Tulisan ini terinspirasi dari sebuah ceramah Islam yang disampaikan pada salah
satu Mesjid di Bulukumba. Pada pengantar ceramah itu diungkapkan bahwa “Malu
adalah sebahagian dari iman” dan pernyataan itu berarti memiliki malu sangat
penting dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pemaparan ceramah Islam itu di
gambarkan lebih luas bahwa sifat malu erat kaitannya dengan budaya Bugis
Makassar dan bisa dipahami bahwa budaya malu[1]
mewarnai Islam sebagai agama dan sebaliknya Islam menjadi pelengkap dalam
budaya.
Berbagai hal bisa membuat orang jadi malu, Meskipun
demikian tidak semua malu termasuk dalam falsafah Bugis Makassar. Malu dalam
budaya Sulsel adalah ketika melakukan pelanggaran norma sebagaimana telah dipegang
teguh dalam keseharian masyarakat. Sebagai contoh, seseorang akan merasa sangat
malu ketika melakukan pelanggaran norma susila seperti berpacaran atau
kedapatan berduaan (laki-laki dan perempuan). Begitu juga mencuri barang milik
orang lain maka pelakunya seharusnya sangat malu.
Pergeseran waktu menyebabkan pola hidup dan nilai dalam
masyarakat turut bergeser. Malu dimasa lalu dianggap sebagai sesuatu yang
sangat penting, terutama bagi mereka yang melanggar norma yang berlaku dalam
masyarakat. Setiap orang harus memiliki rasa malu untuk tidak berbuat
pelanggaran namun kenyataannya malu (saat ini) tidak lagi ditempatkan pada
pelanggaran norma atau pelanggaran kode etik dalam masyarakat. Hari ini malu
lebih identik dengan gensi bahwa seseorang harus terlihat mewah, menawan,
cerdas, memiliki titel yang banyak, punya kedudukan dan terpandang dalam
masyarakat. Jika seseorang tidak memiliki hal yang bisa dibanggakan maka itu
akan membuat ia malu.
Malu juga cenderung disandarkan pada suatu kondisi
seperti “ditolak ketika menyatakan cinta”, “diputuskan kekasih”, “mendapat
sangsi pemutusan hubungan kerja”, “lamaran kerja ditolak”, dan lain-lain. Untuk
poin ini tidak semestinya dianggap sebagai sesuatu yang memalukan karena pada
prinsipnya itu tidak akan terjadi jika kualitas diri masing-masing orang berada
pada skala yang baik. Orang tidak akan selalu ditolak jika ia adalah orang yang
cerdas, kaya, rupawan dan dari keluarga yang harmonis. Malu semestinya tidak
ditempatkan pada kondisi seperti ini tapi hal-hal seperti ini mestinya cukup
dijadikan motivasi bagi setiap orang untuk menjadi pribadi yang terbaik.
Hari ini malu semakin pudar dalam keseharian masyarakat
Bugis Makassar. Baik malu sebagai pegangan budaya maupun malu sebagaimana sifat
yang diajarkan Islam. Bahkan mungkin slogan “siri’ na pacce” atau pesan risalah
“malu adalah sebahagian dari iman” hanya akan diingat sebagai suatu pernyataan
dalam kenangan. Masyarakat Sulawesi selatan terancam kehilangan siri’ jika
tidak dikendalikan sejak dini.
Sebagai catatan penutup, penulis berkesimpulan bahwa
malu itu menjadi benteng pertahanan seseorang untuk tidak melakukan
pelanggaran. Olehnya itu sejatinya setiap generasi dididik untuk malu berbuat
pelanggaran norma-norma dalam kehidupan bermasyarakat. (AHM)
[1]
Dalam Masyarakat Sulsel budaya Malu sangat populer dengan sebutan “Siri’ na
Pacce” dalam bahasa Makassar dan “siri’ na pesse” dalam bahasa Bugis.
Comments
Post a Comment
شُكْرًا كَثِرًا
Mohon titip Komentarnya yah!!
وَالسَّلامُ عَليْكُم