayaan pembagunan ekonomi umat.
Peluang tersebut tidak
hanya dirasakan umat Islam saja, tetapi juga oleh umat non muslim, karena bank
syari’at dinilai terbukti mampu menjadi sarana penunjang pembangunan ekonomi yang
handal dan dapat beroperasi secara sehat, karena di dalam operasinya terkandung
misi kebersamaan antara nasabah dengan bank. Selain itu bank syari’at dinilai
mampu hidup berdampingan secara serasi dan kompetisi secara sehat dan wajar
dengan bank-bank konvensional yang telah ada, karena bank syari’at tidak
bersifat ekslusif untuk umat Islam saja, tetapi tidak ada larangan bagi umat
non muslim untuk melakukan hubungan dengan bank syari’at. Bahkan pengelolaannya
pun bisa dilakukan oleh orang-orang non muslim, seperti yang terjadi pada bank
syari’at di London, Luxemburg, switzerland dan bank-bank asing di Pakistan.[19]
Kedudukan bank syari’at
dalam sistem perbankan nasional mendapat pijakan yang kukuh setelah adanya
deregulasi sektor perbankan pada tahun 1983. dengan deregulasi sektor perbankan
tersebut, kepada lembaga keuangan bank diberikan keleluasaan, termasuk dalam
hal penentuan tingkat suku bunga (hingga nol persen) bahkan peniadaan bungan
sekaligus.[20] Deregulasi
tersebut baru dapat dimanfaatkan setelah keluarnya paket Oktober (Pakto) 1988.
dalam pakto tersebut diperkenankan untuk mendirikan bank-bank baru.
III.
PENUTUP
Berdasar dari uraian yang
telah dikemukakan maka dapat dirumus-kan kesimpulan bahwa Bank syari’at disebut
pula Bank Islam yakni lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan
jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang
pengoperasannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip syari’at Islam. Dalam
prakteknya, perbankan Islam memberikan layanan bebas bunga kepada para
nasabahnya. Sebab, tata cara operasinya didasarkan pada ajaran Islam, yakni
mengacu kepada ketentuan-ketentuan al-Qur’an dan al-Hadis, di mana dalam
ketentuan ini melarang adanya praktek riba dalam berbagai transaksi
pereknomian. Di samping berdasar pada ketentuan ajaran Islam, Bank Islam juga
beroperasi sesuai dengan aturan Hukum Nasional yang mengatur tentang masalah
perbankan. Aturan tersebut terutama yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 7
tahun 1992.
Dengan diberlakukannya Undang-undang
No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, maka Bank Syari’at di Indonesia secara
formal mulai eksis, walaupun UU tersebut belum memberikan landasan hukum yang
cukup kuat terhadap pengembangan Bank Syari’at karena masih menggunakan istilah
bank bagi hasil. Dalam perkembangan selanjutnya, lahir lagi Undang-undang Nomor
10 Tahun 1998, dan sejak itulah maka secara eksplisit menetapkan bahwa bank
dapat beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syari’at. Demikian seterusnya
diundangkan lagi UU No. 23 Tahun 1999 tetang Bank Indonesia juga menetapkan
bahwa Bank Indonesia dapat melakukan pengendalian moneter berdasarkan
prinsip-prinsip syari’at. Berkenaan dengan itulah, maka dipahami Bank
Konvensional dan Bank Syariat sama kedudukannya dalam tata hukum perbankan
nasional, karena sama-sama diatur dalam undang-undang. Bahkan dengan
undang-undang bank-bank Islam telah dapat mengembangkan dananya seperti bank
konvensional umumnya.
Sejalan dengan rumusan
kesimpulan di atas, maka implikasi akhir dari pembahasan ini adalah, pentingnya
pemahaman bahwa antar Bank Konvensional dan Bank Syariah sama-sama memiliki
kedudukan hukum dalam tata hukum perbankan nasional. Untuk memahami lebih
lanjut tentang hal tersebut disarankan agar bahasan dan kajian tentangnya
sebagaimana yang diuraikan dalam makalah tetap dikembangkan dan dan
didiskusikan.[]
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Abdullah Yusuf. The Holy
Qur’an. Maryland:
Amana Corporation, 1989.
Ali, Mohammad Daud. “Pendidikan Syari’at dalam Mengisi
Kebutuhan Hukum Nasional” dalam Mimbar Hukum No. II Tahun IV 1993. Jakarta: al-Hikmah dan
BITBINBAPERA Islam.
. Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya. Jakarta:
Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 1992
Husain dan Suanto (Ed), Menggagas Konsep ekonomi
Syari’ah : Jalan Menuju Tatanan Perekonomian Yang Berkeadilan. Makassar: Umitoha Ukhuwah Grafika, 2003
Kara,
Muslimin H. Bank Syariah di Indonesia. Cet. I; Yogyakarta:
UII Press, 2005.
Karim, Adiwarman.
Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004
Lewis, Mervyn K. dan Lativa M.
Agaoud, Islamic Banking. t.t. Massachusetts,
2001
Lubis, Suhrawardi
K. Hukum Ekonomi Islam, Jakarta:
Sinar Grafika, 2000.
Perwataatmaja, Karnaen. et al., Bank dan
Asuransi Islam di Indonesia.
Jakarta:
Kencana, 2005.
Sumitro, Warkum. Asas-asas
Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Syarifuddin, Amir. Meretas Kebekuan Ijtihad: Isu-Isu
Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia. Jakarta: Ciputat Press, 2002.
[3]Lihat Karnaen Perwataatmaja, et al.,
Bank dan Asuransi Islam di Indonesia,
(Jakarta:
Kencana, 2005), h. 17-18.
[4]Husain dan Suanto (Ed), Menggagas
Konsep ekonomi Syari’ah : Jalan Menuju Tatanan Perekonomian Yang Berkeadilan, (Makassar: Umitoha Ukhuwah Grafika, 2003), h. 117.
[5]Adiwarman Karim, Bank Islam :
Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 25.
[6]Warkum Sumitro, op. cit., h.
5.
[7]Mervyn K. Lewis dan Lativa M.
Agaoud, Islamic Banking (t.t. Massachusetts,
2001), h. 11.
[8]Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 1992), h.
69
[9]Abdullah Yusuf Ali, The Holy
Qur’an (Maryland: Amana Corporation, 1989), h. 589.
[10]Mohammad Daud Ali, Hukum Islam :
Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 200), h.
240.
[11]Mohammad Daud Ali, “Pendidikan
Syari’at dalam Mengisi Kebutuhan Hukum Nasional” dalam Mimbar Hukum No.
II Tahun IV 1993, (Jakarta:
al-Hikmah dan BITBINBAPERA Islam), h. 2.
[12]Amir Syarifuddin, Meretas
Kebekuan Ijtihad: Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia, (Jakarta: Ciputat Press,
2002), h. 22.
[13]Suhrawardi K. Lubis, Hukum
Ekonomi Islam, Jakarta:
Sinar Grafika, 2000), h. 47.
[14]Husain dan Suanto (Ed), op. cit.,
h. 101.
[17]Suhrawardi K. Lubis, op. cit., h.
47.
[18]Muslimin H. Kara, Bank Syariah di
Indonesia (Cet. I; Yogyakarta: UII Press,
2005), h. 224
[19]Warkum Sumitro, op. cit., h.
56.
[20]Suhrawardi K. Lubis, op. cit., h.
47.
Comments
Post a Comment
شُكْرًا كَثِرًا
Mohon titip Komentarnya yah!!
وَالسَّلامُ عَليْكُم