Sudah
lama saya tidak bertemu dengan kawan lamaku di LSM hingga hari ini kusempatkan
untuk hadir menjenguknya di Kantor. Rupanya ia masih seperti dulu, masih lebih
memilih sendiri ketimbang membangun mahligai rumah tangga. Mungkin karena ia
menduga bahwa saya akan menanyakan pertanyaan yang sama “kapan nikahnya?”
sehingga ia berbicara lebih dulu.
“Mana
pacarnya pak Haris?, ada apa sehingga tidak datang bareng ke sini?” ucapannya
meledek karena ia tau bahwa baru saja pacarku telah menikah dengan lelaki lain.
Ucapannya kutanggapi santai, bahkan kembali bertanya tentang urusan asmara yang
telah ia bangun.
“Kamu
kok belum beristri juga?”, tanyaku.
“Saya
saja belum bisa sejahtera lahir dan batin, bagaimana kalu menambah tanggung
jawab dengan hadirnya seorang istri? Lebih berat kan?”. Jawabnya masih sama
seperti 3 tahun lalu ketika pertama bertemu.
“Cari
dong yang sudah sejahtera, biar kamu juga bisa sejahtera. Itukan tidak salah
dalam agama maupun norma hidup yang berlaku, yang penting tidak memaksa pihak
wanita untuk menjadi istrumu!” tegasku.
“Itu
sich bagi orang awam saja. Kan sudah seharusnya yang bertanggungjawab atas
kesejahteraan dan keharmonisan rumah tangga itu adalah laki-laki (suami) sementara
itu, urusa perempuan adalah sebagai pembina keluarga”. Jawabnya mengelak.
“Tidak
seharusnya urusan rumah tangga memiliki format kaku bahwa yang harus mengurus
kesejahteraan keluarga adalah pihak suami dan pembinaan anak adalah urusan
istri, itu kan bisa dikondisikan”, komentarku menanggapi.
“Betul,
saya sangat sepakat tapi malu jadinya jika saya yang ditanggung oleh istri
segala kebutuhan keluarga saya. Yang harus berjuang kan saya, sementara
sekarang ini belum ada yang bisa dibanggakan”. Kawanku membantah celotehku.
“Kamu
kan sudah punya tongkat sakti yang pendiriannya kokoh dan menjadi pegangan kuat
oleh Istrimu kelak[1],
itu sudah salah satu dari tiga modal utama dalam membangun mahligai rumah
tangga”[2]. Tegasku
“Iya,
saya malah sudah punya senjata dan amunisi yang banyak, hanya saja saya belum
terampil menggunakannya. Senjata boleh jadi akan menolong saya tapi ia juga
akan menghancurkan saya jika tidak terampil menggunakannya, hal tersebut bisa
membuat saya mati konyol”. Jawabnya mengelak.
Rupanya
sangat sulit memberi motivasi pada orang yang memang belum punya niat untuk
menikah. Walaupun usianya sudah 30 tahun lebih. Kalau hanya menunjukkan
alasan-alasan logis semata untuk menyeru orang menikah tidak akan memperngaruhi
niatnya karena merekapun akan menjawab dengan alasan-alasan yang logis pula.
Karenanya
kujawab dengan kesadaran naif bahwa rejeki dan jodoh di tangan tuhan tapi hal
tersebut harus diusahakan secara sungguh-sungguh untuk menggapainya.
Yup, betul sekali.. menikah itu ibadah, dan harus kita terima kenyataan, bahwa ada memang orang2 yang bersikap, yaah gitu deh sama ibadah paling indah 1 ini hehe..
ReplyDeleteyaaah, indahnya masih sebatas imajinasi kalo bagi saya kak! kan belum pernah merasakan. hehehe, tapi aku yakin deh kalo nikah itu ibadah yang paling indah.
ReplyDelete