a.
Latar Belakang
Islam sebagai agama,
merupakan wadh’un ilāhiyyun yang berarti peraturan dari Allah Yang
Mahatahu dan Mahakuasa yang kebenarannya mutlak dan abadi. Jadi, sebagai agama,
Islam mangatur manusia dengan konsep akidah yang menjadi landasan syariah dan
akhlak yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam beribadah
maupun dalam men-ciptakan karya-karya budaya.
Dengan budaya, maka manusia
memiliki peradaban.
Peradaban Islam (al-hadhārah
al-islāmiyyah), merupakan kajian yang sangat aktual sepanjang masa. Sejarah
pertumbuhan dan perkembangan peradaban Islam mengalami pasang surut dan
periodesasi, yang oleh Harun Nasution membaginya atas lima fase periode, yaitu:
(1) periode klasik/650-1250 M; (2) periode disintegrasi/1000-1250 M; (3)
periode pertengahan/ 1250-1800 M; (4) periode tiga kerajaan besar/1500-1800 M;
dan (5) periode modern/1800-sekarang.[1]
Sementara itu, Badri yatim membaginya menjadi tiga fase periode, yakni ; (1)
periode klasik/650-1250 M; (2) periode pertenghan/1250-1800; (3)
modern/1800-sekarang.[2]
|
Walaupun terjadi
perbedaan dalam penetapan periodesasi per-tumbuhan dan perkembangan peradaban
Islam sebagaimana yang disebutkan di atas, kelihatan bahwa ada persamaan yang
mendasar, yakni periode klasik dimulai sejak tahun 650 H dan periode moderen
dimulai sejak tahun 1800 M. Periode klasik, dimulai sejak berakhirnya masa khulafā’
al-rāsyidīn, kemudian berpindah ke Daulat Umayyah yang pusat
pemerintahannya berada di Damaskus. Setelah Daulat Ummayyah berakhir pada tahun
750 M, maka pusat peradaban Islam selanjutnya dikuasai oleh Daulat Abbāsiyah
yang pusat pemerintahannya berada di Baghdad.
Roda pemerintahan Islam pada
masa Daulat Abbasiyyah, dikendali-kan sepenuhnya oleh keturunan paman Nabi saw
yang bernama Abbās, sehingga struktur kekhalifahannya disebut Daulat
Abbāsiyyah, atau Dinasti Abbāsiyah, dan Bani Abbās. Jadi, klaim “Abbāsiyah” di
sini, dinisbatkan kepada nama “Abbās” salah seorang paman Nabi saw.
Daulat
Abbāssiyah mempunyai corak tersendiri dibanding dengan daulat atau dinasti
sebelumnya. Dikatakan demikian, karena daulat Abbāsiyyah telah memberikan
sumbangan besar dalam peradaban Islam dengan ekspansi ke daerah lainnya yang
belum pernah dilakukan oleh daulat atau dinasti sebelumnya.
Pada sisi lain, Dr. G. H.
Harifuddin Cawidu menyatakan bahwa per-tumbuhan dan perkembangan Islam pada
masa Daulat Abbāsiyah, memiliki arti yang siginifikan. Islam ketika itu, sudah
meluas sampai ke daratan Utara Barat India, Afganistan, Turkistan, Jazirah, Armenia, Syam, Palestina, Mesir
sampai pada Afrika Utara. Di samping itu, Daulat Abbāsiyah merupakan dinasti
terpanjang dan terlama, yakni lebih dari lima abad lamanya.[3]
Sebagaimana disebutkan di
atas, hanya pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai puncak
keemasannya. Pada periode-periode sesudahnya, pemerintahan dinasti ini mulai
menurun, terutama dibidang politik.[4]
Yang penting untuk dikaji dan
didikusikan adalah penyebab terjadinya kemunduran pada Khalifah bani abbasiyah.
b. Permasalahan
Berdasar pada uraian latar
belakang yang telah dipaparkan, maka permasalahan pokok yang dijadikan obyek
pembahasan dalam makalah ini adalah apa yang melatarbelakangi kemunduran dan
kehancuran Bani Abbasiyah?
Agar pembahasan ini dapat
terarah dan tersistematis, maka pokok permasalahan di atas dirinci ke dalam
sub-sub masalah sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan
Kemunduran Daulat Bani Abbas?
2. Apa Sebab Kehancuran Dinasti Bani Abbas?
Sesuai dengan permasalahan di atas, maka pembahasan
ini bertujuan untuk menelusuri latar belakang dan faktor-faktor terbentuknya
pemerintahan Daulat Abbāsiyah. Selanjutnya, akan dipaparkan suasana yang
dialami Daulat Abbāsiyah sesaat setelah daulat ini terbentuk dan yang
terpenting adalah factor-faktor yang melatarbelakangi keruntuhan dinasti Bani
Abbas. Di sisi lain, makalah ini juga, membahas tentang kemunduran dan
kehancuran Daulat Abbāsiyah.
II.
PEMBAHASAN
a.
Keadaan Daulat Abbāsiyah pada Awal
Pembentukannya
Penggantian Daulat Umayyah oleh Daulat Abbāsiyah, dalam
ke-khalifahan masyarakat Islam lebih dari sekedar perubahan dinasti, di mana
pusat pemerintahan dipindahkan dari Siria ke Irak, tepatnya dari Damaskus ke
Baghdad. Dengan perubahan seperti ini, maka secara cara internal di dalam
pemerintahan Daulat Abbasiyah tidak sama dengan Daulat Umayyah sebelumnya.
Lebih lanjut Ahmad Amin menyatakan bahwa pada Daulat Abbāsiyah, terjadi
kesuksesan emas yang tidak dialami oleh Daulat Umayyah. Dalam hal ini, sejak
awal pemerintahan Daulat Abbāsiyah, suasana kehidupan semakin terbuka, dalam
arti struktur kehidupan masyarakat menjadi membaik (al-ishlāhāt
al-ijtimā’iyyah).[5]
Dalam sisi lain Bagdad sebagai pusat pemerintahan berkembang secara pesat, keputusan
untuk membangun pusat militer di sana merupakan program utama. Perluasan
perkampungan militer yang bernama al-harbiyah sampai ke bagian selatan
Bagdad, yakni di al-Karkh.[6]
Dengan keadaan awal seperti ini, menjadikan Daulat Abbāsiyah semakin memperlihatkan
eksistensinya.
Di samping itu, menurut Ahmad Amin bahwa pada periode
pertama bagi Daulat Abbāsiyah dapat pula disebut periode Persia pertama, karena
untuk memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, ibu kota
yang baru dibangunnya yakni Bagdad, dekat bekas ibu kota Persia.[7]
Dalam Ensiklopedia Islam dikatakan bahwa memang peluang besar yang
tersedia buat seluruh penghuni wilayah Daulat Abbāsiyah dalam hampir seluruh
lapangan hidup. Dengan sendirinya corak dan pola hubungan sosial tidak lepas
dari dasar dan alasan dikorbankannya gerakan Abbāsiyah (al-da’wah
al-‘Abbāsiyah).[8]
Periode awal pembentukan Dinasti Abbāsiyah yang disebutkan
di atas, bermula dari tahun 750 M sampai 847 M.[9]
Pada periode ini, pe-merintahan Daulat Abbāsiyah mencapai kemajuan drastis
secara politis. Para kahlifah bentil-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat
kekuasaan politik dan agama sekaligus.[10]
Periode ini, juga berhasil menyiapkan landasan perkembangan pemetaan wilayah
Islam, karena penguatan pada bidang militer sebagai mana yang telah disebutkan
menjadi program utamanya.
Sepeninggal
al-Shafah pada bulan juni 754 karena
serangan penyakit cacar yang dialaminya, memang telah ada calon penggantinya,
yakni Abū Ja’far al-Manshūr (saudara al-Shafah sendiri), untuk menduduki tahta
ke-khalifahan.[11]
Meskipun al-Saffāh merupakan penguasa pertama dari Daulat Abbāsiyah, tetapi
Menurut Harun Nasution bahwa al-Manshūr ini, harus pula dianggap sebagai
pendiri dari Daulat Abbāsiyah tersebut. Kekuasaan yang dimilikinya serta pengaruhnya
sangat luas karena kemampuan al-Manshūr memandang ke masa depan.[12]
Alasan lainnya adalah, al-Manshūr berkuasa sampai tahun 726 M, dan oleh karena
itu ia sebagai khalifah kedua, serta tergolong sebagai khalifah dalam periode
awal Daulat Abbāsiyah.
Abū Ja’far dengan pengetahuan yang cemerlang itu,
selama masa pemerintahannya, mampu menciptakan ikatan hierarki yang kuat dan
setia kepada daulat Abbāsiyah yang baru sementara dibangun itu. Ia
meng-konsolidasikan dinasti ini dengan kukuh dan tidak pernah mengurangi
tindakan kejamnya apabila kepentingan-kepentingan dinasti terancam.
Al-Saffah sebelum
al-Manshūr, memang termasuk “kejam” (kalau mau dikatakan demikian) disebabkan
oleh kekuatannya menghancurkan Daulat Umayyah, tetapi bagi al-Manshūr sendiri
juga dapat dikatakan “kejam”, disebabkan kekuatannya menaklukkan
wilayah-wilayah lain secara paksa misalnya di Asia, kota Malatia, wilayah
Coppadocia dan Sicila pada tahun 756-758 M. Ke Utara bala tentaranya melintasi
pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosporus. Bala tentaranya juga berhadapan
dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kapis, Turki di bagian
lain Okus dan India.[13]
Kemenangan-kemenangan yang diraihnya, boleh jadi sebab utamanya karena rezim
Daulat Abbāsiyah dalam periode ini menekankan orientasinya pada organisasi
kemiliteran yang kuat dan mapan.
Popularitas
Daulat Abbāsiyah mencapai puncaknya di zaman Khalifah Harūn al-Rasyīd (786-809)
dan putranya al-Ma’mūn (813-833 M). kekayaan yang banyak dimanfaatkan al-Rasyīd
untuk keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi
didirikan. Kesejahteraan, kesehatan, dan kebudayaan serta
kesusastraan sangat maju pada zaman ini.[14]
Dalam menjalankan roda kekhalifahan, al-Rasyīd tidak segan-segan memecat
pegawainya yang berlaku curang. Misalnya saja, seorang Hakim bernama Hafs bin
Ghiyāś dipecat karena berlaku tidak adil.[15]
Pada masa periode awal Daulat Abbāsiyah inilah, menempatkan dirinya sebagai
negara terkuat dalam bidang militer, dan menjadikan sistem pemerintahan secara kuat
pula.
Sebagaimana Daulat Umayyah telah mewarisi preseden birokrasi
bangsa Romawi dan Sasania dan bahkan dari sisa-sisa organisasi kuno, maka
Daulat Abbāsiyah mewarisi berbagai tradisi, praktik, keahlian, dan bahkan
personil administrasi Umayyah. Ikatan perorangan dan perwalian terhadap
khalifah sungguh merupakan esensi organisasi pemerintahan.
Menurut Ira M.
Lapidus, pada periode pertama Daulat Abbāsiyah menteri-menteri semata staf juru
tulis dari jabatan-jabatan penting, dan khalifah merupakan tempat mendapatkan
petunjuk dalam segala urusan. Namun, lambat laun peran peran keluarga khalifah
secara subtansial digantikan oleh bentuk pemerintahan yang lebih rasional,
meskipun dalam pengertian yang seutuhnya.[16]
Walaupun demikian, dalam periode ini tentu ada pula sisi-sisi kelemahan yang
dihadapi oleh Daulat Abbāsiyah, semisal sebagian menteri dan staf juru tulis
mereka tidak ahli di bidangnya masing-masing, karena mereka diangkat atas dasar
sistem kekeluargaan dan keturunan. Di luar keluarga dan atau keturunan, tidak
mendapatkan jabatan apapun, walaupun sebenarnya mereka memiliki keahlian
tersendiri.
Dari
uraian-uraian di atas, dapat dipahami bahwa pada periode awal pembentukan
Daulat Abbāsiyah, lebih menekankan pada bidang kemiliteran dan pembinaan
kebudayaan umat. Kelihatannya Daulat Abbāsiyah pada periode awal pembentukannya
tidak melekat pada diri Khalifah moralitas yang sebaik dengan sahabat pada masa
Nabi saw, khulafā’ al-rasyiīn, dan Daulat Umayyah itu sendiri. Dikatakan
demikian, karena para khalifah Daulat Abbāsiyah kelihatannya tidak
terkonsentrasi pada masalah pembangunan akhlak dan spritual. Mereka banyak
melakukan penindasan terhadap pecinta Daulat Umayyah, dan mengadakan agresi
militer dengan cara kekerasan.
Masih terkait dengan uraian di atas, Dr. G. H. Harifuddin
Cawidu juga menyatakan bahwa atribut khalifah pada Daulat Abbāsiyah, mengalami
penambahan makna. Sebelumnya, khalifah mengandung arti khalīfatu Rasulillah
yakni pengganti Rasulullah untuk memelihara agama dan mengurus kehidupan ummat.
Sedangkan pada Daulat Abbāsiyah, terutama pada kekhalifahan al-Mansur
(754-775), makna khalifah sudah berkonotasi khalīfatullah, yakni
pengganti atau “wakil Allah di bumi ini”. Al-Mansur sendiri menamakan dirinya
sebagai sultanillāhi fī al-ard (penguasa Tuhan di bumi) atau zillullāhi
‘alā al-ard (bayangan Tuhan di atas bumi). Dengan demikian, khalifah di
mata masyarakat dianggap sebagai wakil atau pengejewantahan Tuhan di bumi yang
harus ditaati sepenuhnya. Perubahan makna khalifah seperti ini, tampaknya merupakan
pengaruh langsung dari kepercayaan orang-orang Persia yang menganggap raja
sebagai titisan suci dari Tuhan yang mempunyai hak-hak suci (divine rights
of ling). Seperti diketahui, Dinasti ‘Abasiyyah sangat didominasi oleh
kebudayaan Persia dan bercorak internasional, menggantikan corak Arab yang
bersifat regional di masa Dinasti Umayyah.[17]
Inilah perbedaan pokok antara Daulat Abbāsiyah dengan Daulat Umayyah. Di
samping itu, menurut penulis bahwa ciri khas yang menonjol Daulat Abbāsiyah
adalah perpindahan ibu kota dan pusat pemerintahan ke Bagdad, menjadi jauh dari
pengaruh Arab. Sedangkan Daulat Umayyah sangat berorientasi kepada Arab. Dalam
periode pertama pembentukan Daulat Abbāsiyah, kelihatan dengan jelas bahwa
pengaruh kebudayaan Persia sangat berperan.
Sekaitan dengan
uraian di atas, maka dalam rumusan penulis bahwa puncak perkembangan militer
dan kebudayaan pada Daulat Abbāsiyah, tidaklah berarti seluruhnya berawal dari
kreatifitas dan keprofesionalan banī Abbās sendiri. Akan tetapi, sebagian di
antaranya sudah dimulai sejak masa Nabi saw, kemudian masa khulafā’
al-rasyidīn, dan masa Daulat Umayyah. Peralatan militer dan warisan
kebudayaan yang ditinggalkan oleh masa sebelumnya, adalah modal utama yang
tidak dapat dinafikan bagi Daulat Abbāsiyah pada periode awal pembetukannya.
Masa
selanjutnya, yakni pada periode kedua pembentukan Daulat Abbāsiyah, dan
periode-periode sesudahnya, Daulat Abbāsiyah mengalami kemajuan dan
perkembangan, terutama dalam bidang politik dan ilmu pengetahuan. Walaupun,
pada akhirnya daulat ini mengalami kemuduran dan kehancuran, tetapi
masalah-masalah disebut terakhir ini, bukan sebagai obyek pembahasan penulis di
sini.
b. Faktor-faktor
penyebab Kehancuran dan kemunduran daulat Abbāsiyah
Sejak periode
pertama, sebenarnya banyak tantangan dan gangguan yang dihadapi Dinasti
Abbasiyah. Beberapa gerakan politik yang meronrong pemerintah dan mengganggu
stabilitas muncul dimana-mana, baik gerakan dari kalangan intern Bani Abbas
sendiri maupun dari luar. Namun, semuanya dapat diatasi dengan baik.
keberhasilah penguasa Abbasiyah mengatasi gejolak dalam negeri makin memantapkan
posisi dan kedudukan mereka sebagai pemimpin yang tangguh. Kekuasaan
benar-benar berada ditangan khalifah. Keadaan ini sangat berbeda dengan periode
sesudahnya. Setelah periode pertama berlalu, para khalifah sangat lebah. Mereka
berada di bawah pengaruh kekuasaan yang
lain.[18]
Perkembangan
peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai dinasti Abbasiyah
pada periode pertema telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan
cenderung mencolok. Setiap khalifak cenderung ingin lebih mewah dari
pendahulunya. Kehidupan mewah khalifah-khalifah ini ditiru para hartawan dan
anak-anak pejabat.kecenderungan bermewah-mewah, dtambah kelemahan khalifah dan
faktor lainnya menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi
miskin. Kondisi ini member peluang kepada tentara professional asal Turki yang
semula diangkat oleh khalifah
Al-Mu’tashim untuk mengambil alih pemerintahan. Usaha mereka berhasil,
sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka, sementara kekuasaan
bani Abbas didalam khalifah Abbasiyah yang didirakannya mulai pudar dan ini
merupakan awal dari keruntuhan dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih
bertahan lebih dari 400 tahun.
Faktor lain
yang menyebabkan peran politik bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di
pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada
pemerintahan-perintahan Islam sebelumnya, tetapi apa yang terjadi pada
pemerintahan Abbasiyah berbeda pada pemerintahan sebelumnya.
Nabi Muhammad
memang tidak menentukan bagaimana cara pergantian pimpinan setelah
ditinggalkannya. Beliau tampaknya, menyerahkan masalah ini kepada kaum muslimin
sejalan dengan jiwa dan kerakyatan yang berkembang di kalangan masyarakat Arab
dan ajaran demokrasi dalam Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, proses seleksi
kepemimpinan politik dalam ajaran Islam berbeda-beda dari suatu masa kemasa
yang lain. Ada yang berlangsung aman dan damai, tepi sering juga melalui
konflik dan pertumpahan darah akibat ambisi tak terkendali dari pihak-pihak
tertentu. Setelah Nabi wafat, terjadi pertentangan pendapat antara kaum
Muhajirin dan Anshar di balai kota Bani Sa’idah di Madinah. Masing-masing
golongan berpendapat bahwa kepemimpinan harus berada di pihak mereka, atau
setidak-tidaknya masing-masing golongan mempunyai pemimpin sendiri.
Akibat dari
perbedaan latarbelakang tersebut, pemberontakan-pemberontakan yang muncul pada
setiap generasi kepemimpinan Islam mengakibatkan urusan pemerintahan tidak
terfokus mengatasi masalah kemasyarakatan tetapi harus juga diperkuat dengan
kekuatan politik dan keamanan.
Pada masa
pemerintakah bani Abbas, perebutan kekuasaan seperti itu juga terjadi, tertama
di awal berdirinya. Akan tetapi, pada masa-masa berikutnya, seperti terlihat
pada periode kedua dan seterusnya, meskipun khalifah tidak berdaya, tidak ada
usaha untuk merebut jabatan khalifah dari tangan bani Abbas. Yang ada hanyalah
usaha merebut kekuasaan dengan membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang bani
Abbas. Hal itu terjadi karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan
yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Sedangkan kekuasaan dapat
didirikan di pusat dan di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk
dinasti-dinasti kecil yang merdeka.
Karena gejolak
yang terus-menerus terjadi di kubu bani Abbas dan di luar bani Abbas, akhirnya
tentara Turki berhasil merebut keuasaan tersebut. Ditangan merekalah khalifah
bagaikan bneka yang tak bias berbubat apa-apa. Bahkan, merekalah yang memilih
dan mejatuhkan khalifahsesuai dengan keinginan politik mereka. Dan akhirnya,
setelah keuasaan berada di tangan orangorang Turki pada period eke-dua, pada priode ketiga (334H945-4447H/1055M)
Daulat Bani Abbasiya berada dibawah kekuasaan bani Buwaih.[19]
Sebagaimana
terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak
periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak
datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama,
hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak
sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila
khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil,
tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Disamping
kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah
menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain.
Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:[20]
1.
Persaingan antar Bangsa
Khilafah Abbasiyah
didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan
dilatarbelakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah
berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri,
dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Stryzewska,
ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada
orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani
Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang
Arab sendiri terpecah belah dengan adanya Nashabiyah (kesukuan). Dengan
demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas Nashabiyah tradisional.
Meskipun demikian,
orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan
raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa
darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka
menganggap rendah bangsa non-Arab di dunia Islam.
Selain itu,
wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama sangat luas, meliputi berbagai
bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan
India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu
tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut
dengan kuat. Akibatnya, disamping fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme
bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu'ubiyah.
Fanatisme
kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu,
para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia
atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan
mendapat gaji. Oleh Bani Abbas, mereka dianggap sebagai hamba. Sistem
perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh bangsa Persia dan Turki. Karena
jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka merasa bahwa negara adalah milik
mereka; mereka mempunyai kekuasaan atas rakyat berdasarkan kekuasaan khalifah.
Kecenderungan
masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal
khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi, karena para khalifah adalah
orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik
dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil, seorang khalifah yang lemah, naik tahta,
dominasi tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas
sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi
ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga, dan
selanjutnya beralih kepada dinasti Seljuk pada periode keempat, sebagaimana
diuraikan terdahulu.
2.
Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah
juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di
bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan
pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga
Bait al-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh antara
lain dari al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi.
Setelah khilafah
memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat
lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin
menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu
perekonomian rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil
yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran
membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat
semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan
korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara
morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan
politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak
terpisahkan.
3.
Konflik Keagamaan
Fanatisme
keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang
Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka
mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya
gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para
khalifah. Al-Manshur berusaha keras memberantasnya. Al-Mahdi bahkan merasa
perlu mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan
melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak
menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan
Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik
tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di
kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik
bersenjata itu.
Pada saat gerakan
ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah,
sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap
menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai
aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara
keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa.
Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam Husein di Karbela
dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.), kembali memperkenankan
orang syi'ah "menziarahi" makam Husein tersebut. Syi'ah pernah
berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus
tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua
dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni. Konflik yang
dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan zindiq
atau Ahlussunnah dengan Syi'ah saja, tetapi juga antar aliran dalam Islam. Mu'tazilah
yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid'ah oleh golongan salaf.
Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah
ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M.), dengan menjadikan mu'tazilah sebagai
mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861),
aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan salaf kembali
naik daun. Tidak tolerannya pengikut Hanbali itu (salaf) terhadap Mu'tazilah
yang rasional telah menyempitkan horizon intelektual.
Aliran Mu'tazilah
bangkit kembali pada masa dinasti Buwaih. Namun pada masa dinasti Seljuk yang
menganut aliran Asy'ariyyah, penyingkiran golongan Mu'tazilah mulai dilakukan
secara sistematis. Dengan didukung penguasa aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan
berjaya. Pikiran-pikiran al-Ghazali yang mendukung aliran ini menjadi ciri
utama paham Ahlussunnah. Pemikiran-pemikiran tersebut mempunyai efek yang tidak
menguntungkan bagi pengembangan kreativitas intelektual Islam, konon sampai
sekarang.
4.
Ancaman dari Luar
Apa yang
disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Disamping itu, ada pula
faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya
hancur. Pertama, Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau
periode dan menelan banyak korban. Kedua serangan tentara Mongol ke
wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen
Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M)
mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan
orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, diantara
komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang
tertarik dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib itu. Pengaruh
Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu
Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak
dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen
berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di
kantong-kantong ahl al-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancurleburkan
pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki Yerussalem.
III.
PENUTUP
Sesuai permasalahan yang telah ditetapkan dan kaitannya
dengan uraian-uraian yang telah dipaparkan, maka dapat dirumuskan suatu
ke-simpulan bahwa dari perjalanan rentang sejarahnya, ternyata Banī Abbās faktor
kemunduran dan kehancuran bani Abbas adalah karena adanya ketidak seimbangan
politik sehingga mengakibatkan tatan pemerintahan tergoyahkan. Disamping itu
juga diyakini adanya beberapa bentuk tekanan yang dihadapi sehingga Bani Abbas
semakin melemah dan berakhir runtuh dikarenakan adanya ancaman dari luar kubu
Bani Abbas, komplik keagamaan, persaingan antar bangsa serta kemerosotan
ekonomi.
Berdasar pada rumusan kesimpulan di atas, kelihatan bahwa
pem-bahasan lebih lanjut mengenai pembentukan Daulat Abbāsiyah, masih perlu
dikembangkan. Karena itu, disarankan kepada segenap pihak untuk mem-berikan
kontribusi pemikiran yang konstruktif, akurat dan argumentif terhadap masalah
yang telah dipaparkan dalam pembahasan ini untuk men-dapatkan hasil lebih
komprehensif.
Wassalam Alaikum Wr. Wb.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Amin, Ahmad. Dhuhay
al-Islām, juz I. Cet. VIII; Mesir: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyyah, t.th
. al-Tarīkh al-Islām wa al-Hadhārah al-Islāmiyah, juz
III; Mesir: Maktabah al-Nahdhah, t.th
Cawidu, H. Harifuddin. Konsep
Khilafah dalam Islam Dilihat dari Perpektif Politis dan Teologis dalam Tim
Lakpesdam NU (ed), Kumpulan Makalah Dr. H. Harifuddin Cawidu tahun
1987-2000. Makassar: PMII Cabang Metro Makassar, 2003
Hasan, Ibrahim Hasan, Tarīkh
al-Islam, juz II. Mesir: Maktabah al-Nahdhah, 1964
Hasyimi, A. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarata:
Bulan Bintang, 1993
Hitti, Philip K. History
of Arab. London and Basing Stoke: The Macmillan Press LTD, 1974
Ira M. Lapidus, A. History
of Islamic Societies diterjemahkan oleh Ghufran A. Mas’adi dengan judul, Sejarah
Sosial Umat Islam Bagian Kesatu dan Kedua. Cet. I; Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 1999
Madjid, Nurcholish. Khazanah
Intelektual Islam. Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1998.
Al-Mawdūdi, Abū al-A’lā. al-Khilāfah
wa al-Mulk diterjemahkan oleh Muhanmad al-Baqir dengan judul Khilafah
dan Kerajaan. Cet. VI; bandung: Mizan, 1996
Nasir, Syed Mahmudun. Islam;
Its Concepts and History, diterjemahkan oleh Adang Affandi dengan judul Islam;
Konsepsi dan Sejarahnya. Cet. IV; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994
Nasution, Harun. Islam;
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I. Cet. V; Jakarta: UI.
Press, 1985
. Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan
Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1975
Tim Penyusun IAIN Syarif
Hidayatullah, Ensiklopedi Islam. Cet. I; Jakarta: Djambatan, 1992
Tim Ikhtiar Baru Van Hoeve, Ensiklopedi
Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993.
Thohir, Adjid. Perkembangan
Peradaban di Kawasan Dunia Islam; Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial dan Budaya
Umat islam. Cet. I; Jakarta: Rajawali Press, 2003.
Yatim, Badri. Sejarah
Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II). Cet. I; Jakarta: LSIK dan PT. Raja
Grafindo Persada, 1994.
. Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II (edisi
revisi) Cet. XXIII; Jakarta: PT. Rajawali Press, 2011.
[1]Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975),
h. 13-14
[2]Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam (Cet. II; Jakarta: LSIK dan PT. Raja Grafindo Persada,
1994), h. 6
[3]H. Harifuddin Cawidu,
Konsep Khilafah dalam Islam Dilihat dari Perpektif Politis dan Teologis dalam
Tim Lakpesdam NU (ed), Kumpulan Makalah Dr. H. Harifuddin Cawidu tahun
1987-2000 (Makassar: PMII Cabang
Metro Makassar, 2003), h. 12
[4] Dr. Badri
Yatim, M.A. Sejarah Peradaban Islam
(Dirasah IslamiyahII). Rajawali Press: Jakarta, mei 1993. H. 61
[5]Ahmad Amin, Dhuhay
al-Islām, juz I (Cet. VIII; Mesir: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyyah, t.th),
h. 2
[6]Ira M. Lapidus, op.
cit., h. 103
[7]Ahmad Amin, op.
cit., h. 3. Lihat juga Ahmad Amin, al-Tarīkh al-Islām wa al-Hadhārah
al-Islāmiyah, juz 3 (Mesir: Maktabah al-Nahdhah, t.th), h. 27.
[8]Lihat Tim Penyusun
IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam (Cet. I; Jakarta: Djambatan,
1992), h. 3
[9]Lihat Badri Yatim, op.
cit., 49.
[10]Lihat Ahmad Amin, Dhuhay
… loc. cit.
[11]Syed Mahmudun Nasir, op.
cit., h. 250
[12]Harun Nasution, Islam;
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I (Cet. V; Jakarta: UI.
Press, 1985), h. 67
[13]Badri Yatim, op.
cit., h. 51
[15]Abū al-A’lā
al-Mawdūdi, al-Khilāfah wa al-Mulk diterjemahkan oleh Muhanmad al-Baqir
dengan judul Khilafah dan Kerajaan (Cet. Vi; bandung: Mizan, 1996), h.
253
[16]Ira M. Lapidus, opcit.,
h. 109
[17]H. Harifuddin Cawidu,
op. cit., h. 7
Makalah ini akan dipersentasekan pada seminar kuliah di Kampus PPs. Universitas Muslim Indonesia Makassar Jurusan Magister Pengkajian Islam. setelah diskusi nanti usai, insya Allah makalah ini akan direvisi berdasarkan kritik dan saran serta masukan yang sifatnya memperbaiki dari peserta diskusi dan dosen pembimbing
ReplyDeleteship
ReplyDelete