I.
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Sejak lahirnya agama Islam, lahirlah pendidikan dan
pengajaran Islam, pendidikan dan pengajaran Islam itu terus tumbuh dan
berkembang pada masa khulafaurasyidin dan masa bani Umayyah.
Pada permulaan masa Abbasiyah pendidikan dan pengajaran
berkembang dengan sangat pesattnya di seluruh negara Islam Sehingga lahir
sekolah-sekolah yang tidak terhitung banyaknya, tersebar di kota sampai ke
desa-desa. Anak-anak dan pemuda berlomba-lomba untuk menuntut ilmu pengetahuan,
pergi kepusat-pusat pendidikan, meninggalkan kampung halamannya karena cinta
akan ilmu pengetahuan.
Kerajaan Islam di Timur yang berpusat di Bagdad dan
Cordova telah menunjukan dalam segala cabang ilmu pengetahuan sehingga kalau dibuka
lembaran sejarah dunia pada masa keemasan, yang bermula dengan berdirinya
kerajaan Abbasiyah di Bagdad, pada tahun 750 M dan berakhir dengan kerajaan
Abbasiyah pada tahun 1258 Masehi. Kekuasaan dinasti bani abbas, sebagaimana
disebutkan melanjutkan kekuasaan dinasti bani Umayyah.[1]
Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang sempat
membawa kejayaan umat Islam pada masanya. Zaman keemasan Islam dicapai pada
masa dinasti ini berkuasa. Pada masa ini pula umat Islam banyak melakukan kajian
kritis terhadap ilmu pengetahuan. Akibatnya pada masa ini banyak para ilmuan
dan cendikiawan bermunculan sehinnnngga membuat ilmu pengetahuan menjadi maju
pesat. Tentunya penting untuk dikaji lebih dalam terkait usaha-usaha
peningkatan kualitas dan kapasitas pendidikan Islam serta capaian-capaian yang
telah diraih.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana usaha-usaha peningkatan
kualitas pendidikan Islam pada masa daulat Bani Abbasiyah?
2.
Bagaimana Perkembangan Ilmu KeIslaman
pada masa daulat bani Abbasiyah?
3.
Bagaimana perkembangan ilmu-ilmu umum oleh daulat Bani Abbasiyah?
II.
PEMBAHASAN
A. Peningkatan kualitas pendidikan Islam pada masa daulat Bani
Abbasiyah
Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman
khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya Al-Ma’mum (813-833 M).
Kekayaan yang dimanfaatkan Harun Arrasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit,
lembaga pendidikan, dokter, dan farmasi didirikan, pada masanya sudah terdapat
paling tidak sekittar 800 orang dokter. Disamping itu, permandian-permandian
umum juga dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman
khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan,
dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa
inilah Negara Islam menempatkan dirinya sebagai Negara terkuat dan tak
tertandingi. Al- Ma’mun pengganti Al- Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang
sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku
asing digalakan, untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia mengkaji
penerjemah-penerjemah dari golongan kristen dan penganut golongan lain yang
ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang
terpenting adalah pembangunan Bait Al- Hikmah, pusat penerjemah yang berfungsi
sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar dan menjadi
perpustakaan umum dan diberi nama ”Darul Ilmi” yang berisi buku-buku yang tidak
terdapat di perpustakaan lainnya. Pada masa Al-Ma’mun inilah Bagdad mulai
menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan, kekota inilah para pencari
datang berduyun-duyun, dan pada masa ini pula kota Bagdad dapat memancarkan
sinar kebudayaan dan peradaban Islam keberbagai penjuru dunia.
Diantara bangunan-bangunan atau sarana untuk penndidikan
pada masa Abbasiyah yaitu:
a.
Madrasah yang terkenal ketika itu adalah madrasah
Annidzamiyah, yang didirikan oleh seorang perdana menteri bernama Nidzamul
Muluk (456-486 M). Bangunan madrasah tersebut tersebar luas di kota Bagdad,
Balkan, Muro, Tabaristan, Naisabur dan lain-lain.[2]
b.
Kuttab, yakni tempat belajar bagi para siswa sekolah
dasar dan menengah.
c.
Majlis Munadharah, tempat pertemuan para pujangga,
ilmuan, para ulama, cendikiawan dan para filosof dalam menyeminarkan dan
mengkaji ilmu yang mereka geluti.
Usaha
peningkatan kualitas pendidikan Islam ditempuh dengan berbagai cara. Secara
fisik dapat kita lihat pada uraian di atas yaitu pembangunan perpustakaan yang
megah dan lengkap, majelis untuk diskusi keilmuan, tempat belajar bagi siswa
SMA (Kuttab) dan Madrasah.
Untuk
kepentingan tenaga pengajar, beberapa keistimewaan diberikan khalifah pada
guru. Hal tersebut merupakan salah satu cara meningkatkan kualitas pendidikan Islam
dan umum.
1.
Kehidupan guru
a. Guru dalam pendidikan muslim. Tinggi rendahnya
penghormatan terhadap guru pada awal abad-abad pendidikan muslim tergantung
atas dua faktor, yaitu:
1) Tempat
dimana dia mengajar, di Persia: penghormatan kepada guru merupakan suatu
tradisi lama dalam pendidikan zoroastrian, tradisi ini dilanjutkan kedalam
periode Islam. [4]
2) Tingkatan
dimana ia belajar. Biasanya, penghormatan kepada guru semakin tinggi terhadap
guru sekolah menengah dan pendidikan tinggi. Guru-guru sekolah dasar kurang
dihargai karena pengetahuannya yang amat sederhana dan karena tingkat
pendidikan tampaknya sudah menjadi daya tarik.
b. Tipe-tipe guru. Ada enam tipe guru yaitu muallim, mu’addib, mudarris, syaikh, ustad, imam,
belum lagi termasuk guru pribadi dan para muaiyyid atau asisten (guru-guru
yunior). Muallim biasanya julukan bagi guru sekolah dasar, mu’addib, arti
harfiyahnya orang yang beradab atau guru adab, adalah julukan untuk guru-guru
sekolah dasar dan menengah, mudarris adalah satu julukan propesional untuk
seorang murid atau pembantu. Ia sama dengan asisten profesor dan membantu
mahasiswa menjelaskan hal-hal yang sulit mengenai kuliah yang diberikan
profesornya, syaikh atau guru besar adalah julukan khusus yang menggambarkan
keunggulan akademis atau teologis, imam adalah guru agama tertinggi.
c. Pakaian guru. Selama pemerintahan Abbasiyah
para guru mengikuti gaya Persia, mengenakan tutup kepala Persia, celana lebar,
rok, rompi, dan jaket. Semuanya ditutup dengan jubah atau aba mantel luar dan
taylasan diatas surban.
d. Organisasi guru. Keberadaan guru mempunyai pengaruh yang
penting dalam suatu pemerintahan, bahkan kekuasaannya mempunyai andil yang
besar dalam kekuasaan kholifah, karena guru terhimpun dalam suatu organisasi
yang mempunyai fower yang dapat mengendalikan kepentingan kholifah, khususnya
dalam hal pengangkatan dan pemberian izin untuk menjadi pengajar di masjid. [5]
2.
Pola interaksi guru dan siswa pada pendidikan Islam
klasik
Bentuk pola sikap guru pada pendidikan Islam klasik
berdasarkan pada nilai-nilai hubungan yang ada pada pola bentuk sikap
Rasulullah dan Sahabat dalam mendakwahkan Islam, yaitu :
a.
Pola keikhlasan. Pola keikhlasan mengandung makna bahwa
interaksi yang berlangsung bertujuan agar siswa dapat menguasai ilmu
pengetahuan yang diajarkan tanpa mengharap ganjaran materi dari interaksi
tersebut, dan menganggap interaksi itu berlangsung sesuai dengan panggilan jiwa
dan untuk mengabdikan diri kepada Allah SWT.
b.
Pola kekeluargaan. Pada masa ini guru memposisikan
dirinya dan siswa seperti orang tua dan anak, artinya mereka mempunyai tanggung
jawab yang penuh dalam pendidikan tersebut, dan mencurahkan kasih sayang
seperti menyayangi anak sendiri. Pada pola ini guru senantiasa bersikap:
1)
Lemah lembut dalam proses belajar mengajar.
2)
Bijaksana dalam memberikan pujian atau hadiah dan hukuman
pada anak.
3)
Guru tidak bersikap pilih kasih.
c.
Pola kesederajatan. Guru dalam interaksinya senantiasa
memunculkan sikap tawadhu terhadap siswanya, pola interaksi seperti ini membuat
guru menghargai potensi yang dimiliki anak. Dengan demikian pola yang
dimunculkan bernuansa demokratis, guru memberikan kesempatan pada siswa untuk
menyampaikan sesuatu yang belum dimengerti.
d.
Pola al uswah al hasanah. Pada pendidikan Islam klasik,
interaksi yang terjadi antara guru dan siswa tidak hanya terjadi pada proses
belajar mengajar, tetapi berlangsung juga di tengah masyarakat, dimana guru
menjadi agen moral sekaligus model dari moral yang diajarkan.
3.
Pola sikap
siswa terhadap guru dalam interaksi edukatif
a.
Pola ketaatan. Ketaatan seorang siswa terhadap gurunya
membawa barokah dalam proses pencarian ilmu. Untuk itu, maka siswa dalam
interaksi dengan guru merupakan upaya mencari ridhonya (kerelaan hatinya). Gambaran
ketaatan siswa dalam interaksinya dengan guru dibagi 2 (dua), yaitu:
1)
Ketaatan terhadap guru secara langsung, yaitu jangan
berjalan didepan guru, jika bertamu kerumah guru hendaknya tidak mengetuk
pintu, tetapi cukup menunggu diluar, dan lain-lain.
2)
Ketaatan terhadap keluarga guru, menghormati guru dan
semua orang yang mempunyai ikatan keluarga dengan guru.
b.
Pola kasih sayang. Menurut ibn naiskawaih, kewajiban
antara siswa terhadap guru berada diantara cinta terhadap Allah dan cinta
kepada orang tua, karena menurut Ibnu Miskawaih, guru merupakan penyebab
eksistensi hakiki kita dan penyebab kita memperoleh kebahagiaan sempurna.
c.
Pola komunikasi guru dan siswa dalam proses belajar
mengejar pada pendidikan Islam klasik. Pendidikan Islam pada masa ini sudah
mengenal beberapa bentuk komunikasi dalam proses belajar mengajar, yaitu:
1)
Pola satu arah. Pada pola komunikasi terjadi hanya satu
arah, seorang guru bertindak sebagai instruktur dan senantiasa mendorong siswa
untuk lebih menghapal.
2)
Pola banyak arah. Pola ini komunikasi terjadi tidak hanya
antara guru dan siswa, tetapi siswa dan guru, siswa dan siswa. Ini berlangsung
dalam diskusi dan perdebatan masalah-masalah ilmiah.
B.
Perkembangan Ilmu KeIslaman
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju, terutama
melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan dibidang ilmu
pengetahuan umum. Tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir,
sejak awal sudah dikenal dua metode penafsiran, pertama, tafsir bi al-ma’tsur
yaitu, interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi SAW dan
para sahabatnya. Kedua, tafsir bi al-ra’yi yaitu metode rasional yang lebih
banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran dari pada hadis dan pendapat
sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan Abbasiyah,
akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al ra’yi (tafsir
rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu
pengetahuan, hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh, dan terutama dalam
ilmu teologi perkembangan logika dikalangan umat Islam sangat mempengaruhi
perkembangan dua bidang ilmu tersebut.
Imam-imam mazhab hukum yang empat hidup pada masa
pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah (700-767 M) dalam
pendapat-pendapat hukumnya di pengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di
Kuffah, kota yang berada ditengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup
kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi, karena itu
mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional dari pada hadis.
Muridnya dan sekaligus pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qodhi Al-Qudhal dizaman
Harun Al-Rasyid.
Berbeda dengan Abu Hanifah, imam Malik (713-795 M) banyak
menggunakan hadis dan tradisi masyarakat madmah. Pendapat dua tokoh mazhab
hukum ditengahi oleh imam Syafi’i (767-820 M) dan imam Ahmad ibn Hambal
(780-855 M).
Disamping empat pendiri mazhab besar tersebut, pada masa
pemerintahan bani Abbas banyak mujtahid mutlak lain yang mengeluarkan
pendapatnya secara bebas dan mendirikan mazhabnya pula, akan tetapi karena
pengikutnya tidak berkembang pemikiran dan mazhab itu hilang bersama berlalunya
zaman.
Aliran teologi sudah ada sejak masa bani Umayah, seperti
khawarij, murji’ah, dan mu’tazilah, akan tetapi perkembangan pemikirannya masih
terbatas. Teologi rasional mu’tazilah muncul diujung pemerintahan bani Umayah.
Namun pemikirannya yang sudah kompleks dan sempurna baru dirumuskanpada masa
pemerintahan bani Abbas periode pertama.
Selain itu dalam bidang sastra, penulisan hadis juga berkembang pesat pada masa
bani Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh tersedianya pasilitas dan
transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadis bekerja, dan
hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
Dan pada zaman bani Abbasiyah juga ilmu tasawuf dan ilmu
bahasa mengalami kemajuan, ilmu tasawuf adalah ilmu syari’at. Inti ajarannya
adalah tekun beribadah dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dan
meninggalkan kesenangan perhiasan dunia dan bersembunyi diri beribadah.dalam
ilmu bahasa ini didalamnya mencakup ilmu nahwu, sharaf, ma’any, bayan, badi’,
arudl, dan lain-lain.[6] Ilmu bahasa
pada daulah bani Abbasiyah berkembang dengan pesat, karena bahasa Arab semakin
berkembang memerlukan ilmu bahsa yang menyeluruh.
C.
Perkembangan Ilmu-ilmu Umum
1.
Kedokteran
Seiring dengan
ilmu-ilmu lain, ilmu kedokteran juga sempat mencapai masa keemasannya, daulah
Abbasiyah telah melahirkan banyak dokter ternama. Sekolah-sekolah tinggi
kedokteran banyak didirikan diberbagai tempat, begitulah rumah-rumah sakit
besar yang berfungsi selain sebagai perawatan para pasien, juga sebagai ajang
peraktek para dokter dan calon dokter. Diantaranya sekolah tinggi kedokteran
yang terkenal:
a.
Sekolah tinggi kedokteran di Yunde Shafur (Iran)
b.
Sekolah tinggi kedokteran di Harran (Syria)
c.
Sekolah tinggi kedokteran di Bagdad.
Adapun para dokter yang populer pada masa itu antara
lain:
1) Abu Zakaria
Yuhana bin Miskawaih, seorang ahli formasi di rumah sakit Yunde Shafur.
2) Sabur bin
sahal, direktur rumah sakit Yunde Shafur.
3) Hunain bin
Ishak (194-264 H/ 810-878 M) seoranng ahli penyakit mata ternama.
4) Abu Zakaria
Ar-Razy kepala rumah sakit di Bagdad dan seorang dokter ahli penyakit campak
dan cacar, dan dia juga orang pertam yang menyusun buku mengenai kedokteran
anak.
5) Ibnu Sina
(370-428 H/ 980-1037 M). Ia seorang ilmuan yang multi dimensi, yakni selain
mengasai ilmu kedokteran, juga ilmu-ilmu lai, seperti filsafat dan sosiologi.
Ibnu Sina berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia diantara
karyanya adalah Al- Qur’an fi al rhibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran
paling besar dalam sejarah.[7]
2.
Filsafat
Melalui proses
penerjemahan buku-buku filsafat yang berbahasa Yunani para ulama muslim banyak
mendalami dan mengkaji filsafat serta mengadakan perubahan serta perbaikan
sesuai dengan ajaran Islam. Sebab itulah lahirla filsafat Islam yang akhirnya
menjadi bintangnya dunia filsafat diantara para ahli filsafat yang terkenal
pada waktu itu adalah:
a. Abu Ishak
Al-Kindi (1994-260 H/809-873 M). ia adalah satu-satunya filosof berkebangsaan
asli arab, yakni dari suku kindah, karya-karyanya tidak kurang dari 236 buah
buku.
- Abu Nasr Al-Faraby (390 H/961 M), Al Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika, dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles dan karyanya tak kurang dari 12 buah buku.
- Al-Ghazali (450-505 H/1058-1101 M), beliau dijuluki sebagai hujjatul Islam.
- Ibnu Rusyd di barat lebih dikenal dengan nama Averoes, banyak berpengaruh di barat dalam bidang filsafat, sehingga disana terdapat aliran yang disebut averroisme.[8]
3.
Ilmu Astronomi
Ilmu
astronomi atau perbintangan berkembang dengan baik, bahkan sampai mencapai
puncaknya, kaum muslimin pada masa bani Abbasiyah mempunyai modal yang terbesar
dalam mengembanngkan ilmu perhitungan. Mereka menggodok dan mempersatukan
aliran-aliran ilmu bintang yang berasal atau dianut oleh Yunani, Persia, India,
Kaldan. Dan ilmu falak
arab jahiliyah. Ilmu bintang memegang peranan penting dalam menentukan garis
politik para khalifah dan amir.
4.
Ilmu Matematika
Bidang ilmu
matematika juga mengalami kemajuan pesat, diantara para tokohnya yaitu:
- Umar Al Farukhan, seorang insinyur dan arsitek kota Bagdad.
- Al-Khawarizmi, seorang pakar matematika muslim yang mengarang buku Al-Gebra (Al-jabar). Dan dia juga yang menemukan angka nol.
5.
Ilmu Farmasi dan Kimia
Pakar ilmu
farmasi dan kimia pada masa dinasti Abbasiyah sebenarnya sangat banyak, tetapi
yang paling terkenal adalah ibnu Baithar. Ia adalah seorang ilmuan farmasi yang
produktif menulis, karyanya adalah Almughni (memuat tentang obat-obatan) dan
lain-lain.
III.
PENUTUP
Demikianlah makalah singkat
ini disusun. Sebagai catatan penutup, berikut ini pemakalah menuliskan beberapa
poin kesimpulan, antara lain:
1.
Usaha peningkatan kualitas
pendidikan pada daulat bani Abbasiya antara lain menyiapkan sarana-prasarana
yang menunjang pendidikan, memberikan keistimewaan pada para guru serta aturan
tentang interaksi para guru.
2.
Dan pada zaman bani Abbasiyah juga ilmu tasawuf dan ilmu
bahasa mengalami kemajuan, ilmu tasawuf adalah ilmu syari’at. Inti ajarannya
adalah tekun beribadah dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dan
meninggalkan kesenangan perhiasan dunia dan bersembunyi diri beribadah
3.
Perkembangan Ilmu-ilmu umum
seperti Kedokteran, Filsafat, Astronomi, dan lain-lain telah berkembang dengan
pesat pada masa dinasti bani abbasiya. Tokoh-tokoh dan hasil karya mereka telah
membawa Islam pada puncak kejayaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Sejarah
Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafika Persada, 2004
Ahmad
Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2000
As’ad
Mahrus, Sejarah Kebudayaan Islam, Bandung: Amico, 1994
Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002
Djazimi,
dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Serang: IAIN ”SMH” Banten, 2001
Hasan
Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Alhusna Zikra,
2000
Mehdi
Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia
Intelektual Barat, (Surabaya: Risalah Gusti, 2003
Philip
K. Hitti, History Of The Arabs, (Jakarta
: PT. Serambi Ilmu Semesta, Cet. 2006)
Comments
Post a Comment
شُكْرًا كَثِرًا
Mohon titip Komentarnya yah!!
وَالسَّلامُ عَليْكُم